FB

FB


Ads

Senin, 22 Desember 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 070

Pucatlah wajah Sin Kiat. Tanpa mempedulikan kemarahan Han Han, ia menubruk maju dan memegang lengan pemuda buntung itu.

“Han Han....!” Ia menjerit, suaranya gemetar. “Lekas katakan, di mana dia? Di mana sumoi....? Dia sendiri yang memaksa hendak menyusulmu, karena mengkhawatirkan keadaanmu. Han Han, di mana sumoi?”

Mendengar suara Sin Kiat menjerit-jerit ini, Sin Lian yang menangis di depan kuburan ayahnya menjadi terkejut, menengok dan cepat ia menghampiri mereka karena ia melihat Han Han berdiri seperti orang marah dan Sin Kiat menjerit-jerit seperti orang gila.

“Ada apakah? Han Han, apa yang terjadi?”

Suara Sin Lian ini mengusir kemarahan di hati Han Han. Ia menghela napas panjang, menundukkan muka sehingga air mata yang memenuhi pelupuk mata itu menetes jatuh satu-satu.

“Soan Li.... dia.... dia telah tewas....!”

“Sumoi....!” Sin Kiat memekik keras. Matanya melotot, mukanya pucat seperti mayat dan tangannya mencengkeram lengan Han Han. “Apa....! Sumoiku.... mati? Han Han, bagaimana? Siapa yang membunuhnya?”

Han Han menjatuhkan diri lagi duduk di atas rumput. Sin Lian juga duduk di atas tanah, mukanya makin berduka. Sin Kiat duduk dan mengangkat kedua lutut, menunjang kedua siku dengan lututnya dan menutupi mukanya mendengarkan penuturan Han Han yang menceritakan semua peristiwa itu dengan suara gemetar.

Setelah habis cerita Han Han, Sin Kiat masih menutupi mukanya. Perlahan-lahan dari celah-celah jari tangannya keluar beberapa tetes air mata. Dadanya bergelombang, diseling sedu. Hancur hati Sin Kiat. Teringat ia akan wajah sumoinya yang menengok dan tersenyum ketika hendak meninggalkannya. Senyum manis di antara linangan air mata duka!

“Aduh, sumoi....! Ah, dia seperti adikku sendiri.... ahhh, bagaimana aku harus bertanggung jawab terhadap suhu, terhadap.... keluarga tunangannya....?”

Tiba-tiba Han Han menggerakkan kepala, menoleh memandang Sin Kiat.
“Tunangannya?”

Sin Kiat yang maklum akan isi hati sumoinya, dan dapat menduga bahwa Han Han yang kelihatan demikian berduka dan menyesal atas kematian sumoinya agaknya juga sudah tahu akan perasaan cinta Soan Li terhadapnya, tanpa menoleh kepada Han Han berkata lirih.

“Ya tunangannya. Beberapa tahun yang lalu, atas kehendak suhu, sumoi telah ditunangkan dengan putera sahabat suhu, seorang siucai she Tan yang tinggal di Nan-king.”

Han Han menghela napas panjang.
“Dan dia mati berkorban untukku....” Ia berbisik lirih. “Betapa mulia hatinya.... dan betapa besar dosaku....!”

Sin Lian melirik dan melihat betapa wajah Han Han muram daripada biasanya, betapa wajah yang menarik itu makin bertambah guratannya. Ia merasa kasihan dan teringatlah ia akan pernyataan Lulu bahwa banyak wanita yang jatuh cinta kepada Han Han. Kini mengertilah ia dan biarpun tidak ada yang bicara di saat itu, Sin Lian dapat menduga apa yang telah terjadi di dalam hati Soan Li. Tentu dara jelita murid Im-yang Seng-cu itu diam-diam jatuh cinta kepada Han Han, akan tetapi karena merasa bahwa dia telah terikat jodoh dengan orang lain, maka Soan Li menahan diri. Betapapun juga, cinta kasihnya membuat gadis itu nekat hendak menyusul Han Han untuk melindunginya dan akhirnya mengorbankan nyawa sendiri.

“Kasihan Adik Soan Li....!” Sin Lian berkata dan menyentuh lengan Han Han, berkata, “Han Han, sudahlah, tak perlu kita terlalu berduka karena kematian orang-orang yang kita sayang. Ayahku tewas, juga Soan Li tewas sebagai orang-orang gagah, tewas dalam pelaksanaan tugas. Perlu apa harus berduka? Tidak, Han Han. Sebenarnya, menurut patut, kita malah harus bangga bahwa mereka tewas sebagai orang-orang gagah, dan sudah menjadi kewajiban kita untuk melanjutkan cita-cita dan kegagahan mereka. Kita harus melanjutkan perjuangan mendiang Soan Li, menentang penjajah Mancu sampai detik hidup terakhir!”






Mendengar ucapan gadis perkasa ini, hati Han Han dan Sin Kiat kagum bukan main. Gadis ini baru saja kematian ayahnya, satu-satunya orang di dunia ini yang menjadi keluarganya dan mereka dapat mengerti betapa duka hati Sin Lian. Namun gadis itu masih mampu menghibur mereka berdua, dua orang pria yang semestinya lebih kuat hatinya!

“Nona Lauw benar-benar mengagumkan sekali dan apa yang diucapkannya tak dapat disangkal kebenarannya! Hidup atau mati bukanlah urusan manusia, bagi manusia yang paling tepat hanya menjaga agar hidup atau mati sebagai manusia-manusia yang membela kebenaran dan keadilan! Han Han, marilah engkau ikut bersamaku ke Se-cuan. Agaknya tinggal di sanalah satu-satunya tempat di mana kita dapat menyumbangkan tenaga menentang penjajah sampai berhasil atau hancur!”

“Aku.... aku harus mencari Lulu....”

Suara Han Han masih tidak bersemangat. Memang Han Han masih merasa tertekan oleh runtutan peristiwa yang amat menyedihkan hatinya. Urusan Kim Cu, gadis yang berkorban demi cinta kasihnya terhadap dirinya merupakan urusan yang amat menindih hatinya dan yang takkan pernah dapat ia lupakan, yang membuat ia merasa berdosa, merasa menjadi penyebab hancurnya kebahagiaan hidup seorang gadis semulia Kim Cu.

Kemudian ditambah lagi dengan lenyapnya Lulu yang amat membingungkan dan menggelisahkan hatinya, lalu kekecewaan karena belum juga ia berhasil membunuh seorang pun di antara tujuh orang musuh besar keluarganya.

Kini peristiwa yang menimpa diri Soan Li dan menyebabkan dara itu tewas, tewas di depan matanya sendiri, sebagai pengorbanan dalam usaha gadis itu yang hendak menyelamatkannya. Ia merasa berduka sekali, bertubi-tubi perasaan hatinya mengalami hantaman yang berat, membuat ia kehilangan semangat, merasa seperti hanyut dalam arus yang penuh kesengsaraan, membuat ia kehilangan pegangan dan dalam keadaan seperti itu, dia harus cepat bertemu Lulu. Hanya adiknya itulah tempat ia berpegang dalam arus penuh kesengsaraan ini, hanya adiknya Lulu itulah yang akan dapat menghiburnya, yang akan dapat mengembalikan semangatnya.

“Aku harus mencari adikku Lulu....” katanya lagi penuh rindu.

“Han Han, aku pun ingin sekali bertemu dengan adikku itu. Aku pun akan mencarinya. Bahkan aku akan mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan, dan aku akan berusaha mencari Lulu untuk kemudian kuajak mereka semua ke Se¬cuan,” kata Sin Lian.

“Aku pun akan membantumu mencari adikmu itu, Han Han. Akan tetapi, mengingat bahwa adikmu pun tentu sedang mencari-carimu seperti yang ia katakan kepada Nona Sin Lian, apakah tidak mungkin kalau dia itupun pergi mencarimu ke Se-cuan, mengira bahwa engkau berada di sana? Lebih baik kita berangkat ke Se-cuan sambil mendengar-dengar dan mencari-cari.”

Han Han mengangguk-angguk.
“Pendapatmu benar juga, dan aku pun memang harus pergi ke Se-cuan karena urusan pribadi.”

Ia teringat akan penuturan Sie Leng encinya bahwa sebagian besar musuh-musuhnya berada di Se-cuan, yaitu memimpin bala tentara yang ditugaskan mengurung dan menggempur Se-cuan.

“Memang demikian lebih baik,” kata Sin Lian. “Kalian berdua berangkatlah lebih dulu ke Se-cuan, sedangkan aku sendiri akan mengumpulkan sisa teman-teman dan sekalian mencari Lulu di bagian timur. Kalau bertemu, tentu akan kuajak menyusul ke barat.”

Setelah mereka melakukan penghormatan terakhir di depan kuburan Lauw-pangcu, Sin Lian lalu meninggalkan dua orang pemuda itu untuk mengumpulkan sisa teman-teman seperjuangan yang pada malam itu sebagian besar terbasmi oleh tentara Mancu.

Adapun Han Han atas desakan Sin Kiat mengantar temannya ini berkunjung ke makam Soan Li di mana Sin Kiat berkabung dan Han Han juga tak dapat menahan runtuhnya air matanya.

“Han Han, ketahuilah, hanya kepada aku seorang mendiang sumoi membuka rahasia hatinya bahwa dia mencintamu.”

Han Han menghela napas.
“Sin Kiat, kalau engkau tahu bahwa dia sudah ditunangkan dengan laki-laki lain, mengapa engkau tidak menegurnya?”

“Sudah kutegur, akan tetapi akhirnya aku harus membela dia. Dia ditunangkan dengan Tan-siucai atas kehendak suhu, bahkan dia belum pernah bertemu dengan tunangannya itu. Kalau dia bertemu denganmu dan jatuh cinta, salahkah itu? Karena itu, aku mewakili mendiang sumoiku untuk bertanya terus terang kepadamu, Han Han. Adakah engkau mencinta sumoi?”

Han Han menundukkan mukanya dan menggeleng kepala.
“Manusia cacad macam aku ini bagaimana berani menjatuhkan kasih sayang kepada seorang wanita, Sin Kiat? Tidak, semenjak kakiku buntung, aku tidak lagi berani membiarkan hatiku menjatuhkan cinta kepada seorang wanita karena aku maklum bahwa tidak ada seorang pun wanita di dunia ini dapat hidup bahagia di samping seorang suami cacad memalukan seperti aku. Tidak, aku tidak berani dan tidak dapat mencinta seorang gadis murni cantik dan perkasa seperti sumoimu itu....”

Sin Kiat menarik napas panjang. Di dalam hatinya pemuda ini dapat mengerti akan sikap rendah hati Han Han ini, sikap yang mungkin timbul karena peristiwa yang menyedihkan di samping buntungnya kaki pemuda ini. Ia pun tidak mau menyinggung-nyinggung lagi akan hal itu, namun diam-diam timbul rasa khawatir di hatinya karena sebagai seorang pemuda yang berpandangan tajam, Sin Kiat dapat menduga bahwa Sin Lian pun seperti adiknya, jatuh cinta kepada pemuda kaki buntung yang mengagumkan ini.

**** 70 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar