FB

FB


Ads

Jumat, 31 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 106

Dan menyusul serangan suaranya itu, secepat kilat, Tang Cun Ciu menyambitkan pedangnya yang meluncur seperti anak panah ke arah tubuh lawan, sedangkan kedua tangannya sendiri lalu bergerak mendorong ke depan dalam penyerangan yang lebih hebat pula! Bukan main memang serangan wanita perkasa yang berjuluk Dewi Pengejar Arwah ini. Sekaligus ia telah melancarkan tiga macam serangan yang amat hebat! Hal ini membuktikan bahwa wanita ini pun telah melihat kenyataan bahwa ia takkan menang melawan pemuda tangguh ini, maka ia telah mengeluarkan “simpanan” terakhir, yaitu dengan penyerangan maut yang luar biasa ini!

Cin Liong juga maklum bahwa lawannya telah menjadi nekad dan bahwa lawannya hendak mengadu nyawa. Maka dia pun cepat beraksi, melepaskan pedang dari tangan kanan dengan melontarkannya ke depan juga, menyambut pedang lawan yang meluncur ke arah lehernya itu, dan dia pun menggerakkan kedua lengannya, didorongkan ke depan untuk menyambut lawan dengan jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat ilmu simpanan dari ayahnya yang membuat nama ayahnya terkenal sebagai Naga Sakti Gurun Pasir.

“Cringgg.... desss....!”

Dua batang pedang itu bertemu di udara dan keduanya meluncur ke bawah menancap di atas tanah sampai separuhnya lebih! Dan pada saat kedua pasang tangan itu bertemu, tubuh Tang Cun Ciu terhuyung ke belakang dan hampir saja jatuh kalau ia tidak cepat-cepat berjungkir balik membuat pok-sai (salto) sampai tiga kali, sedangkan tubuh Cin Liong hanya terdorong mundur dua langkah saja.

Marahlah Tang Cun Ciu, karena benturan terakhir itu sudah membuktikan bahwa ia telah kalah. Wanita ini memang memiliki kekerasan hati yang istimewa, dan keberanian yang luar biasa sekali sehingga tidak heran kalau ialah yang telah menggegerkan kota raja dan dunia kang-ouw dengan mencuri pedang pusaka dari istana!

Biarpun ia tahu bahwa pemuda itu terlampau kuat baginya, namun begitu ia sudah turun ke atas tanah, langsung saja tubuhnya meluncur lagi ke depan dengan loncatan seperti terbang cepatnya, dan kakinya telah melakukan tendangan terbang dan bertubi-tubi tiga kali, pertama tendangan ke arah kepala, ke dua ke arah ulu hati dan ke tiga ke arah pusar!

Cin Liong memandang kagum. Wanita ini benar-benar tangguh sekali. Cepat dia berloncatan mengelak dan setelah menghindarkan diri dari tiga tendangan itu, Cin Liong lalu membalas serangan dengan mengeluarkan jurus-jurus Sin-liong ciang-hoat! Dan mulailah Cun Ciu terdesak terus, main mundur dan tidak tahan menghadapi serangan-serangan yang aneh ini, yang dilakukan dengan tubuh lurus, kadang-kadang bahkan hampir mendekam ke atas tanah.

Setelah mencoba untuk menghindarkan diri sampai belasan jurus, akhirnya sebuah tendangan dari kaki kiri Cin Liong mengenai pinggir lututnya dan nyonya itu pun terpelanting roboh! Ia mencoba untuk meloncat bangun, akan tetapi roboh lagi karena lututnya terasa nyeri dan ternyata tulang lututnya telah terlepas sambungannya!

Bu Seng Kin cepat meloncat mendekati isterinya, dan dengan beberapa kali mengurut lutut itu maka tulangnya dapat tersambung kembali dan dengan berloncatan di atas sebelah kakinya, Tang Cun Ciu terpaksa mundur setelah mencabut pedangnya dari dalam tanah, duduk kembali dengan muka marah dan mulut cemberut. Ia tidak pedulikan Cin Liong yang sudah menjura kepadanya sambil berkata,

“Harap maafkan saya....”

Akan tetapi sikap pemuda ini sungguh membuat Bu-taihiap merasa kagum bukan main dan dia pun menarik napas panjang penuh penyesalan. Sayang, sungguh sayang sekali bahwa pemuda seperti ini tidak bisa menjadi mantunya. Betapa akan bangga hatinya mempunyai seorang mantu seperti pemuda ini yang selain pandai sehingga semuda itu sudah menjadi jenderal kepercayaan Kaisar, juga amat gagah dan rendah hati. Seorang pendekar komplit!

“Kedua orang isteriku yang bodoh telah kalah, maka sekarang biarlah aku si tua bangka yang tak tahu diri ini mohon pelajaran dari keluarga Kao!”

Dia sengaja menyebut keluarga Kao, karena untuk menantang Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir secara langsung dia masih merasa segan! Cin Liong yang masih berdiri di tengah ruangan itu dan kini melihat pendekar Bu sudah berdiri di depannya, lalu menjura dengan hormat.

“Bu-locianpwe, sesungguhnya kedatangan kami di sini sama sekali tidak mempunyai niat untuk bertanding dengan siapapun juga, apalagi bermusuhan dengan para pendekar yang kami hormati. Akan tetapi, sebagai seorang utusan Kaisar tentu saja saya harus melaksanakan tugas, dan setelah mendengar bahwa Sang Pangeran berada di sini, sudah menjadi tugas saya untuk membebaskannya. Dan untuk itu, kami tidak segan-segan untuk mengorbankan nyawa.

Hal ini tentu saja dapat dimaklumi oleh Locianpwe, dan saya harap saja Locianpwe tidak akan memejamkan mata melihat kenyataan bahwa segala yang dilakukan Kaisar sama sekali tidak dapat ditimpakan kesalahannya kepada Pangeran. Maka sekali lagi, saya harap Locianpwe suka mempertimbangkan dan menghabiskan segala macam perkelahian yang tiada gunanya sampai di sini saja dan membiarkan kami untuk mengawal Sang Pangeran pulang ke kota raja.”

Ucapan itu sungguh penuh kegagahan dan juga tak dapat dibantah kebenarannya. Semua pendekar yang berada di situ juga diam-diam merasa malu dan menganggukkan kepala mereka. Akan tetapi, di balik kebenaran yang nyata ini ada kebenaran lain, yaitu kebenaran yang khas dan mutlak bagi mereka, kebenaran perjuangan! Demi perjuangan, maka kebenaran yang lain boleh disingkirkan dahulu!

“Kao-goanswe, bukan kami tidak melihat kenyataan itu, akan tetapi kami juga mengharapkan pengertian dari keluarga Kao yang terhormat bahwa kami memperjuangkan tuntutan rakyat. Kami sendiri menghormat dan mengagumi Pangeran, bahkan juga menyayanginya sebagai seorang pangeran yang bijaksana dan baik. Akan tetapi kami tidak melihat cara lain untuk memaksakan tuntutan kami agar dipenuhi oleh Kaisar kecuali melalui penahanan diri Pangeran. Oleh karena itu, kami pun, demi perjuangan, rela untuk mengorbankan nyawa. Kami, biarpun bodoh, tidak dapat membenarkan sikap keluarga Kao yang kami hormati sebagai keluarga gagah perkasa itu, ialah untuk menjadi anjing penjilat Kaisar!”

“Bu-locianpwe!” Kao Cin Liong memandang dengan mata terbelalak marah mendengar makian itu.

“Cin Liong, mundurlah dan biarkan aku menghadapi Bu-taihiap, biar tua sama tua!”

Tiba-tiba nampak bayangan berkelebat, cepat bukan main dan tahu-tahu pria setengah tua berlengan buntung sebelah itu telah berdiri di dekat puteranya! Cin Liong menjura kepada Bu Seng Kin, dan tanpa berkata apa-apa lagi dia pun mundur dan duduk di dekat ibunya.






Kini puncak pertemuan itu pun terjadilah dan semua orang merasakan ketegangan ini, tahu pula bahwa kini berdiri dua orang setengah tua yang sama-sama sakti dan memiliki nama yang amat terkenal di dunia kang-ouw, walaupun keduanya jarang terjun ke dalam urusan dunia. Mereka itu sama-sama tenang dan berhadapan, saling pandang sambil tersenyum simpul, seolah-olah dua orang itu adalah sahabat-sahabat lama saling jumpa dan berhadapan, sama sekali tidak nampak kemarahan membayang di wajah mereka, sama sekali bukan seperti dua orang calon lawan yang saling berhadapan!

Hanya pada wajah kedua orang pria gagah inilah nampak perbedaannya. Kalau wajah Bu-taihiap selalu tersenyum ramah, wajah seorang pria tampan yang menarik hati, sebaliknya pada wajah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, biarpun juga tampan dan terang, namun wajah ini nampak amat berwibawa, terutama sekali sepasang matanya yang mencorong seperti mata naga itu! Wajah Si Lengan Buntung ini mendatangkan rasa segan dan jerih bagi mereka yang berhadapan dengannya dan yang mempunyai niat buruk. Pada saat itu, Kao Kok Cu memandang wajah lawan dengan penuh perhatian dan terdengar suaranya yang tenang dan tegas.

“Bu-taihiap, sayang sekali bahwa seorang pendekar seperti engkau masih mampu mengeluarkan kata-kata seperti itu. Perlu diketahui bahwa kami keluarga Kao, sejak dahulu, di jaman sebelum Pemerintah Ceng berdiri, nenek moyang kami telah hidup sebagai panglima-panglima perang. Kalau sekarang puteraku, sebagai keturunan mereka, menjadi seorang Panglima pula, hal itu bukan berarti bahwa keluarga Kao adalah anjing-anjing penjilat Kaisar! Keluarga kami belum pernah ada yang menjadi pemberontak!”

Bu-taihiap memperlebar senyumnya, akan tetapi senyumnya mengandung ejekan.
“Memang kami adalah pemberontak! Akan tetapi pemberontak terhadap kaisar lalim, terhadap kaisar penjajah! Kami memberontak karena itu merupakan perjuangan yang agung dan suci!”

“Dan dengan beberapa gelintir orang ini, kalian bermaksud untuk mengalahkan sebuah kerajaan?”

“Memang tidak mungkin, akan tetapi setidaknya kami dapat mengganggu pemerintah Kaisar lalim, mengacaukan sana-sini, menawan Pangeran untuk memaksa Kaisar memperlakukan kami dengan baik!”

“Dan akibatnya Kaisar membalas dendam kepada rakyat yang dianggap pengikut-pengikut kalian? Itukah hasilnya? Seperti yang baru-baru ini dilakukan Kaisar membakar biara Siauw-lim-si? Apakah itu yang kalian kehendaki?”

“Apa? Kao-taihiap menyalahkan kami dengan terjadinya peristiwa pembakaran kuil?”

Seorang di antara para pendekar Siauw-lim-pai berteriak penasaran. Kao Kok Cu menjawab tenang,

“Ada akibat tentu ada sebabnya! Akibat kekerasan tentu disebabkan oleh kekerasan pula! Bukankah terjadi penyerangan-penyerangan pribadi oleh jagoan-jagoan Siauw-lim-pai terhadap Kaisar? Bukankah itu juga merupakan sebab utama pembakaran kuil sebagai balas dendam?”

“Tapi, kalau kami menyerang Kaisar, hal itu ada sebabnya pula....”

“Aku tahu,” kata Kao Kok Cu. “Akibat dan sebab memang merupakan mata rantai yang tak terpisahkan. Satu sebab menimbulkan akibat dan si akibat itu menjadi sebab baru dari akibat lain yang baru pula, dan demikian seterusnya. Kalau perbuatan kalian ada sebabnya, maka harus diketahui pula bahwa perbuatan Kaisar pun ada sebabnya! Bukan aku membenarkan sikap Kaisar, sama sekali tidak. Akan tetapi kita harus dapat membuka mata melihat kenyataan, dan bertindak sebagai seorang pendekar sejati, bukan seperti orang-orang yang hanya mementingkan diri sendiri, menuruti dendam dan tanpa mempedulikan bahaya yang kita akibatkan dari perbuatan kita, yang akan menimpa orang-orang tak berdosa, seperti yang terjadi pada para pendekar Siauw-lim-pai!”

Kao Kok Cu bicara dengan penuh perasaan karena memang sesungguhnya pendekar ini merasa berduka sekali mendengar akan semua peristiwa itu. Dia tahu bahwa Kaisar Yung Ceng telah menyeleweng daripada kebenaran, menyalah gunakan wewenang dan kekuasaan untuk mengejar nafsu dan dendamnya sendiri. Akan tetapi, dia menganggap bahwa semua usaha para pendekar yang mengaku diri sebagai patriot-patriot itu pun tidak memperbaiki keadaan dan hanya terdorong oleh nafsu dendam belaka, jadi tidak ada bedanya dengan tindakan Kaisar pula.

Hening sejenak setelah pendekar berlengan satu itu bicara, karena kata-katanya tadi, yang dikeluarkan dengan suara mantap dan mengandung getaran kuat, meninggalkan kesan mendalam di hati para pendekar. Mereka dapat merasakan bahwa mereka berhadapan dengan seorang yang tidak biasa menjilat-jilat ke atas dan menekan ke bawah, seorang yang bertindak dengan bijaksana dan tahu betul bahwa tindakannya itu tidak menyimpang dari kebenaran.

Bu Seng Kin juga tahu akan hal ini, akan tetapi tentu dia tidak biasa mengalah begitu saja untuk menyerahkan Pangeran yang telah berada dalam kekuasaan mereka. Bagaimanapun juga, Pangeran merupakan kunci keberhasilan usahanya untuk memaksa Kaisar memperbaiki semua kesalahan yang telah dilakukan Kaisar. Membangun kembali biara Siauw-lim, membebaskan semua pendekar patriot daripada pengejaran dan lain-lain. Bukankah itu amat penting bagi perjuangan mereka?

“Kao-taihiap, terserah apapun yang menjadi pendapatmu, akan tetapi terus terang saja, kami tidak dapat membebaskan Pangeran sebelum ada jawaban datang dari Kaisar tentang tuntutan kami.”

“Bagus, kalau begitu marilah kita pertaruhkan Pangeran dalam pertandingan antara kita. Kalau aku kalah olehmu, kami akan pergi dari sini tanpa banyak bicara lagi, sebaliknya kalau engkau suka mengalah, engkau harus serahkan Pangeran kepada kami.”

“Terserah apa yang hendak kau lakukan, kami tetap mempertaruhkan Pangeran. Dan kalau engkau menantangku, Kao-taihiap, biarpun aku sadar akan kebodohanku sendiri dan akan kesaktianmu, maka aku pun tidak akan mundur selangkah pun!”

“Baik Bu Seng Kin, hari ini Kao Kok Cu minta pelajaran darimu!” kata Kao Kok Cu sambil melangkah maju mendekat.

“Akulah yang minta pelajaran darimu!” jawab Bu Seng Kin sambil memasang kuda-kuda.

Semua orang memandang dengan penuh perhatian, dengan hati berdebar karena tegang. Mereka memandang kagum melihat bhesi (kuda-kuda) yang dipasang oleh Bu-taihiap. Pendekar ini nampak gagah sekali, mula-mula berdiri di atas jari-jari kaki, kemudian menggerakkan kaki kanan ke depan membentuk kuda-kuda dengan kaki kanan di depan, lalu tubuhnya membalik ke arah lawan dan kuda-kudanya telah berubah menjadi kedua kaki terpentang dan ditekuk menjadi siku, tubuhnya lurus tegak, tangan kiri terbuka di depan dada kiri, membentuk cakar harimau, dengan telapak ke depan dan tangan kanan, juga seperti cakar harimau, telentang di pinggang kanan, sepasang matanya memandang lurus ke depan, ke arah lawan dan mulutnya yang khas, senyum yang mudah sekali meruntuhkan hati wanita itu.

Tanpa mengeluarkan kata-kata lagi, Kao Kok Cu yang mempelajari kedudukan kuda-kuda lawan, lalu membuat gerakan pula, kaki kanannya disepakkan ke samping lalu meluncur ke depan, terpentang jauh sehingga tubuhnya hampir menelungkup dengan kaki kanan jauh di depan dengan jari-jari membentuk cakar naga, lengan baju kiri yang kosong itu dikibaskan ke belakang dan menjadi kaku seperti diisi besi lurus ke belakang dan mukanya yang menunduk dalam itu nampak menjadi semakin pucat kehijauan, dan sepasang matanya mencorong dari bawah ke arah lawan!

Bu-taihiap terkejut dan bergidik. Dia dapat menduga bahwa inilah ilmu dari orang gagah ini yang membuat dia disebut Naga Sakti. Kuda-kuda itu seperti kedudukan seekor naga saja! Dan mata itu! Bu-taihiap maklum bahwa melawan orang seperti ini tidak boleh coba-coba, melainkan harus langsung mengeluarkan ilmu simpanan yang paling ampuh, karena melawan seorang yang amat lihai hanya ada dua pilihan, yaitu menang seketika atau terancam kekalahan. Tidak bisa dibuat berkepanjangan mengeluarkan jurus-jurus tidak berarti.

Maka dia pun lalu membuat gerakan lagi, kuda-kudanya berubah dan kini kedua kakinya merapat, berjingkat di atas ujung kedua sepatunya, kedua lengan diangkat tinggi-tinggi di atas kepalanya, membentuk paruh burung yang siap untuk mematuk lawan bebuyutan, yaitu ular atau naga. itulah kuda-kuda Ilmu Silat Kim-sin Ho-kun (Ilmu Silat Burung Bangau Emas) yang sebenarnya bersumber dari Ilmu Silat Ho-kun yang aslinya adalah dari Siauw-lim-pai akan tetapi yang telah dikombinasikan dengan ilmu aliran lain dan oleh Bu-taihiap dikembangkan dan diciptakan menjadi Kim-sin Ho-kun yang amat hebat. Demikian hebatnya ilmu ini sehingga tidak ada seorang pun di antara isterinya yang mampu menguasainya dengan baik, tidak ada seperempat bagian saja.

Akan tetapi, Bu-taihiap sendiri sebagai penciptanya telah menguasai dengan sempurna. Ujung jari-jari tangan yang dibentuk seperti paruh burung itu, dapat menotok semua bagian tubuh dengan amat kuatnya, juga dapat sekali patuk menghancurkan batu, dan di dalam lengan itu, dari siku sampai ke ujung semua jari, dipenuhi sin-kang yang membuat lengan itu kebal dan berani dipakai menangkis senjata tajam lawan. Selain itu, paruh burung itu pun dapat membuat gerakan “menggigit”, yaitu dengan membuka kumpulan jari untuk mencengkeram dengan kekuatan yang dahsyat! Saking kuatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam kedua lengan itu, maka gerakannya didahului oleh angin yang kuat dan bercuitan bunyinya.

Melihat gerakan lawan, Kao Kok Cu juga menggerakkan tubuhnya, kedua kakinya seperti didorong ke depan, tidak melangkah, melainkan bergeser maju dan ujung lengan baju kiri yang kosong dan tadi lurus menuding ke belakang itu kini terangkat melengkung ke belakang seperti ekor kalajengking.

Melihat lawannya tidak mengubah kuda-kuda, maklumlah Bu-taihiap bahwa memang lawannya telah mengeluarkan ilmu yang paling diandalkan, maka dia pun tidak mau sungkan-sungkan lagi dan membentak nyaring,

“Kao-taihiap, lihat serangan!”

Bu-taihiap menubruk ke depan, kedua tangan yang membentuk paruh burung itu menyerang ke arah kepala dan dada. Terdengar angin menyambar ketika kedua tangan itu menyambar dan tidak nampak oleh mata saking cepatnya. Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir juga menggerakkan tangan kanan dan lengan baju kosong yang melengkung ke atas itu, dengan menyeret kaki belakang ke depan menyambut serangan lawan.

“Plak! Dessss....!” paruh kanan Bu-taihiap tertangkis oleh lengan baju kosong, sedangkan paruh kirinya disambut oleh telapak tangan Kao Kok Cu.

Pertemuan dua tenaga sakti yang amat kuat itu hebat bukan main dan keduanya terdorong ke belakang! Semua yang hadir merasakan getaran hebat dari benturan tenaga itu, membuat rambut kepala mereka bersama pakaian mereka berkibar seperti mendadak ada angin keras melanda tempat itu!

“Bu-taihiap, awas seranganku!”

Tiba-tiba Kao Kok Cu membentak dan tubuhnya juga meluncur ke depan, tiba-tiba sampai di depan lawan tubuhnya membalik dengan putaran kakinya, lengan baju kosong itu menyambar seperti pecut atau seperti seekor naga yang memukul, disusul lengan kanannya yang menotok lambung lawan. Bukan main hebatnya serangan ini, karena ini adalah serangan dari Ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Mendekam di Bumi). Terdengar suara angin mendesir keras dan semua penonton yang berada terlalu dekat cepat mundur karena angin itu mengandung hawa panas!

Bu Seng Kin juga terkejut bukan main. Seperti lawannya tadi, dia pun tidak mau mengelak, melainkan cepat menggunakan kedua lengan untuk menangkis disertai pengerahan tenaga sekuatnya.

“Dukk! Dessss....!”

Kembali keduanya terdorong ke belakang, akan tetapi kalau Kao Kok Cu hanya terdorong dua langkah tanpa mengubah kedudukan kakinya karena hanya tergeser, maka lawannya terdorong dan melangkah mundur terhuyung sampai tiga langkah lebarnya!

Sudah cukup bagi mereka untuk mengadu tenaga keras lawan keras dan biarpun tidak banyak selisihnya, akan tetapi Bu-taihiap harus mengakui bahwa dia memang kalah kuat dalam hal kekuatan sin-kang. Kalau dia terus mengandalkan sin-kangnya mengadu kekuatan, akhirnya dia akan terancam luka dalam yang amat berbahaya. Kekuatan lawan itu tidak sewajarnya, dan mungkin karena sebelah lengannya buntung itulah maka lawan dapat menghimpun kekuatan yang demikian dahsyatnya. Maka dia pun lalu menerjang ke depan, sekali ini mengerahkan tenaga pada kecepatannya dan bagaikan seekor burung bangau beterbangan, dia sudah menyerang dengan lebih mengutamakan serangan dari arah atas tubuh lawan di sekitar kepala, leher dan dada.

Akan tetapi, Kao Kok Cu bersikap tenang sekali. Seperti seekor ular atau naga yang melingkar di atas tanah menanti serbuan burung dari atas, ular atau naga itu bersikap tenang dan hanya sekali-kali menggerakkan kepala atau ekornya untuk mematuk atau menyabet pada saat burung yang menjadi lawannya menyambar turun!

Kao Kok Cu tidak menyerang lebih dulu, hanya menanti sampai lawan melakukan serangan, barulah dia bergerak, kadang-kadang mendahului sehingga serangan lawan gagal dan berbalik menjadi terserang, atau juga dia menangkis atau mengelak sambil langsung saja membalas. Dengan cara demikian, biarpun Bu-taihiap nampaknya lebih sibuk dengan serangan-serangannya, namun sesungguhnya dialah yang terdesak karena setiap kali lawan membalas dia terpaksa harus menghindar cepat-cepat, seperti seekor burung yang selalu mengelak dari serangan ular atau naga di bawah.

“Wut-wut-wut-wuttt....!”

Tiba-tiba Bu-taihiap merubah gerakannya, menyerang tidak hanya dari atas, melainkan dari bawah dan gerakannya berubah menjadi gerakan harimau, akan tetapi masih ada dasar gerakan burung bangau. Kiranya dia telah berhasil mengkombinasikan kedua ilmu silat ini dan serangannya amat cepat, mendatangkan angin besar.

“Wir.... syuuut-syuutttt....!”

Kao Kok Cu mengelak dan membalas pula dengan lecutan lengan bajunya disusul hantaman tangan kanannya. Mereka saling serang dengan serunya. Pukulan dibalas pukulan secara langsung, dan dalam waktu singkat saja mereka telah saling serang dengan cepat dan mantap, pukul-memukul dan tangkis-menangkis, akan tetapi lebih banyak mereka itu saling mengelak dan saking cepatnya, sukar dilihat gerakan tangan mereka, bahkan tubuh mereka pun kini berputaran seperti benang ruwet menjadi satu!

“Plak! Dukk!”

Mereka terdorong ke belakang lagi, akan tetapi kini muka Bu-taihiap agak pucat dan mulutnya menahan rasa nyeri karena ternyata telah “tersentuh” ujung lengan baju yang tak berisi lengan tangan itu! Dia merasa penasaran dan menyerang lagi.

Kemudian terjadi pukul-memukul dan elak-mengelak, gerakan mereka itu seperti telah diatur saja, seperti dua orang seperguruan yang sedang berlatih silat, setiap pukulan mengenai tempat kosong dan selalu dibalas, ditangkis, membalas lagi, dielakkan dan menerima balasan. Begitu cepat dan hebat, angin menyambar-nyambar dan kini mereka berdua agaknya menggunakan tenaga lain karena lantai ruangan itu tergetar seperti ada gempa bumi.

Namun, kini mulai tampak betapa Bu-taihiap terdesak mundur dan wajahnya penuh keringat, dari kepalanya mengepul uap putih tebal sedangkan Kao Kok Cu hanya berkeringat sedikit saja dan belum ada uap mengepul dari kepalanya! Para ahli di situ maklum bahwa kekalahan Bu-taihiap agaknya tinggal menunggu waktu saja.

Perkelahian itu demikian menegangkan dan menarik perhatian semua orang yang hadir sehingga mereka tidak tahu sama sekali bahwa sejak tadi ada bayangan berkelebat di dekat ruangan itu, dan barulah mereka terkejut ketika bayangan seorang gadis yang memegang sebatang suling emas telah menyerbu medan pertempuran dan gadis itu membentak,

“Jangan bunuh ayahku!”

Kao Kok Cu kaget bukan main mendengar suara melengking tinggi dengan getaran yang luar biasa kuatnya dan melihat sinar kuning emas menyambar dengan totokan itu disambung dengan amat cepatnya ke arah tujuh bagian tubuhnya yang berbahaya! Bukan main cepatnya gerakan itu, dan bukan main kuatnya getaran tenaga khi-kang yang terkandung dalam setiap totokan. Hebatnya, kalau suling itu mengeluarkan hawa dingin, yang makin membahayakan totokan, tangan kiri gadis itu pun masih menampar ke bagian yang berlawanan dan tamparan itu mengandung hawa panas!

Gadis ini selain memiliki ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, kemudian akhir serangan pedang itu menjadi tusukan yang berubah menjadi totokan, juga memiliki sin-kang yang telah demikian kuat sehingga mampu mengerahkan dua macam hawa yang berlawanan dalam satu serangan! Belum pernah pendekar ini mengalami hal seperti ini, belum pernah menghadapi lawan sehebat ini, maka dia sampai mengeluarkan seruan

“Bagus sekali....!” dan cepat-cepat dia menghindarkan dirinya dengan putaran lengan baju kosong itu untuk menangkis setiap totokan dan berusaha melibat suling emas itu dengan lengan baju.

Sementara itu, Cin Liong yang sedang nonton pertempuran seru antara ayahnya dan Bu-taihiap dengan keuntungan di pihak ayahnya, maklum bahwa sebentar lagi ayahnya tentu akan keluar sebagai pemenang. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa heran dan marahnya ketika tiba-tiba ada wanita yang menyerang ayahnya dengan demikian hebatnya. Dan betapa kagetnya melihat bahwa dara itu adalah Ci Sian yang telah dikenalnya! Maka cepat dia pun meloncat ke medan pertempuran itu dan berseru keras,

“Ci Sian, Jangan serang ayahku!”

Karena Cin Liong menyerbu ke medan pertempuran sambil menggunakan kedua tangannya untuk merampas suling, dengan maksud menghentikan serangan dara itu, Ci Sian mengira bahwa pemuda itu menyerangnya. Maka dengan marah ia pun sudah meninggalkan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir dan kini ia menyerang Cin Liong!

Tentu saja Cin Liong menjadi kelabakan diserang kalang-kabut oleh suling emas itu. Dia terkejut sekali. Dahulu, ketika dia bertemu dengan gadis ini, Ci Sian belum memiliki ilmu yang sehebat ini. Akan tetapi sekarang, benar-benar dia terkejut bukan main karena serangan-serangan dara ini benar-benar luar biasa dahsyatnya, dan tenaga yang terkandung di dalam serangan-serangan itu juga amat kuat!

“Plak! Dukk!”

Karena tidak mungkin mengelak lagi dan dia tidak mau kepalanya remuk oleh pukulan suling, terpaksa dia menggunakan kedua tangannya, yang satu menangkis suling sedangkan yang kanan menangkis hantaman tangan kiri gadis itu, dan akibatnya dia terdorong ke belakang dengan dada terasa sesak karena kedua tangannya bertemu dengan dua kekuatan yang saling bertentangan, yang satu panas seperti api dan yang lain dingin seperti es!

Dan hebatnya, dara itu terus menyerang dengan hebat, menggunakan sulingnya sehingga karena kewalahan dan tahu bahwa serangan-serangan itu sungguh amat berbahaya, maka Cin Liong terpaksa di samping mengelak dan menangkis, juga harus balas menyerang untuk menahan gelombang serangan dara itu.

Sedangkan Bu-taihiap yang tiba-tiba wajahnya menjadi berseri melihat betapa dara itu yang dikenalnya sebagai yang diyakininya adalah puterinya sendiri, bangkit kembali semangatnya dan menyerang Kao Kok Cu!

Tentu saja peristiwa ini mengejutkan semua orang. Terutama sekali melihat betapa dara yang memegang suling itu benar-benar hebat sekali kepandaiannya dan suling yang dipakainya sebagai senjata itu selain menjadi sinar kuning emas yang bergulung-gulung, juga mengeluarkan bunyi seperti dimainkan dan ditiup oleh mulut yang pandai saja! Selagi semua orang kebingungan dan tidak tahu harus berbuat apa, tiba-tiba terdengar suara halus namun amat berwibawa,

“Harap Cu-wi hentikan semua pertempuran bodoh ini!”

Suara itu mengandung teguran dan penyesalan dan semua orang memang terkejut sekali karena yang bersuara itu bukan lain adalah Pangeran Kian Liong sendiri! Akan tetapi Pangeran itu tidak sendirian, karena di belakangnya berdiri seorang pemuda yang gagah perkasa dan bersikap tenang, dan pemuda itu berkata pula,

“Sumoi, harap mundur dan jangan berkelahi!”

Melihat munculnya Sang Pangeran, Kao Kok Cu dan Kao Cin Liong cepat melompat mundur dan menghampiri Pangeran itu. Pangeran Kian Liong adalah sahabat baik Cin Liong dan memang sejak dahulu Pangeran ini amat suka kepada pemuda itu, maka dia lalu mendekat. Ketika Cin Liong hendak memberi hormat, Sang Pangeran memegang lengannya dan berkata,

“Jenderal Muda yang gagah! Kiranya engkau telah datang pula, apakah sengaja mencariku?”

“Tldak, Pangeran, hamba mendengar Paduka di sini hanya kebetulan saja. Hamba sedang mencari Sim Hong Bu untuk minta kembali pedang pusaka kerajaan yang dicuri orang, dan hamba dibantu oleh ayah dan ibu hamba.”

“Ah, kalau Naga Sakti Gurun Pasir yang turun tangan, segalanya tentu beres!” kata Sang Pangeran dengan gembira.

Kemudian Pangeran itu menghadapi Bu-taihiap yang masih bingung melihat munculnya Pangeran itu secara tiba-tiba dan dia merasa ragu-ragu untuk memerintahkan teman-temannya mempergunakan kekerasan.

“Bu-taihiap, harap jangan heran kalau aku telah dibebaskan oleh pendekar sakti ini.” katanya sambil menunjuk kepada Kam Hong.

“Para pendekar yang menjagaku sama sekali bukan lawannya, dan dalam segebrakan saja mereka semua telah roboh dan pingsan. Apalagi dia datang bersama sumoinya, Nona Bu Ci Sian yang selalu melindungiku, dan biarpun Nona ini puterimu, namun kurasa tidak sependapat denganmu dalam hal perjuangan dan pemberontakan. Dan di sini kulihat ada Jenderal Kao Cin Liong yang gagah perkasa, dengan ayah bundanya yang lebih perkasa lagi, maka kiranya kalian para pendekar tidak akan mampu menahanku lagi.”