FB

FB


Ads

Jumat, 31 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 105

Entah siapa di antara mereka yang lebih terkejut dan heran ketika pihak tamu dan pihak tuan rumah itu bertemu di ruangan tamu yang luas itu. Kao Cin Liong dan ayah bundanya sama sekali tidak mengira bahwa yang menjadi pemimpin para pendekar patriot di Cin-an itu ternyata adalah Bu Seng Kin sekeluarga, sebaliknya Bu-taihiap juga tidak menyangka bahwa tamu-tamunya yang datang adalah Jenderal Kao Cin Liong dan Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya!

Sejenak mereka hanya berdiri bengong saling pandang, lupa untuk saling memberi hormat sebagaimana layaknya tamu dan tuan rumah! Akhirnya, Bu-taihiap yang memang berwatak lincah dan gembira itu tertawa bergelak.

“Ha-ha-ha, memang tidak salah dikatakan orang bahwa dunia ini tidaklah sebesar yang disangka orang! Tidak kami sangka akan dapat berjumpa di tempat ini dengan Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya yang gagah perkasa!”

Kecuali keluarga Bu yang sudah mengenal keluarga Kao ini, para pendekar patriot terkejut setengah mati seperti mendengar suara guntur di hari terang ketika mereka mendengar bahwa tamu itu adalah Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya bagi mereka seperti nama tokoh dongeng saja dan yang selamanya belum pernah mereka lihat orangnya.

Kini semua mata ditujukan kepada pria setengah tua berlengan satu itu bersama isteri dan puteranya, penuh kagum dan juga gentar karena mereka itu belum tahu apa yang diinginkan oleh pendekar sakti sekeluarga ini dengan munculnya di tempat itu dalam keadaan yang amat gawat, yaitu selagi Pangeran Mahkota menjadi tamu agung, juga tawanan mereka.

“Kami pun tidak mengira bahwa di sini akan dapat bertemu dengan Bu-taihiap yang ternyata kini mengumpulkan banyak orang-orang gagah!” kata Kao Kok Cu sambil memberi hormat yang dibalas dengan gembira oleh tuan rumah.

“Silakan duduk, silakan duduk dan selamat datang!” Setelah mereka semua duduk, Bu-taihiap bertanya, “Keperluan apakah kiranya yang dibawa oleh keluarga Kao yang mulia sehingga mau mendatangi tempat ini?”

“Yang mempunyai kepentingan adalah putera kami, maka biarlah dia yang menjelaskan,” kata pula pendekar itu dengan suara tenang.

Cin Liong lalu berkata sambil memandang ke kanan kiri karena dia tidak melihat adanya Hong Bu dan Pek In disitu,

“Bu-locianpwe,” katanya hormat. “Saya adalah utusan Kaisar yang sedang mencari seorang bernama Sim Hong Bu, dan karena semalam saya melihat dia memasuki rumah ini, maka saya minta dengan hormat kepada Locianpwe untuk memberitahukan kepada saya di mana adanya dia. Kalau masih berada di sini, hendaknya disuruh keluar menemui kami. Kalau sudah pergi, harap beri tahu ke mana perginya.”

Kembali Bu-taihiap tertawa bergelak. Di dalam hatinya, pendekar ini terkejut sekali melihat bahwa jenderal muda ini mencari Sim Hong Bu, dan isterinya Tang Cun Ciu yang duduk pula di situ tentu saja mengerti mengapa keluarga Kao mencari Hong Bu, akan tetapi dia diam saja hanya memandang tajam. Bu-taihiap yang masih merasa penasaran karena lamarannya ditolak tempo hari, kini memperoleh kesempatan untuk mengejek.

“Ah, sampai hampir lupa aku bahwa aku berhadapan dengan seorang jenderal kaki tangan Kaisar Mancu, juga aku lupa bahwa yang terhormat Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir adalah ayah dari jenderal besar antek Kaisar penjajah!”

Mendengar ejekan ini, Kao Kok Cu tersenyum saja dengan tenang. Akan tetapi isterinya, Wan Ceng, sudah bangkit berdiri dengan muka merah.

“Orang she Bu! Kenapa engkau menjadi tuan rumah yang begini kasar dan kurang ajar? Kalau mau menghina orang dan membawa-bawa keluarga, apakah engkau lupa bahwa yang pura-pura menjadi pimpinan pendekar patriot, akan tetapi di sini mempunyai seorang isteri yang pernah menjadi Panglima Nepal? Bukankah itu berarti bahwa engkau telah berkhianat dan bersekongkol dengan bangsa Nepal pula?”

Hebat sekali serangan kata-kata Wan Ceng ini. Wajah Bu Seng Kin menjadi merah sekali dan Nandini, Puteri Nepal itu sudah bangkit berdiri dengan marah.

“Sudah sepatutnya kalau pihak tamu yang bersopan diri!” bentak wanita ini. “Tamu yang menyerang tuan rumah dengan kata-kata adalah tamu-tamu yang tak tahu diri!”

Akan tetapi suaminya sudah memberi isyarat agar ia duduk kembali, dan wanita Nepal itu duduk dengan marah.

“Kao-taihiap datang bertiga dan agaknya sudah tahu bahwa kami di sini adalah pendekar-pendekar patriot yang menentang Kaisar Mancu yang lalim. Karena Sam-wi (Kalian Bertiga) merupakan utusan Kaisar, maka kami dapat saja nenganggap Sam-wi sebagai musuh-musuh kita, sebagai antek kaki tangan Kaisar. Kalau kami mengerahkan teman-teman untuk mengeroyok Sam-wi, apakah kalian tidak akan celaka?”

“Boleh coba! Siapa takut keroyokan?” tantang Wan Ceng dengan marah sambil bertolak pinggang.

Suaminya lalu memegang tangannya dan dengan halus membujuknya untuk duduk kembali. Cin Liong juga membujuk ibunya sehingga akhirnya nyonya yang keras hati ini mau duduk kembali dengan kedua pipi merah dan mulut cemberut, sepasang matanya mencorong penuh kemarahan.

“Harap saja Bu-locianpwe tidak berkata seperti itu. Kalau memang saya bermaksud buruk terhadap Bu-locianpwe dan semua teman, apa sukarnya bagi saya untuk datang bersama pasukan besar untuk menumpas kalian?”

“Seperti yang telah dilakukan terhadap Siauw-lim-si?” Bu-taihiap mengejek. “Lihat, di antara ratusan orang murid Siauw-lim-pai, hanya delapan saudara inilah yang dapat lolos,” katanya sambil menunjuk kepada delapan orang laki-laki gagah perkasa yang berdiri di sudut ruangan itu dengan sikap keren.

Cin Liong memandang kepada mereka dan berkata,
“Saya tidak tahu-menahu akan hal itu dan merasa ikut menyesal dengan terjadinya hal itu. Akan tetapi, kedatangan kami tanpa pasukan hanya untuk menunjukkan bahwa kami tidak bermaksud buruk terhadap Locianpwe dan teman-teman.”

“Ha-ha-ha, boleh saja kalau Kao-goanswe (Jenderal Kao) hendak membawa pasukan besar. Hendak kulihat apa yang dapat mereka lakukan kalau kuberi tahu bahwa Pangeran Kian Liong telah berada dalam tahanan kami!”






Bukan main kagetnya Kao Cin Liong dan ayah bundanya mendengar ini. Mereka merasa terkejut dan juga khawatir. Dan Cin Liong menghadapi dua hal yang amat penting, yaitu soal merampas kembali pedang Koai-liong Po-kiam dan soal menyelamatkan Pangeran Mahkota. Tentu saja menyelamatkan Pangeran lebih penting. Hal ini juga diketahui oleh Kao Kok Cu. Maka pendekar ini lalu berkata dengan suaranya yang tenang sekali.

“Bu-taihiap, urusan putera kami berkenaan dengan perintah Kaisar memang adalah urusannya sendiri, akan tetapi kalau sudah menyangkut diri Pangeran Mahkota, mau tidak mau aku pun terpaksa harus melibatkan diri. Siapa pun orangnya yang hendak mengganggu pribadi Pangeran Kian Liong, akan kuhadapi sebagai lawan! Nah, kami bertiga sudah berada di sini, dan kami bertiga siap mempertaruhkan nyawa kami demi melindungi keselamatan Sang Pangeran! Kalau kalian semua yang mengaku orang-orang gagah dan pendekar-pendekar hendak mengganggu Pangeran yang tidak mempunyai sangkut-paut dengan kelaliman Kaisar, maka kalian adalah orang-orang licik dan curang. Kami bertiga menantang untuk mengadu ilmu, guna memperebutkan Pangeran!”

Bu-taihiap menjadi marah mendengar ini. Memang dia pun ingin membalas penghinaan tempo hari karena lamarannya ditolak. Akan tetapi, sebagai seorang pendekar besar dia pun tidak sudi untuk melakukan pengeroyokan.

Nandini, Puteri Nepal yang merasa sakit hati karena penolakan lamaran tempo hari, kini mendengar pula penghinaan yang ditujukan kepada dirinya, sudah tidak dapat menahan kemarahannya lagi. Dalam hal kekerasan hati, wanita ini tidak kalah oleh Wan Ceng, maka ia pun sudah bangkit berdiri lagi.

“Bagus! Tamu menantang tuan rumah, sungguh merupakan kekurangajaran yang memuncak. Akulah yang akan maju lebih dulu melawan keluarga Kao yang sombong dan tinggi hati!”

Berkata demikian, wanita Nepal ini telah mencabut pedang dan berdiri tegak, sinar matanya tertuju kepada Wan Ceng maka jelaslah oleh siapa pun juga bahwa wanita ini menantang isteri Naga Sakti Gurun Pasir! Tentu saja Wan Ceng merasa bahwa dirinya ditantang, maka ia pun meloncat bangun dan membentak,

“Siapa sih takut melawan perempuan Nepal, panglima yang sudah jatuh dan kini menjadi selir orang?”

Semua orang yang berada di situ maklum bahwa pertempuran tidak mungkin dapat dihindarkan lagi, maka mereka mundur sambil menarik bangku masing-masing, memberi tempat yang luas bagi mereka yang hendak berlaga.

Kao Kok Cu dan Bu Seng Kin tidak dapat melarang isteri masing-masing. Pula, mereka yang akan berlaga adalah wanita lawan wanita dan masing-masing percaya akan kelihaian isteri mereka, dan perkelahian dilakukan dengan satu lawan satu, maka sebagai orang-orang gagah mereka merasa malu untuk melarang.

Wan Ceng tersenyum dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berkilat, mulutnya tersenyum mengejek ketika ia pun mencabut pedangnya yang begitu dicabut, membuat semua orang merasa serem. Pedang itu adalah pedang Ban-tok-kiam (Pedang Selaksa Racun) yang hawanya saja sudah terasa oleh semua orang, hawa yang mengerikan.

“Hemm, engkau menantang sambil mencabut pedang, berarti engkau sudah bosan hidup!” kata Wan Ceng sambil melintangkan pedang di depan dada. “Mulailah!”

“Isteriku, jangan sampai membunuh orang!” tiba-tiba terdengar Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir berkata dengan halus kepada isterinya.

Wan Ceng menoleh kepada suaminya, melihat sepasang mata suaminya memandangnya penuh teguran. Ia pun tersenyum, mengangguk dan menoleh lagi kepada Nandini sambil berkata,

“Untung bagimu, suamiku melarangku membunuhmu.”

Ucapan terakhir ini merupakan kata-kata yang oleh Nandini diterima sebagai kesombongan yang melampaui batas dan amat menghina. Ia adalah seorang bekas panglima yang tentu saja menganggap kematian dalam pertempuran sebagai hal yang sudah wajar dan tidak perlu ditakuti, akan tetapi calon lawannya begitu memandang ringan kepadanya, seolah sudah memastikan bahwa ia akan kalah!

“Tak perlu banyak cerewet, bersiaplah untuk mampus!” pedangnya menyambar ganas dan wanita Nepal ini sudah menerjang dengan dahsyat.

Wanita ini jauh lebih tinggi daripada Wan Ceng dan memiliki tenaga besar, dan karena hatinya marah sekali, maka begitu menerjang ia telah melakukan serangkaian serangan yang bertubi-tubi. Wan Ceng memutar Ban-tok-kiam dan menangkis atau mengelak dari semua serangan itu, diam-diam memperhatikan gaya ilmu pedang lawan yang ternyata tidaklah lemah.

Dan memang Nandini selama ini memperoleh petunjuk dari suaminya sehingga ilmu pedangnya memperoleh kemajuan pesat. Betapapun juga, yang dilawannya adalah Wan Ceng, seorang wanita yang selain memiliki tenaga sin-kang yang hebat berkat anak ular naga yang pernah dimakannya (baca cerita Sepasang Rajawali), juga ia mempelajari banyak macam ilmu dan akhirnya menerima petunjuk dari suaminya yang sakti.

Maka, menghadapi Wan Ceng, Nandini masih kalah setingkat, lebih dari itu, pedang di tangan Wan Ceng adalah pedang Ban-tok-kiam yang menggiriskan. Baru hawa pedang saja kalau menyambar mendatangkan rasa dingin dan perih, dan kalau sampai mengenai kulit lawan, amatlah berbahaya karena tanpa adanya obat penawar dari Wan Ceng, nyawa lawan sukar tertolong lagi! Agaknya Nandini mengenal pedang ampuh dan berbahaya, maka ia pun memutar pedangnya dengan cepat untuk melindungi tubuhnya agar jangan sampai terluka pedang lawan.

Kao Kok Cu yang melihat betapa isterinya masih lebih tinggi ilmunya, merasa khawatir kalau-kalau pihak lawan akan terluka oleh Ban-tok-kiam, maka dia meneriaki isterinya,

“Isteriku, jangan menggunakan Ban-tok-kiam!”

Mendengar kata-kata ini, Wan Ceng tertawa lalu menyimpan kembali pedangnya. Melihat ini, Nandini juga menghentikan serangan pedangnya. Ia tidak mau menyerang lawan yang sudah menyimpan senjatanya. Hal ini saja sudah membuat berkurang kebencian dari hati Wan Ceng. Kiranya wanita Nepal ini memiliki watak yang gagah pula, pikirnya kagum. Ia tadi mentaati suaminya bukan karena ia takut kepada suaminya.

Sama sekali tidak, bahkan terlalu sering ia membantah sampai membuat suaminya kadang-kadang pusing. Akan tetapi ia kini menurut karena dengan perbuatan itu seolah-olah ia telah menang angin dan “mengampuni” lawan. Kini ia tersenyum dan mengeluarkan dua buah pisau belati dari pinggangnya. Inilah sepasang senjatanya yang amat diandalkan ketika ia masih gadis dahulu. Sepasang belati ini sama sekali tidak beracun, dan memang inilah yang dikehendaki oleh suaminya.

Kalau hanya menghadapi Nandini dengan kedua tangan kosong, amatlah berbahaya bagi Wan Ceng, akan tetapi dengan senjata sepasang belati ini, Kao Kok Cu dapat menilai bahwa isterinya takkan kalah, dan kalau sampai isterinya melukai lawan sekalipun, maka luka dengan belati jauh lebih ringan kalau dibandingkan dengan luka karena Ban-tok-kiam.

Melihat Wan Ceng telah memegang sepasang pisau belati, Nandini mengeluarkan teriakan nyaring dan sudah menyerang lebih ganas daripada tadi. Wanita ini semakin penasaran dan marah karena pergantian senjata dari lawan itu jelas merupakan penghinaan dan pandangan yang merendahkan dirinya.

Sementara itu, diam-diam Bu-taihiap mengeluh karena dia tahu bahwa isterinya ini masih kalah dibandingkan dengan nyonya pendekar Gurun Pasir itu. Akan tetapi dia pun merasa kagum dan lega bahwa Naga Sakti Gurun Pasir itu menyuruh isterinya berganti senjata. Dia mengenal pedang yang amat menggiriskan itu dan tadi diam-diam dia mengkhawatirkan keselamatan isterinya. Betapapun juga, dia merasa menyesal akan watak keras Nandini yang telah berani maju, tidak memperhitungkan kepandaiannya sendiri.

Memang, isterinya itu telah memiliki kepandaian yang cukup hebat dan di atas kepandaian kebanyakan orang, namun dibandingkan dengan dua isterinya yang lain, yaitu Gu Cui Bi dan Tang Cun Ciu, Nandini masih kalah jauh. Andaikata yang maju tadi Gu Cui Bi agaknya baru ramai melawan nyonya galak itu, dan kalau Tang Cun Ciu yang maju, dia yakin pihaknya akan menang.

Akan tetapi dia pun tahu bahwa tentu saja Nandini yang maju karena isterinya itu tentu saja merasa sakit hatinya oleh penolakan ikatan jodoh antara puterinya dan putera keluarga Kao, maka tadi pun dia tidak melarang.

Kekhawatiran pendekar ini memang terbukti. Biarpun kini ia telah berganti senjata dengan sepasang belati, namun ternyata memang tingkat kepandaian Wan Ceng masih menang dibandingkan dengan lawannya, maka setelah lima puluh jurus, Wan Ceng “mengunci” pedang lawan dengan putaran pisau belatinya yang kiri, dan cepat sekali pisau belatinya yang kanan bergerak ke depan.

Mestinya pisau belati itu menusuk lambung, akan tetapi sengaja ia menurunkan sasarannya sehingga pisau belatinya menusuk dan merobek paha kiri lawan. Nandini mengeluarkan teriakan kaget dan meloncat ke belakang, terhuyung karena pahanya terobek dan berdarah cukup banyak. Melihat ini, Siok Lan berteriak marah dan meloncat ke depan untuk menyerang Wan Ceng, akan tetapi Bu-taihiap membentak.

“Siok Lan, mundur kau!”

Gadis itu memandang marah, akan tetapi tidak melanjutkan serangannya lalu memapah ibunya dan merawat luka di paha dengan obat dan membalutnya.

Gu Cui Bi, isteri Bu-taihiap yang lain, tetap duduk diam saja tidak mau mencampuri urusan itu. Keluarga Kao ribut dengan suaminya dan Nandini, ia tahu karena lamaran ditolak dan hal ini tidak ada sangkut-pautnya dengan dirinya. Bahkan adanya Siok Lan sebagai puteri suaminya dan Nandini itu kadang-kadang mendatangkarn rasa iri dalam hatinya. Maka kali ini ia pun diam saja.

Berbeda dengan Tang Cun Ciu, mendengar bahwa keluarga itu datang untuk mengejar Sim Hong Bu dan tentu saja untuk merampas kembali Koai-liong Po-kiam, ia sebagai pencuri pedang itu dari istana merasa ikut bertanggung jawab. Melihat kekalahan Nandini dan melihat ilmu silat isteri Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir itu, ia merasa sanggup untuk menandinginya, maka sekali meloncat ia sudah berada di tengah ruangan itu menghadapi Wan Ceng.

“Biarlah aku yang melawan pengacau!” teriaknya.

Wan Ceng mengenal wanita ini, maka ia tersenyum mengejek.
“Tidak usah isteri orang she Bu maju satu demi satu, biarlah maju semua sekaligus, biar ada seratus orang sekalipun, siapa takut?”

Tentu saja ejekan ini amat menyakitkan, akan tetapi Bu-taihiap yang memang merupakan seorang pria yang paling tebal muka terhadap urusan wanita, tertawa,

“Wah, kalau ada seratus, betapa senangnya, akan tetapi aku tentu repot sekali! Ha-ha-ha!”

Diam-diam Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir mengerutkan alis, akan tetapi dia tidak berkata apa-apa, hanya hatinya yang berbisik betapa pria itu benar-benar merupakan seorang perayu wanita, seorang bandot yang luar biasa akan tetapi juga jujur!

“Ibu, harap suka mundur, biarkan aku menghadapi nyonya ini!” tiba-tiba Cin Liong sudah meloncat maju ke dekat ibunya.

Wan Ceng sebenarnya tidak takut menghadapi Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, hanya ia agak lelah menghadapi Nandini yang cukup tangguh tadi, maka ia mengangguk lalu mundur, duduk di dekat suaminya.

Sejenak mereka saling berhadapan dan saling berpandangan. Keduanya sama-sama maklum bahwa lawannya yang dihadapi amatlah tangguhnya. Cin Liong sudah tahu bahwa wanita yang bernama Tang Cun Ciu ini berjuluk Cui-beng Sian-li (Dewi Pengejar Arwah), seorang wanita yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali, seorang tokoh dari keluarga Lembah Suling Emas yang terkenal lihai itu.

Bahkan wanita inilah yang telah mencuri pedang pusaka Koai-liong-pokiam dari gudang istana! Sementara itu, Tang Cun Ciu juga tidak berani memandang rendah lawannya. Biarpun pernuda ini masih muda, akan tetapi pemuda ini adalah putera Naga Sakti Gurun Pasir, dan sedemikian mudanya telah diangkat menjadi jenderal yang berarti bahwa tentu dia memiliki ilmu kepandaian yang hebat.

Dengan gerakan yang halus Tang Cun Ciu mencabut sebatang pedang dari punggungnya. Wanita ini memiliki banyak macam ilmu silat, akan tetapi kelihaiannya memang dalam bersilat pedang, dan untuk ilmu ini ia pernah menerima ilmu dari mendiang suaminya, yaitu Cu San Bu, yaitu yang disebut Pat-hong Sin-kiam (Pedang Sakti Delapan Penjuru Angin). Ilmu ini telah dipecah menjadi dua, yaitu ilmu silat tangan kosong. Dan gerakan ilmu pedangnya juga berdasar dari ilmu keluarga Cu yang amat tangguh.

“Jenderal Muda, keluarkanlah senjatamu!” tantangnya dengan suara lantang namun sikapnya tenang seolah-olah wanita setengah tua yang masih cantik ini sudah yakin akan kemenangannya.

Cin Liong sebetulnya lebih suka menghadapi lawan dengan mengandalkan kaki tangan saja, akan tetapi dia menghadapi isteri seorang locianpwe, maka dia tidak ingin dianggap memandang rendah kalau bertangan kosong saja. Maka dia pun mencabut sebatang pedang, yaitu pedang pemberian Kaisar sendiri sebagai tanda pangkatnya. Karena dia sedang menjalankan tugas sebagai utusan Kaisar, maka biarpun dia mengenakan pakaian biasa, namun pedang pangkatnya itu tidak pernah ditinggalkannya. Melihat Cin Liong sudah mencabut senjatanya pula, Tang Cun Ciu lalu membentak,

“Lihat senjata!”

Dan pedangnya yang sudah berkelebat, berubah menjadi sinar yang amat menyilaukan mata karena cepatnya.

“Tranggg....!”

Cin Liong sengaja menangkis karena dia hendak menguji sampai di mana kuatnya tenaga lawan. Kedua pihak merasa betapa tangan mereka yang memegang pedang itu tergetar hebat, tanda bahwa pertemuan kedua pedang itu amatlah kuatnya, dan tahulah mereka bahwa pihak lawan memang memiliki sin-kang yang kuat.

Mereka sejenak memandang ke arah pedang masing-masing dan merasa lega bahwa pedang mereka tidak rusak oleh pertemuan yang amat keras tadi. Tang Cun Ciu sudah menyerang lagi, lebih hebat daripada tadi, dan kini ia tidak mengandalkan tenaga melainkan kecepatannya. Pedang itu lenyap, berubah menjadi sinar yang bergulung-gulung menghujankan serangan dari berbagai jurusan ke arah Cin Liong.

Pemuda ini sebaliknya bergerak dengan amat cepatnya, namun gerakannya mantap dan setiap serangan lawan dapat dihalaunya dengan tepat, baik dengan tangkisan maupun dengan pengelakan. Dan biarpun setiap tiga kali serangan lawan baru dapat dibalasnya dengan satu kali saja serangan, namun serangannya amat kuat dan berbahaya sehingga setiap kali dibalas, nyonya itu terpaksa menarik gulungan sinar pedangnya untuk membentuk benteng kuat dan biarpun demikian tetap saja ia harus melangkah dua tiga tindak ke belakang.

Semua orang yang hadir memandang dengan mata penuh ketegangan, dan para pendekar patriot memandang dengan mata hampir tak pernah berkedip. Para murid Siauw-lim-pai yang berada di situ adalah ahli-ahli silat yang lihai, akan tetapi menyaksikan perkelahian antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu melawan jenderal muda itu mereka merasa kagum dan takjub bukan main. Barulah mereka tahu bahwa tingkat kepandaian mereka sungguh masih jauh dibandingkan dengan kedua orang yang sedang bertanding ini. Mereka mengagumi isteri dari pimpinan mereka, akan tetapi mereka pun tercengang menyaksikan gerakan Cin Liong.

Hanya pandang mata Bu-taihiap dan Kao Kok Cu saja yang dapat menilai dan tahu apa yang terjadi dalam perkelahian yang nampaknya seolah-olah nyonya itu di pihak yang lebih kuat karena lebih banyak menyerang. Mereka berdua ini tahu benar bahwa sesungguhnya, nyonya itu kewalahan menghadapi Cin Liong!

Dalam mengadu tenaga, jelas kalah kuat, dan mengandalkan gin-kang atau keringanan tubuh untuk bergerak cepatnya tidak menolong karena pemuda itu pun ternyata memiliki gin-kang yang tidak kalah hebatnya. Biarpun ilmu pedang nyonya itu istimewa dan merupakan ilmu pedang pilihan, namun sebaliknya pemuda itu juga telah memiliki ilmu pedang yang luar biasa sekali.

Perkelahian ini jauh lebih menegangkan daripada perkelahian pertama antara Nandini dan Wan Ceng. Para penonton saja merasakan getaran-getaran dari gerakan mereka yang amat kuat, dan angin menyambar-nyambar ke segala penjuru. Kadang-kadang, mereka yang kurang tinggi tingkat kepandaiannya tidak mampu lagi mengikuti gerakan kedua orang ini yang lenyap terbungkus gulungan sinar pedang mereka. Bagi mereka ini, yang nampak hanya kaki dan tangan kedua orang itu saja yang kadang-kadang lenyap di antara gulungan sinar pedang, kadang-kadang nampak bergerak ke sana-sini, bahkan tangan dan kaki itu bukan hanya dua pasang, melainkan banyak sekali saking cepatnya kaki dan tangan itu bergerak!

Akan tetapi Bu-taihiap mengerutkan alisnya. Isterinya itu, betapapun lihainya, agaknya tidak akan mampu menanggulangi pemuda yang amat lihai itu. Diam-diam dia menarik napas panjang. Tingkat kepandaian isterinya sudah tinggi sekali, dia sendiri pun hanya menang tidak banyak dibandingkan dengan isterinya itu. Kalau sekarang isterinya kalah oleh pemuda ini, maka tinggal dia seoranglah. Mungkin dia akan dapat menandingi pemuda itu, akan tetapi mampukah dia menandingi Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir?

Diam-diam dia bergidik. Baru puteranya saja sudah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya, apalagi pendekar sakti itu sendiri! Hal ini bukan timbul karena dia merasa takut atau gentar, sama sekali tidak. Melainkan dia khawatir kalau-kalau memang keluarga pendekar Kao ini hendak menggunakan kekerasan untuk merampas Sang Pangeran, dia pun terpaksa akan menggunakan kekerasan mengancam Pangeran untuk sandera.

Ini bukan urusan pribadi, melainkan urusan perjuangan, dan untuk perjuangan, maka segala kehormatan pribadi boleh ditinggalkan lebih dulu! Untuk perjuangan, demi kemenangan perjuangan, tidak ada yang dinamakan curang. Segala jalan demi kemenangan perjuangan adalah benar, demikianlah pendapat para cendekiawan di jaman dahulu!

Kita tidak dapat menyalahkan jalan pikiran pendekar Bu Seng Kin ini. Memang kenyataannya pun demikianlah. Semenjak jaman dahulu, kekuasaan membuat manusia mampu melakukan segala macam kekejian dan kelicikan. Semenjak jaman dahulu, ada saja sekelompok orang yang memegang kekuasaan atas orang terbanyak, disebut penguasa, pemimpin, atau pemerintah, yang dengan segala daya upayanya hendak mempertahankan kekuasaannya, bahkan hendak memperkuat dan memperbesar kekuasa-annya. Dan untuk mempengaruhi orang terbanyak, untuk dapat mempergunakan tenaga mereka semua itu, muncullah slogan-slogan dan anjuran-anjuran yang muluk-muluk.

Tentang kepahlawanan, tentang sucinya perjuangan dan banyak lagi pujuan-pujian bagi mereka yang mau berjuang alias menghadapi musuh dengan taruhan nyawa, tentu saja didengungkan bahwa taruhan nyawa itu adalah untuk tanah air, untuk bangsa, dan sebagainya lagi. Bahwa apapun yang dilakukan manusia demi kemenangan perjuangan adalah suci dan agung!

Betapa anehnya, betapa munafiknya dan betapa kejamnya. Di dalam perang, yang diperhalus dengan sebutan perjuangan,dan sebagainya, yang pada hakekatnya hanyalah kebencian yang memuncak dan bunuh membunuh antara manusia, timbullah kejanggalan-kejanggalan yang mengerikan. Segala macam perbuatan manusia yang dalam keadaan wajar dianggap sebagai perbuatan jahat dan haram, di dalam perjuangan itu pun dihalalkan. Membunuh seorang manusia saja dalam keadaan atau waktu yang wajar akan dianggap kejahatan yang amat besar dan si pembunuh akan dituntut, dihukum seberat-beratnya.

Namun, di dalam perjuangan atau perang, membunuh sebanyak-banyaknya manusia, yang kebetulan berada di pihak musuh, dianggap sebagai perbuatan yang mulia, gagah berani, dan si pembunuh akan dipuji-puji, bahkan diberi hadiah-hadiah dan dinamakan pahlawan, menerima bintang dan sebagainya lagi. Demikian pula, segala macam perbuatan yang biasanya dianggap jahat dan haram dan si pelakunya dihukum, dalam masa perang yang dinamakan perjuangan itu si pelakunya dianggap baik, halal, berjasa dan diberi hadiah dan pujian. Di sini berlaku istilah tujuan menghalalkan segala cara!

Apakah benar bahwa suatu tujuan, apapun juga itu namanya, yang dijangkau dengan jalan kekerasan, kekejaman, pembunuhan, kepalsuan seperti itu, adalah tujuan yang suci murni? Dapatkah tujuan terlepas daripada sifat pelaksanaan atau caranya mencapai tujuan itu? Bukankah di dalam tujuan itu terkandung si cara, sebaliknya di dalam cara itu terkandung pula si tujuan? Benarkah jalan penipuan, kebencian, pembunuhan, kekerasan dan kepalsuan itu akan membawa kita kepada sesuatu yang luhur dan suci?

Pertanyaan-pertanyaan ini amatlah penting bagi kita semua dan kiranya perlu kita selidiki bersama dengan membuka mata, membuang semua teori-teori lapuk karena teori-teori itu hanya kita pergunakan untuk mengecat dan memperhalus kesemuanya itu belaka, untuk kita pergunakan sebagai bahan-bahan pembelaan diri untuk membenarkan segala cara yang jelas kotor dan keji itu. Kalau sudah begitu, barulah kita dapat memandang dengan sempurna, melihat keadaannya seperti apa adanya, dan dapat menyelidik sampai sedalam-dalamnya tanpa terpengaruh oleh segala macam pendapat-pendapat yang pada hakekatnya hanyalah untuk membenarkan diri sendiri belaka.

Kekhawatiran Bu-taihiap memang terbukti. Setelah perkelahian itu lewat kurang lebih seratus jurus, tiba-tiba Tang Cun Ciu mengeluarkan pekik melengking yang amat mengejutkan semua orang. Pekik ini bukan seperti suara manusia, melainkan seperti suara suling ditiup dengan nada tinggi sekali! Melengking nyaring dan langsung menyerang jantung lawan melalui pendengarannya!

Mendengar ini, Cin Liong terkejut sekali dan cepat dia pun mengerahkan sin-kangnya untuk melawan dan menahan serangan melalui khi-kang istimewa ini. Dan memang itu adalah inti dari ilmu para penghuni Lembah Suling Emas, yaitu khi-kang yang dapat dikerahkan melalui suara dan suara itu sendiri dapat menyerang lawan yang dihadapinya.

Lawan yang kurang kuat, baru mendengar suara ini saja sudah tergetar jantungnya dan dapat membuat menjadi lumpuh atau gugup, atau setidaknya menjadi kacau. Kekuatan suara seperti ini dimiliki pula oleh binatang-binatang buas seperti harimau, singa dan lain-lain, yang dengan suaranya saja sudah mampu membuat calon korban menjadi lumpuh!