FB

FB


Ads

Rabu, 07 Oktober 2015

Kisah Para Pendekar Pulau Es Jilid 041

Biarpun pada waktu itu Kerajaan Mancu, yaitu Dinasti Ceng, sedang mengalami masa jayanya di bawah bimbingan Kaisar Kian Liong yang bijaksana dan pandai, namun karena negara itu amat luasnya dan meliputi daerah yang amat jauhnya dari pusat, tidaklah mergherankan apabila timbul usaha-usaha untuk berdiri sendiri di daerah-daerah yang terpencil.

Kaisar Kian Liong dengan pasukan-pasukannya yang kuat berhasil menundukkan semua daerah yang hendak memberontak. Akan tetapi pada waktu itu, terdengar desas-desus tentang gerakan-gerakan yang sibuk dilakukan orang di daerah perbatasan jauh di barat. Karena jauhnya dan juga karena sukarnya mengendalikan daerah pegunungan yang liar di barat itu maka agak terlambatlah Kaisar Kian Liong mengetahui bahwa diam-diam terjadi persekutuan di barat dan ada rencana-rencana jahat diatur oleh para pembesar di daerah barat yang diam-diam mengadakan persekutuan dengan Kerajaan Nepal, dengan orang-orang Tibet yang hendak memberontak, yang dibantu pula oleh orang-orang Mongol barat untuk menyerang dan menduduki Tibet dan kemudian menyusun kekuatan gabungan di daerah barat untuk menentang Kerajaan Ceng.

Setelah mendengar desas-desus itu barulah kaisar memerintahkan Jenderal Muda Kao Cin Liong untuk melakukan penyelidikan. Akan tetapi sunqguh sayang bahwa jenderal muda itu sendiri terlibat dalam persoalan pribadinya dengan Suma Hui sehingga tentu saja pelaksanaan tugasnya menjadi terganggu.

Pihak Gubernur Yong Ki Pok dan sekutunya ternyata telah mendahului usaha penyelidikan kaisar ini. Seperti telah diceritakan di bagian depan, Gubernur Yong setelah bertemu dengan para sekutunya, memperoleh pembantu baru yang dapat diandalkan, yaitu Hek-i Mo-ong! Setelah menerima datuk sesat ini sebagai pembantu utama, bahkan menjanjikan kedudukan koksu kelak kalau perjuangan mereka berhasil, Gubernur Yong Ki Pok lalu mengutus Hek-i Mo-ong dengan sebuah tugas pertama yang amat penting.

Datuk itu ditugaskan untuk melakukan penyelidikan ke barat, ke daerah Bhutan dan Himalaya. Dia ditugaskan untuk melenyapkan penghalang dan menghimpun tenaga yang sehaluan agar rencana mereka, yaitu menyerbu ke Tibet dari Nepal kemudian bersama-sama kekuatan gabungan persekutuan itu membentuk pertahanan kuat untuk kemudian menyerang ke timur.

Bhutan merupakan penghalang besar bagi Nepal karena Bhutan letaknya di sebelah timur Nepal dan hanya melalui Bhutan sajalah pasukan besar dapat melakukan perjalanan ke timur dengan mudah. Bagi Kerajaan Nepal, pasukan-pasukan mereka dapat melakukan penyerbuan ke Lhasa di Tibet hanya melalui Bhutan, karena kalau tidak, perjalanan mereka akan terhalang oleh Gunung Yolmo Langma yang menjulang tinggi dan daerahnya selain berbahaya juga amat melelahkan bagi pasukan mereka. Selain itu, juga kalau Bhutan membocorkan rahasia mereka dan mengirim berita ke timur, hal itu mungkin saja akan menggagalkan semua rencana.

Bhutan sebetulnya hanya merupakan sebuah kerajaan yang kecil saja. Sebuah kerajaan kecil yang terletak di tengah-tengah Pegunungan Himalaya yang amat luas dan panjang itu. Daerah yang berhawa dingin ini memiliki dataran-dataran yang subur, lembah-lembah yang indah dan Bangsa Bhutan hidup sederhana dan berbahagia dalam tradisi kehidupan mereka yang sudah tua.

Mereka tidak pernah berambisi untuk meluaskan daerah untuk mengeduk keuntungan dari daerah lain, oleh karena itu tidak pernah melakukan perang dengan negara tetangga, tidak seperti Kerajaan Nepal. Kerajaan Bhutan selalu dalam keadaan tenang dan nampaknya mereka hidup selalu dalam suasana damai sejahtera.

Pada waktu itu, yang menjadi raja di Bhutan adalah Raja Badur Syah yang usianya sudah hampir enam puluh tahun. Mestinya, setelah raja tua meninggal dunia kurang lebih sepuluh tahun yang lalu, yang harus menggantikannya adalah puteri mahkotanya, yaitu Puteri Syanti Dewi.

Akan tetapi, puteri ini tidak bersedia menjadi ratu, dan menunjuk kakak sepupunya, yaitu Pangeran Badur untuk menggantikannya. Maka, Raja Badur Syah kini memimpin kerajaan yang tenteram itu dan Puteri Syanti Dewi bersama suaminya menjadi pembantu-pembantu dan penasihatnya yang paling utama.

Para pembaca cerita seri SULING EMAS tentu tidak asing lagi dengan nama Syanti Dewi ini. Dalam cerita-cerita KISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI telah diceritakan dengan jelas semua pengalaman Syanti Dewi yang amat menarik.

Kemudian dalam kisah SULING EMAS DAN NAGA SILUMAN diceritakan bahwa Puteri Bhutan ini akhirnya menikah juga dengan pria idamannya, setelah mengalami banyak sekali halangan. Suaminya itu bukan lain adalah pendekar sakti Wan Tek Hoat yang pernah mendapat julukan Si Jari Maut.

Ketika dua orang ini masih muda, perjodohan mereka selalu menemui halangan dan kegagalan sehingga keduanya mengalami banyak penderitaan batin yang amat hebat. Akan tetapi akhirnya, biarpun keduanya sudah berusia cukup lanjut, yaitu Wan Tek Hoat berusia tiga puluh delapan tahun dan Syanti Dewi berusia tiga puluh enam tahun, mereka dapat berkumpul kembali.

Sekarang usia mereka telah mendekati lima puluh tahun dan mereka hidup dengan rukun, tenteram dan berbahagia di Bhutan dan selama itu mereka tidak pernah lagi meninggalkan kerajaan kecil yang penuh ketenangan itu.

Karena semenjak muda selama bertahun-tahun Syanti Dewi merantau ke timur, meninggalkan kerajaan ayahnya dan berkenalan dengan banyak orang kang-ouw dari berbagai golongan, bahkan mengenal pula dengan baiknya Kaisar Kian Liong ketika masih menjadi pangeran, maka tentu saja kini ia menganjurkan Raja Bhutan untuk selalu bersahabat dengan Kaisar Kian Liong. Apalagi mengingat bahwa Wan Tek Hoat juga seorang Han.

Tidaklah aneh kalau garis politik pemerintah Kerajaan Bhutan menentang Kerajaan Nepal yang hendak memusuhi Kerajaan Ceng di timur itu. Setiap tahun, Raja Bhutan selalu mengirim utusan membawa upeti atau hadiah-hadiah tanda mengakui kebesaran Kaisar Kian Liong. Kiriman ini tidak sia-sia, karena selain dapat mempererat hubungan persahabatan antara tetangga, juga utusan itu selalu membawa pulang hadiah-hadiah yang selalu lebih besar dan lebih berharga daripada upeti yang dikirimkan.

Selain kerajaan kecil Bhutan ini, juga para pertapa dan pendeta yang berada di daerah Pegunungan Himalaya tidak lepas dari perhatian Kerajaan Nepal dan para sekutunya. Mereka ini, para pertapa dan pendeta, adalah orang-orang yang memiliki kesaktian dan mereka ini berpengaruh pula, mengingat bahwa mereka mempunyai banyak murid-murid yang menjadi pendekar-pendekar dan juga pembesar-pembesar.

Maka, Hek-i Mo-ong juga diutus untuk menyelami keadaan mereka dan sedapat mungkin menarik mereka untuk berfihak kepada persekutuan mereka dan menentang Kerajaan Ceng di timur. Ke dua tempat inilah Hek-i Mo-ong harus pergi, melakukan penyelidikan dan mengatur sedemikian rupa agar keadaan menguntungkan rencana persekutuan mereka.






Hek-i Mo-ong merasa bangga sekali memperoleh kepercayaan ini. Dia sudah merasa menjadi “koksu” dari Gubernur Yong Ki Pok. Dia menerima tanda kuasa dari sang gubernur, juga bekal emas yang cukup banyak. Dan untuk melakukan tugas dengan hasil baik, dia harus menyamar. Tidak mungkin kalau dia bertindak sebagai Hek-i Mo-ong, datuk kaum sesat yang sudah terkenal sekali itu. Untung baginya, hanya namanya saja yang terkenal.

Hek-i Mo-ong adalah nama julukan yang terkenal sekali di dunia kang-ouw, bahkan sampai jauh ke timur, dikenal oleh semua golongan, baik golongan para pendekar ataupun penjahat, golongan putih maupun hitam. Akan tetapi, jarang ada orang yang mengenal mukanya. Dia bukan sembarang kaum sesat, melainkan seorang datuk yang tidak sembarangan dapat ditemui orang. Karena ini, maka dengan menyamar dan menyembunyikan nama julukannya, dia akan dapat melaksanakan tugas itu dengan mudah.

Dalam penyamarannya, Hek-i Mo-ong tidak meninggalkan warna hitam pakaiannya. Memang sejak dahulu dia suka memakai pakaian serba hitam. Akan tetapi, kini pakaiannya yang berwarna hitam itu dibentuk seperti pakaian yang biasa dipergunakan oleh sinshe tukang obat. Dan diapun menyuruh Ceng Liong untuk mengganti sebutan Mo-ong dengan sebutan kakek.

“Kita melakukan perjalanan rahasia, melaksanakan tugas penting sekali. Maka kita harus menyamar. Aku akan menyamar sebagai seorang ahli obat dan tukang sulap, dan engkau adalah cucuku, juga pembantuku. Ingat, namaku adalah Phang Kui, aku kakekmu dan pekerjaanku tukang obat dan tukang sulap. Engkau tetap bernama Ceng Liong, akan tetapi demi keselamatan sendiri, lebih baik engkau jangan menyebutkan nama keturunanmu. Nama keturunan Suma terlalu menyolok dan kalau engkau mau menyebut nama keturunan juga, engkau boleh memakai nama keturunanku, yaitu Phang. Mengertikah engkau, Ceng Liong?”

“Baik, kong-kong,” jawab anak yang cerdik itu sehingga gurunya tertawa senang disebut kong-kong.

“Dan sekarang kita hendak berangkat ke manakah? Apakah langsung ke Bhutan? Atau ke Himalaya?” Anak itu mendengarkan ketika gurunya bicara dengan gubernur, maka diapun mengerti akan tugas gurunya.

Akan tetapi Hek-i Mo-ong menggeleng kepala.
“Tidak, kita akan berangkat dulu ke kota Ceng-tu di Se-cuan.”

Karena Ceng Liong tidak mengerti, diapun tidak banyak bertanya lagi dan berangkatlah guru dan murid itu menuju ke Propinsi Se-cuan. Kenapa mereka hendak pergi ke Se-cuan? Hek-i Mo-ong adalah seorang yang amat cerdik dan kepergiannya ke Se-cuan sudah diperhitungkannya dengan baik, termasuk ke dalam rencananya untuk melaksanakan tugas itu sebaik mungkin.

Gubernur Se-cuan adalah seorang pangeran. Dia adalah Pangeran Yung Hwa, saudara dari mendiang Kaisar Yung Ceng, ayah Kaisar Kian Liong yang sekarang. Pangeran Yung Hwa ini pernah menentang kaisar yang dahulu, maka sebagai hukumannya dia dibuang secara halus dengan diangkat menjadi gubernur di daerah ini, di Propinsi Secuan.

Hek-i Mo-ong tahu riwayat Gubernur Se-cuan, yaitu Pangeran Yung Hwa yang sekarang sudah berusia empat puluh dua tahun ini. Dia sudah tahu pula bahwa Pangeran Yung Hwa yang menjadi Gubernur Se-cuan ini kenal baik dengan keluarga Raja Bhutan, maka gubernur ini dapat diharapkan bantuannya. Apalagi karena peristiwa pembuangannya itu sedikit banyak tentu menimbulkan dendam di hatinya.

Demikianlah, pada suatu pagi yang cerah, sebuah gerobak kuda sederhana memasuki kota Ceng-tu yang ramai. Kereta yang sederhana itu menarik perhatian karena kudanya diberi rumbai-rumbai dengan kertas-kertas berwarna, dan di dinding kereta terdapat tulisan besar menyolok SINSHE PHANG, AHLI OBAT, RAMAL, DAN SULAP. Di atas tempat duduk kusir itu duduk seorang anak berusia sepuluh tahun lebih yang tubuhnya tegap, wajahnya tampan dan mulutnya selalu tersenyum-senyum memandang ke kanan kiri, sinar matanya tajam dan penuh keberanian. Anak ini pandai sekali mengendalikan kuda besar yang menarik kereta, dan dia tersenyum-senyum kepada semua orang yang memperhatikan kereta itu.

Hek-i Mo-ong sendiri yang kini berganti sebutan menjadi Sinshe Phang, sedang tidur melenggut di dalam kereta. Namanya yang asli memang Phang Kui, akan tetapi di dunia kang-ouw dia tidak dikenal dengan nama itu, bahkan tidak ada orang mengenal nama aslinya. Karena itu, dia berani mempergunakan nama aslinya dengan tenang.

Ketika terbangun dan melihat bahwa mereka telah memasuki kota Ceng-tu, Sinshe Phang menyuruh Ceng Liong yang kini disebutnya sebagai cucunya itu untuk langsung pergi ke pusat kota. Di dekat pasar mereka menghentikan kereta dan tak lama kemudian terdengarlah suara tambur dan canang dipukul oleh kakek dan cucunya ini. Orang-orang berdatangan dan sebentar saja para penonton disuguhi tontonan sulap yang amat menarik.

Kakek itu pandai sekali bermain sulap dan hal ini tidaklah aneh kalau diingat bahwa dia memang seorang ahli sihir. Dengan permainan sulapnya, dia berhasil menarik banyak penonton. Kemudian diapun mendemonstrasikan kemahirannya mengobati orang. Sakit gigi, sakit pening, sakit perut, semua disembuhkannya dengan cepat di tempat itu juga. Bagaimanapun juga, seorang datuk sesat seperti Hek-i Mo-ong tentu saja pandai dalam hal ilmu pengobatan, apalagi hanya untuk menyembuhkan penyakit yang remeh dan ringan.

Ada pula yang tertarik dan minta diramal nasibnya. Semua biaya pengobatan ataupun meramal itu ditarik dengan tarip ringan sekali sehingga banyak orang yang merasa puas dan sebentar saja nama Sinshe Phang terkenal di kota Ceng-tu itu.

Kakek dan cucunya itu mondok di kamar sebuah rumah penginapan sederhana dan setiap hari mereka membuka pertunjukan di dekat pasar. Dalam waktu beberapa hari saja, terkenallah namanya, bahkan sampai ke gedung gubernuran. Tersiar berita bahwa Ceng-tu kedatangan seorang sinshe yang amat pandai dan lagi taripnya amat murah.

Pada suatu pagi, tiga hari kemudian, ketika Sinshe Phang dan Ceng Liong sedang sibuk melayani para peminat, kakek itu memeriksa dan Ceng Liong yang mempersiapkan obatnya, datanglah sebuah kereta ke tempat itu. Sebuah kereta yang mewah dan dari jauh saja sudah nampak bahwa kereta itu bukan kereta sembarangan, melainkan kereta seorang pembesar.

Kereta itu dikawal oleh selosin pasukan pengawal. Sebelum kereta dekat, Sinshe Phang sudah bertanya kepada seorang penonton yang dijawabnya bahwa yang datang itu adalah kereta gubernur! Tentu saja Sinshe Phang menjadi girang sekali.

Cepat ditulisnya beberapa huruf di atas kertas tanpa dilihat orang lain dan diberikan kertas tulisan itu kepada Ceng Liong. Anak ini membacanya dan mengangguk sambil meremas hancur kertas tulisan itu. Gurunya sedang merencanakan sesuatu yang amat bagus! Dan diapun sudah siap membantunya.

Kini kereta mewah itu berhenti di dekat tempat Sinshe Phang membuka prakteknya. Para pengawal memerintahkan penonton membuka jalan agar penghuni kereta dapat menyaksikan pertunjukan yang diperlihatkan oleh Sinshe Phang.

Pintu dan jendela kereta dibuka dan nampaklah seorang wanita cantik berusia tiga puluhan tahun, berpakaian mewah. Di sebelahnya duduk pula seorang anak perempuan berusia kurang lebih sembilan tahun, dengan pakaian mewah dan rambutnya dikuncir dua, manis sekali.

Orang-orang yang mengenal wanita itu saling berbisik. Itulah seorang isteri muda Gubernur Yung Hwa, seorang di antara selir-selirnya yang paling disayangnya, yang datang menonton pertunjukan Sinshe Phang bersama puterinya.

Memang wanita ini mendengar tentang keahlian Sinshe Phang. Sudah lama ia menderita pening-pening pada kepalanya dan sudah banyak ia makan obat, akan tetapi tidak juga peningnya hilang. Maka, mendengar akan kepandaian Sinshe Phang, ia ingin menyaksikan sendiri, kemudian kalau hatinya yakin, iapun akan minta pengobatan.

Sinshe Phang pura-pura tidak melihat bahwa ada wanita cantik selir gubernur yang memperhatikannya dan ikut menonton dari dalam kereta itu. Akan tetapi diam-diam dia sengaja mempertontonkan kepandaiannya, bermain sulap yang amat menggembirakan anak perempuan di dalam kereta itu. Bahkan ketika dia menyulap sepotong batu berobah menjadi seekor burung dara yang terbang melayang ke udara, anak perempuan itu bertepuk tangan dan bersorak,

“Bagus! Bagus....!”

Akan tetapi ibu anak itu lebih memperhatikan cara Sinshe Phang menyembuhkan beberapa orang yang datang berobat, terutama sekali orang yang menderita penyakit kepala pening. Melihat betapa Sinshe Phang kadang-kadang mempergunakan jari-jari tangannya menekan di sana-sini bagian kepala, atau menggunakan sebuah jarum emas menusuk beberapa tempat tanpa yang ditusuk itu mengeluh nyeri atau mengeluarkan darah, kemudian melihat orang-orang itu dapat disembuhkan seketika, nyonya itu merasa tertarik sekali.

Pada saat itu, para pengawal juga menonton dengan hati tertarik dan kadang-kadang mereka itu tertawa melihat Sinshe Phang bermain sulap sambil melucu. Juga kusir kereta itu duduk santai, tidak lagi memperdulikan dua ekor kudanya yang sudah diberi makanan di depannya.

Biarpun para pengawal itu juga merupakan orang-orang yang tahu ilmu silat, akan tetapi gerakan Sinshe Phang sedemikian cepatnya sehingga tidak ada seorangpun di antara mereka yang melihatnya ketika tiba-tiba saja dari jari-jari tangannya meluncur dua butir batu kecil yang dengan tepatnya menghantam dan melukai pantat dua ekor kuda yang sedang makan itu.

Tiba-tiba dua ekor binatang itu meringkik keras, mengangkat kedua kaki depan ke atas lalu meloncat ke depan. Kereta itu tertarik keras dan kusir yang sedang enak-enak duduk miring itu terlempar keluar, terpental dari tempat duduknya dan terbanting ke atas tanah.

Para pengawal terkejut bukan main melihat dua ekor kuda itu kabur. Beberapa orang penonton bahkan ada yang tertabrak dan jatuh tunggang-langgang dan orang-orang berteriak-teriak ketakutan karena dua ekor kuda itu membalap tanpa ada yang mengendalikan.

Akan tetapi, pada saat kusir kereta tadi terpelanting, ada bayangan kecil yang dengan cekatan telah melompat ke atas tempat duduk kusir. Bayangan ini adalah seorang anak kecil dan semua orang mengenalnya sebagai cucu Sinshe Phang.

Sementara itu, terdengar jerit-jerit ketakutan dari dalam kereta. Ceng Liong yang sudah diberi isyarat oleh gurunya memang sudan siap siaga. Maka ketika dia melihat gurunya mempergunakan ilmu melempar batu-batu kecil dengan sentilan jari tangan, dia sudah mendekati kereta, dan begitu kuda kabur dan kusir terlempar keluar, dia sudah meloncat dengan cekatan sekali dan berhasil mencapai tempat duduk kusir.

Dia segera menyambar tali kendali kuda, akan tetapi karena tali kendaraan itu sebagian terlepas dan berada di punggung kuda, dengan penuh keberanian anak ini lalu meloncat turun ke atas punggung seekor kuda dan menarik kendali sambil mengeluarkan bujukan-bujukan untuk menghentikan dua ekor kuda itu.

Sedangkan para pengawal kini sudah memburu, ada yang naik kuda, ada yang berlarian. Akan tetapi, dalam jarak ratusan meter, ketika para pengawal dapat menyusul, kereta itu telah berhenti dan dua ekor kuda itu telah dikuasai oleh Ceng Liong yang masih duduk di atas punggung seekor di antara dua kuda itu. Kereta itu selamat dan dua orang penghuninya juga selamat!

Melihat ini, semua orang bersorak gembira dan bertepuk tangan memuji Ceng Liong yang dianggap seorang anak yang amat sigap dan berani. Anak perempuan itu menangis terisak-isak didekap oleh ibunya yang mukanya juga berobah pucat sekali. Melihat betapa yang menolong menghentikan dua ekor kuda yang kabur itu adalah anak kecil cucu Sinshe Phang, ibu muda itu segera membimbing anaknya turun dari kereta yang sudah dibawa kembali ke tempat semula oleh Ceng Liong.

“Sinshe, saya mengucapkan banyak terima kasih atas pertolongan cucumu,” katanya.

Phang-sinshe cepat memberi hormat dan mengangguk-angguk.
“Ah, toanio, kebetulan saja cucu saya dapat bertindak cepat. Thian yang telah melindungi toanio dan siocia,” kata Sinshe Phang dengan sikap seolah-olah dia seorang beribadah yang sudah biasa memalingkan mukanya kepada Tuhan!

“Engkau anak yang baik sekali!”

Kata nyonya muda itu kepada Ceng Liong dan anak inipun menjura tanpa berkata apa-apa, matanya memandang tajam kepada anak perempuan yang masih nampak ketakutan itu. Biarpun ketakutan dan bekas menangis, anak ini amat cantik dan manis.

“Ibu, apakah yang menghentikan kuda tadi dia ini?” Anak perempuan itu menuding ke arah Ceng Liong.

“Benar, Kui Lan. Dialah yang telah menyelamatkan kita. Anak baik, siapakah namamu?”

Ceng Liong menjadi malu juga karena sikap yang amat menghargai itu, apalagi di situ banyak orang yang menyaksikan dan semua orang memandang kepadanya dengan sinar mata kagum dan memuji.

“Ha-ha, kenapa kau diam saja, Ceng Liong? Maaf, toanio. Dia anak pemalu sekali. Cucu saya ini namanya Ceng Liong.”

“Kui Lan, hayo ucapkan terima kasih kepada Ceng Liong,” perintah ibunya yang selalu mendidik puterinya untuk bersikap baik.

Kui Lan melangkah mendekati Ceng Liong. Wajah yang manis itu tidak begitu pucat lagi dan sepasang mata yang lebar itu memandang penuh perhatian.

“Ceng Liong, aku kagum padamu dan terima kasih atas pertolonganmu. Namaku Yung Kui Lan, dan ayahku adalah gubernur dari kota ini.”

Ceng Liong hanya mengangguk-angguk saja sambil menatap wajah yang manis itu. Nyonya muda itu lalu menggunakan kesempatan ini untuk mengundang Sinshe Phang ikut bersamanya ke gedung gubernuran.

“Kami ingin minta pertolongan sinshe mengobati suatu penyakit,” demikian tambahnya.

Sinshe Phang menyembunyikan kegembiraan hatinya. Inilah yang dinanti-nanti sampai dia mau bersusah payah “membuka praktek” di pasar itu. Tak disangkanya akan sedemikian mudahnya pintu gubernuran terbuka baginya.

“Saya merasa terhormat sekali untuk dapat mengobati keluarga toanio yang sakit,”

Katanya dan diapun cepat menyuruh cucunya berkemas, dan tak lama kemudian, kereta nyonya itu telah berjalan kembali, sekali ini bukan hanya diiringkan sepasukan pengawal, akan tetapi juga diiringkan sebuah gerobak kuda yang sudah mulai dikenal baik di kota itu.

Di sepanjang perjalanan, orang-orang membicarakan keberanian bocah yang mengendalikan kuda itu, dan semua orang tahu bahwa tentu sinshe itu diundang ke gubernuran untuk mengobati orang sakit dan tentu akan menerima hadiah besar dari gubernur sendiri karena telah menyelamatkan selir dan puterinya dari bahaya.

Setelah tiba di gedung gubernuran, Gubernur Yung Hwa yang menerima laporan tentang kereta selirnya yang kabur dan diselamatkan oleh cucu Sinshe Phang, menjadi terkejut akan tetapi juga girang. Dia lalu minta kepada selirnya untuk memanggil sinshe itu menghadap. Ketika bertemu dengan kakek yang tinggi besar itu, dan melihat cucunya yang tampan dan gagah, Gubernur Yung Hwa merasa suka sekali. Dia mengucapkan terima kasih dan memuji Ceng Liong.

“Hamba merasa terhormat sekali dapat memperoleh kesempatan untuk mengobati keluarga paduka yang sakit. Hamba sudah siap untuk mengobatinya,” Sinshe Phang berkata dengan sikap merendahkan diri.

“Sinshe, yang sakit adalah aku sendiri,” tiba-tiba selir itu berkata sambil tersenyum ramah. “Apakah engkau bisa menolongku?”

Sinshe Phang menjura.
“Mudah-mudahan hamba akan dapat menolong. Tidak tahu sakit apakah yang diderita oleh toanio?”

“Sudah lama sekali kepalaku sering pening, berdenyut-denyut dan mata berkunang-kunang. Sudah beberapa orang tabib dipanggil dan banyak sudah kumakan obat, akan tetapi penyakit itu tidak lenyap, hanya berkurang sedikit saja.”

Sinshe Phang mengangguk-angguk.
“Maaf, hamba harus memeriksanya lebih dulu sebelum menentukan penyakit dan obatnya.”

Gubernur Yung Hwa yang mencinta isterinya itu berkata,
“Mari, silahkan masuk ke kamar, Sinshe Phang.”

Sinshe Phang menghaturkan terima kasih,
“Ceng Liong, engkau menanti saja di sini dan bersikaplah yang baik.”

“Biar Kui Lan menemaninya,” kata nyonya itu dan Kui Lan yang memang merasa kagum dan suka kepada Ceng Liong lalu menarik tangan Ceng Liong dan mengajaknya untuk pergi ke taman.

Ceng Liong menurut saja walaupun dia merasa sungkan dan juga malu. Melihat sikap anak laki-laki itu, sang gubernur menggeleng-geleng kepala.

“Cucumu itu kelak tentu menjadi orang yang gagah.”

Sambil mengikuti suami isteri itu memasuki kamar, Sinshe Phang menjawab,
“Ah, seorang seperti hamba mana mungkin dapat mempunyai seorang cucu yang gagah?”

Sang gubernur tertawa.
“Aha, jangan kira aku tidak tahu, Phang-sinshe! Seorang yang kabarnya pandai bermain sulap, dan pandai mengobati seperti engkau ini, tentu seorang kang-ouw yang lihai. Apalagi mendengar betapa cucumu dapat menyelamatkan isteri dan anakku, tentu diapun telah kau gembleng dengan ilmu-ilmu yang tinggi!”

Diam-diam Sinshe Phang memuji ketajaman mata gubernur ini. Bagaimanapun juga, gubernur ini dahulunya seorang pangeran, bahkan masih paman dari kaisar yang sekarang maka tentu banyak tahu tentang dunia kang-ouw. Aku harus berhati-hati, pikir kakek itu.

Setelah berada di dalam kamar, dengan disaksikan oleh Gubernur Yung Hwa, Sinshe Phang memeriksa denyut nadi lengan selir itu, kemudian memeriksa beberapa bagian kepala dan lehernya. Segera dia mengetahui bahwa penyakit yang diderita oleh nyonya itu tidaklah begitu berat, maka dengan keahliannya pengobatan tusuk jarum, dengan mudah dia dapat menghilangkan penyakit itu. Tentu saja gubernur dan selirnya itu merasa berterima kasih dan girang sekali. Gubernur Yung Hwa lalu menjamunya.

Mereka makan minum berdua saja sambil bercakap-cakap karena Ceng Liong diajak makan sendiri oleh Kui Lan yang kini telah bersahabat dengannya.

“Ceng Liong, aku hampir tidak percaya bahwa engkau hanyalah cucu seorang penjual obat.”

Di waktu bermain-main Kui Lan berkata. Ceng Liong memandang tajam. Anak ini boleh juga, pikirnya, memiliki kecerdikan.

“Kenapa engkau berkata demikian, nona?”

“Sedangkan anak laki-laki putera para pembesar saja biasanya bersikap kasar, sombong padahal tidak pandai apa-apa. Akan tetapi engkau ini gagah berani dan tangkas, kulihat pandai dan bukan seperti anak dusun, akan tetapi sikapmu pendiam dan pandai merendahkan diri, ramah dan mengenal aturan. Tidak, engkau bukan anak dusun. Engkau pantasnya anak bangsawan atau hartawan besar!”





Tidak ada komentar:

Posting Komentar