FB

FB


Ads

Rabu, 29 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 099

Toa-ok maklum bahwa dara itu dibantu oleh orang pandai, apalagi kakek ini melihat betapa ada bayangan beberapa orang berkelebatan disusul dengan lenyapnya Sang Pangeran, maka dia pun lalu mengeluarkan suara bersuit nyaring dan tiga orang datuk itu lalu melompat jauh dan melarikan diri. Ci Sian tidak mengejar, bahkan tidak mempedulikan mereka lagi. Ia menyimpan sulingnya, lalu menoleh ke kiri.

“Suheng....!” serunya memanggil karena dari kiri tadi datangnya suara suling melengking itu. Dan muncullah Kam Hong!

Mereka berdiri saling berhadapan, dalam jarak kurang lebih sepuluh meter. Sejenak mereka hanya saling pandang saja dan air mata menetes turun membasahi pipi Ci Sian semakin deras.

“Sumoi....!”

“Suheng....!” Ci Sian lari dan Kam Hong juga melangkah maju, kedua lengan mereka berkembang. “Suheng.... ah, Suheng....!”

Mereka saling tubruk dan saling peluk. Ci Sian menangis terisak-isak ketika didekap oleh kedua lengan itu. Terasa benar oleh mereka berdua betapa amat rindu hati mereka terhadap diri masing-masing. Terasa benar oleh mereka betapa pertemuan ini seperti tetesan air jernih kepada tanah kering merekah yang kehausan akan cinta kasih, yang penuh kerinduan. Terasa benar oleh mereka bahwa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Terasa dalam dekapan itu.

“Suheng...., Suheng...., kenapa kau tinggalkan aku begini lama....?” Ci Sian mengeluh dengan suara diselingi isak tangisnya.

“Sumoi, kau maafkan aku....”

Keduanya tidak bicara lagi. Apa perlunya bicara? Getaran yang keluar dari seluruh tubuh mereka sudah mengucapkan seribu kata yang dapat dimengerti dengan jelas oleh masing-masing. Mereka saling mencinta. Mereka merasa sengsara kalau saling berpisah. Mereka berbahagia kalau saling berdekatan. Cukuplah ini,

“Suheng...., berjanjilah, engkau takkan meninggalkan aku lagi...., selamanya....”

Ci Sian berbisik, merasa betapa tangan suhengnya mengelus rambut kepalanya dan ia memperketat dekapannya, seolah-olah ia ingin menyatukan dirinya dengan suhengnya agar tidak sampai saling terpisah lagi,

“Tidak, Sumoi, tidak lagi....”

Ci Sian mengangkat mukanya. Mereka saling berpandangan, penuh rindu. Kasih sayang terbayang jelas di mata mereka. Melihat muka yang basah itu, ingin sekali Kam Hong menunduk untuk mencium!, untuk menghisap air mata yang membasahi muka itu, Akan tetapi pendekar ini menahan hasrat hatinya dan hanya menggunakan jari-jari tangan untuk mengusap air mata itu. jari-jari tangannya gemetar dan hatinya terharu sekali.

Sudah lama ia sengaja menjauhkan diri dari sumoinya ini, karena kesadarannya tidak mau menerima kalau dia jatuh cinta kepada sumoinya yang sepatutnya menjadi keponakannya ini. Akan tetapi, sekarang dia tahu benar bahwa dia sungguh amat mencinta dara ini! Padahal, Ci Sian baru berusia delapan belas tahun, dan dia.... sudah tiga puluh satu tahun! Ah, ini tidak boleh terjadi, pikirnya dan dengan halus dia melepaskan rangkulannya.

“Sumoi, bagaimanakah engkau bisa berada di sini dan dikeroyok oleh tiga orang Im-kan Ngo-ok itu?”

“Karena mereka itu hendak membalas dendam atas kematian Su-ok dan Ngo-ok.”

“Ah, engkau telah membunuh dua orang manusia iblis itu?”

“Ya, bersama dengan seorang pendekar dari Kun-lun-pai, dan selain itu, mereka juga hendak menangkap Pangeran.... eh, mana dia....?”

Ci Sian baru sekarang teringat kepada Pangeran itu dan menengok, melepaskan dekapannya dan kelihatan bingung melihat betapa tempat itu sunyi dan tidak nampak Sang Pangeran di situ.

“Siapa yang kau cari?”

“Pangeran Mahkota! Dia tadi di sana, di dekat dinding gunung itu.... ah, ke mana dia?”

Ci Sian lalu berteriak memanggil Pangeran Kian Liong. Akan tetapi tidak terdengar jawaban.

“Ketika aku tiba di sini sudah tidak ada Pangeran di situ, Sumoi.”

“Ah, celaka. Tentu ada yang telah melarikannya! Begitu banyak orang sakti memperebutkan Sang Pangeran. Kita harus mengejar si penculik!”

Ci Sian berloncatan ke atas tebing dan memandang ke kanan kiri, namun sunyi saja tidak nampak bayangan Pangeran atau penculiknya.

“Sumoi, orang yang sudah mampu melarikan Pangeran dari depanmu dan depan para datuk Im-kan Ngo-ok tanpa kau ketahui dan juga tanpa mereka ketahui, tentulah bukan orang sembarangan dan sukar untuk dikejar begitu saja tanpa kita ketahui ke mana larinya. Sekarang lebih baik kau ceritakan semuanya, Sumoi. Nanti kita akan mencarinnya bersama.”






Ci Sian yang masih terlalu gembira oleh pertemuan ini, segea melupakan Sang Pangeran dan mereka lalu duduk di atas rumput yang tebal di bawah pohon yang rindang. Dan mulailah Ci Sian menceritakan semua pengalamannya semenjak Kam Hong meninggalkannya. Tidak ada yang dilewatinya dan memang pengalamannya aneh-aneh dan amat menarik sehingga Kam Hong mendengarkan dengan kagum dan tertarik sekali.

Tentang pertemuannya dengan Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu dan isterinya dan pengalaman mereka bersama yang aneh-aneh ketika berlumba kuda dan ketika menghadapi ular hijau raksasa.

Mendengar penuturan tentang Suma Kian Bu, Kam Hong menarik napas panjang.
“Semenjak dahulu, aku kagum sekali kepada Suma-taihiap dan beruntung engkau dapat bertemu dengannya, bahkan kemudian menerima latihan sin-kang dari Pulau Es. Engkau sungguh beruntung, Sumoi. Pantas saja tadi kulihat engkau demikian hebat dan memperoleh kemajuan pesat dalam ilmu Kiam-sut, terutama sekali penggunaan sin-kangnya. Tidak tahunya engkau telah mewarisi ilmu sin-kang dari Pulau Es. Hebat, he-bat.... dan aku kagum sekali”

Ci Sian rnelanjutkan ceritanya. Tentang pengalamannya di Kun-lun-pai, tentang jago muda Kun-lun-pai Cia Han Beng yang berjiwa patriot. Kemudian betapa ia bertemu dan melindungi Pangeran Kian Liong sampai di tempat itu, tentang pembakaran kuil Siauw-lim-pai dan lain-lain.

Kam Hong menarik napas panjang.
“Aku girang sekali mendengar betapa engkau telah memperoleh banyak pengalaman berharga, Sumoi. Aku pun sudah mendengar tentang pembakaran Kuil Siaw-lim-pai itu, sungguh hal yang amat patut disesalkan.”

“Memang tindakan kaisar itu amat sewenang-wenang, akan tetapi Pangeran Mahkota lain lagi dengan Kaisar, Suheng. Dia benar-benar seorang pangeran yang amat bijaksana.”

Lalu Ci Sian menceritakan tentang tindakan Pangeran yang menentang Kaisar, bahkan telah membebaskan delapan orang pendekar Siauw-lim-pai yang sudah terkurung dan terancam maut.

Mendengar suara ini, Kam Hong mengangguk-angguk dan memandang kepada sumoinya dengan sinar mata penuh kagum. Sumoinya itu kini bukan seperti sebelum mereka berpisah. Dia teringat betapa sumoinya ditinggalkannya sebagai seorang dara yang lebih pantas disebut seorang anak-anak, masih amat kekanak-kanakan. Akan tetapi sekarang, yang duduk di depannya adalah seorang wanita dewasa, sudah matang, dan dari sepasang mata yang jeli dan indah itu mengandung sinar yang cerdas dan tabah, membuatnya terpesona dan memandang penuh kagum.

Melihat keadaan suhengnya ini, hati Ci Sian berdebar dan mukanya berubah merah, naluri kewanitaannya merasa betapa pandang mata suhengnya itu penuh dengan kekaguman.

“Aih, Suheng, apa sih yang kau pandang?” tanyanya manja, ingin mengembalikan sifat kekanak-kanakannya yang selalu manja kepada Kam Hong untuk menutupi rasa malunya.

Dan Kam Hong pun tersadarlah. Dia menunduk, mukanya sama merahnya dengan wajah Ci Sian, dan dia menarik napas berulang kali, lalu mengangkat mukanya memandang dengan jujur dia berkata,

“Aku sungguh terpesona olehmu, Sumoi. Sungguh kagum, betapa dalam waktu tidak terlalu lama saja engkau kini telah menjadi seorang pendekar wanita yang gagah perkasa, yang bersemangat dan berani membela kebenaran, dan yang telah dewasa, telah masak sebagai seorang wanita yang.... eh, luar biasa cantiknya!”

Dapat dibayangkan betapa jantung Ci Sian terasa seperti melompat-lompat saking gembiranya, akan tetapi juga ia tenggelam dalam perasaan jengah, malu. Senyumnya dikulum dan pandang matanya hanya melalui kerling.

“Ihh, Suheng.... jangan memperolokku....!”

“Tidak, Sumoi, sungguh aku kagum kepadamu dan aku girang sekali. Tidak percuma engkau juga ikut mewarisi Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.”

“Sudahlah, Suheng, jangan terlalu memuji. Semua pengalamanku telah kuceritakan, sekarang aku ingin mendengar ceritamu semenjak kita saling berpisah. Kemana saja engkau pergi, Suheng dan kenapa engkau meninggalkan aku sendirian?”

“Aku merantau dan menjaga guruku, Sai-cu Kai-ong yang sakit sampai beliau meninggal di puncak Bukit Nelayan.”

Lalu dia bercerita betapa ketika dia mengunjungi kakek yang hidup sendirian itu, Sai-cu Kai-ong menderita sakit. Tentu saja penyakitnya disebabkan oleh kekecewaannya melihat cucunya, Yu Hwi telah menikah dengan orang lain, bukan dengan keturunan Kam. Kekecewaannya membuat kakek ini bosan hidup dan ketika dia sakit, dia tidak mau minum obat. Padahal, dia adalah seorang ahli pengobatan yang lihai.

Maka, ketika Kam Hong menjaganya sampai berbulan-bulan, kakek itu lalu menyerahkan kitab ilmu pengobatan peninggalan mendiang Yok-Sian-jin (Manusia Dewa Obat) kepada pendekar ini. Sampai tiba saat dia meninggal dunia.

Kam Hong tidak pernah meninggalkannya dan dengan bantuan penduduk dusun di pegunungan itu, Kam Hong lalu mengubur jenazah kakek yang menjadi gurunya yang pertama kali itu. Diam-diam dia merasa menyesal mengapa Yu Hwi, cucu tunggal kakek ini, tidak pernah datang sehingga tidak tahu akan sakit dan matinya kakek itu.

“Setelah guruku meninggal, baru aku turun gunung dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Yu Hwi dan suaminya.”

Lalu dia menceritakan tentang peristiwa lucu itu, di mana dia mendengar bahwa Pangeran dijadikan perebutan dan dia ingin menyelamatkan Pangeran, tanpa mengetahui bahwa Pangeran yang diselamatkannya itu adalah Yu Hwi yang menyamar. Betapa kemudian Yu Hwi marah-marah, dan suaminya malah sempat digoda cemburu, akan tetapi akhirnya mereka berdua itu insyaf dan minta maaf. Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu.

Ci Sian tertawa geli mendengar penuturan itu.
“Dan engkau ceritakan tentang kematian kakeknya, Suheng?”

Kam Hong menggeleng kepala.
“Tidak, aku tidak menceritakan hal itu. Aku tidak ingin menegurnya dan biarlah kelak ia akan mengerti dan menyesali kelalaiannya sendiri. Apalagi ketika itu aku mendengar bahwa Sang Pangeran telah lenyap lagi, maka aku meninggalkan mereka untuk mencari Pangeran. Dan hari ini, tanpa kusangka-sangka, aku bertemu dengan engkau di sini. Kalau tidak mendengar suara sulingmu, belum tentu kita dapat saling bertemu, Sumoi.”

“Aku girang sekali kita dapat bertemu di sini, Suheng. Aku sangat rindu padamu.”

“Aku pun girang dapat bertemu denganmu, Sumoi.”

“Juga rindu....?”

“Juga rindu....“

Girang sekali rasa hati Ci Sian, dan kembali jantungnya berdebar aneh, mukanya terasa panas.
“Akan tetapi, Suheng.... kau belum menjawab pertanyaanku yang tadi.”

“Pertanyaan yang mana?”

“Dulu itu.... setelah kita berhasil membasmi Hek-i-mo...., kenapa Suheng lalu tiba-tiba saja meninggalkan aku sendiri?” Sepasang mata yang jeli itu memandang tajam penuh selidik, juga penuh dengan teguran dan penyesalan.

Mendengar pertanyaan ini, berubah wajah Kam Hong dan dia merasa jantungnya amat terguncang. Dia bangkit berdiri, lalu berjalan perlahan agak menjauh, berdiri termangu-mangu membelakangi batu di mana Ci Sian duduk memandangnya.

Dara ini mengerutkan alisnya, penuh kekhawatiran, lalu ia pun turun dari atas batu, menghampiri suheng-nya itu dan bertanya dengan suara lirih, akan tetapi dengan hati penuh ingin tahu,

“Suheng, mengapakah?”

Ketika Kam Hong membalik dan memandang sumoi-nya, wajahnya berubah agak pucat sehingga mengejutkan hati Ci Sian. Kam Hong lalu memegang kedua tangan sumoi-nya itu dan sejenak mereka berdiri berhadapan, dengan kedua tangan saling pegang, kedua mata saling pandang, tanpa berkata-kata. Dan akhirnya Kam Hong berkata, suaranya mengandung getaran aneh.

“Sumoi, lihat baik-baik, pria macam apakah suheng-mu ini?”

Dan Ci Sian memandang. Seorang pria yang gagah perkasa dan ganteng menurut penglihatannya, tenang dan berwibawa, dengan sepasang mata yang mencorong tajam namun mengandung kelembutan.

“Suheng-ku seorang pendekar yang gagah perkasa! Kenapa?”

“Ingatkah engkau bahwa dulu, sebelum engkau menjadi sumoi-ku, engkau menyebutku paman?”

“Habis, mengapa?”

“Tahukah engkau berapa usiamu sekarang, Sumoi?”

“Usiaku?” Ci Sian tersenyum, merasa bahwa suheng-nya ini menanyakan hal yang aneh-aneh saja. “Kalau tidak salah, tahun ini usiaku hampir sembilan belas tahun. Mengapa?”

“Dan aku sudah hampir tiga puluh dua tahun!” kata Kam Hong, suaranya mengandung kesedihan.

“Habis, mengapa?”

“Usia kita selisih tiga belas tahun!”

“Lalu, mengapa?”

Kam Hong meremas-remas jari tangan itu tanpa disadarinya karena hatinya terguncang,
“Sumoi, Sumoi.... tidak sadarkah engkau bahwa aku adalah seorang pria yang sudah tua?”

Dan Ci Sian tertawa, tertawa geli sambil menutupi mulut dengan tangan kiri, sedang tangan kanannya masih dipegang suheng-nya.

“Wah, dengarlah ini, kakek tua renta mengeluh tentang usianya! Aduh kasihan....!”

“Harap jangan memperolokku, Sumoi.”

“Siapa mengolokmu? Engkau sendiri yang aneh-aneh, Suheng. Siapa bilang engkau sudah tua? Aku sama sekali tidak melihat engkau sebagai seorang pria yang tua.”

“Dan engkau baru sembilan belas tahun, masih anak-anak!”

“Suheng!” Ci Sian kini menarik semua tangannya dan memandang dengan alis berkerut. “Sekarang engkau yang memperolokku! Aku seorang kanak-kanak? Siapa bilang aku masih kanak-kanak? Aku sudah berani melindungi Pangeran dari bahaya, aku berani menghadapi Im-kan Ngo-ok dengan taruhan nyawa, dan engkau mengatakan aku masih kanak-kanak? Suheng, apakah engkau hendak menghinaku?”

“Maaf, Sumoi....!” Kam Hong berkata sambil menundukkan mukanya. “Bukan begitu maksudku, akan tetapi aku hendak mengatakan bahwa melihat perbedaan usia antara kita, aku.... terlalu tua untukmu, dan karena itulah.... tempo hari itu.... melihat bahwa engkau lebih tepat kalau berdekatan dengan Sim Hong Bu, dia sebaya denganmu, maka aku tidak mau menjadi batu penghalang, aku lalu menjauhkan diri....“

Ci Sian memandang bengong.
“Tapi.... tapi.... ah, sungguh aku tak mengerti, Suheng.... Mengapa demikian? Mengapa engkau lalu meninggalkan aku dan apa artinya engkau mengatakan bahwa aku lebih tepat berdekatan dengan Sim Hong Bu? Memang dia mencintaku, dia menyatakan bahwa dia jatuh cinta padaku, akan tetapi apakah hal itu mengharuskan aku mendekatkan diri dengannya? Aku tidak mencintanya Suheng. Aku.... lebih senang berada di sampingmu dari pada di samping siapa pun juga di dunia ini! Karena itu, jangan engkau bertega hati, jangan engkau menyiksaku, jangan lagi tinggalkan aku seorang diri.”

“Ci Sian, tidak ada pertemuan yang tidak berakhir dengan perpisahan.”

“Aku tidak ingin berpisah darimu, Suheng. Untuk selamanya!”

“Tidak mungkin, pada suatu waktu engkau harus menikah dan saat itu kita harus saling berpisah.”

“Aku tidak akan menikah dengan siapa pun juga! Dan engkau jangan menikah, Suheng, kita takkan pernah berpisah lagi....“

Kam Hong memegang kedua tangan itu lagi dan sampai lama keduanya hanya berdiri saling pandang, dengan hati yang tergetar aneh. Kam Hong lalu menggandeng tangan itu dan berkata,

“Mari kita cari Sang Pangeran, jangan sampai beliau tertimpa mala petaka....”

“Tapi kau berjanji dulu tidak akan meninggalkan aku, Suheng.”

“Aku berjanji.”

“Sumpah?”

“Sumpah!”

Keduanya kemudian melanjutkan perjalanan dengan menunggang dua ekor kuda yang tadi ditunggangi oleh Ci Sian dan Pangeran Mahkota. Suara derap kaki kuda mereka memecahkan kesunyian lereng bukit itu…..

Betapa anehnya asmara! Membuat dua orang manusia, seorang wanita dan seorang pria, merasa saling tertarik dan saling terikat oleh sesuatu yang tidak mereka ketahui apa. Yang terasa hanyalah bahwa mereka itu ingin selalu saling berdekatan, saling bermesraan, dan merasa sengsara kalau berpisah. Cinta asmara antara pria dan wanita adalah sesuatu yang penuh rahasia, dan di dalam cinta asmara ini, mereka berdua hanyalah manusia-manusia, pria dan wanita, yang saling tertarik dan saling mengasihi.

Cinta tidak mengenal perbedaan usia, tidak mengenal perbedaan suku atau kedudukan, tidak mengenal agama atau paham kepercayaan yang berbeda. Pendeknya, cinta itu meniadakan semua perbedaan di antara mereka, yang paling penting bagi cinta adalah manusianya. Sedangkan semua yang lain hanyalah embel-embel saja.

Kebijaksanaanlah yang membuat Kam Hong meragu, melihat perbedaan usia di antara mereka. Namun, mampukah kebijaksanaan menandingi cinta? Cinta membuat segala hal mungkin saja terjadi. Bukan usia, bukan harta, bukan agama yang menentukan, melainkan manusianya. Dan dua insan yang saling mencinta itu pun tertarik oleh manusianya, bukan embel-embelnya karena kalau tertarik oleh embel-embelnya, maka itu bukan cinta namanya! Bukan.

**** 099 ****