FB

FB


Ads

Rabu, 29 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 098

“Aihh....!” Ci Sian terkejut sekali. “Dan Paduka sengaja menyelamatkan mereka, padahal Paduka tahu bahwa akan makin mendendam kepada Paduka?”

Pangeran itu menarik napas panjang.
“Terserah. Yang penting, aku tidak bermaksud menghina mereka. Engkau tentu masih ingat ketika kukatakan kepada pemuda perkasa Kun-lun-pai itu bahwa aku tidak berdaya. Bukan kehendakku aku dilahirkan sebagai putera Kaisar dan kini menjadi pangeran mahkota. Hanya yang kutahu, aku akan berdaya sekuat tenagaku lahir batin untuk menjadi seorang manusia yang benar. Kalau toh tindakanku dinilai salah, terserah, akan tetapi yang penting, aku tahu bahwa apa yang kulakukan adalah benar dan bukan demi kepentinganku sendiri.”

Ci Sian mendengarkan dengan penuh takjub, lalu menarik napas panjang.
“Pangeran, mendengar semua kata-kata Paduka, saya menjadi semakin bingung dan makin merindukan Suheng, karena kiranya kalau Suheng berada di sini, Suheng akan dapat menerangkan dengan jelas tentang semua ini kepada saya.”

“Sudahlah, mari kita melanjutkan perjalanan,”

Kata Sang Pangeran yang lalu menemui para perwira yang kini bertugas memimpin sisa pasukan itu untuk selain mengubur jenazah-jenazah para anggauta pasukan, juga mengubur jenazah orang-orang Siauw-lim-pai sepantasnya.

“Ini merupakan perintah kami, kalau tidak dipenuhi sebagaimana mestinya akan kami hukum!”

Demikian Sang Pageran menutup kata-katanya, diterima oleh para perwira itu dengan taat akan tetapi juga dengan terheran-heran. Ci Sian melanjutkan perjalanannya bersama Pangeran Kian Liong, menuju ke kota raja. Kini pandangan Ci Sian terhadap Sang Pangeran semakin berubah, ia seolah-olah melihat seorang yang sudah matang dalam segala hal, sudah jauh lebih matang dan lebih tua daripada Kam Hong sekalipun. Padahal Pangeran ini masih amat muda! Dan hubungan antara mereka menjadi makin akrab.

Ketika mereka berhenti dan bermalam di sebuah dusun, sebelum memasuki kamar masing-masing, mereka bercakap-cakap di pekarangan belakang rumah penginapan kecil yang sepi tamu itu. Bulan sedang purnama dan enak sekali duduk di ruangan belakang itu, di mana terdapat banyak pohon bunga mawar yang semerbak harum.

Melihat bunga-bunga, pohon-pohon yang bermandikan cahaya bulan purnama, Sang Pangeran terpesona. Kemudian, setelah menarik napas panjang berulang kali, dia berkata, suaranya halus,

“Nona Bu, pernahkah engkau melihat keindahan seperti ini selama hidupmu?”

Ci Sian terheran mendengar ini. Ia memandang kepada pohon-pohon dan bunga-bunga di bawah cahaya bulan purnama yang mengandung sinar kuning dan biru itu, lalu mengangguk, melihat pula ke atas, ke arah bulan purnama yang nampaknya melayang-layang di antara awan-awan tipis bagaikan wajah puteri jelita yang kadang-kadang bersembunyi di balik tirai sutera putih.

“Tentu saja, Pangeran. Sudah sering sekali!”

“Benarkah itu? Ataukah engkau hanya memandang gambaran saja tentang bulan purnama dan segala keindahannya? Coba pandanglah lagi, Nona, dan pandang tanpa adanya gambaran tentang bulan purnama yang menjadi tirai penghalang bagi kedua matamu. Pandanglah tanpa kenangan pengalaman lalu.”

Ci Sian tersenyum dan merasa heran, akan tetapi ia mentaati permintaan ini dan ia mulai memandang bulan, awan, pohon-pohon dan bunga-bunga, memandang kesemuanya itu dengan mata terbuka, seperti memandang sesuatu yang baru, tanpa membanding-bandingkan dengan keadaan bulan purnama yang lalu dan pernah dilihatnya. Dan pandangannya tanpa menilai, tanpa membandingkan dan.... sejenak terjadi keharuan yang luar biasa, sukar ia mengatakan apa itu. Ada SESUATU yang ajaib.... yang membawanya seperti hanyut dan tertelan ke dalam keindahan itu, keindahan baru, keadaan baru.... bahkan keheningan itu menghanyutkan, menelannya.... akhirnya ia sadar dan semua itu pun lenyap lagi, mendatangkan rasa aneh seperti rasa ngeri yang membuat bulu tengkuknya meremang.

“Aihhh.... Pangeran....” keluhnya.

“Eh? Apa yang kau lihat? Apa yang kau rasakan?”

“Saya.... saya.... merasa seolah-olah dijatuhkan dari tempat yang amat tinggi, seolah-olah saya melayang jatuh dari bulan itu.... melalui sinar-sinarnya.... ihh, mentakjubkan, indah dan mengerikan!”

Sang Pangeran tersenyum,
“Mengapa takut menghadapi semua kebesaran dan keindahan ini, Nona? Mengapa takut menghadapi kesendirian dan persatuan dengan segala sesuatu? Tanpa melepaskan diri, tanpa berkeadaan sendirian mana mungkin dapat bersatu dengan segala-galanya?”

Ucapan Pangeran itu makin membingungkan, sama sekali tidak dimengerti oleh Ci Sian. Dan dalam kesempatan ini, timbullah ingatan Ci Sian untuk bertanya tentang hal-hal yang selama ini membuatnya ragu-ragu dan bingung mencari jawabnya.

“Pangeran, maukah Paduka menerangkan kepada saya tentang apa artinya bahagia itu?”

Sang Pangeran nampak terkejut dan memandang kepada dara itu dengan sinar mata tajam. Lalu dia tersenyum.

“Bahagia? Apakah bahagia itu? Ha-ha, engkau menanyakan sesuatu yang ribuan tahun menjadi bahan penyelidikan kaum cendekiawan dan yang hingga kini hanya ada pendapat-pendapat yang bersimpang-siur dan kadang-kadang berlawanan, Nona.”

Kemndian Pangeran itu menengadah, memandang bulan purnama yang tersenyum di balik tirai sutera putih, mengembangkan kedua lengannya dan bernyanyi lirih.






“Kebahagiaan....
semua manusia merindukan!
siapakah gerangan Anda?
di mana gerangan Anda?
Seakan tampak dalam cahaya bulan
tersenyum di antara kelopak mawar
rupawan menyelinap di antara bayan-bayang
beterbangan di antara hembusan angina
Kuraih dan kupeluk mesra
hanya untuk sadar kecewa
bahwa semua itu hanya bayangan hampa
dan sama sekali bukan Anda!
Seperti nampak Anda menggapai
menunggang cahaya matahari pagi
seperti nampak Anda mengintai
di balik senyum kekasih jelita
di antara gelak tawa sahabat
di dalam sorak-sorai kanak-kanak”

Sunyi sekali setelah Sang Pangeran menyanyikan sajak itu. Sunyi di luar, dan sunyi di dalam batin Ci Sian. Nyanyian Pangeran itu terasa menyentuh hatinya, dan ia melihat kebenaran di dalamnya.

Memang demikianlah. Semua manusia, juga ia sendiri, rindu akan kebahagiaan, akan tetapi, tidak pernah mau menyelidiki, apakah gerangan kebahagiaan itu? Dan di manakah adanya? Manusia mencari-cari kebahagiaan, melalui segala hal yang disangkanya menyembunyikan bahagia. Mencari ke dalam harta, kedudukan dan segala hal. Namun, tidak pernah ada yang menemukan bahagia pada akhir pencarian itu!

“Ah, Pangeran. Sajak Paduka memang indah, akan tetapi itu belum dapat menjawab pertanyaan saya. Itu hanya menggambarkan keadaan kita yang mencari-cari tanpa tahu siapa dan di mana yang kita cari,” kata Ci Sian.

“Nah, itulah jawabannya, Nona. Tidak mengertikah, Nona? itulah justeru jawabannya yang tepat! Kita mencari-cari sesuatu tanpa kita ketahui siapa dan di mana yang kita cari-cari itu! Mungkinkah ini? Siapakah yang pernah mengenal bahagia? Yang kita kenal bukan kebahagiaan melainkan kesenangan. Dan kesenangan itu hanya selewat saja, seperti angin lalu. Kita tidak mengenal kebahagiaan, bagaimana mungkin kita hendak mencarinya?”

“Habis, bagaimana orang yang berbahagia itu, Pangeran?”

“Berbahagialah orang yang sudah tidak mencari kebahagiaan lagi! Berbahagialah orang yang sudah tidak membutuhkan kebahagiaan lagi!”

“Mana mungkin? Karena hidup ini banyak sengsara maka kita rindu dan mencari kebahagiaan!”

“Nona Bu, dalam keadaan batin sengsara, mana mungkin berbahagia? Dalam keadaan tidak berbahagia, maka kita butuh kebahagiaan. Kita mengejar-ngejar bahagia seperti mengejar bayangan sendiri. Mana mungkin memisahkan bayangan dari diri kita? Mana mungkin mengejar dan mencari sesuatu yang tidak kita kenal? Yang penting adalah menyelidiki. MENGAPA batin kita sengsara, MENGAPA kita tidak berbahagia! itulah penyakitnya yang harus disembuhkan! Kalau sudah sembuh, yaitu kalau kita TIDAK sengsara lagi, perlukah kita mencari kebahagiaan lagi? Camkan ini baik-baik, Nona. Kebahagiaan tidak ada karena kita kecewa, karena kita sengsara, karena kita marah, benci, dendam, iri, takut. Kalau semua itu sudah lenyap, nah, barulah kita bisa bicara tentang kebahagiaan. Mengertikah engkau, Nona Bu?”

Ci Sian mengangguk akan tetapi ia belum mengerti!
“Jadi, apakah kebahagiaan itu sesungguhnya?”

Sang Pangeran menarik napas panjang, maklum bahwa nona itu belum mengerti. Akan tetapi dia pun tidak mendesak lagi. Tidak mungkin memaksakan pengertian kepada seseorang.

“Apakah kebahagiaan itu sesungguhnya? Sayang, saya sendiri pun tidak tahu, Nona Bu.”

“Kalau begitu, harap Paduka terangkan kepada saya, apa yang dimaksudkan dengan cinta itu, Pangeran.”

Pangeran muda itu tiba-tiba tertawa dan wajah Ci Sian berubah merah sekali. Kemudian Sang Pangeran menarik napas panjang.

“Memang, suasana malam ini demikian indah dan romantis, maka tidak mengherankan kalau dalam hatimu timbul pertanyaan-pertanyaan tentang kebahagiaan dan cinta kasih. Pertanyaanmu tentang cinta kasih itu menyentuh suatu rahasia yang hampir tiada bedanya dengan kebahagiaan, Nona. Ngomong-ngomong, apakah engkau pernah mengenal apa yang dinamakan cinta kasih itu, Nona?”

“Mana aku tahu, Pangeran? Arti dari kata itu sendiri pun aku belum tahu, lalu bagaimana saya dapat tahu bahwa itu adalah cinta kasih kalau sekali waktu saya merasakannya?”

“Itu adalah jawaban yang jujur dari orang yang masih polos batinnya, sungguh mengagumkan sekali! Kata cinta kasih telah banyak diartikan orang sehingga merupakan sebuah kata yang sarat dengan arti yang bermacam-macam. Seperti juga dengan kebahagiaan, kalau aku ditanya apa artinya cinta kasih, maka jawabku adalah tidak tahu. Akan tetapi, mengenai arti seperti yang dianggap orang melalui bermacam pendapat, tentu saja aku mengetahuinya. Nah, dengarlah nyanyian ini, Nona Bu.”

Seperti juga tadi, Sang Pangeran memandang ke arah bulan purnama dan mulailah dia bernyanyi.

Cinta,
kata keramat penuh rahasia
bahan renungan para seniman dan pujangga
Antara anak dan orang tua ada kebaktian
antara warga dan negara ada kesetiaan
antara pria dan wanita ada kemesraan
antara manusia dan Tuhannya ada penyembahan.

Itukah cinta?
Namun, semua itu mengandung keinginan menguasai,
memiliki, menikmati, keselamatan, kebahagiaan, kepuasan,
sekali gagal yang diinginkan timbullah kedurhakaan,
pengkhianatan, kebencian dan kemuraman!
Itukah cinta?

Seperti juga tadi, hening sekali setelah Sang Pangeran menghentikan nyanyiannya. Suara belalang dan jengkerik tidak mengganggu keheningan karena suara itu tercakup ke dalam keheningan yang menyeluruh itu. Keheningan ini timbul dalam batin yang tidak menemukan jawaban, karena tidak dapat memikirkan apa-apa lagi, maka untuk beberapa saat lamanya batin menjadi kosong dan hening.

“Wah, kalau begitu, apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih, Pangeran?”

Akhirnya Ci Sian bertanya, akan tetapi Sang Pangeran hanya menggeleng kepala saja sambil tersenyum.

“Aku pun tidak tahu, Nona Bu.”

Nyanyian Pangeran Kian Liong itu memberi bahan kepada kita untuk merenungkan dan menyelidiki apakah yang dimaksudkan dengan cinta kasih. Kita sudah terlalu mengobral arti pada kata itu, akan tetapi benarkah apa yang kita artikan terhadap cinta kasih itu?

Begitu mudahnya mulut kita mengobral kata cinta. Sebagai anak kita mengaku cinta kepada orang tua. Sebagai orang tua kita mengaku cinta kepada anak. Cintakah kita kepada orang tua kita kalau kita hanya ingin disenangkan saja, dituruti kehendak kita saja oleh orang tua, kemudian sekali waktu orang tua tidak bisa atau tidak mau menuruti, kita lalu berbalik marah dan membencinya? Cintakah kita kepada anak kita kalau kita ingin anak menyenangkan hati kita saja, menurut dan patuh, mendatangkan kebanggaan, kemudian kalau sekali waktu si anak tidak menurut dan tidak menyenangkan hati kita, lalu kita marah dan membencinya? Begitukah yang dinamakan cinta?

Sebagai seorang suami dan isteri kita mengaku dengan mulut saling mencinta. Akan tetapi, suami dan isteri ingin saling menguasai, saling mengikat, dan saling dilayani, disenangkan, yang kita sebut cinta antara suami isteri sungguh mengandung syarat dan ikatan sekotak banyaknya. Sekali saja syarat dan ikatan itu dilanggar, sekali saja suami atau isteri tidak mau melayani, tidak menyenangkan, mengerling dan senyum kepada orang lain, maka yang kita sebut-sebut cinta dengan mulut itu pun akan berubah bentuk menjadi cemburu dan marah dan kebencian! Begitukah yang dinamakan cinta kasih?

Kita dengan mudah saja, dengan mulut maupun dengan pikiran, mengatakan dan mengaku bahwa kita mencinta tanah air, bahwa kita mencinta sahabat, bahwa kita mencinta Tuhan!

Akan tetapi, kalau kita mau jujur, mau membuka mata dan menjenguk isi hati kita, akan nampaklah dengan jelas bahwa cinta kita itu semua berpamrih! Kita mencinta karena kita INGIN MEMPEROLEH SESUATU, kita mencinta karena kita ingin senang, baik kesenangan itu kita dapat dari tanah air, dari sahabat, ataukah dari Tuhan. Dan kalau keinginan itu tidak kita peroleh, maka cinta kita itu pun lenyap tak berbekas lagi. Begitukah yang dinamakan cinta.

Kalau kita mau menyelidiki lalu mengerti benar, bukan mengerti setelah membaca ini melainkan mengerti setelah menyelidiki sendiri, mengerti dengan penuh kewaspadaan bahwa yang begitu itu semua bukanlah cinta, maka kita harus berani menanggalkan semua cinta palsu itu! Setelah kita bersih daripada semua yang bukan cinta itu, nah, barulah kita boleh bertindak lebih jauh lagi, yaitu menyelidiki apakah sesungguhnya cinta kasih itu!

Bumi terbentang luas. Betapa indahnya! Sinar matahari di pagi hari, kabut dan embun, kesegaran, tanaman-tanaman, pohon-pohon, bunga-bunga, buah-buah, gunung dan jurang, sawah ladang, lembah, sungai, awan, matahari tenggelam, bintang selangit, bulan cemerlang.... takkan ada habisnya kalau disebut satu demi satu.

Semua begitu indah...., keindahan untuk siapa saja yang mau menerima, bukan pemberian yang minta imbalan.... tanpa pamrih.... sinar matahari yang menghidupkan, untuk siapa saja dari jembel sampai raja.... keharuman bunga yang semerbak untuk siapa saja yang mau menciumnya, dari si bodoh sampai si cendekiawan, air, hawa udara.... semua.... semua ini.... ah, tidak dapatkah kita membuka mata dengan waspada? Begitu terangnya sinar cinta kasih....!

Bukan dari siapa untuk siapa. Bukan dari aku untuk kamu, bukan dari dia untuk dia. Di mana ada aku “aku”, cinta kasih pun tiada!

Pada keesokan harinya, setelah mengalami malam bulan purnama indah penuh rahasia itu, setelah bersama dengan Pangeran Mahkota menyelusuri ikan-ikan hidup dan menyentuh dengan hati-hati tentang kebahagiaan dan cinta kasih, Ci Sian dan Pangeran Kian Liong melanjutkan perjalanan menuju ke kota raja.

Ketika mereka menuruni sebuah bukit di pagi hari, menghadap matahari yang muncul karena jalan itu menuju ke timur sehingga nampak pemandangan yang amat indah, bukan hanya di bumi melainkan juga di langit yang penuh dengan warna jingga, biru, kuning dan bermacam warna lagi, tiba-tiba mereka dikejutkan dengan munculnya tiga orang.

Ci Sian mengerutkan alisnya dan cepat mengeluarkan sulingnya. Jantungnya berdebar tegang karena ia mengenal tiga orang itu yang bukan lain adalah Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok! Tiga orang yang terlihai dari Im-kan Ngo-ok, dan dari sinar mata mereka, tiga orang ini mengandung dendam kebencian yang hebat kepada Ci Sian karena dara inilah yang telah membunuh Su-ok dan Ngo-ok bersama pemuda Kun-lun-pai itu.

Biarpun tiga orang datuk sesat itu telah melarikan diri, akan tetapi dendam membuat mereka tidak jauh meninggalkan Ci Sian dan Sang Pangeran. Setelah mengubur jenazah dua orang adik mereka dengan hati penuh dendam, mereka lalu diam-diam membayangi Sang Pangeran.

Mereka tidak berani sembarangan turun tangan karena Pangeran dilindungi oleh dara perkasa itu. Akan tetapi mereka menanti saat baik. Setelah melihat Ci Sian dan Sang Pangeran tiba di tempat sunyi ini, mereka keluar menghadang. Mereka bertiga maklum bahwa dara itu memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa, akan tetapi mereka tidak takut dan merasa yakin akan dapat mengalahkannya dengan pengeroyokan, dan terutama sekali, Sang Pangeran berada di situ. Maka apa sukarnya bagi mereka untuk menundukkan wanita itu? Tangkap saja Sang Pangeran terlebih dulu, maka akan mudah membuat wanita itu tidak berdaya, pikir mereka.

Akan tetapi, ketiga manusia iblis itu terlalu memandang rendah kepada Ci Sian. Dara yang masih muda ini memiliki ketahanan hebat dan juga kecerdasan yang mengagumkan.

Iapun maklum bahwa melawan tiga orang datuk itu bukanlah hal yang ringan, apalagi kalau di situ terdapat Sang Pangeran yang harus dilindunginya. Maka, cepat ia mengajak Sang Pangeran turun dari atas punggung kuda mereka, kemudian tanpa mempedulikan dua ekor kuda itu, Ci Sian sudah menggandeng tangan Sang Pangeran dan mengajaknya lari ke sebuah dinding bukit yang merupakan dinding tinggi.

“Paduka cepat berlindung di balik dinding itu!” kata Ci Sian.

Pangeran Kian Liong makin kagum kepada Ci Sian dan tanpa banyak cakap dia pun menurut. Dia cepat lari ke dinding itu dan Ci Sian lalu berdiri menghadang di depannya, melindungi Pangeran sambil melintangkan suling emasnya di depan dada. Dengan adanya dinding bukit itu di belakang Pangeran, ia dapat lebih mudah melindungi Sang Pangeran terhadap serangan dari depan, tidak khawatir kalau-kalau Pangeran itu dilarikan orang dari belakang. Tiga orang datuk itu kini sudah berdiri di depannya.

“Iblis cilik, sekarang tiba saatnya engkau akan mampus di tangan kami, menebus dosa yang kau lakukan ketika kau membunuh Su-ok dan Ngo-ok,” kata Ji-ok dengan suara mengandung kemarahan.

“Hemm, mereka berdua tewas karena kejahatan mereka, dan agaknya kalian bertiga pun tak lama lagi akan menyusul mereka. Iblis-iblis tua macam kalian ini kalau tidak cepat disingkirkan ke neraka, di dunia hanya akan mendatangkan malapetaka bagi manusia lain saja!” kata Ci Sian sambil menggerakkan sulingnya.

Ia sengaja mengerahkan khi-kangnya dan suling itu mengeluarkan suara melengking seperti ditiup saja. Pada saat itu, tingkat khi-kang Ci Sian sudah mencapai tempat tinggi sekali karena ia memperoleh latihan Swat-im Sin-kang dan Hwi-yang Sin-kang dari Pendekar Siluman Kecil.

Maka, biarpun sesungguhnya ia belum mencapai tingkat untuk dapat membunyikan sulingnya tanpa ditiup seperti yang dapat dilakukan oleh suhengnya, Kam Hong, ketika bersama suhengnya mempelajari Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut (Ilmu Pedang Suling Emas), namun berkat latihan tenaga sin-kang yang luar biasa dari Pulau Es, ia dapat memperoleh kemajuan sedemikian pesatnya sehingga kini ia mampu juga melakukan hal luar biasa itu.

Tiga orang datuk itu kagum bukan main. Mereka pun tahu bahwa untuk dapat menggerakkan suling sampai mengeluarkan suara seperti ditiup, dengan nada naik turun, sungguh bukan hal mudah. Tanpa khi-kang dan sin-kang tingkat tinggi jangan harap akan dapat melakukan hal itu. Toa-ok Su Lo Ti sekali ini tidak mau kepalang tanggung.

Mereka bertiga harus mampu merobohkan gadis ini dan merampas putera mahkota untuk menebus kekalahan-kekalahan mereka yang berturut-turut terhadap para pendekar sakti.

“Ji-moi dan kau Sam-te, kalian tahan gadis ini dan aku akan menangkap Pangeran!” kata orang pertama dari Im-kan Ngo-ok.

Ucapan itu saja sudah meyakinkan hati Ci Sian bahwa munculnya tiga orang datuk sesat ini bukan semata-mata untuk membalas kematian Su-ok dan Ngo-ok, melainkan juga untuk menangkap Sang Pangeran. Mungkin ini merupakan tujuan utama mereka dan ia pun merasa agak lapang dadanya. Betapapun juga, kalau tiga orang datuk sesat ini ingin menangkap Sang Pangeran, hal itu berarti bahwa Sang Pangeran tidak akan dibunuh, melainkan ditangkap untuk kepentingan lain yang tentu saja akan menguntungkan tiga orang datuk sesat itu. Hal ini menguntungkan dirinya, karena kalau tiga orang itu berusaha membunuh Sang Pangeran, tentu saja amat sukar baginya untuk melindunginya.

Serangan jarak jauh saja tentu akan mampu membinasakan Pangeran itu. Akan tetapi ia membentak sambil memutar sulingnya lebih keras lagi sehingga suara lengkingan nyaring terdengar semakin meninggi.

“Hemm, maut sudah menanti kalian, masih banyak lagak!”

Dara itu menerjang ke depan dan langsung ia menyerang Toa-ok. Sulingnya berubah menjadi gulungan sinar emas yang mengeluarkan bunyi melengking-lengking nyaring. Toa-ok tentu saja maklum akan kedahsyatan serangan ini, maka dia pun cepat mengelak. Akan tetapi sebelum dia sempat membalas, atau sempat menjauhkan diri untuk menangkap Sang Pangeran, dara itu sudah memburu dan mendesaknya terus sehingga tubuh kakek ini telah terkurung oleh gulungan sinar emas!

Memang Ci Sian seorang dara yang cerdas. Ia tahu bahwa kalau ia sudah terkurung oleh Ji-ok dan Sam-ok, akan sukarlah baginya untuk menghalangi datuk pertama ini yang hendak menangkap Pangeran. Oleh karena itu, begitu menyerang ia sudah mendesak Toa-ok!

Melihat betapa Toa-ok terkurung gulungan sinar yang menyilaukan mata dan mengeluarkan suara yang melengking-lengking itu, Ji-ok dan Sam-ok segera menerjang maju dan mengeroyok. Akan tetapi Ci Sian tidak menjadi gentar. Sinar sulingnya makin panjang dan tebal, membuat gulungan besar yang menyambar-nyambar dan seolah-olah membelit tiga orang lawannya. Akan tetapi tetap saja yang menjadi sasaran utama serangan sulingnya adalah Toa-ok.

Siasat Ci Sian ini memang berhasil baik. Toa-ok menjadi bingung karena dia sama sekali tidak mampu keluar dari kurungan sinar emas itu, betapapun dicobanya. Selalu jalan keluarnya tertutup oleh serangan yang amat hebat dan biarpun Toa-ok telah memiliki sin-kang amat kuat yang dapat membuat tubuhnya kebal, namun menghadapi serangan suling ini dia sama sekali tidak berani mengandalkan kekebalannya. Dia sudah cukup mengenal keampuhan suling itu dalam pertempuran pertama menghadapi dara yang lihai ini.

Sedangkan Ji-ok dan Sam-ok yang tadi telah diberi tugas untuk mengeroyok Ci Sian, kini mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaian untuk mengeroyok dara itu tanpa sedikit pun peduli kepada Sang Pangeran. Dengan demikian, untuk sementara waktu, Ci Sian tidak perlu khawatir bahwa Pangeran akan dilarikan musuh.

Betapapun juga, tiga orang lawan yang mengeroyoknya adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi sekali. Mereka bertiga itu masing-masing memiliki ilmu yang luar biasa. Toa-ok yang merupakan tokoh pertama itu memiliki kedua lengan yang selain penuh dengan tenaga sin-kang amat kuatnya, juga dapat mulur memanjang sampai dua meter, dan gerak-geriknya juga amat aneh. Bahkan kedua lengan kakek yang seperti lengan gorila penuh bulu ini berani menangkis melawan suling emas tanpa terluka.

Kalau saja senjata di tangan Ci Sian itu tidak sehebat itu, mengeluarkan sinar gemilang dan mengandung getaran suara dahsyat, agaknya akan sukarlah bagi dara itu untuk melindungi dirinya dari ancaman kedua tangan Toa-ok.

Adapun Ji-ok, wanita yang bertopeng tengkorak itu, memlliki Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang). Jari-jarinya yang berkuku panjang itu mengeluarkan hawa pukulan yang tajam dan berhawa dingin. Jangankan sampai jari tangan itu mengenai kulit lawan, baru hawa pukulannya saja sudah dapat melukai tubuh lawan. Untung bahwa Ci Sian telah digembleng oleh Suma Kian Bu, mempelajari sinkang dari Pulau Es sehingga sama sekali ia tidak repot menghadapi Kiam-ci yang berhawa dingin itu.

Sedangkan orang ke tiga yang mengeroyoknya, Sam-ok biarpun tingkat kepandaiannya tidak melebihi Ji-ok, namun kakek ini amat licik, cerdik dan banyak akal. Juga ilmu silatnya Thian-te Hong-i (Angin Hujan Bumi Langit) amat luar biasa, membuat tubuhnya seperti gasing berputaran dan dari putaran itu kadang-kadang mencuat pukulan-pukulan maut.

Ci Sian harus menghadapi serangan tiga orang yang sifatnya berbeda-beda ini, namun kesemuanya amat berbahaya. Memang harus diakui bahwa dara itu telah mewarisi suatu ilmu yang dalam jenisnya tiada keduanya di dunia. Ilmu Pedang Suling Emas asli yang mengandung semua segi kekuatan ilmu silat yang dahsyat, juga dibantu dengan tenaga khi-kang yang dilatihnya bersama Kam Hong. Semua ini ditambah lagi dengan ilmu sin-kang yang diterimanya dari Suma Kian Bu membuat ia menjadi seorang ahli silat yang sukar dicari tandingannya.

Akan tetapi, betapapun juga, Ci Sian hanyalah seorang dara yang baru berusia delapan belas tahun lebih, masih muda remaja dan pengalamannya dalam hal mengadu ilmu silat, dibandingkan dengan tiga orang lawannya, tentu saja kalah jauh sekali. Maka, ketika tiga orang pengeroyoknya itu mulai memperlebar jarak, Ci Sian menjadi repot sekali. Ia harus montang-manting ke sana-sini, melalui jarak yang agak lebar itu, untuk mencegah mereka agar jangan sampai seorang di antara mereka mempergunakan kesempatan untuk menculik Sang Pangeran.

Dan karena itu, mulailah Ci Sian merasa kewalahan. Ia tidak mungkin dapat mengerahkan semua tenaga dan kepandaian untuk dipusatkan menyerang kepada seorang lawan saja karena dua orang lawan lainnya selalu akan mencegahnya dan terpaksa ia harus membagi-bagi serangannya itu.

Hal ini tentu saja membuat serangannya menjadi kurang kuat dan tidak cukup kuat untuk merobohkan lawan. Kalau hanya bertanding satu lawan satu, ia merasa yakin akan dapat merobohkan lawan dalam waktu yang tidak lama. Sayang keadaan tidak menguntungkan dan ia mulai terhimpit.

Tiba-tiba terdengar suara lengkingan tinggi dari jauh. Suara itu makin lama makin keras dan nadanya naik turun seperti mengimbangi lengkingan suara yang keluar dari suling di tangan Ci Sian.

“Suheng....” Seruan ini hanya keluar dari hati Ci Sian, akan tetapi hampir saja ia celaka.

Mendengar lengkingan suara suling itu, hatinya dipenuhi perasaan yang mengguncangkan batinnya. Ada rasa gembira, girang, terharu bercampur-aduk menjadi satu, membuat gerakan sulingnya menjadi kacau dan pada saat itu, pukulan Kiam-ci yang dilakukan Ji-ok menuju ke arah lehernya! Untung pada detik terakhir Ci Sian dapat mencurahkan perhatiannya lagi, menjadi waspada dan cepat ia miringkan tubuhnya.

“Brett!” Ujung leher bajunya terobek.

Ci Sian terkejut dan maklum bahwa menghadapi pengeroyokan tiga orang ini ia sama sekali tidak boleh lengah, maka ia pun kembali mencurahkan perhatiannya. Sementara itu, suara melengking dari jauh itu makin lama semakin nyaring dan akhirnya tiga orang pengeroyok Ci Sian itu menjadi kacau gerakan-gerakannya.

Kiranya suara melengking-lengking itu merupakan suara yang nengandung daya serang luar biasa terhadap batin mereka! Tiga orang itu merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk oleh suara itu, jantung mereka ditarik-tarik dan sukar sekali bagi mereka untuk dapat mengumpulkan perhatian.

Ci Sian maklum siapa yang telah membantunya. Suara suling itu tidak meragukan lagi. Maka timbullah semangatnya dan membayangkan betapa ia kini dapat bertemu dengan suhengnya mendatangkan kegembiraan sedemikian besarnya bercampur keharuan yang mendalam sehingga ketika ia menggerakkan sulingnya dengan kekuatan yang lebih besar karena timbul semangatnya, kedua matanya basah dan di atas kedua pipinya nampak air mata, akan tetapi gerakan sulingnya semakin hebat sehingga berturut-turut ia dapat menotok pundak Sam-ok dan paha Ji-ok!

Dua orang datuk itu terkejut dan juga terheran-heran bagaimana kini dara ini bertambah lihai. Juga mereka bingung oleh suara melengking itu yang tanpa mereka sadari telah banyak mengurangi kelihaian gerakan mereka yang menjadi kacau.