FB

FB


Ads

Selasa, 13 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 064

“Setan besar!” Ceng Liong balas memaki sambil tersenyum karena memang dia merasa geli melihat lagak orang di depannya itu. “Aku mau agar kalian membebaskan dua orang nona itu, kemudian engkau makan potongan-potongan pisaumu ini sampai habis, baru aku mau sudah!”

Tek Ciang terbelalak. Alangkah beraninya bocah ini! Wajahnya menjadi merah saking marahnya. Dia akan membuat anak ini menyesal tujuh turunan telah berani bersikap sedemikian kurang ajar kepadanya.

“Keparat kau!”

“Jahanam kau!”

Ceng Liong balas memaki, makin gembira melihat tingkah orang ini. Dia tahu orang ini marah besar, dan justeru inilah yang menggembirakan hatinya. Wataknya yang suka menggoda orang timbul.

“Eh, apakah bisamu hanya membikin susah wanita, melempar-lemparkan pisau dan maki-maki orang saja?”

Louw Tek Ciang yang biasanya pandai bicara, cerdik dan licik itu, kini saking marahnya kehabisan akal untuk balas mengejek dan memaki. Dia lalu mengerahkan tenaganya dan menghantam dengan tangan kanan terbuka ke arah Ceng Liong.

“Mampuslah!” bentaknya sambil mengerahkan tenaganya dalam pukulan itu.

Ceng Liong cepat mengelak dan kini matanya terbelalak.
“Wuuutt!”

Pukulan yang mengandung hawa panas sekali itu lewat di sampingnya dan kini Tek Ciang yang juga kaget melihat betapa anak itu dengan mudahnya dapat mengelak dan menghindarkan diri dari pukulannya, sudah menyusulkan pukulan ke dua yang lebih panas lagi. Dan kini Ceng Liong benar-benar terkejut. Dia mengenal pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang biarpun belum dikuasainya akan tetapi sudah amat dikenal teorinya itu.

Orang ini menyerangnya dengan Hwi-yang Sin-ciang! Karena dia maklum betapa berbahayanya pukulan ke dua ini dan sukar pula untuk dielakkan, terpaksa diapun mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menangkis pukulan dengan sambutan telapak tangannya pula.

“Desss....!”

Dua tenaga sin-kang yang kuat bertemu di udara dan akibatnya, keduanya terpental mundur sampai tiga langkah! Tentu saja Tek Ciang lebih kaget lagi. Tidak disangkanya bahwa pemuda remaja itu akan sanggup menahan pukulannya dengan tenaga yang demikian dahsyatnya. Baru terbuka matanya bahwa pemuda remaja yang disangkanya seorang yang usil dan lancang hendak mencampuri urusannya dan hendak mengganggu kesenangannya itu ternyata adalah seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi dan mampu menahan pukulan Hwi-yang Sin-ciang!

Sementara itu, kakek yang tadinya bersenang-senang mempermainkan gadis ke dua, kini juga memandang penuh perhatian dan diapun terkejut melihat kehebatan pemuda remaja itu. Tahulah dia bahwa ada bahaya mengancam. Siapa tahu pemuda remaja itu tidak datang sendiri saja dan masih ada kawannya yang lebih lihai di luar kuil. Maka Jai-hwa Siauw-ok segera melakukan tindakan pengamanan. Yang terpenting, dua korban itu harus dibunuh dulu agar tidak dapat menjadi saksi. Dia bangkit berdiri, tangannya bergerak cepat.
Terdengar suara mencicit seperti tikus terjepit dan ada sinar menyambar ke arah dua orang gadis itu yang sudah terlempar ke lantai. Dua orang gadis itu menjerit kecil dan tewas seketika karena mereka telah menjadi korban serangan Kiam-ci (Jari Pedang) yang dilakukan oleh Jai-hwa Siauw-ok. Setelah itu, Jai-hwa Siauw-ok menyerang Ceng Liong dengan Kiam-ci.

Ketika Ceng Liong mendengar bunyi mencicit dan sinar tangan menyambar ke arahnya, dia mengenal serangan ampuh dan cepat dia mengelak ke kiri. Dari kiri, tangan Tek Ciang menyambar dan menghantamnya. Kini Tek Ciang mempergunakan pukulan Swat-im Sin-ciang yang tentu saja dikenal pula oleh Ceng Liong. Pemuda ini penasaran sekali dan kembali dia menangkis sambil mengerahkan tenaganya.

“Desss....!”

Keduanya terpental lagi, tanda bahwa keduanya memiliki tenaga yang seimbang. Bukan hanya Tek Ciang yang merasa heran, bahkan Jai-hwa Siauw-ok juga kaget sekali. Guru dan murid ini yang maklum bahwa mereka menghadapi lawan tangguh, cepat bergerak hendak maju berbareng.

“Heh-heh-heh-heh, Siauw-ok, tidak malu engkau mengeroyok muridku?”

Dan muncullah Hek-i Mo-ong di ambang pintu tak berdaun ruangan itu. Melihat Hek-i Mo-ong, tentu saja Jai-hwa Siauw-ok terkejut bukan main dan wajahnya berobah pucat.

“Hek-i Mo-ong....!” serunya dan seruan ini ditujukan kepada muridnya agar muridnya mengenal kakek yang pernah diceritakannya kepada muridnya sebagai raja datuk sesat itu.

Dan Tek Ciang juga teringat akan cerita itu, maka pemuda inipun cepat melangkah mundur dan memandang kakek itu dengan mata terbelalak.

“Ah, kiranya dia ini muridmu sendiri, Mo-ong? Maaf, karena kami tidak mengenalnya maka terjadi kesalah pahaman,” kata Jai-hwa Siauw-ok merendah.

Tek Ciang adalah seorang yang cerdik. Dia sudah mendengar dari gurunya bahwa Hek-i Mo-ong memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali, jauh lebih lihai daripada Jai-hwa Siauw-ok. Tentu saja dia tidak takut karena kepandaiannya sendiripun tidak kalah dibandingkan dengan Siauw-ok, akan tetapi melihat betapa murid kakek itu juga lihai, dia pikir lebih aman kalau bersahabat dengan mereka ini. Apalagi, bukankah mereka itu segolongan? Maka diapun cepat menjura dengan sikap hormat dan merendah sekali kepada Hek-i Mo-ong.






“Ah, kiranya saya memperoleh keberuntungan dapat menghadapi locianpwe yang namanya menjulang tinggi di angkasa dan sudah lama saya kagumi itu. Dan murid locianpwe yang masih amat muda ini sungguh lihai bukan main ilmunya, menjadi bukti betapa hebatnya kepandaian locianpwe sebagai gurunya.”

Suasana penuh dengan ketegangan dan kegelisahan bagi Jai-hwa Siauw-ok. Dia sudah mengenal baik watak Hek-i Mo-ong. Teringat dia betapa dia pernah membantu Mo-ong dan kawan-kawan yang menjadi sekutunya menyerbu Pulau Es dan dia sendiri melarikan diri untuk menyelamatkan diri sendiri sambil membawa gadis cucu Pendekar Super Sakti sebagai tawanan. Hal ini saja sudah menjadi alasan cukup bagi Hek-i Mo-ong untuk membunuhnya!

Dan kini mereka bertemu di sini, malah timbul perkelahian antara dia dan muridnya melawan murid Mo-ong. Ini merupakan alasan ke dua yang cukup untuk membuat Raja Iblis itu turun tangan membunuh dia dan muridnya. Tentu saja dia tidak akan menyerahkan nyawa begitu saja. Muridnya telah memiliki ilmu kepandaian yang tinggi, mungkin malah lebih kuat daripadanya dan dengan kepandaian mereka berdua, mungkin saja mereka akan dapat menandingi Hek-i Mo-ong.

Akan tetapi di situ terdapat murid Hek-i Mo-ong yang biarpun masih remaja namun sudah lihai itu dan hal ini membuatnya semakin gelisah. Seluruh urat syaraf di tuhuhnya menegang dan dia sudah siap-siap untuk melawan apabila Hek-i Mo-ong turun tangan menyerang seperti yang diduganya.

Dugaan Jai-hwa Siauw-ok memang tidak berlebihan. Hek-i Mo-ong adalah seorang datuk besar yang berjuluk Raja Iblis. Kesalahan sedikit saja sudah cukup baginya untuk mencabut nyawa orang lain. Apalagi kesalahan yang diperbuat oleh Jai-hwa Siauw-ok dan muridnya itu terlalu besar.

Siauw-ok telah berkhianat dalam penyerbuan di Pulau Es, lari menyelamatkan diri sendiri tanpa memperdulikan kawan-kawan. Dan kini, Siauw-ok dan muridnya malah berani mengeroyok Ceng Liong. Dalam keadaan biasa, tentu apa yang diduga oleh Siauw-ok itu akan terjadi. Hek-i Mo-ong tentu akan turun tangan “menghukum” mereka. Akan tetapi, sekali ini Hek-i Mo-ong malah tersenyum memandang kepada Tek Ciang.

“Siauw-ok, dia ini muridmukah? Sungguh murid yang baik sekali!”

Jai-hwa Siauw-ok hampir tidak dapat mempercayai mata dan telinganya. Hek-i Mo-ong tersenyum, bersikap ramah dan malah memuji Tek Ciang! Diapun merasa girang dan cepat berkata,

“Mo-ong, terima kasih atas pujianmu!”

“Aaah, kita di antara teman sendiri, tidak perlu banyak sungkan. Kesalah pahaman tadi adalah biasa, dan baik sekali bagi muridku untuk berlatih.”

“Muridmu hebat, Mo-ong. Masih begini muda akan tetapi sudah hebat ilmunya.”

“Ha-ha-ha, tentu saja! Kalau benar dipertandingkan, engkau sendiripun tentu akan kalah oleh dia. Akan tetapi, muridmu itupun bukan barang murahan. Siauw-ok, kenapa engkau dan muridmu berada di sini? Apakah kebetulan saja? Ataukah ada hubungannya dengan puncak Bukit Nelayan?”

“Bukit Nelayan....? Eh, Mo-ong, bagaimana.... bagaimana engkau bisa mengetahuinya....?”

“Heh-heh, jangan mengira aku sudah pikun karena tua. Engkau hendak pergi ke sana untuk mencari Bu Ci Sian, bukan?”

Jai-hwa Siauw-ok mengangguk-angguk.
“Agaknya Mo-ong telah mengetahui segalanya.”

Kembali Hek-i Mo-ong tertawa
“Tentu saja aku tahu. Coba kau ingat di antara Im-kan Ngo-ok (Lima Jahat Dari Akhirat) yang menjadi guru-gurumu, bukankah Ji-ok Kui-bin Nio-nio dan Su-ok Siauw-siang-cu tewas di tangan Bu Ci Sian?”

Jai-hwa Siauw-ok mengangguk, dan Hek-i Mo-ong melanjutkan,
“Dan kini Bu Ci Sian telah menikah dan tinggal di puncak Bukit Nelayan maka melihat engkau di sini bersama muridmu yang lihai, ke mana lagi engkau hendak pergi kalau bukan ke bukit itu? Dan agaknya engkau dan muridmu sudah membawa bekal.... ha-ha, agaknya muridmu itu bukan hanya mewarisi ilmu-ilmumu, melainkan juga kebiasaanmu!” Hek-i Mo-ong memandang ke arah mayat dua orang gadis belasan tahun itu.

Jai-hwa Siauw-ok tersenyum.
“Ah, hanya kesenangan laki-laki biasa saja, Mo-ong. Semua dugaanmu memang benar. Kami berdua hendak ke sana dan kalau mungkin, kami hendak membalas dendam kematian guru-guruku.”

“Ha-ha-ha-ha!”

Tiba-tiba Hek-i Mo-ong tertawa bergelak dan Jai-hwa Siauw-ok mengerutkan alisnya. Jelas bahwa Raja Iblis itu mentertawakannya, akan tetapi dia menanti keterangan dengan sabar karena maklum bahwa Raja Iblis ini berwatak kejam sekali, sedikit-sedikit mudah saja membunuh orang, baik orang itu sekutunya maupun musuhnya. Dan memang Hek-i Mo-ong melanjutkan kata-katanya yang diawali suara ketawa mengejek ini.

“Dan engkau bersama muridmu hanya pergi mengantar nyawa dengan sia-sia belaka, untuk mati konyol, ha-ha ha!”

Gedung yang nampak kokoh kuat di puncak itu adalah bekas istana kuno yang di jaman dahulu terkenal sebagai pusat perkumpulan pengemis Khong-sim Kai-pang (Perkumpulan Pengemis Hati Kosong). Di jaman dahulu, perkumpulan itu terkenal sekali dan mempunyai anggauta-anggauta yang berilmu tinggi.

Bangunannya kuno dan kokoh, temboknya tebal. Akan tetapi, walaupun dari luar nampak tua dan kuno, namun di sebelah dalamnya bersih dan rapi, tanda bahwa tempat itu terawat dengan amat baik. Di ruangan khusus keluarga terhias gambar-gambar lukisan dari nenek moyang atau keturunan Suling Emas, yang menjadi sahabat baik nenek moyang Khong-sim Kai-pang.

Seperti telah diceritakan di bagian depan, yang tinggal di dalam istana tua itu adalah pendekar sakti Kam Hong, dan isterinya yang bernama Bu Ci Sian. Kam Hong adalah keturunan Suling Emas, akan tetapi dia berhak menempati istana ini karena selain dia pernah menjadi anak angkat dan juga murid tokoh terakhir dari Khong-sim Kai-pang, juga keturunan terakhir dari Khong-sim Kai-pang yang bernama Yu Hwi, kini telah menikah dengan seorang pendekar she Cu yang tinggal di Pegunungan Himalaya, di Lembah Naga Siluman.

Untuk memperkenalkan keadaan Kam Hong di waktu mudanya kepada para pembaca yang belum membaca kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN, marilah kita menjenguk riwayat singkat pendekar sakti ini.

Kam Hong adalah keturunan terakhir dari keluarga Suling Emas dan sejak kecil dia diserahkan oleh seorang pelayan keluarga itu kepada Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek tokoh terakhir Khong-sim Kai-pang. Dia diperlakukan sebagai anak atau cucu sendiri dan digembleng ilmu-ilmu keluarga itu. Bahkan diapun telah ditunangkan dengan cucu Sai-cu Kai-ong yang merupakan keturunan terakhir keluarga Yu pendiri Khong-sim Kai-pang, yang bernama Yu Hwi.

Akan tetapi, agaknya Tuhan menghendaki lain. Kam Hong dan Yu Hwi yang sejak kecil telah ditunangkan oleh keluarga yang sejak jaman dahulu telah saling bersahabat erat itu, setelah menjadi dewasa, menemukan jalan hidup masing-masing, bahkan menemukan pilihan hati masing-masing.

Karena itulah, usaha kedua keluarga untuk menjodohkan mereka gagal. Kam Hong bertemu dengan Bu Ci Sian, saling jatuh cinta dan akhirnya mereka menjadi suami isteri. Sebaliknya, Yu Hwi yang berjuluk Ang-siocia itu bertemu dengan Cu Kang Bu, seorang di antara pendekar-pendekar keluarga Cu pencipta suling emas asli, saling jatuh cinta dan akhirnya menjadi suami isteri pula.

Kini Yu Hwi, yang sebenarnya merupakan keturunan terakhir dari para pemimpin Khong-sim Kai-pang dan menjadi ahli waris dari istana tua di Puncak Nelayan, ikut suaminya tinggal di Lembah Naga Siluman di Pegunungan Himalaya. Dan istana tua itu kini dirawat dan ditinggali oleh Kam Hong yang dahulu menjadi tunangannya.

Demikianlah sekelumit riwayat Kam Hong yang berhubungan dengan istana tua itu. Dia hidup rukun dan penuh kebahagiaan bersama isterinya dan seorang anaknya, anak tunggal yang mereka beri nama Kam Bi Eng. Selain mereka bertiga, juga di situ terdapat enam orang pembantu atau juga dapat dinamakan murid pendekar itu, tiga orang pria dan tiga orang wanita yang usianya antara dua puluh sampai tiga puluh tahun. Karena bantuan enam orang inilah maka istana tua itu selalu dalam keadaan bersih dan terawat baik.

Sudah menjadi kebiasaan bagi Kam Hong dan Bu Ci Sian untuk berjalan-jalan di waktu pagi sekali sebelum matahari terbit. Mereka berdua akan berdiri di puncak bukit, menanti sampai matahari muncul di balik gunung, menikmati udara sejuk dan sinar matahari pagi yang segar. Pada pagi hari itu, seperti biasa mereka berdua bergandeng tangan mendaki puncak sebelah timur untuk menyambut munculnya matahari di pagi yang cerah itu.

Kadang-kadang Bi Eng ikut kedua orang tuanya karena berjalan mendaki puncak di pagi hari, selain amat baik untuk latihan, menyehatkan badan dan batin, juga keindahan alam yang luar biasa akan dapat dinikmati dan tidak pernah membosankan. Akan tetapi, pada pagi hari itu Bi Eng tidak ikut bersama ayah bundanya. Ia sedang berlatih silat seorang diri di taman bunga di samping istana dengan asyikya.

Taman itu indah, terawat olehnya sendiri, bersama ibunya dan dibantu oleh tiga orang pelayan wanita. Dan pada pagi hari itu Bi Eng melatih ilmu yang menjadi inti ilmu ayah bundanya, yaitu Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas). Seperti ayah bundanya, ia juga memainkan ilmu ini dengan sebatang suling emas. Suling ini terbuat dari emas tulen, merupakan tiruan dari suling emas asli di tangan ayahnya, seperti juga yang dijadikan senjata ibunya.

Mula-mula Bi Eng memainkan suling di tangannya secara lambat dan perlahan, nampak seperti orang menari saja, tarian yang indah dan aneh. Akan tetapi, lambat-laun suling di tangannya bergerak semakin cepat dan mulailah terdengar suara melengking keluar dari suling itu dan bentuk sulingpun lenyap berobah menjadi gulungan sinar emas yang indah menyilaukan mata. Semakin lama, suara melengking itu semakin nyaring, naik turun seperti melagu.

Tubuh yang berkelebatan gesit itu terbungkus gulungan sinar emas, amat indahnya. Bi Eng tidak tahu bahwa pada saat itu, empat pasang mata memandang dengan penuh kagum. Empat orang itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, Ceng Liong, Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang menonton dari luar taman.

Pandang mata Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang yang mata keranjang itu sudah berminyak menyaksikan seorang dara belasan tahun yang berwajah cantik jelita dan bertubuh padat dan bagaikan setangkai bunga sedang mulai mekar itu memainkan suling sedemikian indahnya.

Akhirnya Bi Eng menghentikan gerakan silatnya, lalu duduk bersila di atas tanah mengatur pernapasan. Setelah pernapasannya pulih kembali, dara itu, tanpa menyadari bahwa ada empat orang selalu mengikuti gerak-geriknya dengan pandang mata kagum, lalu menempelkan lubang suling di depan mulutnya dan mulailah ia meniup suling itu, dan keluarlah suara suling yang amat merdu, meninggi dan merendah dengan indahnya.

Akan tetapi, empat orang yang mendengarkan itu terkejut bukan main. Bukan hanya indah dan merdu suara suling itu, akan tetapi juga mengandung getaran hebat yang membuat mereka itu tergetar! Tahulah mereka bahwa nona itu meniup suling bukan untuk melagu santai, melainkan meniup untuk melatih khi-kang yang amat kuat dan agaknya menjadi satu di antara keistimewaan ilmu keluarganya. Dan memang sesungguhnyalah. Tiupan suling Bi Eng itu masih dalam rangka berlatih ilmu dan tiupan itu dinamakan Kim-kong Sim-in, yaitu suara yang mengandung getaran dan dapat menyerang lawan! Empat orang itu cepat mengerahkan sin-kang untuk melawan daya serang suara itu yang semakin lama menjadi semakin kuat menusuk-nusuk telinga.

Tek Ciang sudah tidak kuat lagi menahan gelora hatinya melihat dara jelita itu. Nafsu berahinya timbul dan dia sudah keluar dari tempat sembunyinya. Dara itu amat menarik hatinya dan dia seperti lupa akan maksud kedatangannya ke tempat itu. Siapapun adanya gadis itu harus dia dapatkan!

Akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan muncullah enam orang, tiga orang pria dan tiga wanita. Mereka adalah para pembantu keluarga Kam dan tadi seorang di antara mereka melihat munculnya empat orang asing di dekat taman. Cepat dia memberitahukan teman-temannya dan kini mereka semua datang dan menegur.

“Siapakah kalian dan ada urusan apakah datang ke tempat kami?” tegur seorang di antara para pembantu keluarga Kam.

“Kami mencari Kam Hong dan Bu Ci Sian. Apakah kalian keluarga mereka?”

Tanya Tek Ciang tanpa mengalihkan pandang matanya kepada Bi Eng yang kini sudah menghentikan tiupan sulingnya dan memandang dengan alis berkerut.

“Majikan kami sedang keluar berjalan-jalan dan kami adalah pelayan-pelayan mereka. Kalau memang su-wi ada keperluan dengan majikan kami, harap menunggu di kamar tamu sampai mereka kembali dari jalan-jalan.”

“Ha-ha-ha, kiranya hanya pelayan-pelayan yang harus mampus!” kata Jai-hwa Siauw-ok.

Kini Bi Eng sudah bangkit berdiri dan kerut-merut di alisnya makin mendalam ketika ia mendengar kata-kata itu.

“Ada keperluan apakah kalian dengan ayah ibuku? Orang tuaku tidak mempunyai kenalan orang-orang kasar seperti kalian!” katanya dengan suara merdu akan tetapi tajam dan menusuk.

Bi Eng memang menuruni watak ibunya yang lincah jenaka, akan tetapi juga dapat bersikap berani, bengal dan galak.

“Ehh, kiranya engkau nona Kam, puteri Kam Hong dan Bu Ci Sian? Bagus, mari ikut aku bersenang-senang, nona manis!” kata Tek Ciang dan mendengar kata-kata ini, melihat sikap ini, diam-diam Ceng Liong sudah merasa mendongkol sekali, Akan tetapi dia diam saja hanya memandang.

Enam orang pelayan itupun marah mendengar ucapan yang kurang ajar itu. Mereka dapat menduga bahwa tentu kedatangan empat orang ini tidak mengandung niat baik, maka rasa setia terhadap majikan mereka membuat mereka serentak maju mengepung dan menyerang.

Karena yang berada paling depan adalah Jai-hwa Siauw-ok dan Tek Ciang, maka guru dan murid inilah yang lebih dahulu menghadapi serangan mereka. Sambil tertawa mengejek, Tek Ciang menggerakkan tangannya menampar, demikian pula Jai-hwa Siauw-ok.

Dua orang pelayan pria mencoba untuk mengelak atau menangkis, akan tetapi hawa pukulan itu saja sudah membuat mereka seperti lumpuh dan terdengar suara keras ketika kepala mereka terkena tamparan. Mereka hanya sempat menjerit satu kali lalu roboh dan tewas seketika!

Empat orang kawan mereka terkejut dan marah. Mereka mencabut pedang dan menerjang maju. Akan tetapi, hanya dengan beberapa kali menggerakkan tangan, Tek Ciang dan Jai-hwa Siauw-ok yang menyambut mereka itu telah berhasil menggulingkan mereka. Mereka roboh dengan kepala retak dan tewas seketika dalam beberapa gebrakan saja!

“Ha-ha-ha-ha!” Mo-ong tertawa bergelak. “Hanya begini sajakah kekuatan pasukan yang dididik Kam Hong? Ha-ha-ha!”

Hatinya senang melihat betapa para anak buah musuhnya, dalam waktu singkat telah roboh dan tewas oleh sekutunya. Ceng Liong mengepal tinju, akan tetapi tidak bergerak. Dia merasa penasaran sekali. Dia mau ikut gurunya dan berjanji membantunya, akan tetapi hanya untuk mengalahkan lawan, menebus kekalahan gurunya. Dia sama sekali tidak mau terlibat atau membantu untuk membunuh orang. Dan kini dia melihat sekutu gurunya membunuhi orang secara kejam.

Orang-orang itu mungkin hanya pelayan-pelayan yang tidak berdosa, tanpa bersalah apa-apa mengapa dibunuh sedemikian kejamnya? Akan tetapi karena dia tidak mempunyai sangkut-paut apa-apa, dia hanya memandang saja dengaan tangan terkepal dan alis berkerut tak senang.

Sementara itu, melihat betapa enam orang pelayannya roboh dan tewas seketika, Bi Eng menjadi terkejut bukan main. Enam orang pelayannya itu memang belum memiliki ilmu silat yang tinggi, akan tetapi, mereka itu jauh lebih kuat daripada orang-orang biasa. Akan tetapi, dalam beberapa gebrakan saja mereka telah roboh dan tewas oleh dua di antara empat orang ini, maka dapat diduga bahwa mereka berempat itu tentulah orang-orang yang memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi, kemarahannya tidak memungkinkan ia untuk bertanya-tanya lagi. Sambil mengeluarkan bentakan halus, iapun sudah menerjang ke depan dengan suling emasnya.

“Ha-ha, biar aku yang menjinakkan kuda betina yang muda dan liar ini!”

Tek Ciang berkata sambil menyambut terjangannya. Akan tetapi, bukan main kagetnya hati jai-hwa-cat muda ini ketika dia menggerakkan tangan hendak menangkap suling di tangan si nona, tiba-tiba saja suling itu mengelak dan tendangan kaki kiri nona itu tahu-tahu sudah menyambar dan nyaris mengenai lambungnya kalau saja dia tidak cepat meloncat ke belakang!

Nona itu dapat menghindarkan suling yang akan dirampasnya, bahkan dalam segebrakan hampir saja dapat menendang lambungnya. Dan dari angin tendangan itu, tahulah Tek Ciang bahwa kalau dia tadi terkena tendangan, belum tentu dia akan dapat menahannya!

Tadinya dia berniat mempermainkan dara ini sebelum menangkapnya dan mempermainkan sepuas hatinya. Akan tetapi, kini gadis itu mendesaknya dan serangan yang bertubi-tubi dengan suling itu membuat semua lamunan untuk mempermainkan gadis itu lenyap seperti asap tipis dihembus angin.

Jangankan untuk mempermainkan, bahkan dia sendiri harus mempergunakan seluruh kepandaian dan kelincahannya untuk menghindarkan diri dari totokan-totokan ujung suling yang luar biasa cepat dan kuatnya itu! Dan semua itu masih ditambah lagi dengan lengkingan suara suling yang keluar dari suling yang digerakkan untuk menyerang, membuat dia merasa bising dan bingung juga.

Untung dia memiliki ilmu silat yang amat tinggi, telah digembleng oleh Suma Kian Lee sehingga dengan ilmu gabungan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang dia dapat memperbaiki keadaannya dan dapat membendung datangnya serangan bertubi-tubi seperti air bah dari gadis itu.

Perlahan-lahan dia dapat menguasai keadaan dan dapat membalas dan kini terjadilah perkelahian yang amat seru. Kini Tek Ciang sama sekali tidak berani main-main lagi, maklum bahwa tingkat kepandaian gadis itu tidak berada di bawah tingkatnya, bahkan gadis itu memiliki ilmu silat suling yang benar-benar aneh, kuat dan sukar diduga gerakan-gerakannya.

Hampir saja Ceng Liong berseru kaget ketika dia mengenal gerakan ilmu silat keluarganya dimainkan oleh murid Jai-hwa Siauw-ok yang bernanna Tek Ciang itu. Bagaimanakah penjahat muda yang menjijikkan ini mampu memainkan Hwi-yang Sin-ciang dan Swat-im Sin-ciang sedemikian mahirnya? Bahkan setiap kali bergerak, muncullah hawa panas sekali atau dingin sekali dari kedua lengannya, tanda bahwa orang itu telah benar-benar menguasai kedua ilmu keturunan keluarga Pulau Es itu!

Juga Hek-i Mo-ong diam-diam terkejut dan kagum. Murid dari sekutunya benar-benar hebat dan tidak boleh dipandang ringan, mungkin lebih hebat daripada gurunya. Sedang Jai-hwa Siauw-ok hanya tersenyum-senyum bangga. Tek Ciang adalah muridnya dan dia tahu bahwa muridnya itu telah menguasai ilmu-ilmu keturunan keluarga Pulau Es!

Akan tetapi, di lain pihak mereka juga kagum sekali melihat dara remaja yang jelita itu. Ilmu silatnya tinggi, sulingnya benar-benar amat lihai sehingga dengan gulungan sinar emas, gadis itu mampu membendung semua serangan balasan lawan.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar