Ketika terdengar berita bahwa badai salju sudah mereda, mulailah dusun Lhagat mengalami kesibukan-kesibukan. Mereka yang menamakan dirinya pelancong-pelancong dan pedagang-pedagang mulai berkemas karena mereka sudah harus menanti sampai beberapa hari lamanya, tertunda perjalanan mereka karena adanya badai salju itu. Kini, badai salju telah berlalu atau setidaknya mereda. Hal ini ditandai dengan mereda dan kecilnya angin dingin yang bertiup keras dalam beberapa hari ini melalui Lhagat, dari arah selatan dan barat.
Rombongan Lauw-piauwsu yang mengantarkan barang-barang kawalan sampai ke perbatasan Nepal telah kembali dengan selamat ke Lhagat. Tugas mereka telah selesai. Dua orang piauwsu yang luka-luka oleh dua orang perampok Eng-jiauw-pang itu pun sudah-sembuh kembali. Oleh karena itu, Lauw-piauwsu juga ikut berkemas dan setelah membuat persiapan yang cukup lengkap, membekali setiap anggauta rombongan dengan baju-baju bulu yang amat tebal karena mereka akan melalui daerah yang dingin dan di liputi salju, berangkatlah rombongan ini.
Anak buah Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi karena Lauw-piauwsu telah berjanji kepada mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan Siauw Goat mencari orang tuanya, maka Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya untuk membantunya mengawal anak perempuan itu melakukan perjalanan yang amat sukar ini.
Selain untuk membalas budi Kakek Kun yang telah menyelamatkan para piauwsu dari serangan perampok Eng-jiauw-pang, juga Lauw-piauwsu telah menerima sebutir batu permata yang amat mahal harganya, dan memang kalau benda itu diuangkan, maka jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membayar biaya pengawalan yang bagaimana sukar dan jauh sekalipun!
Lauw-piauwsu membelikan baju bulu yang mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan diapun tadinya hendak membeli tandu untuk Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena teringat kepada wanita-wanita naik tandu yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak keras,
“Lauw-pek aku bukan orang lumpuh, dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku tidak sudi naik tandu seperti penderita cacad, atau seperti.... seperti.... pengantin!”
Semua piauwsu tertawa mendengar penolakan ini dan demikianlah, ketika rombongan itu berangkat, Siauw Goat ikut berjalan bersama mereka.
Anak perempuan ini, seperti mungkin semua anak remaja di seluruh dunia ini, merasa gembira sekali begitu melakukan perjalanan ke alam bebas itu. Kegembiraannya muncul kembali dan dia kadang-kadang mendahului rombongan, kadang-kadang agak ketinggalan karena dia mengagumi pemandangan alam yang amat indah di sepanjang perjalanan. Lauw-piauwsu menjadi sibuk mengikutinya terus karena piauwsu ini tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang dikawalnya itu.
Jalan pendakian pada gunung pertama yang puncaknya tertutup salju itu mulai ramai dengan orang-orang yang juga melakukan pendakian. Orang-orang kang-ouw yang berpakaian macam-macam dan yang hanya dikenal oleh Lauw-piauwsu dari sikap, sinar mata dan gerak-gerik mereka yang gesit, mulai melakukan perjalanan cepat seolah-olah mereka berlumba dalam mengejar sesuatu.
Sering kali ada rombongan yang mendahului rombongan Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya itu. Lauw-piauwsu serombongan tidak hendak mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa dan biarpun Lauw-piauwsu juga mendengar tentang pedang pusaka yang lenyap dari istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan pencurinya ke daerah Himalaya ini, namun dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperoleh pedang pusaka itu.
Setelah melakukan perjalanan setengah hari lebih, rombongan piauwsu yang mengawal Siauw Goat ini tiba di lereng gunung. Hawa semakin dingin dan mulai banyak terdapat salju. Sisa-sisa badai salju masih nampak jelas. Banyak pohon yang tidak berdaun lagi tumbang, ada bagian di mana salju menumpuk seperti bukit, ada pula bagian yang bercelah seperti jurang. Semuanya ini dibuat oleh badai yang mengamuk selama berhari-hari itu.
Menjelang senja, rombongan ini melihat seorang pengemis atau orang yang berpakaian pengemis rebah dan tidur begitu saja di atas tanah tertutup salju, dengan pakaian tipis yang sudah robek di sana-sini pula! Dapat dibayangkan dinginnya! Sedangkan Siauw Goat yang sudah memakai baju bulu tebal saja masih merasa dingin, apalagi harus tidur di atas salju dengan pakaian tipis. Bisa beku kiranya!
Orang itu mungkin gila, atau sudah sekarat? Semenjak pertemuannya dengan pengemis tua Koai-tung Sin-kai, terdapat perasaan kurang senang dalam hati Siauw Goat terhadap orang yang memakai pakaian rombeng seperti pengemis.
“Jembel lagi! Menjemukan!” Tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suara bernada kesal.
“Ssttt, Siauw Goat....!”
Lauw-piauwsu menegur dengan alis berkerut. Ketua piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan dia dapat menduga bahwa pengemis yang tidur begitu saja dengan pakaian tipis di atas salju tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai pula. Mendengar teguran ini, Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi tidak membantah dan diam saja.
Pengemis itu menggeliat lalu terbangun agaknya, menoleh. Rombongan itu melihat bahwa wajah pengemis itu masih muda dan mereka terkejut melihat sepasang mata yang mencorong amat tajamnya. Akan tetapi wajah muda itu penuh kumis dan jenggot yang tidak terpelihara, muka yang hitam terbakar matahari dan sepasang mata yang mencorong itu kadang-kadang menjadi liar dan mulut di balik kumis dan jenggot lebat itu tersenyum-senyum aneh.
Semua ini membuat Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya karena dia melihat tanda-tanda bahwa pengemis muda ini menderita penyakit gila, atau setidaknya agak miring otaknya! Setelah mengeluarkan suara tertawa ditahan seperti orang merasa geli, pengemis muda itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari naik mendaki lereng itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak lalu menghilang.
“Ihh, dia seperti iblis saja!” kata Siauw Goat.
“Siauw Goat, lain kali harap engkau suka menahan diri dan jangan terlalu sembrono. Ingat, di sini banyak terdapat tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan lihai, sekali kita kesalahan bicara dapat menimbulkan hal-hal yang hebat,” kata Lauw Sek menegur Siauw Goat.
“Ah, Lauw-pek, aku pun melihat orangnya sebelum bicara. Dia itu hanya seorang jembel lagi, tidak urung dia pun tentu jahat seperti jembel tua itu. Atau setidaknya, dia itu bukan orang baik-baik. Apakah Pek-pek tidak melihat mukanya yang menyeramkan seperti iblis itu? Dan matanya, ihhh....“
Rombongan Lauw-piauwsu yang mengantarkan barang-barang kawalan sampai ke perbatasan Nepal telah kembali dengan selamat ke Lhagat. Tugas mereka telah selesai. Dua orang piauwsu yang luka-luka oleh dua orang perampok Eng-jiauw-pang itu pun sudah-sembuh kembali. Oleh karena itu, Lauw-piauwsu juga ikut berkemas dan setelah membuat persiapan yang cukup lengkap, membekali setiap anggauta rombongan dengan baju-baju bulu yang amat tebal karena mereka akan melalui daerah yang dingin dan di liputi salju, berangkatlah rombongan ini.
Anak buah Pek-i-piauw-kiok itu sebetulnya sudah harus kembali ke Ceng-tu, akan tetapi karena Lauw-piauwsu telah berjanji kepada mendiang Kakek Kun untuk mengantarkan Siauw Goat mencari orang tuanya, maka Lauw-piauwsu mengerahkan anak buahnya untuk membantunya mengawal anak perempuan itu melakukan perjalanan yang amat sukar ini.
Selain untuk membalas budi Kakek Kun yang telah menyelamatkan para piauwsu dari serangan perampok Eng-jiauw-pang, juga Lauw-piauwsu telah menerima sebutir batu permata yang amat mahal harganya, dan memang kalau benda itu diuangkan, maka jumlahnya sudah lebih dari cukup untuk membayar biaya pengawalan yang bagaimana sukar dan jauh sekalipun!
Lauw-piauwsu membelikan baju bulu yang mahal dan tebal untuk Siauw Goat, dan diapun tadinya hendak membeli tandu untuk Siauw Goat. Akan tetapi mungkin karena teringat kepada wanita-wanita naik tandu yang dibencinya itu, Siauw Goat menolak keras,
“Lauw-pek aku bukan orang lumpuh, dan aku masih kuat berjalan sendiri. Aku tidak sudi naik tandu seperti penderita cacad, atau seperti.... seperti.... pengantin!”
Semua piauwsu tertawa mendengar penolakan ini dan demikianlah, ketika rombongan itu berangkat, Siauw Goat ikut berjalan bersama mereka.
Anak perempuan ini, seperti mungkin semua anak remaja di seluruh dunia ini, merasa gembira sekali begitu melakukan perjalanan ke alam bebas itu. Kegembiraannya muncul kembali dan dia kadang-kadang mendahului rombongan, kadang-kadang agak ketinggalan karena dia mengagumi pemandangan alam yang amat indah di sepanjang perjalanan. Lauw-piauwsu menjadi sibuk mengikutinya terus karena piauwsu ini tidak ingin kalau sampai terjadi sesuatu kepada gadis cilik yang dikawalnya itu.
Jalan pendakian pada gunung pertama yang puncaknya tertutup salju itu mulai ramai dengan orang-orang yang juga melakukan pendakian. Orang-orang kang-ouw yang berpakaian macam-macam dan yang hanya dikenal oleh Lauw-piauwsu dari sikap, sinar mata dan gerak-gerik mereka yang gesit, mulai melakukan perjalanan cepat seolah-olah mereka berlumba dalam mengejar sesuatu.
Sering kali ada rombongan yang mendahului rombongan Lauw-piauwsu yang berjalan seenaknya itu. Lauw-piauwsu serombongan tidak hendak mencari apa-apa, tidak tergesa-gesa dan biarpun Lauw-piauwsu juga mendengar tentang pedang pusaka yang lenyap dari istana kerajaan dan yang kabarnya dilarikan pencurinya ke daerah Himalaya ini, namun dia sama sekali tidak mempunyai keinginan untuk memperoleh pedang pusaka itu.
Setelah melakukan perjalanan setengah hari lebih, rombongan piauwsu yang mengawal Siauw Goat ini tiba di lereng gunung. Hawa semakin dingin dan mulai banyak terdapat salju. Sisa-sisa badai salju masih nampak jelas. Banyak pohon yang tidak berdaun lagi tumbang, ada bagian di mana salju menumpuk seperti bukit, ada pula bagian yang bercelah seperti jurang. Semuanya ini dibuat oleh badai yang mengamuk selama berhari-hari itu.
Menjelang senja, rombongan ini melihat seorang pengemis atau orang yang berpakaian pengemis rebah dan tidur begitu saja di atas tanah tertutup salju, dengan pakaian tipis yang sudah robek di sana-sini pula! Dapat dibayangkan dinginnya! Sedangkan Siauw Goat yang sudah memakai baju bulu tebal saja masih merasa dingin, apalagi harus tidur di atas salju dengan pakaian tipis. Bisa beku kiranya!
Orang itu mungkin gila, atau sudah sekarat? Semenjak pertemuannya dengan pengemis tua Koai-tung Sin-kai, terdapat perasaan kurang senang dalam hati Siauw Goat terhadap orang yang memakai pakaian rombeng seperti pengemis.
“Jembel lagi! Menjemukan!” Tiba-tiba Siauw Goat berkata dengan suara bernada kesal.
“Ssttt, Siauw Goat....!”
Lauw-piauwsu menegur dengan alis berkerut. Ketua piauwkiok ini maklum bahwa di tempat itu banyak terdapat orang-orang kang-ouw dan dia dapat menduga bahwa pengemis yang tidur begitu saja dengan pakaian tipis di atas salju tentulah seorang tokoh kang-ouw yang lihai pula. Mendengar teguran ini, Siauw Goat hanya cemberut akan tetapi tidak membantah dan diam saja.
Pengemis itu menggeliat lalu terbangun agaknya, menoleh. Rombongan itu melihat bahwa wajah pengemis itu masih muda dan mereka terkejut melihat sepasang mata yang mencorong amat tajamnya. Akan tetapi wajah muda itu penuh kumis dan jenggot yang tidak terpelihara, muka yang hitam terbakar matahari dan sepasang mata yang mencorong itu kadang-kadang menjadi liar dan mulut di balik kumis dan jenggot lebat itu tersenyum-senyum aneh.
Semua ini membuat Lauw-piauwsu mengerutkan alisnya karena dia melihat tanda-tanda bahwa pengemis muda ini menderita penyakit gila, atau setidaknya agak miring otaknya! Setelah mengeluarkan suara tertawa ditahan seperti orang merasa geli, pengemis muda itu lalu membalikkan tubuhnya dan berlari naik mendaki lereng itu, menyusup di antara pohon-pohon dan semak-semak lalu menghilang.
“Ihh, dia seperti iblis saja!” kata Siauw Goat.
“Siauw Goat, lain kali harap engkau suka menahan diri dan jangan terlalu sembrono. Ingat, di sini banyak terdapat tokoh-tokoh kang-ouw yang aneh dan lihai, sekali kita kesalahan bicara dapat menimbulkan hal-hal yang hebat,” kata Lauw Sek menegur Siauw Goat.
“Ah, Lauw-pek, aku pun melihat orangnya sebelum bicara. Dia itu hanya seorang jembel lagi, tidak urung dia pun tentu jahat seperti jembel tua itu. Atau setidaknya, dia itu bukan orang baik-baik. Apakah Pek-pek tidak melihat mukanya yang menyeramkan seperti iblis itu? Dan matanya, ihhh....“
Terpaksa Lauw-piauwsu tidak membantah lagi. Dia tahu bahwa watak anak perempuan ini keras dan pemberani bukan main, dan kalau dia mempergunakan sikap keras, mungkin akan menjadi makin berabe keadaannya.
“Mari kita melanjutkan cepat-cepat. Sebelum matahari kehilangan sinarnya di balik puncak itu, kita harus sudah tiba di balik puncak, melalui lereng dengan jalan memutar. Di sana ada daerah berbatu di mana terdapat banyak guha untuk tempat bermalam dan berlindung dari salju.”
Mereka melanjutkan pendakian dan kadang-kadang mereka masih disusul oleh rombongan lain, bahkan juga menyusul rombongan lain yang sedang melepas lelah di tepi jalan. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, dan pengemis gila tadi pun tidak nampak lagi.
Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Lauw Sek, sebelum gelap mereka tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha. Akan tetapi ternyata banyak juga orang yang sudah berada di situ. Untung tempat itu luas sekali sehingga tidak sukar bagi rombongan piauwsu ini untuk menemukan sebuah guha kosong yang cukup besar untuk menampung mereka semua.
“Ihh, engkau lagi di sini!” Tiba-tiba Siauw Goat berseru dengan nada suara marah.
Kiranya ketika mereka memasuki guha, Siauw Goat yang masuk lebih dulu itu melihat ada sesosok tubuh manusia rebah di sudut guha dan ketika dia mendekati untuk melihat lebih jelas karena cuaca sudah remang-remang, ternyata yang tidur di situ adalah Si Pengemis muda tadi!
Pengemis itu menggosok-gosok kedua matanya, seolah-olah baru bangun tidur nyenyak dan diam-diam Lauw Sek terkejut dan merasa heran. Pengemis itu kelihatan lemah, bahkan tidak memakai pakaian tebal, akan tetapi ternyata dapat bergerak cepat sekali sehingga mereka yang juga melakukan perjalanan cepat itu kalah jauh dan pengemis itu agaknya sudah lama tidur di situ ketika mereka tiba!
“Siauw Goat, tempat ini cukup lebar, jangan ganggu orang!” Lauw Sek memperingatkan gadis cilik itu.
Akan tetapi Siauw Goat melihat mata yang mencorong itu bermain-main, kadang-kadang dipejamkan yang kanan kadang-kadang yang kiri, dan mulut di balik kumis itu seperti mentertawakan, maka dia menjadi semakin gemas.
“Eh, jembel busuk, apakah engkau teman si Koai-tung Sin-kai? Kalau kau temannya, akan kuhajar! Kalau bukan, lekas kau keluar dari guha ini karena engkau menjemukan dan menjijikkan!”
Semua piauwsu terkejut mendengar ini. Gadis cilik itu sudah keterlaluan menghina orang. Lauw Sek sendiri sudah menjadi pucat mukanya. Akan tetapi pengemis itu seolah-olah tidak mendengar maki-makian Siauw Goat, hanya tersenyum-senyum. Sikapnya seperti orang yang tidak perduli atau memandang rendah. Dia duduk sambil menggaruk-garuk lehernya.
Lauw Sek memegang tangan Siauw Goat dan ditariknya mundur menjauhi pengemis itu. Kemudian para piauwsu itu mengeluarkan roti kering dan air minum. Mereka makan dengan diam saja, kadang-kadang mata mereka mengerling ke arah pengemis muda yang duduk membelakangi mereka di sudut guha.
Tiba-tiba pengemis itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di dalam guha itu, amat menyeramkan seolah-olah di sebelah dalam dari guha itu terdapat iblis-iblis yang ikut tertawa bersamanya. Kemudian pengemis itu bernyanyi! Suaranya parau dan kasar, kata-katanya tidak karuan!
“Cinta itu gila gagah itu lemah pintar itu tolol! Mulut semanis-manisnya membohong sebesar-besarnya tapi sampai mati aku tidak bisa lupa....!”
Suara nyanyian itu pun bergema di dalam guha seperti para iblis ikut pula bernyanyi, lalu pengemis itu tertawa-tawa lagi. Akan tetapi suara ketawanya yang bergelak itu mendadak berhenti, seperti jangkerik terpijak dan suasana menjadi hening sekali, hening menyeramkan. Lalu terdengar isak perlahan-lahan. Pengemis itu menangis!
Para piauwsu saling pandang. Jelaslah bahwa memang pengemis itu gila!
“Celaka, bermalam dengan orang gila!” Siauw Goat mengomel dan Lauw Sek menyentuh tangannya, menyuruhnya diam.
Seorang piauwsu yang merasa kasihan lalu bangkit dan menghampiri pengemis itu, memberinya sepotong besar roti kering.
“Sobat kau terimalah roti ini dan makanlah bersama kami.” katanya.
Pengemis itu menengok, menyeringai, menerima roti itu, menciumnya beberapa kali, terkekeh dan kemudian dia membuang roti itu seperti orang merasa jijik! Dan dia lalu mengomel tanpa menoleh, masih menghadap ke dinding batu, seolah-olah dia mengomel kepada dinding itu.
“Memberi roti berisi racun! Mulut manis menyembunyikan hati yang pahit. Huh, manusia adalah mahluk palsu, jahat dan keji, mahluk paling kotor di dunia ini, ha-ha-ha....!”
Piauwsu yang tadi memberi roti masih berdiri di belakang pengemis itu. Tentu saja dia menjadi marah bukan main. Dia memberi roti karena terdorong oleh rasa kasihan kepada pengemis muda ini, akan tetapi pemberiannya itu dibuang, bahkan disertai ucapan yang seolah-olah mengejek bahwa pemberiannya itu adalah palsu, roti itu beracun! Apalagi peristiwa itu terjadi di depan kawan-kawannya. Dia merasa terhina dan marah, maka dia ingin menakut-nakuti pengemis itu. Dicabut goloknya yang besar dan tajam berkilauan itu.
“Jembel gila!” bentaknya. “Engkau ditolong malah balas menghina orang! Engkau menjemukan. Hayo keluar dari guha ini dan jangan mengganggu kami, kalau tidak, akan kupotong daun telingamu!”
Untuk menakut-nakuti, piauwsu itu menempelkan goloknya ke dekat telinga orang! Lauw-piauwsu memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia tahu bahwa anak buahnya itu hanya menggertak saja, dan memang sebaiknya kalau pengemis itu keluar dari dalam guha dan mencari tempat bermalam lain karena dengan adanya pengemis gila itu memang membuat hati menjadi tidak enak. Pula, melihat betapa pengemis gila itu menghina pemberiannya dengan membuang roti, menandakan bahwa dibalik kegilaannya, memang ada watak tidak baik pada Si Pengemis.
Pengemis itu perlahan-lahan bangkit berdiri, seperti orang ketakutan memandang kearah golok yang menempel di telinganya, kini dia memutar tubuh menghadapi piauwsu yang masih menodongnya dengan golok. Piauwsu itu bersikap garang untuk menakut-nakuti, dan pengemis muda itu juga mundur-mundur sampai dekat dengan mulut guha.
“Hayo keluar, pergi dari sini!” kembali piauwsu itu membentak.
Tiba-tiba tangan kiri pengemis itu bergerak dan tahu-tahu dia telah menangkap dan menggenggam golok itu! Si Piauwsu terkejut dan khawatir sekali. Goloknya amat tajam dan pengemis itu tentu akan melukai tangannya sendiri. Dia tidak berani menarik goloknya yang dicengkeram karena takut kalau-kalau goloknya akan membikin putus tangan pengemis itu. Akan tetapi, segera terjadi hal yang membuat semua orang terbelalak.
“Krakkk....!”
Tangan itu mencengkeram dan golok itu menjadi patah-patah dalam cengkeraman tangan kiri pengemis muda itu. Dengan suara ketawa tertahan, pengemis itu lalu melemparkan pecahan golok, menepuk-nepuk tangan seolah-olah hendak membersihkan telapak tangannya dari debu kotor, kemudian melangkah lebar keluar dari guha dan tak lama kemudian terdengar suara tangisnya, sesenggukan yang makin lama makin jauh sampai tidak terdengar lagi.
Semua orang, termasuk Siauw Goat dan Lauw-piauwsu, masih tertegun menahan napas seperti patung tidak bergerak. Mereka terlampau heran dan kagum. Peristiwa yang terjadi itu seolah-olah merupakan mimpi atau dongeng yang sukar dipercaya.
Golok piauwsu itu terdiri dari baja yang baik, hal ini diketahui benar oleh Lauw Sek. Juga amat tebal dan amat tajam. Bagaimana mungkin hanya sekali cengkeram saja golok itu patah-patah, bahkan pecah-pecah seolah-olah golok itu hanya sehelai daun kering saja? Piauwsu pemilik golok itu sendiri masih berdiri dengan muka pucat dan matanya terbelalak memandang sisa goloknya yang masih dipegangnya, yaitu tinggal gagang dan sedikit sisa golok yang sudah buntung!
“Ahhh.... kiranya dia.... seorang manusia sakti....” terdengar Lauw Sek akhirnya berkata dengan suara agak gemetar. “Mulai sekarang kita harus berhati-hati, jangan sekali-kali mengganggu orang....”
Biarpun pengemis gila itu sudah pergi, suasana menjadi menyeramkan setelah terjadinya peristiwa itu. Lauw Sek menduga-duga siapa gerangan pengemis gila itu! Dia banyak mengenal orang-orang kang-ouw, akan tetapi belum pernah dia mendengar tentang pengemis ini. Seorang pengemis yang dia lihat masih muda, belum ada tiga puluh tahun usianya, dan dia belum pernah mendengar di dunia kang-ouw seorang tokoh pengemis yang memiliki kepandaian sehebat itu.
Tentu saja Lauw Sek tidak mengenal pengemis itu karena sebenarnya orang gila itu bukan tokoh pengemis, bukan seorang tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Pakaiannya seperti pengemis karena memang dia tidak mempedulikan pakaiannya sehingga compang-camping seperti pakaian pengemis. Akan tetapi dia tidak pernah mengemis! Kalau orang gila itu menyebutkan nama julukannya sebelum dia berkeadaan seperti sekarang ini, tentu Lauw-piauwsu dan para anak buahnya akan mengenalnya. Pengemis muda itu sesungguhnya berjuluk Si Jari Maut!
Para pembaca cerita KISAH JODOH RAJAWALI yang sudah mengenal Si Jari Maut tentu tidak akan merasa heran lagi kalau dengan sekali cengkeram saja dia telah mampu mematahkan golok! Pengemis ini adalah Ang Tek Hoat atau Si Jari Maut yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di dalam KISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI diceritakan bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang calon mantu Raja Bhutan, mengapa kini dia menjadi seorang pengemis gila yang terlunta-lunta seperti itu?
Pemuda gagah perkasa ini memang bernasib buruk. Dinamakan nasib sebagai hiburan saja, padahal segala sesuatu terjadi sebagai akibat daripada perbuatannya sendiri. Ketika masih amat muda, Ang Tek Hoat melakukan banyak penyelewengan, melakukan banyak kejahatan. Oleh karena itu, perbuatannya sendiri inilah yang menyeret dia ke dalam keadaan yang amat sengsara.
Dia saling mencinta dengan Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal Raja Bhutan, akan tetapl ikatan jodoh yang akhirnya disetujui pula oleh Raja Bhutan itu selalu gagal dan kedua orang muda yang saling mencinta itu selalu terpisah oleh berbagai persoalan yang timbul. Yang terakhir sekali, Puteri Syanti Dewi pergi dari Bhutan dan tidak pernah kembali lagi. Padahal, Ang Tek Hoat yang telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Bhutan dari pemberontakan, telah diangkat menjadi panglima muda oleh Raja Bhutan dan pertunangannya dengan Sang Puteri telah disahkan oleh Sang Raja!
Biarpun dia menikmati kehidupan mulia dan terhormat di Kerajaan Bhutan, namun Tek Hoat menderita karena puteri yang dicintanya itu tidak berada di sampingnya. Oleh karena itu, dia tidak mau tinggal berenang dalam lautan kemewahan di Bhutan, sebaliknya dia lalu pergi dan merantau untuk mencari kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya. Bertahun-tahun dia merantau dan dia tidak pernah berhasil menemukan Sang Puteri dan akhirnya, kekecewaan dan kedukaan membuat dia menjadi terganggu jiwanya dan membuat dia menjadi seperti seorang pengemis gila!
Dan agaknya, biarpun pikirannya sudah terganggu, dalam kegilaannya itu Tek Hoat mendengar pula akan peristiwa yang akan menggegerkan dunia kang-ouw dan yang membuat banyak tokoh-tokoh kang-ouw berbondong-bondong pergi ke Pegunungan Himalaya. Dan dia pun terseret oleh arus ini dan pergi ke Pegunungan Himalaya, sungguhpun selama bertahun-tahun dan sampai saat itu yang menjadi tujuan semua perjalanannya hanya satu, yaitu mencari Puteri Syanti Dewi!
Tentu saja sekali mencengkeram Tek Hoat mampu mematahkan golok piauwsu itu karena pemuda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia pernah mendapat gemblengan dari Sai-cu Lo-mo dan mewarisi ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun. Kemudian sekali, yang membuat dia menjadi sedemikian lihainya adalah karena dia mewarisi kitab-kitab dari dua orang datuk Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Dari kitab-kitab ini dia dapat menghimpun tenaga sakti yang dinamakan Tenaga Inti Bumi, dan semua ini dimatangkan oleh pengalaman-pengalamannya menghadapi banyak sekali pertempuran melawan orang-orang pandai. Kini usianya sudah sekitar dua puluh delapan tahun, akan tetapi keadaan hidupnya menjadi sedemikian rusak sehingga tidak ada orang yang mengenalnya kecuali sebagai seorang pengemis muda yang gila!
Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa di dalam guha besar yang dijadikan tempat bermalam para piauwsu. Hati mereka merasa lega dan pada keesokan harinya mereka keluar dari guha untuk melanjutkan perjalanan, setelah cuaca tidak begitu gelap lagi tanda bahwa matahari telah naik tinggi.
Akan tetapi matahari tidak nampak, hanya sinarnya saja yang membuat cuaca tidak gelap. Hawa dingin sekali karena kabut memenuhi udara. Mereka hendak menuju ke Gunung Kongmaa La karena menurut pesan Kakek Kun, di situlah kiranya orang tua Siauw Goat dapat ditemukan.
Ketika mereka melewati guha-guha yang kemarin sore penuh dengan orang-orang kang-ouw yang melakukan perjalanan dan mengaso di situ, ternyata guha-guha itu telah kosong semua, tanda bahwa mereka itu pagi-pagi benar telah melanjutkan perjalanan seperti orang tergesa-gesa.
Lauw-piauwsu maklum bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya mencari pedang pusaka yang hilang dan juga berlumba untuk mendapatkannya. Dia tidak peduli karena dia mempunyai tugas lain dan sama sekali tidak ingin untuk ikut berlumba memperebutkan. Oleh karena itu, dia memimpin rombongannya jalan seenaknya karena perjalanan mendaki itu amat sukar sehingga kalau tergesa-gesa akan cepat kehabisan tenaga.
Biarpun badai salju telah mereda, namun salju masih turun dan memenuhi permukaan bumi, menaburi batang-batang pohon tanpa daun sehingga menciptakan pohon-pohon putih. Seluruh permukaan bumi menjadi putih dan pemandangan amat luar biasa, seolah-olah dunia dilapisi dengan perak, membuat orang merasa seperti dalam dunia mimpi.
Lewat tengah hari mereka tiba di sebuah puncak bukit yang datar dan begitu mereka tiba di situ, mereka melihat bahwa di tempat itu sedang terjadi pertempuran yang amat hebat. Lauw Sek cepat menyuruh rombongannya berhenti dan mereka melihat dari jarak yang cukup jauh agar tidak terlibat dalam pertempuran itu.
“Ahh, bukankah mereka itu tosu-tosu dari Go-bi-pai?” tiba-tiba Lauw-piauwsu berkata lirih dengan nada suara khawatir.
“Benar, Lauw-twako, yang bersenjata rantai baja itu jelas adalah Liang Tosu tokoh Go-bi-pai!” sambung seorang piauwsu dan kini semua piauwsu merasa yakin bahwa lima orang tosu tua yang sedang bertempur melawan empat orang wanita itu adalah tosu-tosu Go-bi-pai.
Mereka tidak mengenal empat orang wanita yang amat lihai itu, maka tentu saja diam-diam mereka berpihak kepada para tosu Go-bi-pai yang mereka kenal sebagai tosu-tosu gagah perkasa yang menentang kejahatan. Kini para tosu itu tampak terdesak hebat oleh pedang-pedang yang dimainkan oleh empat orang wanita cantik itu.
Para wanita itu memang hebat sekali. Pedang di tangan mereka lenyap berobah menjadi gulungan sinar-sinar yang menyilaukan mata. Lima orang tosu Go-bi-pai itu melawan mati-matian dengan senjata mereka yang bermaca-macam, ada rantai baja, ada toya, ada pula yang menggunakan pedang.
Namun semua perlawanan mereka sia-sia belaka karena mereka terdesak dan terkurung oleh sinar-sinar pedang yang berkilauan itu. Akhirnya, dua orang di antara para tosu itu kelihatan terpental dan jatuh bergulingan. Tiga orang temannya lalu berloncatan ke belakang, menyambar tubuh dua orang kawan yang terluka dan larilah lima orang tosu itu dengan cepat menuruni puncak, tidak dikejar oleh empat orang wanita itu.
Tiba-tiba Siauw Goat berteriak.
“Itu adalah empat siluman rase yang jahat!”
Dan anak perempuan ini membawa busurnya lari cepat menuju ke arah empat orang wanita itu.
Melihat ini, Lauw-piauwsu cepat meloncat dan mengejar.
“Siauw Goat, kembali kau....!” bentaknya.
Empat orang wanita itu menoleh dan mereka segera mengenal Siauw Goat, anak perempuan yang pernah menghina dan memaki wanita baju hijau dari rombongan itu di depan rumah makan. Melihat ini, dan mendengar anak perempuan itu memaki mereka empat siluman rase jahat, wanita baju hijau itu terkejut dan marah bukan main. Bagaikan terbang cepatnya dia berlari menghampiri sambil membawa pedangnya.
“Bocah setan engkau mengantar nyawa!” teriaknya.
Melihat ini, Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Dia mempercepat larinya dan karena jarak antara dia lebih dekat dengan Siauw Goat dibandingkan dengan wanita baju hijau itu, biarpun baju hijau berlari seperti terbang cepatnya, maka dia lebih dulu dapat menyusul Siauw Goat.
Akan tetapi saat itu, Siauw Goat telah memasang dua batang anak panah dan melepaskan anak panah dari busurnya, dibidikkan ke arah wanita baju hijau tadi. Lauw Sek datang terlambat. Dia memegang lengan Siauw Goat akan tetapi dua batang anak panah itu telah meluncur ke arah wanita baju hijau yang menjadi semakin marah menghadapi serangan ini. Sekali memutar pedang, dua batang anak panah itu patah-patah dan runtuh, dan dia terus berlari menghampiri.
Akan tetapi Lauw Sek telah berdiri melindungi Siauw Goat dan wanita baju hijau itu berhenti menghadapinya dengan sinar mata tajam penuh kemarahan.
“Hayo kau serahkan budak itu, kalau tidak engkau pun akan kubunuh sekalian!” hardiknya.
Lauw Sek sudah maklum bahwa wanita itu lihai sekali, buktinya para tosu Go-bi-pai sendiri pun tidak mampu mengalahkan dia dan kawan-kawannya, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata.
“Toanio, harap sudi memaafkan keponakanku ini dengan memandang mukaku. Harap Toanio ketahui bahwa aku adalah Lauw Sek, pengawal Pek-i-piauw-kiok dari Ceng-tu dan....”
“Tidak peduli engkau pengawal nyawa dari neraka sekalipun, engkau harus menyerahkan bocah setan itu kepadaku kalau engkau ingin hidup lebih lama lagi!”
Lauw Sek mengerutkan alisnya. Wanita ini ternyata galak dan kejam, juga amat sombong, pikirnya. Akan tetapi dia bersikap tenang dan sabar sambil melirik ke arah anak buahnya yang sudah mendekati tempat itu. Betapapun juga, dia bersama anak buahnya berjumlah dua belas orang dan wanita itu hanya empat orang. Tentu enam belas orang pemanggul tandu itu tidak masuk hitungan, pikirnya.
“Toanio, aku bicara dengan baik-baik, harap Toanio suka menghabiskan urusan dengan seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa....“
“Cerewet!” Wanita baju hijau itu membentak, sama sekali tidak mempedulikan bahwa rombongan piauwsu yang berpakaian seragam putih itu kini sudah berada di depannya semua, seolah-olah dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka. “Berikan anak itu atau berikan nyawamu!”
“Terlalu!”
Membentak beberapa orang piauwsu dan Lauw Sek yang juga menjadi marah melihat sikap wanita itu, maklum bahwa tidak ada jalan damai. Maka dia pun lalu mendorong Siauw Goat ke belakang dan mencabut sepasang goloknya, melintangkan sepasang golok itu di depan dadanya.
“Toanio, engkau sungguh amat mendesak orang!”
“Peduli amat!”
Wanita baju hijau itu membentak dan dia sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Lauw Sek cepat menggerakkan sepasang goloknya menangkis.
“Tranggg....!”
Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Kedua tangannya yang memegang golok tergetar hebat ketika menangkis pedang itu dan pedang yang ditangkisnya itu tidak terpental melainkan terus meluncur ke arah lehernya! Untung dia cepat membuang tubuh ke belakang sehingga serangan dahsyat itu luput dan beberapa orang temannya sudah menerjang maju pula sehingga dalam waktu singkat wanita baju hijau itu sudah terkurung!
Akan tetapi, tiga orang wanita cantik lainnya telah datang seperti terbang cepatnya, masing-masing memegang sebatang pedang dan mereka itu menyerbu ke dalam pertempuran. Bukan main hebatnya gerakan mereka. Terutama wanita yang mengenakan baju berwarna kuning, yang tercantik di antara keempat wanita itu, pedangnya berkelebatan seperti kilat dan dalam beberapa gebrakan saja dua orang piauwsu telah terluka lengannya, mengucurkan darah sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan.
Lauw Sek terkejut dan dia cepat menerjang wanita baju kuning ini, disambut oleh wanita itu dengan senyum dingin dan begitu golok kirinya bertemu dengan pedang wanita itu, hampir saja goloknya terlepas dari pegangan karena tangannya tergetar hampir lumpuh!
Lauw Sek maklum bahwa wanita baju kuning ini ternyata yang paling lihai di antara mereka, maka dia pun cepat menyambitkan hui-to ke arah wanita itu. Biarpun sekaligus ia menyambitkan enam batang pisau terbang dari jarak dekat, namun sinar pedang wanita itu meruntuhkan semua hui-to itu dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat Lauw Sek terhuyung mundur.
Akan tetapi, betapa pun Lauw Sek dan anak buahnya melakukan perlawanan mati-matian, mereka dua belas orang laki-laki gagah perkasa ini ternyata sama sekali bukan lawan empat orang wanita cantik itu! Seorang demi seorang roboh, dan hebatnya, empat orang wanita itu sama sekali tidak mau memberi ampun, terus mengejar yang terluka dan mengirim tusukan maut sehingga mereka yang berjatuhan itu semua tewas oleh tusukan-tusukan pedang! Melihat ini, Lauw Sek menjadi gelisah sekali dan dia berteriak kepada Siauw Goat,
”Siauw Goat kau larilah.... cepat....!”
Lauw Sek sendiri dengan nekat bersama sisa teman-temannya menahan empat orang wanita itu. Siauw Goat adalah seorang anak yang cerdik. Biarpun dia pemberani, namun dia dapat melihat betapa sia-sianya melawan empat orang wanita yang lihai itu. Maka dia pun lalu melarikan diri dengan cepat sambil membuang busur dan anak panahnya yang tidak dapat dipergunakan lagi menghadapi empat orang wanita yang amat sakti itu.
Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat, dia berloncatan di atas salju dan sebentar saja sudah menghilang di balik tumpukan salju yang membukit. Akan tetapi, gerakannya ini dapat dilihat oleh wanita baju hijau dan dia cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan lari mengejar.
“Iblis cilik, mau lari ke mana kau?”
“Mari kita melanjutkan cepat-cepat. Sebelum matahari kehilangan sinarnya di balik puncak itu, kita harus sudah tiba di balik puncak, melalui lereng dengan jalan memutar. Di sana ada daerah berbatu di mana terdapat banyak guha untuk tempat bermalam dan berlindung dari salju.”
Mereka melanjutkan pendakian dan kadang-kadang mereka masih disusul oleh rombongan lain, bahkan juga menyusul rombongan lain yang sedang melepas lelah di tepi jalan. Akan tetapi tidak terjadi sesuatu, dan pengemis gila tadi pun tidak nampak lagi.
Tepat seperti apa yang dikatakan oleh Lauw Sek, sebelum gelap mereka tiba di lereng yang penuh dengan batu-batu besar dan guha-guha. Akan tetapi ternyata banyak juga orang yang sudah berada di situ. Untung tempat itu luas sekali sehingga tidak sukar bagi rombongan piauwsu ini untuk menemukan sebuah guha kosong yang cukup besar untuk menampung mereka semua.
“Ihh, engkau lagi di sini!” Tiba-tiba Siauw Goat berseru dengan nada suara marah.
Kiranya ketika mereka memasuki guha, Siauw Goat yang masuk lebih dulu itu melihat ada sesosok tubuh manusia rebah di sudut guha dan ketika dia mendekati untuk melihat lebih jelas karena cuaca sudah remang-remang, ternyata yang tidur di situ adalah Si Pengemis muda tadi!
Pengemis itu menggosok-gosok kedua matanya, seolah-olah baru bangun tidur nyenyak dan diam-diam Lauw Sek terkejut dan merasa heran. Pengemis itu kelihatan lemah, bahkan tidak memakai pakaian tebal, akan tetapi ternyata dapat bergerak cepat sekali sehingga mereka yang juga melakukan perjalanan cepat itu kalah jauh dan pengemis itu agaknya sudah lama tidur di situ ketika mereka tiba!
“Siauw Goat, tempat ini cukup lebar, jangan ganggu orang!” Lauw Sek memperingatkan gadis cilik itu.
Akan tetapi Siauw Goat melihat mata yang mencorong itu bermain-main, kadang-kadang dipejamkan yang kanan kadang-kadang yang kiri, dan mulut di balik kumis itu seperti mentertawakan, maka dia menjadi semakin gemas.
“Eh, jembel busuk, apakah engkau teman si Koai-tung Sin-kai? Kalau kau temannya, akan kuhajar! Kalau bukan, lekas kau keluar dari guha ini karena engkau menjemukan dan menjijikkan!”
Semua piauwsu terkejut mendengar ini. Gadis cilik itu sudah keterlaluan menghina orang. Lauw Sek sendiri sudah menjadi pucat mukanya. Akan tetapi pengemis itu seolah-olah tidak mendengar maki-makian Siauw Goat, hanya tersenyum-senyum. Sikapnya seperti orang yang tidak perduli atau memandang rendah. Dia duduk sambil menggaruk-garuk lehernya.
Lauw Sek memegang tangan Siauw Goat dan ditariknya mundur menjauhi pengemis itu. Kemudian para piauwsu itu mengeluarkan roti kering dan air minum. Mereka makan dengan diam saja, kadang-kadang mata mereka mengerling ke arah pengemis muda yang duduk membelakangi mereka di sudut guha.
Tiba-tiba pengemis itu tertawa bergelak, suara ketawanya bergema di dalam guha itu, amat menyeramkan seolah-olah di sebelah dalam dari guha itu terdapat iblis-iblis yang ikut tertawa bersamanya. Kemudian pengemis itu bernyanyi! Suaranya parau dan kasar, kata-katanya tidak karuan!
“Cinta itu gila gagah itu lemah pintar itu tolol! Mulut semanis-manisnya membohong sebesar-besarnya tapi sampai mati aku tidak bisa lupa....!”
Suara nyanyian itu pun bergema di dalam guha seperti para iblis ikut pula bernyanyi, lalu pengemis itu tertawa-tawa lagi. Akan tetapi suara ketawanya yang bergelak itu mendadak berhenti, seperti jangkerik terpijak dan suasana menjadi hening sekali, hening menyeramkan. Lalu terdengar isak perlahan-lahan. Pengemis itu menangis!
Para piauwsu saling pandang. Jelaslah bahwa memang pengemis itu gila!
“Celaka, bermalam dengan orang gila!” Siauw Goat mengomel dan Lauw Sek menyentuh tangannya, menyuruhnya diam.
Seorang piauwsu yang merasa kasihan lalu bangkit dan menghampiri pengemis itu, memberinya sepotong besar roti kering.
“Sobat kau terimalah roti ini dan makanlah bersama kami.” katanya.
Pengemis itu menengok, menyeringai, menerima roti itu, menciumnya beberapa kali, terkekeh dan kemudian dia membuang roti itu seperti orang merasa jijik! Dan dia lalu mengomel tanpa menoleh, masih menghadap ke dinding batu, seolah-olah dia mengomel kepada dinding itu.
“Memberi roti berisi racun! Mulut manis menyembunyikan hati yang pahit. Huh, manusia adalah mahluk palsu, jahat dan keji, mahluk paling kotor di dunia ini, ha-ha-ha....!”
Piauwsu yang tadi memberi roti masih berdiri di belakang pengemis itu. Tentu saja dia menjadi marah bukan main. Dia memberi roti karena terdorong oleh rasa kasihan kepada pengemis muda ini, akan tetapi pemberiannya itu dibuang, bahkan disertai ucapan yang seolah-olah mengejek bahwa pemberiannya itu adalah palsu, roti itu beracun! Apalagi peristiwa itu terjadi di depan kawan-kawannya. Dia merasa terhina dan marah, maka dia ingin menakut-nakuti pengemis itu. Dicabut goloknya yang besar dan tajam berkilauan itu.
“Jembel gila!” bentaknya. “Engkau ditolong malah balas menghina orang! Engkau menjemukan. Hayo keluar dari guha ini dan jangan mengganggu kami, kalau tidak, akan kupotong daun telingamu!”
Untuk menakut-nakuti, piauwsu itu menempelkan goloknya ke dekat telinga orang! Lauw-piauwsu memandang dengan alis berkerut, akan tetapi dia tahu bahwa anak buahnya itu hanya menggertak saja, dan memang sebaiknya kalau pengemis itu keluar dari dalam guha dan mencari tempat bermalam lain karena dengan adanya pengemis gila itu memang membuat hati menjadi tidak enak. Pula, melihat betapa pengemis gila itu menghina pemberiannya dengan membuang roti, menandakan bahwa dibalik kegilaannya, memang ada watak tidak baik pada Si Pengemis.
Pengemis itu perlahan-lahan bangkit berdiri, seperti orang ketakutan memandang kearah golok yang menempel di telinganya, kini dia memutar tubuh menghadapi piauwsu yang masih menodongnya dengan golok. Piauwsu itu bersikap garang untuk menakut-nakuti, dan pengemis muda itu juga mundur-mundur sampai dekat dengan mulut guha.
“Hayo keluar, pergi dari sini!” kembali piauwsu itu membentak.
Tiba-tiba tangan kiri pengemis itu bergerak dan tahu-tahu dia telah menangkap dan menggenggam golok itu! Si Piauwsu terkejut dan khawatir sekali. Goloknya amat tajam dan pengemis itu tentu akan melukai tangannya sendiri. Dia tidak berani menarik goloknya yang dicengkeram karena takut kalau-kalau goloknya akan membikin putus tangan pengemis itu. Akan tetapi, segera terjadi hal yang membuat semua orang terbelalak.
“Krakkk....!”
Tangan itu mencengkeram dan golok itu menjadi patah-patah dalam cengkeraman tangan kiri pengemis muda itu. Dengan suara ketawa tertahan, pengemis itu lalu melemparkan pecahan golok, menepuk-nepuk tangan seolah-olah hendak membersihkan telapak tangannya dari debu kotor, kemudian melangkah lebar keluar dari guha dan tak lama kemudian terdengar suara tangisnya, sesenggukan yang makin lama makin jauh sampai tidak terdengar lagi.
Semua orang, termasuk Siauw Goat dan Lauw-piauwsu, masih tertegun menahan napas seperti patung tidak bergerak. Mereka terlampau heran dan kagum. Peristiwa yang terjadi itu seolah-olah merupakan mimpi atau dongeng yang sukar dipercaya.
Golok piauwsu itu terdiri dari baja yang baik, hal ini diketahui benar oleh Lauw Sek. Juga amat tebal dan amat tajam. Bagaimana mungkin hanya sekali cengkeram saja golok itu patah-patah, bahkan pecah-pecah seolah-olah golok itu hanya sehelai daun kering saja? Piauwsu pemilik golok itu sendiri masih berdiri dengan muka pucat dan matanya terbelalak memandang sisa goloknya yang masih dipegangnya, yaitu tinggal gagang dan sedikit sisa golok yang sudah buntung!
“Ahhh.... kiranya dia.... seorang manusia sakti....” terdengar Lauw Sek akhirnya berkata dengan suara agak gemetar. “Mulai sekarang kita harus berhati-hati, jangan sekali-kali mengganggu orang....”
Biarpun pengemis gila itu sudah pergi, suasana menjadi menyeramkan setelah terjadinya peristiwa itu. Lauw Sek menduga-duga siapa gerangan pengemis gila itu! Dia banyak mengenal orang-orang kang-ouw, akan tetapi belum pernah dia mendengar tentang pengemis ini. Seorang pengemis yang dia lihat masih muda, belum ada tiga puluh tahun usianya, dan dia belum pernah mendengar di dunia kang-ouw seorang tokoh pengemis yang memiliki kepandaian sehebat itu.
Tentu saja Lauw Sek tidak mengenal pengemis itu karena sebenarnya orang gila itu bukan tokoh pengemis, bukan seorang tokoh kai-pang (perkumpulan pengemis) yang terkenal. Pakaiannya seperti pengemis karena memang dia tidak mempedulikan pakaiannya sehingga compang-camping seperti pakaian pengemis. Akan tetapi dia tidak pernah mengemis! Kalau orang gila itu menyebutkan nama julukannya sebelum dia berkeadaan seperti sekarang ini, tentu Lauw-piauwsu dan para anak buahnya akan mengenalnya. Pengemis muda itu sesungguhnya berjuluk Si Jari Maut!
Para pembaca cerita KISAH JODOH RAJAWALI yang sudah mengenal Si Jari Maut tentu tidak akan merasa heran lagi kalau dengan sekali cengkeram saja dia telah mampu mematahkan golok! Pengemis ini adalah Ang Tek Hoat atau Si Jari Maut yang memiliki ilmu kepandaian tinggi. Di dalam KISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI diceritakan bahwa Ang Tek Hoat adalah seorang calon mantu Raja Bhutan, mengapa kini dia menjadi seorang pengemis gila yang terlunta-lunta seperti itu?
Pemuda gagah perkasa ini memang bernasib buruk. Dinamakan nasib sebagai hiburan saja, padahal segala sesuatu terjadi sebagai akibat daripada perbuatannya sendiri. Ketika masih amat muda, Ang Tek Hoat melakukan banyak penyelewengan, melakukan banyak kejahatan. Oleh karena itu, perbuatannya sendiri inilah yang menyeret dia ke dalam keadaan yang amat sengsara.
Dia saling mencinta dengan Puteri Syanti Dewi, puteri tunggal Raja Bhutan, akan tetapl ikatan jodoh yang akhirnya disetujui pula oleh Raja Bhutan itu selalu gagal dan kedua orang muda yang saling mencinta itu selalu terpisah oleh berbagai persoalan yang timbul. Yang terakhir sekali, Puteri Syanti Dewi pergi dari Bhutan dan tidak pernah kembali lagi. Padahal, Ang Tek Hoat yang telah berjasa menyelamatkan Kerajaan Bhutan dari pemberontakan, telah diangkat menjadi panglima muda oleh Raja Bhutan dan pertunangannya dengan Sang Puteri telah disahkan oleh Sang Raja!
Biarpun dia menikmati kehidupan mulia dan terhormat di Kerajaan Bhutan, namun Tek Hoat menderita karena puteri yang dicintanya itu tidak berada di sampingnya. Oleh karena itu, dia tidak mau tinggal berenang dalam lautan kemewahan di Bhutan, sebaliknya dia lalu pergi dan merantau untuk mencari kekasihnya, yaitu Puteri Syanti Dewi yang amat dicintanya. Bertahun-tahun dia merantau dan dia tidak pernah berhasil menemukan Sang Puteri dan akhirnya, kekecewaan dan kedukaan membuat dia menjadi terganggu jiwanya dan membuat dia menjadi seperti seorang pengemis gila!
Dan agaknya, biarpun pikirannya sudah terganggu, dalam kegilaannya itu Tek Hoat mendengar pula akan peristiwa yang akan menggegerkan dunia kang-ouw dan yang membuat banyak tokoh-tokoh kang-ouw berbondong-bondong pergi ke Pegunungan Himalaya. Dan dia pun terseret oleh arus ini dan pergi ke Pegunungan Himalaya, sungguhpun selama bertahun-tahun dan sampai saat itu yang menjadi tujuan semua perjalanannya hanya satu, yaitu mencari Puteri Syanti Dewi!
Tentu saja sekali mencengkeram Tek Hoat mampu mematahkan golok piauwsu itu karena pemuda ini memang memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa. Dia pernah mendapat gemblengan dari Sai-cu Lo-mo dan mewarisi ilmu silat gabungan dari Pat-mo Sin-kun dan Pat-sian Sin-kun. Kemudian sekali, yang membuat dia menjadi sedemikian lihainya adalah karena dia mewarisi kitab-kitab dari dua orang datuk Pulau Neraka, yaitu Cui-beng Kui-ong dan Bu-tek Siauw-jin. Dari kitab-kitab ini dia dapat menghimpun tenaga sakti yang dinamakan Tenaga Inti Bumi, dan semua ini dimatangkan oleh pengalaman-pengalamannya menghadapi banyak sekali pertempuran melawan orang-orang pandai. Kini usianya sudah sekitar dua puluh delapan tahun, akan tetapi keadaan hidupnya menjadi sedemikian rusak sehingga tidak ada orang yang mengenalnya kecuali sebagai seorang pengemis muda yang gila!
Malam itu lewat tanpa ada peristiwa apa-apa di dalam guha besar yang dijadikan tempat bermalam para piauwsu. Hati mereka merasa lega dan pada keesokan harinya mereka keluar dari guha untuk melanjutkan perjalanan, setelah cuaca tidak begitu gelap lagi tanda bahwa matahari telah naik tinggi.
Akan tetapi matahari tidak nampak, hanya sinarnya saja yang membuat cuaca tidak gelap. Hawa dingin sekali karena kabut memenuhi udara. Mereka hendak menuju ke Gunung Kongmaa La karena menurut pesan Kakek Kun, di situlah kiranya orang tua Siauw Goat dapat ditemukan.
Ketika mereka melewati guha-guha yang kemarin sore penuh dengan orang-orang kang-ouw yang melakukan perjalanan dan mengaso di situ, ternyata guha-guha itu telah kosong semua, tanda bahwa mereka itu pagi-pagi benar telah melanjutkan perjalanan seperti orang tergesa-gesa.
Lauw-piauwsu maklum bahwa mereka itu adalah orang-orang kang-ouw yang agaknya mencari pedang pusaka yang hilang dan juga berlumba untuk mendapatkannya. Dia tidak peduli karena dia mempunyai tugas lain dan sama sekali tidak ingin untuk ikut berlumba memperebutkan. Oleh karena itu, dia memimpin rombongannya jalan seenaknya karena perjalanan mendaki itu amat sukar sehingga kalau tergesa-gesa akan cepat kehabisan tenaga.
Biarpun badai salju telah mereda, namun salju masih turun dan memenuhi permukaan bumi, menaburi batang-batang pohon tanpa daun sehingga menciptakan pohon-pohon putih. Seluruh permukaan bumi menjadi putih dan pemandangan amat luar biasa, seolah-olah dunia dilapisi dengan perak, membuat orang merasa seperti dalam dunia mimpi.
Lewat tengah hari mereka tiba di sebuah puncak bukit yang datar dan begitu mereka tiba di situ, mereka melihat bahwa di tempat itu sedang terjadi pertempuran yang amat hebat. Lauw Sek cepat menyuruh rombongannya berhenti dan mereka melihat dari jarak yang cukup jauh agar tidak terlibat dalam pertempuran itu.
“Ahh, bukankah mereka itu tosu-tosu dari Go-bi-pai?” tiba-tiba Lauw-piauwsu berkata lirih dengan nada suara khawatir.
“Benar, Lauw-twako, yang bersenjata rantai baja itu jelas adalah Liang Tosu tokoh Go-bi-pai!” sambung seorang piauwsu dan kini semua piauwsu merasa yakin bahwa lima orang tosu tua yang sedang bertempur melawan empat orang wanita itu adalah tosu-tosu Go-bi-pai.
Mereka tidak mengenal empat orang wanita yang amat lihai itu, maka tentu saja diam-diam mereka berpihak kepada para tosu Go-bi-pai yang mereka kenal sebagai tosu-tosu gagah perkasa yang menentang kejahatan. Kini para tosu itu tampak terdesak hebat oleh pedang-pedang yang dimainkan oleh empat orang wanita cantik itu.
Para wanita itu memang hebat sekali. Pedang di tangan mereka lenyap berobah menjadi gulungan sinar-sinar yang menyilaukan mata. Lima orang tosu Go-bi-pai itu melawan mati-matian dengan senjata mereka yang bermaca-macam, ada rantai baja, ada toya, ada pula yang menggunakan pedang.
Namun semua perlawanan mereka sia-sia belaka karena mereka terdesak dan terkurung oleh sinar-sinar pedang yang berkilauan itu. Akhirnya, dua orang di antara para tosu itu kelihatan terpental dan jatuh bergulingan. Tiga orang temannya lalu berloncatan ke belakang, menyambar tubuh dua orang kawan yang terluka dan larilah lima orang tosu itu dengan cepat menuruni puncak, tidak dikejar oleh empat orang wanita itu.
Tiba-tiba Siauw Goat berteriak.
“Itu adalah empat siluman rase yang jahat!”
Dan anak perempuan ini membawa busurnya lari cepat menuju ke arah empat orang wanita itu.
Melihat ini, Lauw-piauwsu cepat meloncat dan mengejar.
“Siauw Goat, kembali kau....!” bentaknya.
Empat orang wanita itu menoleh dan mereka segera mengenal Siauw Goat, anak perempuan yang pernah menghina dan memaki wanita baju hijau dari rombongan itu di depan rumah makan. Melihat ini, dan mendengar anak perempuan itu memaki mereka empat siluman rase jahat, wanita baju hijau itu terkejut dan marah bukan main. Bagaikan terbang cepatnya dia berlari menghampiri sambil membawa pedangnya.
“Bocah setan engkau mengantar nyawa!” teriaknya.
Melihat ini, Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Dia mempercepat larinya dan karena jarak antara dia lebih dekat dengan Siauw Goat dibandingkan dengan wanita baju hijau itu, biarpun baju hijau berlari seperti terbang cepatnya, maka dia lebih dulu dapat menyusul Siauw Goat.
Akan tetapi saat itu, Siauw Goat telah memasang dua batang anak panah dan melepaskan anak panah dari busurnya, dibidikkan ke arah wanita baju hijau tadi. Lauw Sek datang terlambat. Dia memegang lengan Siauw Goat akan tetapi dua batang anak panah itu telah meluncur ke arah wanita baju hijau yang menjadi semakin marah menghadapi serangan ini. Sekali memutar pedang, dua batang anak panah itu patah-patah dan runtuh, dan dia terus berlari menghampiri.
Akan tetapi Lauw Sek telah berdiri melindungi Siauw Goat dan wanita baju hijau itu berhenti menghadapinya dengan sinar mata tajam penuh kemarahan.
“Hayo kau serahkan budak itu, kalau tidak engkau pun akan kubunuh sekalian!” hardiknya.
Lauw Sek sudah maklum bahwa wanita itu lihai sekali, buktinya para tosu Go-bi-pai sendiri pun tidak mampu mengalahkan dia dan kawan-kawannya, maka dia cepat mengangkat kedua tangan memberi hormat sambil berkata.
“Toanio, harap sudi memaafkan keponakanku ini dengan memandang mukaku. Harap Toanio ketahui bahwa aku adalah Lauw Sek, pengawal Pek-i-piauw-kiok dari Ceng-tu dan....”
“Tidak peduli engkau pengawal nyawa dari neraka sekalipun, engkau harus menyerahkan bocah setan itu kepadaku kalau engkau ingin hidup lebih lama lagi!”
Lauw Sek mengerutkan alisnya. Wanita ini ternyata galak dan kejam, juga amat sombong, pikirnya. Akan tetapi dia bersikap tenang dan sabar sambil melirik ke arah anak buahnya yang sudah mendekati tempat itu. Betapapun juga, dia bersama anak buahnya berjumlah dua belas orang dan wanita itu hanya empat orang. Tentu enam belas orang pemanggul tandu itu tidak masuk hitungan, pikirnya.
“Toanio, aku bicara dengan baik-baik, harap Toanio suka menghabiskan urusan dengan seorang anak kecil yang belum tahu apa-apa....“
“Cerewet!” Wanita baju hijau itu membentak, sama sekali tidak mempedulikan bahwa rombongan piauwsu yang berpakaian seragam putih itu kini sudah berada di depannya semua, seolah-olah dia tidak memandang sebelah mata kepada mereka. “Berikan anak itu atau berikan nyawamu!”
“Terlalu!”
Membentak beberapa orang piauwsu dan Lauw Sek yang juga menjadi marah melihat sikap wanita itu, maklum bahwa tidak ada jalan damai. Maka dia pun lalu mendorong Siauw Goat ke belakang dan mencabut sepasang goloknya, melintangkan sepasang golok itu di depan dadanya.
“Toanio, engkau sungguh amat mendesak orang!”
“Peduli amat!”
Wanita baju hijau itu membentak dan dia sudah menggerakkan pedangnya menyerang. Lauw Sek cepat menggerakkan sepasang goloknya menangkis.
“Tranggg....!”
Lauw-piauwsu terkejut bukan main. Kedua tangannya yang memegang golok tergetar hebat ketika menangkis pedang itu dan pedang yang ditangkisnya itu tidak terpental melainkan terus meluncur ke arah lehernya! Untung dia cepat membuang tubuh ke belakang sehingga serangan dahsyat itu luput dan beberapa orang temannya sudah menerjang maju pula sehingga dalam waktu singkat wanita baju hijau itu sudah terkurung!
Akan tetapi, tiga orang wanita cantik lainnya telah datang seperti terbang cepatnya, masing-masing memegang sebatang pedang dan mereka itu menyerbu ke dalam pertempuran. Bukan main hebatnya gerakan mereka. Terutama wanita yang mengenakan baju berwarna kuning, yang tercantik di antara keempat wanita itu, pedangnya berkelebatan seperti kilat dan dalam beberapa gebrakan saja dua orang piauwsu telah terluka lengannya, mengucurkan darah sehingga senjata mereka terlepas dari pegangan.
Lauw Sek terkejut dan dia cepat menerjang wanita baju kuning ini, disambut oleh wanita itu dengan senyum dingin dan begitu golok kirinya bertemu dengan pedang wanita itu, hampir saja goloknya terlepas dari pegangan karena tangannya tergetar hampir lumpuh!
Lauw Sek maklum bahwa wanita baju kuning ini ternyata yang paling lihai di antara mereka, maka dia pun cepat menyambitkan hui-to ke arah wanita itu. Biarpun sekaligus ia menyambitkan enam batang pisau terbang dari jarak dekat, namun sinar pedang wanita itu meruntuhkan semua hui-to itu dan membalas dengan serangan-serangan dahsyat yang membuat Lauw Sek terhuyung mundur.
Akan tetapi, betapa pun Lauw Sek dan anak buahnya melakukan perlawanan mati-matian, mereka dua belas orang laki-laki gagah perkasa ini ternyata sama sekali bukan lawan empat orang wanita cantik itu! Seorang demi seorang roboh, dan hebatnya, empat orang wanita itu sama sekali tidak mau memberi ampun, terus mengejar yang terluka dan mengirim tusukan maut sehingga mereka yang berjatuhan itu semua tewas oleh tusukan-tusukan pedang! Melihat ini, Lauw Sek menjadi gelisah sekali dan dia berteriak kepada Siauw Goat,
”Siauw Goat kau larilah.... cepat....!”
Lauw Sek sendiri dengan nekat bersama sisa teman-temannya menahan empat orang wanita itu. Siauw Goat adalah seorang anak yang cerdik. Biarpun dia pemberani, namun dia dapat melihat betapa sia-sianya melawan empat orang wanita yang lihai itu. Maka dia pun lalu melarikan diri dengan cepat sambil membuang busur dan anak panahnya yang tidak dapat dipergunakan lagi menghadapi empat orang wanita yang amat sakti itu.
Tubuhnya ringan dan gerakannya cepat, dia berloncatan di atas salju dan sebentar saja sudah menghilang di balik tumpukan salju yang membukit. Akan tetapi, gerakannya ini dapat dilihat oleh wanita baju hijau dan dia cepat meninggalkan gelanggang pertempuran dan lari mengejar.
“Iblis cilik, mau lari ke mana kau?”