FB

FB


Ads

Jumat, 31 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 104

Hati Cia Han Beng merasa bingung dan gelisah sekali. Dia merasa menyesal bahwa dara yang membuatnya jatuh cinta, ternyata tidak sepaham dengan dia mengenai perjuangan para patriot. Bahkan dara itu dengan kekerasan telah membawa pergi Sang Pangeran, dan dia sama sekali tidak ada keberanian hati, atau lebih tepat lagi tidak tega untuk menentang dengan kekerasan. Dia merasa betapa tiba-tiba dia menjadi seorang yang lemah sekali, dan dia tahu bahwa selama Ci Sian melindungi Sang Pangeran, dia tidak akan tega untuk merebut Pangeran itu.

Dia pun tahu bahwa Ci Sian hanya bertindak sebagai seorang pendekar, sama sekali tidak memihak pemerintah dan menentang para patriot, melainkan hanya ingin melindungi yang lemah dari ancaman bahaya seperti selayaknya dilakukan oleh seorang pendekar. Hal inilah yang membuatnya bingung dan putus asa. Andaikata Ci Sian itu seorang penjilat pemerintah penjajah tentu cintanya akan dapat dilawannya sendiri dan dia tentu akan mau menentang dara itu. Akan tetapi, dara itu adalah seorang pendekar yang mengagumkan hatinya.

Tak mungkin aku berhasil sebagai seorang patriot kalau begini, keluhnya dengan hati kesal sekali setelah dia berpisah dari Ci Sian. Tidak, dia akan mengambil cara lain. Dia tahu bahwa Pangeran Kian Liong memang seorang pemuda yang hebat dan bijaksana, maka dia pun tidak terlalu menyesal akan sikap Ci Sian. Dia sendiri, andaikata dia tidak mempunyai jiwa pemberontak terhadap kekuasaan penjajah, tentu dia pun tidak akan segan untuk mempertaruhkan nyawanya guna membela seorang pangeran mahkota yang bijaksana seperti Pangeran Kian Liong.

Yang jahat, yang menjadi biang keladi semua peluapan kemarahan hati para patriot adalah kelaliman Kaisar! Kaisarlah yang harus dibasmi! Peristiwa pembakaran biara Siauw-lim-si, perlakuan sewenang-wenang terhadap orang-orang Han, semua itu adalah perbuatan Kaisar yang membenci orang Han. Dan kalau dia telah gagal menangkap Pangeran, masih ada jalan lain baginya yang lebih langsung dan tepat, yaitu menyerbu ke istana dan mencoba untuk membunuh Kaisar.

Dia tahu bahwa perbuatan ini amat berbahaya, karena istana merupakan tempat yang amat kuat dengan penjagaan ketat, di mana berkumpul perwira-perwira berkepandaian tinggi dan pengawal-pengawal yang gemblengan. Akan tetapi, dia mempunyai harapan. Bukankah ibu kandungnya berada di sana sebagai selir Kaisar?

Demikianlah, dengan hati yang telah mengambil keputusan tetap, Cia Han Beng pergi ke kota raja. Biarpun para pengawal dan pembesar yang mengurus dalam istana, para thaikam (orang kebiri) menyambutnya dengan pandang mata penuh kecurigaan, namun mereka itu melapor juga kepada ibu pemuda itu yang menjadi selir Kaisar bahwa ada seorang pemuda bernama Cia Han Beng dan mengaku keluarga dekat mohon menghadap.

Tentu saja ibu pemuda itu terkejut sekali mendengar disebutnya nama ini dan cepat-cepat mempersilakan thaikam untuk mempersilakan pemuda itu menghadapnya di dalam taman. Selir Kaisar ini memilih taman sebagai tempat pertemuannya dengan puteranya agar mereka dapat bicara dengan leluasa di tempat terbuka sehingga tidak akan ada yang dapat mencuri dengar percakapan antara mereka.

Dengan pengawal dua orang pengawal dalam yang juga terdiri dari laki-laki yang sudah dikebiri, Han Beng dipersilahkan memasuki taman. Ketika tiba di pondok indah dekat kolam ikan, Han Beng melihat seorang wanita cantik dengan pakaian yang mewah berdiri menantinya dengan kedua mata basah dengan ait mata.

Melihat ibunya, Han Beng tak dapat menahan keharuan hatinya dan dia pun cepat maju berlutut di depan kaki ibu kandungnya sambil menundukkan mukanya. Selir itu memejamkan mata dan menggunakan saputangan menyusuti air matanya, kemudian memberi isyarat kepada dua orang pengawal kebiri itu untuk meninggalkannya bersama puteranya.

Setelah dua orang pengawal itu mengundurkan, wanita itu lalu membungkuk dan merangkul puteranya, disuruhnya Han Beng berdiri dan sejenak mereka berdua saling berpandangan dengan hati yang tidak keruan rasanya.

“Han Beng....!” Akhirnya wanita itu berbisik yang merupakan jerit yang keluar langsung dari dalam hatinya.

“Ibu....!”

Han Beng menahan agar air matanya tidak jatuh bertitik, sungguhpun dia sudah merasa betapa hatinya tergetar dan kedua matanya terasa panas. Kalau ibunya merasa berduka dan terharu sekali melihat puteranya, sebaliknya pemuda ini selain terharu, juga merasa panas hatinya melihat ibunya hidup sebagai seorang selir kaisar yang berpakaian begini indah dan mewah, sedangkan ayahnya telah terbunuh oleh Kaisar yang kini menjadi suami ibunya!

“Han Beng, mari kita duduk di bangku itu.... kita bicara di luar saja agar jangan ada orang lain mendengarkan dengan sembunyi,”

Ibunya berbisik dan menggandeng tangan puteranya, diajaknya puteranya itu duduk di bangku panjang di tengah taman, jauh dari pondok. Wanita setengah tua itu, yang usianya kurang lebih empat puluh tahun, masih nampak cantik sekali, apalagi karena ia mengenakan pakaian yang demikian indah dan rambutnya disanggul secara istimewa seperti biasa dandanan para selir Kaisar.

Kini, melihat puteranya, seketika hancur berantakan segala kemuliaan yang dirasakannya setiap hari dan terbayanglah di pelupuk matanya segala peristiwa yang terjadi beberapa tahun yang lalu! Dia hidup bersama suaminya yang merupakan seorang pendekar gagah perkasa dan hidup saling mencinta, dengan seorang putera mereka, yaitu Han Beng.

Kemudian, datanglah malapetaka itu! Suaminya adalah seorang pendekar yang pernah menjadi sahabat Ai Sing Kiauw murid Siauw-lim-pai yang suka bersahabat dengan para pendekar itu, yang kini telah menjadi Kaisar Yung Ceng! Dan ketika mereka mengadakan perjalanan sampai ke kota raja, suaminya teringat akan sahabat itu dan biarpun telah dicegahnya, suaminya tetap nekad berkunjung dan menghadap bekas sahabat yang kini menjadi kaisar itu. Dan memang, Kaisar menyambutnya dengan ramah dan manis budi. Akan tetapi terjadilah malapetaka ketika Kaisar memandang kepadanya! Memandang kepadanya dengan sinar mata yang demikian mesra dan penuh nafsu berahi!






Maka terjadilah kesemuanya itu, peristiwa yang mengubah hidupnya! Suaminya telah terbunuh, dan ia pun diambil selir oleh Kaisar! Dan ia.... ia tidak melawan.... ia seorang wanita yang lemah melihat kemuliaan membayang di depan mata! Ia pun menyerahkan diri, bukan dengan terlalu terpaksa, bahkan dengan harapan baru. Kalau dulunya ia hidup sebagai seorang isteri pendekar yang bertualang, yang kadang-kadang menderita lapar dan tidur di kuil-kuil tua atau di hutan-hutan, kini ia menjadi seorang yang dihormati dan dimuliakan! Dan Kaisar pun sayang kepadanya. Bahkan Pangeran Mahkota sendiri memandangnya sebagai seorang ibu! Mau apa lagi? Puteranya, lari entah ke mana. Dan kini, puteranya itu muncul di depannya!

Terjadilah perang dalam hati wanita ini, perang antara kemewahan dan kemuliaan di istana, melawan kasih sayang seorang ibu kandung terhadap anaknya. Dan kemuliaan itu pun kini menipis. Segala macam kesenangan di dunia ini, apapun juga adanya, tidak akan abadi. Kesenangan selalu disusul oleh kebosanan, atau juga oleh keinginan memperoleh yang lebih besar lagi. sehingga kesenangan yang ada itu tidak begitu berarti lagi.

Demikian pula dengan wanita ini. Kemuliaan dan kemewahan itu memang pada mulanya dirasakan dan dinikmatinya betul, dalam waktu beberapa bulan, beberapa tahun. Akan tetapi, kemewahan dan kemuliaan yang dilimpahkan kepadanya setiap hari itu mulai menimbulkan kebosanan dan kemuakan. Apalagi dengan munculnya puteranya ini, yang mendatangkan lagi kenang-kenangan lama, membuat ibu ini merasa terguncang batinnya.

“Han Beng.... Anakku.... Puteraku sayang.... akhirnya engkau mau juga menjenguk ibumu....” Ia berkata sambil mengusap air matanya yang terus bercucuran.

Han Beng memandang wajah ibunya. Ada juga rasa iba, rasa haru dan rasa mesra yang timbul dari kasih sayangnya terhadap wanita yang menjadi ibunya ini. Akan tetapi yang lebih lagi adalah rasa marah. Ibunya sampai hati benar berenang di dalam kemewahan di samping laki-laki yang telah membunuh suaminya!

“Ibu....” katanya, suaranya agak gemetar. “Aku datang ini bukan untuk menjenguk Ibu, melainkan untuk....” dia berhenti sebentar, memandang ke kanan kiri yang sunyi.

Dua orang tadi berdiri di luar taman, biarpun memandang ke arahnya akan tetapi tidak dapat mendengar percakapan itu.

“Untuk apa, Anakku? Engkau membutuhkan apa....? Ibumu akan dapat menolongmu, Nak....”

“Nah, terima kasih, Ibu. Itulah yang kubutuhkan, yaitu pertolonganmu. Kuharap Ibu suka membantuku dan suka memberi jalan kepadaku agar niat hatiku tercapai.”

“Niat hatimu? Apa niat itu? Apakah engkau ingin.... menikah?”

Dengan air mata masih berlinang, wanita itu mencoba untuk tersenyum dan memandang wajah puteranya yang tampan.

“Bukan. Niat hatiku adalah untuk membunuh Kaisar!”

“Eiihhh....!” Wanita itu menahan jeritnya dengan menutupkan tangan kiri di depan mulut, matanya terbelalak dan tangan kanannya mencengkeram lengan puteranya. “Kau.... kau sudah.... gila....!”

Pemuda itu melangkah mundur, melepaskan diri dari pegangan tangan ibunya, memandang tajam penuh kemarahan dan rasa penasaran. Akan tetapi suaranya masih perlahan karena dia pun tidak ingin suaranya terdengar oleh orang lain,

“Ibu, selain Ayah telah dibunuh oleh Kaisar, juga seluruh pendekar bangsa Han ditindasnya, Siauw-lim-si dibakarnya, rakyat ditindasnya. Dan sekarang Ibu malah bersenang-senang menjadi selir kaisar lalim itu. Ibu, katakanlah sekarang, siapakah di antara kita yang pantas disebut gila?”

“Han Beng! Engkau hanya terdorong oleh dendam atas kematian ayahmu....”

“Tidak, Ibu. Urusan pribadi hanya urusan kecil saja kalau dibandingkan dengan urusan seluruh bangsa! Tentu saja aku merasa sakit hati atas kematian Ayah, akan tetapi aku hendak membunuh Kaisar bukan karena itu, melainkan untuk membebaskan rakyat dari penindasan Kaisar penjajah yang lalim. Dan Ibu, kalau memang Ibu masih mempunyai sedikit jiwa kependekaran seperti mendiang Ayah, Ibu harus membantuku.”

“Tapi.... tapi.... berbahaya sekali, Anakku! Kaisar sendiri memiliki kepandaian yang lihai, belum lagi diingat bahwa beliau selalu dilindungi oleh pengawal-pengawal yang berkepandaian tinggi! Engkau akan tertangkap dan terbunuh sebelum engkau mampu mendekatinya!”

“Akan tetapi, aku yakin bahwa sewaktu-waktu Kaisar tentu berdua saja dengan Ibu, di mana tidak ada seorang pun pengawal yang mendekat. Kalau aku tidak mungkin mendekatinya, maka Ibu mudah sekali. Apa sukarnya bagi Ibu untuk menyerang dan membunuhnya sewaktu dia mendekati Ibu?”

“Apa kau gila? Aku.... aku adalah selirnya! Isterinya!”

“Bagiku bukan! Ibu adalah isteri Ayah yang telah dibunuh Kaisar, Ibu adalah isteri Ayah yang dirampas oleh Kaisar! Ibu adalah wanita Han yang tidak ingin melihat rakyat ditindas oleh Kaisar penjajah lalim!”

“Ohhhh.... Anakku...., aku.... aku memang bersalah.... tapi.... tapi tidak tahukah engkau bahwa Ibumu ini hanya seorang wanita? Aku.... cinta padanya, Han Beng.”

Pemuda itu merasa betapa jantungnya seperti ditusuk.
“Hemm, kalau begitu, Ibu sudah lupa kepada Ayah, Ibu tidak cinta kepadaku, dan Ibu tidak peduli dengan bangsa sendiri?”

“Bukan.... ah, aku cinta padamu, Anakku. Engkau anakku satu-satunya.... akan tetapi ini lain lagi, Han Beng.”

“Sudahlah, Ibu. Tidak perlu banyak ribut lagi, kalau ketahuan orang semua usahaku gagal dan kita berdua akan celaka. Ibu tinggal pilih saja sekarang, Ibu lakukan sendiri bunuh Kaisar lalim itu, atau Ibu mencarikan jalan agar aku dapat mendekatinya dan membunuhnya dengan kedua tanganku sendiri. Kalau Ibu menolak, aku akan mengamuk dan menyerbu ke dalam istana! Mati bukan apa-apa bagiku. Mati sebagai orang gagah jauh lebih berharga daripada hidup sebagai pengkhianat bangsa dan pengecut!”

Wajah wanita itu berubah pucat. Pengkhianat dan pengecut! Itulah lontaran dan makian puteranya sendiri kepadanya, walaupun bukan merupakan makian langsung. Dan kalau ia menolak, berarti ia membiarkan puteranya itu mati. Menyerbu istana seorang diri saja tiada bedanya dengan bunuh diri. Dengan muka pucat sekali dan bibir gemetar, pandang mata sayu dan wajah layu, akhirnya wanita ini mengangguk dan berkata lirih,

“Baiklah, Han Beng. Akan kulakukan itu!”

“Ibu....!”

Han Beng berlutut dan menubruk kedua kaki ibunya, dua titik air mata keluar dari sepasang matanya. Dia yakin benar-benar bahwa perbuatan ibunya itu, selain akan membunuh Kaisar, juga bunuh diri. Akan tetapi, dia akan merasa bangga melihat ibunya mati seperti itu daripada melihat ibunya hidup menjadi selir Kaisar laknat yang lalim itu!

“Ibu ternyata seorang patriot wanita yang gagah perkasa. Ibu berani mengorbankan nyawa demi bangsa, aku bangga dan terharu sekali, Ibu. Engkau memang Ibuku yang patut dipuja sepanjang masa!”

“Engkau keliru, Han Beng. Aku melakukannya sama sekali bukan demi bangsa, bukan demi Ayahmu, bukan demi diriku sendiri, melainkan demi engkau, Anakku. Nah, pergilah.”

Ucapan ibunya itu menyadarkan Han Beng dan dia pun bangkit lalu mundur, menatap wajah ibunya yang pucat, menatapnya untuk yang terakhir kali. Memang ada sedikit kekecewaan dalam hatinya bahwa ibunya hendak melakukan pengeroyokan itu bukan demi bangsa, melainkan demi dia. Betapapun juga, yang penting adalah terbunuhnya Kaisar lalim, pikirnya.

“Terima kasih, Ibu. Selamat tinggal, selamat berpisah dan ampunkan anakmu.”

Wanita itu hanya mengangguk dan Han Beng lalu keluar, disambut oleh dua orang pengawal itu dan diantarkan sampai ke pintu tembusan di mana kembali dia diterima oleh pengawal lain yang mengantarnya sampai ke pintu yang lebih luar. Demikianlah, akhirnya pemuda ini, setelah melalui penjagaan yang amat ketat, tiba di pintu gerbang istana paling luar dan akhirnya keluarlah dia dari lingkaran istana.

Sementara itu, wanita itu berdiri seperti patung lilin. Mukanya pucat dan matanya berlinang air mata. Demi cintanya kepada anaknya, bisik hatinya. Cinta memang sudah menjadi hal yang amat janggal dalam pengertian kita. Demikian banyaknya kata ini telah kita pecah-pecah artinya, disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing sehingga cinta bahkau menimbulkan banyak kesengsaraan dan malapetaka.

Han Beng ingin melihat ibunya menjadi seorang patriot, seorang pahlawan. Pemuda ini lupa bahwa ibunya seorang manusia pula, bahwa ibunya memiliki selera dan cara hidup sendiri, yang mungkin saja berbeda dengan orang lain, berbeda dengan dia. Akan tetapi dia ingin membentuk ibunya menjadi seperti yang diidamkannya, seperti yang dianggap patut menjadi ibunya, yaitu wanita pahlawan! Dia menganggap ini benar, tentu saja.

Akan tetapi sebenarnya, di dasar dari hatinya, dia hanya mengejar keinginan hatinya sendiri saja. Dialah yang akan bangga kalau ibunya menjadi pahlawan bangsa! Dialah yang akan merasa bahagia. Apakah ibunya menyukai hal ini? Bukan urusannya! Apakah ibunya berbahagia jika tewas sebagai pahlawan bangsa? Juga sama sekali hal ini dilupakannya. Dianggapnya bahwa secara otomatis ibunya tentu berbahagia pula, seperti dia!

Demikian pula wanita itu. Ia mau saja membiarkan dirinya berkorban. Dianggapnya pengorbanannya ini demi cinta kasihnya kepada puteranya. Akan tetapi benarkah demikian? Agaknya hal ini masih harus diselidiki dengan teliti. Kalau dia mencintai puteranya, belum tentu dia membiarkan dirinya diperkosa kemudian menjadi selir dari Kaisar yang telah membunuh suaminya dan hampir juga membunuh puteranya kalau pemuda itu tidak dapat meloloskan diri.

Memang, cinta telah menjadi sesuatu yang amat aneh, bahkan kadang-kadang menjadi pendorong perbuatan-perbuatan yang luar biasa kejamnya. Padahal, yang mereka namakan sebagai cinta itu sesungguhnya hanyalah nafsu belaka, nafsu untuk menyenangkan diri sendiri, perasaan sendiri melalui orang lain. Jadi, orang yang katanya dicinta setengah mati itu hanya dijadikan semacam jembatan saja untuk dapat menyeberang dan memetik kesenangan untuk diri sendiri.

Han Beng bersembunyi di kota raja setelah dia keluar dari istana. Dia hendak menanti saat yang amat menegangkan itu. Saat di mana akan diumumkan tentang kematian Kaisar! Mati di tangan ibu kandungnya!

Dan saat yang dinanti-nantikan Han Beng itu ternyata tidak terlalu lama. Bahkan pada malam itu juga, Kaisar menjatuhkan pilihan kepada ibu Han Beng untuk melayaninya! Memang Kaisar cukup mencinta wanita ini, seorang wanita bekas pendekar yang bertubuh kuat, tidak seperti para selir lain yang lemah.

Kaisar sendiri adalah seorang ahli silat, maka dia merasa memiliki persamaan dengan selirnya ini, dan Kaisar suka sekali mengajak selir ini bercakap-cakap tentang ilmu silat di waktu selir ini diberi giliran untuk melayaninya dalam kamar selama semalam. Dan malam itu, ibu Han Beng berdandan secara istimewa, menambah wangi-wangian pada tubuhnya, dan memasuki kamar Kaisar dengan senyum cerah dan penuh daya pikat sehingga Kaisar semakin terpikat dan menyambutnya dengan pelukan dan ciuman mesra.

Mereka bercakap-cakap, bercumbu dan bermain cinta. Lewat tengah malam, ketika Kaisar sedang tidur pulas kelelahan, ibu Han Beng dengan air mata bercucuran lalu menghunjamkan sebatang pisau belati ke dada Kaisar. Tetapi, karena tangan yang memegang pisau itu gemetar dan karena wanita itu menutup matanya karena tidak tega menyaksikan tangannya membunuh pria yang sesungguhnya dicintanya, maka ujung pisau mengenai tulang iga dan meleset, dan Kaisar Yung Ceng yang memiliki tubuh kuat dan kepandaian tinggi itu, seketika sudah terbangun dan otomatis tangannya menghantam dengan sekuatnya.

“Desss....!”

Pukulan Kaisar itu amat kuatnya, dan tidak dapat dielakkan oleh wanita itu yang memang masih memejamkan kedua matanya sehingga tubuh wanita itu terlempar ke bawah dari pembaringan dan terbanting dalam keadaan kepala retak dan tidak bernyawa lagi! Kaisar cepat memanggil pengawal, mencabut pisau itu dan roboh pingsan.

Pisau belati itu tidak menembus jantung atau bagian lain yang penting, akan tetapi ternyata bahwa pisau itu mengandung racun sehingga keadaan Kaisar cukup parah. Luka di dadanya itu membengkak dan para tabib yang merawatnya merasa khawatir sekali.

Kaisar sendiri yang sudah sadar sepenuhnya, maklum akan keadaan dirinya, maka mulailah dia mencari-cari dan menanyakan Pangeran Mahkota Kian Liong. Diam-diam Kaisar menyesali semua perbuatannya dan dia tahu benar bahwa malapetaka yang menimpanya malam itu adalah karena perbuatannya sendiri. Dia telah lengah, tidak mengira bahwa di balik senyum manis dan pelayanannya yang amat menyenangkan hatinya dari wanita bekas isteri sahabatnya itu ternyata masih tersembunyi dendam yang demikian mendalam.

Ketika dia mendengar laporan bahwa sehari sebelumnya wanita itu menerima kunjungan seorang pemuda yang mengaku sebagai anak selir itu, maklumlah Kaisar bahwa itulah pendorongnya mengapa selirnya yang biasanya amat mencintanya itu tega untuk mencoba membunuhnya. Dan sebagai seorang ahli silat, dia pun yakin bahwa kalau selirnya itu tidak memejamkan mata, tentu tusukan itu akan menewaskannya, dan dia tidak akan berhasil membunuh selirnya dengan sekali pukul saja.

Selagi para panglima, menteri dan hulubalang bingung karena tidak ada yang tahu di mana adanya Sang Pangeran, datanglah utusan para patriot yang telah menawan Sang Pangeran! Kaisar Yung Ceng menerima dan mendengarkan surat tuntutan itu dibacakan pembantunya kepadanya. Wajahnya berubah merah, akan tetapi dia menarik napas panjang. Pada saat itu dia tidak dapat banyak bergerak dan tidak bisa turun dari pembaringan, dia tidak dapat berbuat banyak.

“Kirim jawaban kepada mereka bahwa aku berjanji akan memenuhi semua tuntutan mereka itu, akan tetapi minta agar Pangeran Kian Liong cepat dibebaskan dan diantar kembali ke istana, karena keadaanku,” perintahnya kepada para petugas.

Tentu saja utusan para patriot itu girang bukan main, bukan hanya bahwa mereka tidak dihukum atau dibunuh seperti yang sudah mereka khawatirkan, akan tetapi bahkan menerima janji dari Kaisar yang akan memenuhi semua tuntutan itu. Juga mereka mendengar bahwa Kaisar diserang oleh selirnya sendiri dan nyaris tewas! Maka, mereka cepat kembali ke Cin-an untuk membawa balasan dan janji Kaisar.

**** 104 ****