Ucapan ini disusul dengan serangan kilat yang luar biasa cepatnya. Tahu-tahu tubuh wanita ini telah menerjang dua orang kakek itu dengan pukulan yang membawa angin halus. Dua orang kakek itu kaget. Makin halus angin pukulan, makin hebatlah karena itu menunjukkan kekuatan sin-kang yang sudah tinggi.
Akan tetapi dia dan sutenya merasa penasaran. Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah membuktikan kelihaian mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja! Maka cepat mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu mengelak saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis dari samping.
“Dukk! Dukk!”
Sukar sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua orang kakek sakti itu bertemu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu, tubuh mereka terlempar roboh bergulingan kemudian barulah mereka dapat meloncat bangun dengan muka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sutenya bukan orang-orang sembarangan. Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini keduanya sudah menerjang maju lagi dengan dahsyat.
“Bagus! Kalian boleh juga!”
Kata wanita berkerudung itu dan terjadilah pertandingan yang amat hebat. Kedua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat, pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka dapat dielakkan oleh Si Wanita berkerudung. Berkali-kali kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan terheran-heran karena melihat betapa wanita itu mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan serangan-serangan mereka!
Karena penasaran, Yap Sun lalu berseru keras dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya, juga sutenya mengimbangi serangan suhengnya itu, dari pihak yang berlawanan mengirim pukulan dengan telapak tangannya.
“Aiiihhhh!”
Dan tubuhnya mencelat keatas sehingga himpitan dua tenaga sin-kang itu luput. Ia melayang ke depan dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil, semacam pisau belati. Sambil bertolak pinggang ia bertanya.
“Bukankah itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?”
Yap Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jerih terhadap pukulan tenaga inti api dan pukulan sutenya dengan tenaga inti es, maka ia berkata.
“Apakah Pangcu yang terhormat jerih menghadapinya?”
“Aihhh, sombong! Siapa takut? Majulah!”
Kedua orang tokoh Pulau Es itu menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mereka yang amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat. Adapun Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, menjadi terkejut sekali.
“Gak Liat adalah Ayahku....!”
Teriaknya perlahan dan karena Im-kan Seng-jin amat tertarik menyaksikan pertandingan itu, dia lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya dicengkeram tangan yang kuat sekali dan ketika ia menengok, kiranya tangan Panglima Bhe Ti Kong yang memegang.
“Pegang dia, jangan sampai dia lari!” kata Im-kan Seng-jin tidak mau terganggu karena dia sedang menonton dengan hati amat tertarik.
Memang hebat pertandingan itu, terutama sekali hebat bagi orang-orang saki berilmu tinggi seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan besar. Biarpun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu tiga puluh jurus saja, Kakek Yap Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh wanita berkerudung yang menodongkan pisau belatinya sambil berkata.
“Sesungguhnya aku segan untuk keluar berurusan dengan orang-orang kosong yang mengaku jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es datang, aku tidak suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa keluar sendiri. Hayo katakan, di mana majikanmu Pendekar Siluman Si Kaki Bun-tung itu? Kalau dia tidak keluar, kuambil daun telingamu!”
Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena pertandingan, diikuti suara yang bergema,
“Siapakah mencari aku?”
Semua orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan tangan kiri memegang tongkat butut, meloncat turun dari punggung garuda raksasa yang berdiri gagah itu.
Pria muda ini bukan lain adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es! Semua mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang, memandang kepada pendekar berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret kakinya yang pincang karena tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sambil berkata dengan nada melaporkan penuh penyesalan,
“Maaf, To-cu, kami berdua telah dikalahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon keputusan To-cu.”
Akan tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mempedulikan, juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan mulutnya berkata penuh sesal.
“Aku mencari dia.... ah, di manakah kalau tidak di sini?” Kemudian dia berteriak, suaranya nyaring melebihi lengking garuda tadi. “Hong-ji (Anak Hong)! Di mana engkau? Hayo cepat ke sini....!”
Suaranya bergema di seluruh permukaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Semua orang memandang terbelalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu dengan Suma Han (baca cerita Pendekar Super Sakti), memandang kagum karena mereka sudah mengenal kesaktian pria muda buntung ini.
Akan tetapi dia dan sutenya merasa penasaran. Sebagai tokoh-tokoh Pulau Es yang tadi telah membuktikan kelihaian mereka, tentu saja mereka merasa tersinggung sekali ketika Ketua Thian-liong-pang ini menyuruh mereka roboh begitu saja! Maka cepat mereka mengelak dan karena maklum menghadapi pukulan kilat secepat itu mengelak saja masih kurang cukup, maka sambil mengelak mereka menangkis dari samping.
“Dukk! Dukk!”
Sukar sekali dipercaya oleh mereka yang menyaksikannya karena begitu lengan kedua orang kakek sakti itu bertemu dengan kedua tangan wanita berkerudung itu, tubuh mereka terlempar roboh bergulingan kemudian barulah mereka dapat meloncat bangun dengan muka berubah. Akan tetapi Kakek Yap Sun dan sutenya bukan orang-orang sembarangan. Mereka tidak terluka, hanya kaget saja dan kini keduanya sudah menerjang maju lagi dengan dahsyat.
“Bagus! Kalian boleh juga!”
Kata wanita berkerudung itu dan terjadilah pertandingan yang amat hebat. Kedua orang kakek itu mengeroyok dari jarak dekat, pukulan-pukulan mereka ampuh bukan main, namun semua pukulan mereka dapat dielakkan oleh Si Wanita berkerudung. Berkali-kali kedua orang kakek itu mengeluarkan seruan aneh dan terheran-heran karena melihat betapa wanita itu mengelak dan menangkis dengan jurus-jurus yang sama dengan serangan-serangan mereka!
Karena penasaran, Yap Sun lalu berseru keras dan mengirim pukulan dengan telapak tangannya, juga sutenya mengimbangi serangan suhengnya itu, dari pihak yang berlawanan mengirim pukulan dengan telapak tangannya.
“Aiiihhhh!”
Dan tubuhnya mencelat keatas sehingga himpitan dua tenaga sin-kang itu luput. Ia melayang ke depan dan turun sambil mencabut sebatang pedang pendek dan kecil, semacam pisau belati. Sambil bertolak pinggang ia bertanya.
“Bukankah itu tadi pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dahulu milik Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, dan satu lagi Swat-im Sin-ciang, milik Ma-bin Lo-mo Siangkoan Lee Si Muka Kuda? Kiranya Ketua kalian mengajarkannya kepada kalian?”
Yap Sun merasa mendapat hati dan mengira bahwa wanita itu jerih terhadap pukulan tenaga inti api dan pukulan sutenya dengan tenaga inti es, maka ia berkata.
“Apakah Pangcu yang terhormat jerih menghadapinya?”
“Aihhh, sombong! Siapa takut? Majulah!”
Kedua orang tokoh Pulau Es itu menerjang lagi dengan pukulan-pukulan mereka yang amat berbahaya, akan tetapi wanita itu selalu dapat mengelak dengan cepat. Adapun Bun Beng ketika mendengar nama Kang-thouw-kwi Gak Liat Si Setan Botak, menjadi terkejut sekali.
“Gak Liat adalah Ayahku....!”
Teriaknya perlahan dan karena Im-kan Seng-jin amat tertarik menyaksikan pertandingan itu, dia lupa menjaga sehingga tiba-tiba Bun Beng dapat melarikan diri. Akan tetapi tiba-tiba pundaknya dicengkeram tangan yang kuat sekali dan ketika ia menengok, kiranya tangan Panglima Bhe Ti Kong yang memegang.
“Pegang dia, jangan sampai dia lari!” kata Im-kan Seng-jin tidak mau terganggu karena dia sedang menonton dengan hati amat tertarik.
Memang hebat pertandingan itu, terutama sekali hebat bagi orang-orang saki berilmu tinggi seperti Im-kan Seng-jin, kedua Lama dan para tokoh partai persilatan besar. Biarpun kedua orang tokoh Pulau Es itu hebat sekali, namun dalam waktu tiga puluh jurus saja, Kakek Yap Sun sudah roboh tertendang punggungnya, dan Kakek Thung Sik Lun dapat ditotok lumpuh dan kini dijiwir telinganya oleh wanita berkerudung yang menodongkan pisau belatinya sambil berkata.
“Sesungguhnya aku segan untuk keluar berurusan dengan orang-orang kosong yang mengaku jagoan-jagoan kang-ouw. Akan tetapi karena golongan Pulau Es datang, aku tidak suka menyerahkan tugas kepada wakil-wakilku dan terpaksa keluar sendiri. Hayo katakan, di mana majikanmu Pendekar Siluman Si Kaki Bun-tung itu? Kalau dia tidak keluar, kuambil daun telingamu!”
Tiba-tiba terdengar suara melengking tajam dari angkasa, disusul melayangnya seekor burung garuda yang hinggap di atas batu karang tak jauh dari arena pertandingan, diikuti suara yang bergema,
“Siapakah mencari aku?”
Semua orang terbelalak memandang ketika seorang pria muda berambut panjang berwarna putih, pakaiannya sederhana, kaki kirinya buntung dan tangan kiri memegang tongkat butut, meloncat turun dari punggung garuda raksasa yang berdiri gagah itu.
Pria muda ini bukan lain adalah Suma Han yang terkenal dengan julukan Pendekar Siluman. Majikan Pulau Es! Semua mata, termasuk mata Ketua Thian-liong-pang, memandang kepada pendekar berkaki tunggal ini, bahkan Yap Sun cepat menyeret kakinya yang pincang karena tendangan tadi, berlutut di depan Suma Han sambil berkata dengan nada melaporkan penuh penyesalan,
“Maaf, To-cu, kami berdua telah dikalahkan oleh Pangcu dari Thian-liong-pang. Mohon keputusan To-cu.”
Akan tetapi Suma Han agaknya tidak mendengar laporan ini, atau tidak mempedulikan, juga tidak mempedulikan orang-orang lain yang hadir. Matanya mencari-cari, dan mulutnya berkata penuh sesal.
“Aku mencari dia.... ah, di manakah kalau tidak di sini?” Kemudian dia berteriak, suaranya nyaring melebihi lengking garuda tadi. “Hong-ji (Anak Hong)! Di mana engkau? Hayo cepat ke sini....!”
Suaranya bergema di seluruh permukaan pulau, akan tetapi tidak ada yang menjawab. Semua orang memandang terbelalak dengan hati tegang. Mereka yang pernah bertemu dengan Suma Han (baca cerita Pendekar Super Sakti), memandang kagum karena mereka sudah mengenal kesaktian pria muda buntung ini.
Adapun mereka yang sudah lama mendengar nama Pendekar Siluman akan tetapi baru sekarang bertemu, memandang takjub dan terheran-heran. Kelihatannya hanya seorang pria muda sederhana dan biasa saja, bagaimana bisa menjadi Majikan Pulau Es yang begitu terkenal dan dijuluki Pendekar Siluman? Wajahnya sama sekali tidak seperti siluman, biarpun rambutnya putih dan panjang, malah membuat wajahnya tampak gagah dan tampan penuh wibawa. Tentu kepandaiannya yang seperti siluman dan diam-diam mereka ini bergidik ngeri.
“Ke manakah perginya Siocia, To-cu?” Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.
“Dia pergi dari Pulau Es, membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke mana dia?”
“Pendekar Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku Ketua Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di antara kita yang patut menjadi pemimpin dunia persilatan!”
Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring.
Mendengar suara ini, Suma Han seperti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang mengaku Ketua Thian-liong pang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah dikalahkan oleh Ketua Thian-liong-pang.
Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam ujung segumpal rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya berputar menghadapi wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih belum dapat berdiri, masih berlutut dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula, ditodong belati oleh wanita berkerudung.
Seperti orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan bertanya, suaranya perlahan namun jelas terdengar satu-satu oleh semua orang yang hadir dan semua orang menggigil karena suara ini terdengar datar dan dingin.
“Engkau siapa....?”
Pertanyaan yang datar dan dingin ini seolah-olah hendak membuka kerudung dan menjenguk wajah si wanita. Tanpa disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian mengangkatnya kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api.
“Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es untuk mengadu ilmu di sini!”
Akan tetapi Suma Han tidak mengacuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak dan tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan.
“Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan kosong. Kau ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari ke mana perginya bocah berandalan itu!”
Wajah Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan ringan. Melihat ini wanita berkerudung itu menggerakkan sedikit pundaknya, tanda bahwa ia terkejut.
“Pendekar Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orangmu ini akan mati!” Ia menggerakkan pisau belatinya.
“Paman Thung, tidak lekas pergi menunggu apa lagi?”
Suma Han berseru dan tangan kanannya bergerak. Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar ke arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagian depan tubuh wanita berkerudung.
Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak, melainkan memutar pisaunya di depan tubuh sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka menyambar ke depan. Akan tetapi wanita itu tampak tercengang dan marah ketika melihat bahwa yang ditangkisnya itu hanyalah segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung Sik Lun, ternyata kakek itu telah lenyap!
Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia putus dengan tangan dipakai menyerang Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi hanya serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia mendorongkan tangan kanannya kearah tubuh pembantunya, yang terlempar dan bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut!
Kini semua orang yang menyaksikan terbelalak dan kagum bukan main. Segumpal rambut dapat dipergunakan seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan tangan dalam jarak begitu jauh sudah berhasil membebaskan kakek kurus dari penodongan Ketua Thian-liong-pang.
“Pulanglah kalian dan cari Si Bengal!”
Kata Pendekar Siluman kepada dua pembantunya. Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk dan keduanya meloncat lalu lari pergi dari tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke punggung garuda putih!
“Haiii! Pendekar Siluman! Sudah lama aku mendengar nama besarmu, mengapa tidak minum arak dulu denganku untuk belajar kenal?” Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru. “Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari kok-su kerajaan!”
Tangan kanan koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak merah muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang melebar seperti payung menyiram ke arah Suma Han dan garudanya.
Jarak antara koksu itu dengan Pendekar Siluman cukup jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan betapa saktinya kok-su itu dan betapa kuatnya tenaga sin-kang yang ia pergunakan!
Suma Han hanya menoleh, tanpa mengubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan memutar ke depan. Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak begitu jauh dan.... terdengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh semua ke bawah dan telah membeku! Itulah pukulan dengan tenaga inti Swat-im Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga pukulan ini dapat membuat benda cair membeku menjadi butiran-butiran es!
“Pendekar Siluman, mau lari ke mana engkau?”
Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita berkerudung itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat.
“Cet-cet-cet-cet....!”
Tiga belas batang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan dari mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han. Semua menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam tubuh garuda! Hal ini membuktikan betapa wanita itu merupakan seorang ahli melempar senjata rahasia.
Suma Han menggerakkan tongkatnya dengan sembarangan dan.... ketiga belas batang pisau itu seolah-olah tertarik oleh besi magnit dan kesemuanya melayang menuju ke tongkat di tangan Suma Han dan menancap semua di tongkat itu, berjajar-jajar rapi.
“Aku tidak sempat main-main dengan kalian!”
Terdengar Suma Han berkata, tongkatnya digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah pemiliknya secara berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga merupakan senjata berat yang besar, akan tetapi dengan pukulan sin-kang Ketua Thian-liong-pang itu membuat sekumpulan pisaunya menancap di atas tanah depan kakinya, seolah-olah berlutut memberi hormat kepadanya!
Sepasang mata bening di balik lubang kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat garuda putih sudah mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan sayap membuat debu beterbangan!
Tiba-tiba terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak seorang laki-laki tinggi besar yang matanya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya kotor riap-riapan mukanya bengis, meloncat ke depan dan tangannya melontarkan sebuah benda panjang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum terbang tinggi. Benda panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit kedua kaki burung garuda tadi.
Betapa kaget hati semua orang ketika melihat benda itu adalah seekor ular yang panjang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh garuda! Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua orang berkhawatir.
Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi, kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda itu tidak terus terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah laki-laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar berkuku tajam dan runcing melengkung itu bergerak menyerang!
Laki-laki itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan membabat ke arah kedua kaki garuda. Garuda itu ternyata hebat sekali, dia memapaki pedang dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.
“Krekkk!”
Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke bawah. Sebelum laki-laki anggauta Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda hitam telah melibat lehernya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit paruh garuda yang amat kuat.
Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke atas tebing. Mereka melihat garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, jatuh ke dalam air muara di mana air sungai bertemu dengan air laut.
“Celaka....! Air pusaran maut!”
Terdengar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka. Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau pupus itu meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusaran air. Namun tenaga pusaran air yang disebut pusaran maut dan yang amat dikenal para nelayan karena merupakan tempat yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang mendatangkan maut mengerikan, amatlah kuatnya sehingga usaha manusia ini sama sekali tidak ada artinya.
Tubuhnya dibawa berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh itu hancur lebur dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya makin lama makin melebar!
Semua orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini sudah terbang jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghilang. Wanita berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas tebing, melayang seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, masih cantik jelita dan gerakannya tangkas.
“Tidak ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini.”
Katanya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke tebing dari mana dia tadi melayang turun, kelihatannya marah dan penasaran sekali.
“Haiiii! Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!”
Koksu berseru, suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu. Tubuh itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi itu terdengar suara merdu.
“Seperti juga Pendekar Siluman saya tidak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!”
Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas, kemudian menarik napas panjang penuh kekaguman. Majikan Pulau Es dan Ketua Thian liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa, seperti iblis! Mereka merasa menyesal mengapa tidak mendapat kesempatan menyaksikan dua orang itu bertanding silat! Kalau keduanya saling mengadu kepandaian, atau menghadapi koksu yang sakti itu, tentulah mereka akan menyaksikan pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa!
Ketika melihat semua orang termangu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak.
“Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala penjuru dunia! Setelah kini berkumpul di sini bukankah bermaksud untuk mengadu kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi? Nah, lanjutkanlah. Pemerintah tidak akan menghalangi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan maju karena lawan-lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi pembantu-pembantu kami cukup kuat untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani menghadapinya boleh maju, jangan khawatir, pertandingan melawan panglima kerajaan sekali ini tidak akan dianggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan jaman perang, dan ini adalah urusan pribadi di antara orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Bhe-goan-swe, majulah!” Dengan wajah berseri gembira Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya.
Bhe Ti Kong adalah seorang jendral perang. Biarpun ia memiliki ilmu silat yang tinggi, namun sesungguhnya dia bukan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, sebagai seorang tentara, tentu saja dia selalu akan mentaati perintah atasan, maka setelah menyerahkan Bun Beng kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara tiga panglima pengawal itu, ia lalu meloncat ke tengah lapangan dan mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu tombak gagang pendek yang bercabang, tajam dan runcing sekali.
Bun Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gembira sekali dan ingin tadi ia berteriak memanggil.
Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan dan amat di-bencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam mulutnya sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara pula. Betapa bencinya! Kini Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita berkerudung yang juga amat mengagumkan hatinya itu telah pergi pula!
Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam pertandingan! Hem, ia mencela dan diam-diam memaki. Baru sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita berkerudung, kalau memang gagah! Akan tetapi, hatinya lega juga setelah kini ia dioperkan kepada panglima lain yang berperut gendut itu.
Biarpun panglima ini masih memegangi lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Panglima Bhe tadi. Agaknya panglima yang gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng maka pegangannya tidaklah erat benar karena dianggapnya bocah sekecil itu bisa apakah? Pula, ia amat tertarik untuk menyaksikan rekannya memasuki pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara para panglima pengawal!
Tiba-tiba dari rombongan Pulau Neraka meloncat keluar seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka biru muda! Melihat warna mukanya yang agak terang menandakan bahwa seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus tadi, yang ini tentu tingkatnya juga sudah cukup tinggi.
Dan agaknya kini para tokoh Pulau Neraka yang semenjak tadi belum maju, menjadi penasaran. Apalagi melihat seorang anggauta mereka tewas dalam keadaan begitu mengerikan. Mereka marah sekali, akan tetapi yang membunuh teman mereka adalah burung garuda putih tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi sehingga mereka tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka.
Agaknya kemarahan itu akan dilampiaskan dalam pibu ini. Apalagi koksu tadi sudah mengatakan bahwa pibu ini merupakan pertandingan perorangan, andaikata tidak demikian pun, mana orang-orang Pulau Neraka akan menjadi takut. Pulau Neraka tidak pernah takut terhadap pemerintah atau siapapun juga!
Laki-laki tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri, mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam. Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali putih. Kulitnya, dari muka sampai ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.
“Aku Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!”
Katanya dan tanpa menanti jawaban orang Pulau Neraka ini sudah menerjang dengan pedangnya yang amat panjang. Gerakannya kuat dan cepat, juga aneh sekali berbeda dengan ilmu pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak pendeknya.
“Cringggg....!”
Bunga api berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang, maka ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya.
Bun Beng menonton, akan tetapi pikirannya melayang-layang teringat kepada Pendekar Siluman dan wanita berkerudung yang mengaku sebagai Ketua Thian-liong-pang. Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut nama ayahnya berjuluk Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu.
Dan pukulan hebat dari Pulau Es tadi dikatakan oleh wanita berkerudung sebagai ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pendekar Siluman kepada utusannya. Kalau begitu ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman. Dan setidaknya, tentu ayahnya bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti pula. Itulah agaknya mengapa dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal dan dihormati orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak memeliharanya!
Ketika ia melihat ke arah pertandingan, ternyata bahwa orang yang dibencinya, Panglima Bhe Ti Kong, terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari lawannya. Akan tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sungguh mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan kini keadaannya berbalik.
Si Muka Biru Muda itu terdesak oleh senjata tombak pendek! Mengertilah Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa koksu itu bermain curang, memberi nasihat kepada pembantunya dalam bahasa yang tidak dimengerti orang lain.
Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan diri. Ia teringat akan ilmunya Sia-kun-hoat, maka ia segera menggerakkan ilmu ini secara diam-diam, kemudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang memegangnya bergembira dan tertarik menyaksikan rekannya mendesak lawan, ia cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.
“Heiii....! Pergi ke mana....?”
Panglima gendut terkejut, akan tetapi Bun Beng sudah meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam terhadap Panglima Bhe Ti Kong yang telah ikut membunuh suhunya, membuat Bun Beng pada saat itu tidak memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin mendesak hebat dengan tombak pendeknya.
Para pembunuh suhunya adalah empat orang yang lihai bukan main. Apalagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu, mereka adalah tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian Suhunya?
Akan tetapi, Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti tiga kakek itu, apalagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak sekarang dia turun tangan membalas kematian suhunya, menunggu sampai kapan?
Hanya inilah yang memenuhi pikiran Bun Beng, maka begitu ia berhasil membebaskan diri dari pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan melemaskan tulang dan otot, ia segera meloncat dan menyerang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong yang sedang mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!
“Manusia curang! Rasakan pembalasanku!”
Bun Beng membentak sambil meloncat dan menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut. Memang hatinya marah sekali, bukan hanya karena kematian suhunya yang dikeroyok secara curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini sekarang dapat mendesak lawan karena dibantu oleh koksu.
Dan memang sebenarnyalah dugaan Bun Beng ini. Ketika tadi melihat anak buahnya itu terdesak, oleh tokoh Pulau Neraka yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan juga khawatir sekali. Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah pukulan bagi kedudukannya dan akan membikin dia malu.
Dia tidak menyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena memang orang Pulau Neraka itu memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu yang sakti ini cepat memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari dasar dan intinya, kemudian ia memberi nasihat kepada Bhe Ti Kong dengan bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati nasihat ini, benar saja, ia dapat mendesak lawan dengan tombaknya.
Serangan seorang bocah berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Akan tetapi karena Bun Beng melakukan penyerangan selagi dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu amat berbahaya. Apalagi karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan seorang anak yang telah bertahun digembleng oleh seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia mengalihkan perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di ujung pedang Si Muka Biru Muda.
Akan tetapi Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran dahsyat, maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerakan cepat ia menyerang lawan dari bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil dari atas yang memukul ke arah kepalanya.
Serangan Bun Beng mengenai tempat kosong dan tubuh anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong. Panglima ini berhasil mendesak lawan dengan serangannya tadi, kini cepat memutar kaki menendang ke belakang. Namun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini maka cepat anak itu dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan.
Biarpun hanya membagi perhatian sedikit saja, hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar terang menyambar bergulung-gulung dan pedang lawan sudah membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat memutar tombak di depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia membiarkan tubuh bagian belakangnya kosong tidak terjaga.
Bun Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.
“Bocah setan! Jangan mencampuri pertandinganku!”
Tiba-tiba orang Pulau Neraka bermuka biru muda itu membentak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng merasa tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk pedang Si Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas.
“Lepaskan, aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!”
Ia meronta-ronta dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah mengirim tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Neraka itu ternyata lihai sekali. Biarpun pedangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong yang sudah siap dengan tombak pendeknya itu menyusul serangannya dengan tusukan bertubi-tubi.
Si Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakan pedang, tubuh Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun, gerakannya ini membuat ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti Kong sempat menyerempet lambung kirinya.
“Ke manakah perginya Siocia, To-cu?” Kakek Yap Sun bertanya dengan suara penuh kekhawatiran.
“Dia pergi dari Pulau Es, membawa garuda betina. Kukira hendak menonton keramaian di sini anak nakal itu. Kiranya tidak ada di sini. Habis ke mana dia?”
“Pendekar Siluman! Pendekar Super Sakti! Pendekar Buntung! Hayo majulah melawan aku Ketua Thian-liong-pang agar mata dunia terbuka siapa di antara kita yang patut menjadi pemimpin dunia persilatan!”
Tiba-tiba wanita yang berkerudung yang masih menodong leher Kakek Thung Sik Lun itu berseru merdu dan nyaring.
Mendengar suara ini, Suma Han seperti tersentak kaget, seolah-olah baru sekarang dia mendengar suara itu dan melihat wanita berkerudung yang mengaku Ketua Thian-liong pang itu. Juga baru teringat ia akan pelaporan pembantunya bahwa dua orang utusannya yang disuruh meninjau keadaan di pulau itu telah dikalahkan oleh Ketua Thian-liong-pang.
Seperti tidak disengaja, tangan kanan Pendekar Siluman ini menggenggam ujung segumpal rambutnya, kemudian tanpa menggerakkan kaki, tubuhnya berputar menghadapi wanita itu. Ia melihat betapa Yap Sun masih belum dapat berdiri, masih berlutut dan melihat Thung Sik Lun berlutut pula, ditodong belati oleh wanita berkerudung.
Seperti orang tak acuh, Pendekar Siluman memandang wanita itu dan bertanya, suaranya perlahan namun jelas terdengar satu-satu oleh semua orang yang hadir dan semua orang menggigil karena suara ini terdengar datar dan dingin.
“Engkau siapa....?”
Pertanyaan yang datar dan dingin ini seolah-olah hendak membuka kerudung dan menjenguk wajah si wanita. Tanpa disadarinya, wanita itu menundukkan muka sejenak, kemudian mengangkatnya kembali dan sinar mata dari balik lubang itu seperti memancarkan api.
“Akulah Pangcu dari Thian-liong-pang! Dan aku menantang Majikan Pulau Es untuk mengadu ilmu di sini!”
Akan tetapi Suma Han tidak mengacuhkan tantangan ini, bahkan tongkatnya bergerak dan tampak ujung tongkat itu menyentuh kedua pundak Kakek Yap Sun dengan perlahan.
“Paman Yap di sini tidak ada apa-apa, yang diperebutkan hanya bungkusan kosong. Kau ajaklah Paman Thung kembali dan bantu aku mencari ke mana perginya bocah berandalan itu!”
Wajah Yap Sun kelihatan girang sekali karena tiba-tiba saja, dua kali totokan pada pundaknya itu menyembuhkannya dan ia dapat bangkit berdiri dengan gerakan ringan. Melihat ini wanita berkerudung itu menggerakkan sedikit pundaknya, tanda bahwa ia terkejut.
“Pendekar Siluman! Kalau engkau tidak mau melayani tantanganku, orangmu ini akan mati!” Ia menggerakkan pisau belatinya.
“Paman Thung, tidak lekas pergi menunggu apa lagi?”
Suma Han berseru dan tangan kanannya bergerak. Terdengar bunyi bercuitan dan sinar putih yang amat halus menyambar ke arah kedua lengan dan seluruh jalan darah bagian depan tubuh wanita berkerudung.
Wanita itu tidak menjadi gugup, bahkan tidak mengelak, melainkan memutar pisaunya di depan tubuh sedangkan tangan kirinya dengan jari terbuka menyambar ke depan. Akan tetapi wanita itu tampak tercengang dan marah ketika melihat bahwa yang ditangkisnya itu hanyalah segumpal rambut yang membuyar dan ketika ia menoleh ke arah Kakek Thung Sik Lun, ternyata kakek itu telah lenyap!
Kiranya Suma Han tadi menggunakan segenggam rambutnya yang ia putus dengan tangan dipakai menyerang Ketua Thian-liong-pang, akan tetapi hanya serangan pancingan saja karena begitu wanita itu bergerak menangkis, ia mendorongkan tangan kanannya kearah tubuh pembantunya, yang terlempar dan bergulingan, terus meloncat ke dekat ketuanya sambil berlutut!
Kini semua orang yang menyaksikan terbelalak dan kagum bukan main. Segumpal rambut dapat dipergunakan seperti jarum-jarum rahasia, dan dorongan tangan dalam jarak begitu jauh sudah berhasil membebaskan kakek kurus dari penodongan Ketua Thian-liong-pang.
“Pulanglah kalian dan cari Si Bengal!”
Kata Pendekar Siluman kepada dua pembantunya. Yap Sun dan Thung Sik Lun mengangguk dan keduanya meloncat lalu lari pergi dari tempat itu, sedangkan Suma Han dengan sikap acuh tak acuh meloncat naik ke punggung garuda putih!
“Haiii! Pendekar Siluman! Sudah lama aku mendengar nama besarmu, mengapa tidak minum arak dulu denganku untuk belajar kenal?” Tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berseru. “Kalau begitu, terimalah suguhan arak dari kok-su kerajaan!”
Tangan kanan koksu ini yang sudah mengeluarkan guci arak, menggoyang tangan dan arak merah muncrat dari dalam guci, cepat sekali sehingga membentuk sinar merah yang melebar seperti payung menyiram ke arah Suma Han dan garudanya.
Jarak antara koksu itu dengan Pendekar Siluman cukup jauh, maka perbuatan ini cukup membuktikan betapa saktinya kok-su itu dan betapa kuatnya tenaga sin-kang yang ia pergunakan!
Suma Han hanya menoleh, tanpa mengubah duduknya di punggung garuda, akan tetapi tangan kanannya dengan jari terbuka membuat gerakan dorongan memutar ke depan. Hawa dingin menyambar dari tangan itu, terasa oleh mereka yang berdiri tidak begitu jauh dan.... terdengar suara berkelotokan ketika butir-butir arak itu runtuh semua ke bawah dan telah membeku! Itulah pukulan dengan tenaga inti Swat-im Sin-ciang yang sudah mencapai puncaknya sehingga pukulan ini dapat membuat benda cair membeku menjadi butiran-butiran es!
“Pendekar Siluman, mau lari ke mana engkau?”
Pangcu dari Thian-liong-pang, wanita berkerudung itu, berseru marah dan kedua tangannya sudah bergerak cepat.
“Cet-cet-cet-cet....!”
Tiga belas batang pisau belati yang entah dikeluarkan sejak kapan dan dari mana, tahu-tahu beterbangan seperti kilat-kilat menyambar ke arah Suma Han. Semua menuju ke tubuh Pendekar Siluman dan tidak sebatang pun yang mengancam tubuh garuda! Hal ini membuktikan betapa wanita itu merupakan seorang ahli melempar senjata rahasia.
Suma Han menggerakkan tongkatnya dengan sembarangan dan.... ketiga belas batang pisau itu seolah-olah tertarik oleh besi magnit dan kesemuanya melayang menuju ke tongkat di tangan Suma Han dan menancap semua di tongkat itu, berjajar-jajar rapi.
“Aku tidak sempat main-main dengan kalian!”
Terdengar Suma Han berkata, tongkatnya digerakkan dan tiga belas batang pisau itu melayang ke arah pemiliknya secara berbareng dan menjadi satu seolah-olah terikat sehingga merupakan senjata berat yang besar, akan tetapi dengan pukulan sin-kang Ketua Thian-liong-pang itu membuat sekumpulan pisaunya menancap di atas tanah depan kakinya, seolah-olah berlutut memberi hormat kepadanya!
Sepasang mata bening di balik lubang kerudung itu berapi-api ketika wanita itu melihat garuda putih sudah mulai terbang, kelepak sayapnya terdengar keras dan angin pukulan sayap membuat debu beterbangan!
Tiba-tiba terdengar pekik keras dari rombongan Pulau Neraka dan tampak seorang laki-laki tinggi besar yang matanya berwarna hijau pupus seperti tubuhnya, rambutnya kotor riap-riapan mukanya bengis, meloncat ke depan dan tangannya melontarkan sebuah benda panjang berwarna hitam ke atas, ke arah burung garuda yang belum terbang tinggi. Benda panjang itu menyambar cepat dan tahu-tahu telah membelit kedua kaki burung garuda tadi.
Betapa kaget hati semua orang ketika melihat benda itu adalah seekor ular yang panjang, berwarna hitam dan berbisa, yaitu semacam ular sendok (khobra) yang mendesis-desis dan siap menggigit tubuh garuda! Melihat Pendekar Siluman tetap diam saja seperti tidak tahu, semua orang berkhawatir.
Akan tetapi garuda itu mengeluarkan suara melengking tinggi, kepalanya bergerak cepat dan tahu-tahu leher ular itu telah dipatuknya! Garuda itu tidak terus terbang ke atas, bahkan dengan kecepatan luar biasa menukik ke bawah, ke arah laki-laki muka hijau pupus tadi, kedua kakinya yang berbentuk cakar berkuku tajam dan runcing melengkung itu bergerak menyerang!
Laki-laki itu tidak takut, sudah mencabut sebatang pedang hitam dan membabat ke arah kedua kaki garuda. Garuda itu ternyata hebat sekali, dia memapaki pedang dengan cakar kiri dan mencengkeram pedang itu.
“Krekkk!”
Pedang itu patah-patah menjadi tiga potong dan dilempar ke bawah. Sebelum laki-laki anggauta Pulau Neraka itu sempat mengelak tahu-tahu sehelai benda hitam telah melibat lehernya dan ketika garuda itu terbang ke atas, tubuh laki-laki itu tergantung dan ternyata lehernya telah dibelit tubuh ularnya sendiri yang masih hidup dan yang lehernya dijepit paruh garuda yang amat kuat.
Semua orang menjadi ngeri dan mengikuti sampai ke atas tebing. Mereka melihat garuda itu melepas ular dan laki-laki tadi sehingga tubuhnya meluncur ke bawah, jatuh ke dalam air muara di mana air sungai bertemu dengan air laut.
“Celaka....! Air pusaran maut!”
Terdengar suara dari gerombolan anak buah Pulau Neraka. Semua orang memandang dan terbelalak melihat betapa laki-laki bermuka hijau pupus itu meronta-ronta dan berusaha berenang mengatasi pusaran air. Namun tenaga pusaran air yang disebut pusaran maut dan yang amat dikenal para nelayan karena merupakan tempat yang tidak mungkin dapat dilalui dan yang mendatangkan maut mengerikan, amatlah kuatnya sehingga usaha manusia ini sama sekali tidak ada artinya.
Tubuhnya dibawa berputar, makin lama makin cepat dan akhirnya tubuh itu hancur lebur dihempaskan pada batu-batu di bawah tebing, karena pusarannya makin lama makin melebar!
Semua orang menghela napas penuh kengerian dan burung garuda itu kini sudah terbang jauh, hanya tampak sebagai sebuah titik putih yang makin menghilang. Wanita berkerudung mengeluarkan dengusan pendek, lalu bertepuk tangan. Dari atas tebing, melayang seorang wanita yang usianya kurang lebih tiga puluh tahun, masih cantik jelita dan gerakannya tangkas.
“Tidak ada gunanya lagi aku di sini, kau wakili aku hadapi tikus-tikus ini.”
Katanya dan sekali berkelebat tubuhnya sudah melayang naik ke tebing dari mana dia tadi melayang turun, kelihatannya marah dan penasaran sekali.
“Haiiii! Pangcu dari Thian-liong-pang! Mari kita main-main sebentar!”
Koksu berseru, suaranya mengguntur seolah-olah menyusul tubuh yang melayang naik itu. Tubuh itu kini sudah lenyap di tebing tinggi, akan tetapi dari tempat tinggi itu terdengar suara merdu.
“Seperti juga Pendekar Siluman saya tidak ada waktu untuk main-main dengan Koksu!”
Kemudian sunyi senyap, hanya tinggal mereka yang berada di situ menahan napas, kemudian menarik napas panjang penuh kekaguman. Majikan Pulau Es dan Ketua Thian liong-pang sungguh merupakan manusia luar biasa, seperti iblis! Mereka merasa menyesal mengapa tidak mendapat kesempatan menyaksikan dua orang itu bertanding silat! Kalau keduanya saling mengadu kepandaian, atau menghadapi koksu yang sakti itu, tentulah mereka akan menyaksikan pertandingan-pertandingan yang amat luar biasa!
Ketika melihat semua orang termangu-mangu, tiba-tiba Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tertawa bergelak.
“Cu-wi sekalian adalah orang-orang gagah dari segala penjuru dunia! Setelah kini berkumpul di sini bukankah bermaksud untuk mengadu kepandaian menentukan siapa yang akan menjagoi? Nah, lanjutkanlah. Pemerintah tidak akan menghalangi, bahkan akan ikut meramaikan. Kami sendiri tidak akan maju karena lawan-lawan yang seimbang telah pergi, akan tetapi pembantu-pembantu kami cukup kuat untuk ikut meramaikan pibu ini! Aku mengajukan pembantuku Bhe Ti Kong. Hayo, siapa di antara Cu-wi yang berani menghadapinya boleh maju, jangan khawatir, pertandingan melawan panglima kerajaan sekali ini tidak akan dianggap sebagai pemberontakan. Sekarang bukan jaman perang, dan ini adalah urusan pribadi di antara orang-orang yang menjunjung tinggi kegagahan. Bhe-goan-swe, majulah!” Dengan wajah berseri gembira Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun berkata kepada pembantunya.
Bhe Ti Kong adalah seorang jendral perang. Biarpun ia memiliki ilmu silat yang tinggi, namun sesungguhnya dia bukan berjiwa kang-ouw. Akan tetapi, sebagai seorang tentara, tentu saja dia selalu akan mentaati perintah atasan, maka setelah menyerahkan Bun Beng kepada seorang temannya, yaitu seorang di antara tiga panglima pengawal itu, ia lalu meloncat ke tengah lapangan dan mencabut senjatanya yang dahsyat, yaitu tombak gagang pendek yang bercabang, tajam dan runcing sekali.
Bun Beng yang tadi menyaksikan sepak terjang Pendekar Siluman, hatinya berdebar tegang. Betapa ia mengenal pendekar itu! Tiada bedanya dengan lima tahun yang lalu ketika pendekar itu menolong keluar kuil tua! Hatinya gembira sekali dan ingin tadi ia berteriak memanggil.
Akan tetapi, Panglima Bhe Ti Kong yang menyebalkan dan amat di-bencinya itu tadi selain mencengkeram pundaknya, juga membungkam mulutnya sehingga ia tidak mampu bergerak dan tidak mampu mengeluarkan suara pula. Betapa bencinya! Kini Pendekar Siluman itu telah pergi jauh, bahkan wanita berkerudung yang juga amat mengagumkan hatinya itu telah pergi pula!
Dan baru sekarang dia dilepaskan oleh Panglima Bhe yang hendak berlagak dalam pertandingan! Hem, ia mencela dan diam-diam memaki. Baru sekarang berlagak! Coba tadi melawan Pendekar Siluman! Atau Si Wanita berkerudung, kalau memang gagah! Akan tetapi, hatinya lega juga setelah kini ia dioperkan kepada panglima lain yang berperut gendut itu.
Biarpun panglima ini masih memegangi lengannya, namun tidak dicengkeram seperti Panglima Bhe tadi. Agaknya panglima yang gendut ini memandang rendah kepada Bun Beng maka pegangannya tidaklah erat benar karena dianggapnya bocah sekecil itu bisa apakah? Pula, ia amat tertarik untuk menyaksikan rekannya memasuki pibu, hal yang belum pernah terjadi di antara para panglima pengawal!
Tiba-tiba dari rombongan Pulau Neraka meloncat keluar seorang laki-laki tinggi besar yang bermuka biru muda! Melihat warna mukanya yang agak terang menandakan bahwa seperti juga orang yang mukanya berwarna hijau pupus tadi, yang ini tentu tingkatnya juga sudah cukup tinggi.
Dan agaknya kini para tokoh Pulau Neraka yang semenjak tadi belum maju, menjadi penasaran. Apalagi melihat seorang anggauta mereka tewas dalam keadaan begitu mengerikan. Mereka marah sekali, akan tetapi yang membunuh teman mereka adalah burung garuda putih tunggangan Pendekar Siluman yang sekarang sudah terbang pergi sehingga mereka tidak dapat menumpahkan kemarahan hati mereka.
Agaknya kemarahan itu akan dilampiaskan dalam pibu ini. Apalagi koksu tadi sudah mengatakan bahwa pibu ini merupakan pertandingan perorangan, andaikata tidak demikian pun, mana orang-orang Pulau Neraka akan menjadi takut. Pulau Neraka tidak pernah takut terhadap pemerintah atau siapapun juga!
Laki-laki tinggi besar bermuka biru muda itu telah mencabut pedang dengan tangan kiri, mukanya yang buruk dengan kumis pendek tanpa jenggot kelihatan muram dan kejam. Rambutnya yang riap-riapan itu diikat dengan sehelai tali putih. Kulitnya, dari muka sampai ke tangannya, bahkan matanya berwarna biru muda, amat menyeramkan.
“Aku Pok Sit dari Pulau Neraka akan melawanmu, Ciangkun!”
Katanya dan tanpa menanti jawaban orang Pulau Neraka ini sudah menerjang dengan pedangnya yang amat panjang. Gerakannya kuat dan cepat, juga aneh sekali berbeda dengan ilmu pedang biasa. Panglima Bhe Ti Kong cepat menangkis dengan senjata tombak pendeknya.
“Cringggg....!”
Bunga api berhamburan ketika dua senjata itu bertemu dan keduanya merasa telapak tangan mereka panas. Tahulah mereka bahwa tenaga mereka seimbang, maka ini keduanya serang-menyerang dengan hebatnya.
Bun Beng menonton, akan tetapi pikirannya melayang-layang teringat kepada Pendekar Siluman dan wanita berkerudung yang mengaku sebagai Ketua Thian-liong-pang. Kemudian ia teringat betapa ketua aneh itu tadi menyebut nama ayahnya berjuluk Kang-thouw-kwi Si Setan Botak. Botak seperti Koksu.
Dan pukulan hebat dari Pulau Es tadi dikatakan oleh wanita berkerudung sebagai ilmu ayahnya, diajarkan oleh Pendekar Siluman kepada utusannya. Kalau begitu ada hubungan antara ayahnya dan Pendekar Siluman. Dan setidaknya, tentu ayahnya bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti pula. Itulah agaknya mengapa dulu ia dijadikan rebutan! Agaknya ayahnya itu dikenal dan dihormati orang-orang Thian-liong-pang dan orang-orang Pulau Neraka yang hendak memeliharanya!
Ketika ia melihat ke arah pertandingan, ternyata bahwa orang yang dibencinya, Panglima Bhe Ti Kong, terdesak oleh ilmu pedang yang amat aneh dari lawannya. Akan tetapi tiba-tiba koksu mengeluarkan ucapan-ucapan dan sungguh mengherankan, gerakan panglima itu berubah dan kini keadaannya berbalik.
Si Muka Biru Muda itu terdesak oleh senjata tombak pendek! Mengertilah Bun Beng yang sudah memiliki dasar ilmu silat tinggi bahwa koksu itu bermain curang, memberi nasihat kepada pembantunya dalam bahasa yang tidak dimengerti orang lain.
Perasaan marah membuat Bun Beng mencari akal untuk melepaskan diri. Ia teringat akan ilmunya Sia-kun-hoat, maka ia segera menggerakkan ilmu ini secara diam-diam, kemudian menggunakan kesempatan selagi perwira gendut yang memegangnya bergembira dan tertarik menyaksikan rekannya mendesak lawan, ia cepat merenggutkan dirinya terlepas dari pegangan panglima gendut.
“Heiii....! Pergi ke mana....?”
Panglima gendut terkejut, akan tetapi Bun Beng sudah meloncat pergi dengan lincahnya. Rasa bencinya yang mendalam terhadap Panglima Bhe Ti Kong yang telah ikut membunuh suhunya, membuat Bun Beng pada saat itu tidak memikirkan hal lain kecuali membantu lawan si panglima yang makin mendesak hebat dengan tombak pendeknya.
Para pembunuh suhunya adalah empat orang yang lihai bukan main. Apalagi koksu dan dua orang pendeta Lama itu, mereka adalah tiga orang sakti. Mana mungkin ia dapat membalaskan kematian Suhunya?
Akan tetapi, Bhe Ti Kong merupakan orang ke empat yang tidak sesakti tiga kakek itu, apalagi sekarang menghadapi lawan tangguh. Kalau tidak sekarang dia turun tangan membalas kematian suhunya, menunggu sampai kapan?
Hanya inilah yang memenuhi pikiran Bun Beng, maka begitu ia berhasil membebaskan diri dari pegangan Si Panglima gendut dengan ilmu melepaskan dan melemaskan tulang dan otot, ia segera meloncat dan menyerang dari atas ke arah kepala Bhe Ti Kong yang sedang mendesak Si Muka Biru Muda dari Pulau Neraka!
“Manusia curang! Rasakan pembalasanku!”
Bun Beng membentak sambil meloncat dan menubruk seperti seekor anak harimau yang tidak mengenal takut. Memang hatinya marah sekali, bukan hanya karena kematian suhunya yang dikeroyok secara curang, juga menyaksikan betapa Panglima Bhe Ti Kong ini sekarang dapat mendesak lawan karena dibantu oleh koksu.
Dan memang sebenarnyalah dugaan Bun Beng ini. Ketika tadi melihat anak buahnya itu terdesak, oleh tokoh Pulau Neraka yang bermuka biru muda, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi jengkel dan juga khawatir sekali. Kekalahan panglima kerajaan berarti sebuah pukulan bagi kedudukannya dan akan membikin dia malu.
Dia tidak menyalahkan Bhe Ti Kong yang terdesak lawan karena memang orang Pulau Neraka itu memiliki ilmu pedang yang aneh sekali gerakannya. Maka koksu yang sakti ini cepat memperhatikan gerakan orang itu, mempelajari dasar dan intinya, kemudian ia memberi nasihat kepada Bhe Ti Kong dengan bahasa daerah Mancu dan begitu Bhe Ti Kong mentaati nasihat ini, benar saja, ia dapat mendesak lawan dengan tombaknya.
Serangan seorang bocah berusia sepuluh tahun tentu saja tidak akan ada artinya bagi seorang lihai macam Bhe Ti Kong. Akan tetapi karena Bun Beng melakukan penyerangan selagi dia menghadapi seorang lawan yang amat tangguh, hal itu amat berbahaya. Apalagi karena bocah itu pun bukan sembarangan bocah, melainkan seorang anak yang telah bertahun digembleng oleh seorang tokoh sakti Siauw-lim-pai! Sedikit saja dia mengalihkan perhatian kepada Bun Beng, tentu dia terancam maut di ujung pedang Si Muka Biru Muda.
Akan tetapi Bhe Ti Kong adalah seorang yang sudah banyak mengalami pertempuran dahsyat, maka dia tidak menjadi gugup. Dengan gerakan cepat ia menyerang lawan dari bawah sambil merendahkan tubuh dan mengelak dari sambaran tangan-tangan kecil dari atas yang memukul ke arah kepalanya.
Serangan Bun Beng mengenai tempat kosong dan tubuh anak itu terpaksa melayang turun di belakang Bhe Ti Kong. Panglima ini berhasil mendesak lawan dengan serangannya tadi, kini cepat memutar kaki menendang ke belakang. Namun Bun Beng sudah siap menghadapi tendangan ini maka cepat anak itu dapat menghindarkan diri dengan lompatan ke kanan.
Biarpun hanya membagi perhatian sedikit saja, hal itu sudah merugikan Bhe Ti Kong karena tiba-tiba sinar terang menyambar bergulung-gulung dan pedang lawan sudah membuat dia kini terdesak hebat. Bhe Ti Kong hanya dapat memutar tombak di depan dadanya untuk melindungi tubuh dan terpaksa ia membiarkan tubuh bagian belakangnya kosong tidak terjaga.
Bun Beng menggunakan kesempatan itu, cepat ia menubruk dari belakang dan mengerahkan seluruh tenaganya menghantam lambung Bhe Ti Kong.
“Bocah setan! Jangan mencampuri pertandinganku!”
Tiba-tiba orang Pulau Neraka bermuka biru muda itu membentak, pedangnya berkelebat dan tahu-tahu Bun Beng merasa tubuhnya terangkat ke atas! Kiranya punggung bajunya telah di tusuk pedang Si Muka Biru dan kini ia diangkat ke atas.
“Lepaskan, aku tidak mencampuri, aku hanya ingin membalas kematian Suhu!”
Ia meronta-ronta dan pada saat itu, Bhe Ti Kong yang melihat kesempatan baik sekali telah mengirim tendangan ke arah perut Si Muka Biru. Orang Pulau Neraka itu ternyata lihai sekali. Biarpun pedangnya kini tak dapat ia pergunakan, ia masih sempat melangkahkan kaki kanannya ke belakang dan miringkan tubuh sehingga tendangan Bhe Ti Kong luput. Dengan marah Bhe Ti Kong yang sudah siap dengan tombak pendeknya itu menyusul serangannya dengan tusukan bertubi-tubi.
Si Muka Biru terkejut dan mundur-mundur, kemudian sekali ia menggerakan pedang, tubuh Bun Beng terlempar jauh, melayang sampai sepuluh meter jauhnya. Namun, gerakannya ini membuat ia kurang cepat mengelak dan sebuah tusukan tombak di tangan Bhe Ti Kong sempat menyerempet lambung kirinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar