FB

FB


Ads

Rabu, 29 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 095

“Kakek yang munafik, mati merupakan hal yang jauh lebih bersih daripada hidup akan tetapi seperti engkau ini, berlagak menjadi hwesio akan tetapi hidup sebagai datuk sesat yang jahat. Engkau mencemarkan agama, maka hidupmu tentu akan terkutuk!”

“Heh-heh, ngocehlah selagi engkau bisa, Pangeran. Sekarang bersiaplah untuk mampus!”

Berkata demikian, Su-ok lalu merendahkan tubuhnya dan mengerahkan tenaga dari ilmu Katak Buduk, bermaksud menghantam ke arah kereta agar Sang Pangeran tewas bersama hancurnya kereta itu.

Akan tetapi pada saat itu terdengar suara melengking nyaring dan ada sinar keemasan berkelebat, langsung sinar emas ini menyambar ke arah kepala gundul Su-ok! Su-ok terkejut, karena dia sudah mengerahkan tenaga, maka dia pun lalu memukul dengan ilmu pukulan Katak Buduk ke arah sinar kuning emas yang menyambar itu.

“Dess....”

Bukan main hebatnya pertemuan antara tenaga Katak Buduk dan sinar kuning emas itu dan akibatnya.... tubuh Su-ok terguling-guling seperti sebuah bal ditendang!

Tentu saja Su-ok terkejut bukan main, dadanya terasa panas dan nyeri. Ketika dia bangkit berdiri, ternyata di situ telah berdiri seorang dara cantik yang gagah, yang memegang sebatang suling Emas!

Bukan main rasa heran dan penasaran di dalam hatinya. Melihat pemuda Kun-lun-pai itu saja sudah mendatangkan penasaran, sekarang muncul seorang dara yang memiliki tenaga sedemikian dahsyatnya, sehingga mampu menyambut pukulan saktinya, bahkan membuatnya terpelanting dan terguling-guling sampai jauh dengan dada terasa panas dan nyeri.

Dara itu bukan lain adalah Ci Sian! Ketika melihat Han Beng dikeroyok, tentu saja Ci Sian segera menghampiri dan hendak turun tangan membantu. Akan tetapi melihat Su-ok mendekati kereta dan mengancam Sang Pangeran, ia cepat menyambar dan menyelamatkan Sang Pangeran dengan menyambut serangan Su-ok yang dahsyat itu.

Karena ia sudah tahu bahwa Im-kan Ngo-ok adalah datuk-datuk kaum sesat yang berilmu tinggi, maka begitu terjun ia sudah mengerahkan khi-kangnya ketika menyambut pukulan sakti dari Su-ok yang mengakibatkan Si Gundul itu terlempar.

Su-ok yang sudah bangkit kembali itu memandang bengong. Kini Ci Sian sudah menerjang dan membantu Han Beng, memutar sulingnya dan tanpa mengeluarkan sepatah pun kata ia sudah menyerang Ji-ok yang bertopeng tengkorak itu. Ji-ok juga terkejut ketika ada sinar emas menyambarnya, dan ketika ia menangkis mempergunakan Kiam-ci, hampir saja ia terguling seperti yang telah dialami oleh Su-ok.

Terkejutlah Im-kan Ngo-ok melihat ini dan mereka teringat akan Kam Hong yang juga amat lihai dalam mempergunakan suling emas sebagai senjata. Dan melihat kehebatan dara ini, mengertilah mereka bahwa pihak lawan bertambah dengan seorang yang lihai, biarpun hanya merupakan seorang gadis remaja saja. Maka Su-ok juga cepat terjun ke medan perkelahian dan membantu teman-temannya. Biarlah, Pangeran itu ditinggalkan sebentar. Paling perlu merobohkan dua orang muda ini. Pangeran itu pun tentu tidak akan mampu melarikan diri sampai jauh.

Cia Han Beng merasa girang bukan main melihat munculnya Ci Sian. Bukan hanya gembira karena dia memperoleh seorang kawan yang amat lihai dan boleh diandalkan, akan tetapi juga gembira karena keselamatan Sang Pangeran dapat lebih terjamin sekarang, dan terutama sekali dia merasa gembira memperoleh kesempatan bertemu kembali dengan dara ini!

Biarpun pada lahirnya pemuda ini tidak memperlihatkan sesuatu, akan tetapi sesungguhnya dia telah jatuh hati kepada Ci Sian pada pertemuan pertama mereka di Kun-lun-san, terutama setelah keduanya saling menguji kepandaian dalam sebuah pibu persahabatan.

“Nona, terima kasih atas bantuanmu!” serunya dan kini pedangnya makin hebat gerakannya, menjadi gulungan sinar merah yang menyambar-nyambar dahsyat.

Ci Sian tidak menjawab, melainkan juga memutar sulingnya dengan tidak kalah dahsyatnya. Kalau dulu mereka berpibu, kini mereka seolah-olah bersaing mendemonstrasikan kepandaian mereka. Tentu saja yang rugi dalam hal ini adalah Im-kan Ngo-ok!

Menghadapi seorang Han Beng saja mereka tadi sudah merasa sukar sekali untuk merobohkannya, apalagi kini ditambah dengan nona yang memiliki kepandaian tidak berada di sebelah bawah tingkat pemuda Kun-lun-pai itu. Setelah dibantu oleh Ci Sian, kini Han Beng mendesak lima orang datuk itu. Sampai kurang lebih tiga puluh jurus, tiba-tiba Han Beng mengeluarkan bentakan nyaring.

“Haiiiitttt....!”

Pedangnya menyambar ganas, darah muncrat dan robohlah Ngo-ok yang memang sudah terluka dan paling lemah dan lambat gerakannya itu. Kini ujung pedang pemuda itu menembus lehernya maka setelah berkelojotan di atas tanah, matilah Ngo-ok, orang termuda dari Im-kan Ngo-ok!

Hal ini membuat empat orang kakek dan nenek itu terkejut, marah dan berduka sekali. Tak pernah mereka sangka bahwa seorang di antara mereka berlima akan dapat terbunuh orang! Dan pembunuhnya seorang yang masih amat muda lagi. Su-ok yang paling sering cek-cok dengan Ngo-ok akan tetapi sesungguhnya paling mencintanya, menjadi marah sekali dan dengan teriakan setengah terisak dan menerjang kepada Han Beng.

Akan tetapi, Ci Sian yang tidak mau kalah oleh kawannya itu telah menyambutnya. Sulingnya mengeluarkan getaran yang melengking-lengking, dan nampak sinar emas itu terpecah menjadi banyak dan tahu-tahu ujung suling sudah menotok dan mengenai pelipis Su-ok!

“Prokkk....!” Tubuh Su-ok terjenkang dan berkelojotan karena pelipis kepalanya retak.

Seperti Ngo-ok, tidak lama dia berkelojotan lalu tewas. Kini tiga orang kakek dan nenek itu baru tahu bahwa pihak lawan mereka memang hebat bukan main dan merupakan lawan yang amat berbahaya. Dan mereka tinggal bertiga, kalau dilanjutkan perkelahian itu, bukan tidak mungkin mereka bertiga akan mengalami nasib yang sama dengan Su-ok dan Ngo-ok.






Maka Toa-ok mengeluarkan suara bersuit nyaring dan dua orang adiknya maklum akan isyarat ini. Mereka lalu menyerang dengan sehebatnya, membuat dua orang muda itu terpaksa mundur. Kesempatan itu mereka pergunakan untuk menyambar tubuh Su-ok dan Ngo-ok yang sudah tidak bernyawa. Toa-ok menyambar tubuh Ngo-ok sedangkan Sam-ok menyambar tubuh Su-ok, lalu ketiganya meloncat jauh dan melarikan diri. Ci Sian yang merasa penasaran itu hendak mengejar, akan tetapi Han Beng menahannya.

“Harap jangan kejar, Nona. Lebih penting melindungi Pangeran.”

Teringatlah Ci Sian bahwa Sang Pangeran masih berada di situ dan kalau mereka berdua melakukan pengejaran, memang Pangeran menjadi tak terlindung dan hal ini berbahaya sekali.

“Biar lain kali kubasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok,” katanya.

Melihat sepak terjang dua orang muda-mudi itu, Pangeran Kian Liong merasa kagum bukan main. Dia keluar dari keretanya, lalu menghampiri dua orang pendekar itu dan menjura dengan senyum kagum.

“Ah, sudah banyak aku bertemu dan melihat kepandaian tokoh-tokoh persilatan yang gagah perkasa. Akan tetapi baru sekarang aku bertemu dengan dua orang pemuda dan pemudi yang selain gagah perkasa, tampan dan cantik, juga memiliki ilmu kepandaian yang luar biasa hebatnya! Sungguh aku merasa kagum bukan main. Bolehkah aku mengenal siapa Tai-hiap dan Li-hiap, agar aku dapat mengucapkan terima kasihku?”

Melihat sikap yang demikian merendah dan lembut dari Sang Pangeran, Ci Sian juga merasa heran dan kagum. Memang Pangeran ini amat hebat, seperti berita tentang dirinya yang sering didengarnya. Seorang Pangeran yang sama sekali tidak tinggi hati, bersikap ramah dan rendah hati.

Akan tetapi, biarpun diam-diam Han Beng juga kagum melihat sikap Sang Pangeran, dia tidak dapat melupakan bahwa Pangeran itu adalah seorang pemuda bangsawan Mancu, keluarga Kaisar penjajah, bahkan menjadi calon pengganti Kaisar penjajah pula. Bahkan, di balik semua itu, masih ada satu hal yang amat mengganjal hatinya, yaitu mengingat bahwa ayahnya tewas oleh ayah Pangeran ini, dan bahwa ibunya telah dirampas pula oleh ayah Pangeran ini! Hanya kebijaksanaannya berkat pendidikan batin gurunya sajalah yang membuat dia tidak merasa mendendam kepada Pangeran ini.

“Kalian telah mengenalku sebagai Pangeran Kian Liong,” kembali Sang Pangeran berkata dengan ramah. “Maka, sudah sepatutnya kalau aku pun mengenal nama kalian.”

Ci Sian sudah membalas penghormatan itu dengan menekuk sebelah kakinya dan merangkapkan kedua tangan di depan dadanya.

“Pangeran, nama saya adalah Bu Ci Sian.”

“Ah, Nona Bu, sungguh sangat kagum hatiku menyaksikan sepak terjang Nona tadi, dan terimalah ucapan terima kasihku. Tanpa ada pertolonganmu, tentu aku sudah terjatuh ke tangan Im-kan Ngo-ok.”

“Belum tentu, Pangeran. Bukankah di sini ada seorang pendekar yang telah melindungi Pangeran?”

Kata Ci Sian sambil memandang kepada Cia Han Beng, merasa heran mengapa pemuda itu nampak dingin saja terhadap Sang Pangeran, bahkan tidak membalas ucapan Sang Pangeran.

“Tai-hiap, bolehkah aku mengetahui namamu?”

Han Beng mengerutkan alisnya dan membuang muka, tidak menjawab. Ci Sian hendak menegurnya, akan tetapi ia segera teringat siapa adanya pemuda ini! Ayah pemuda ini tewas di tangan para pembantu Kaisar! Dan ibunya kabarnya dirampas pula. Dan pemuda ini adalah tokoh Kun-lun-pai yang berjiwa patriot! Tentu saja lain pandangan pemuda ini sebagai seorang patriot terhadap Pangeran Kian Liong, seorang pangeran penjajah, seorang berbangsa Mancu!

“Pangeran, seorang seperti Paduka tidak layak mengenal nama seorang rakyat biasa seperti saya.”

“Ahh....!”

Pangeran Kian Liong tertegun dan dari sikap itu saja maklumlah Sang Pangeran orang macam apa yang berada di depannya. Tentu seorang patriot yang anti penjajahan, pikirnya sambil menarik napas panjang penuh hati sesal.

Melihat sikap Pangeran yang tetap halus akan tetapi jelas merasa kesal dan berduka itu, Ci Sian merasa betapa sikap pemuda Kun-lun-pai itu tidak sepatutnya. Ia sendiri tidak peduli akan soal patriot atau bukan patriot. Ia tidak mengerti akan semua itu, dan ia bertindak hanya menurut naluri kemanusiaannya.

“Cia-enghiong,” katanya, suaranya agak dingin. “Mengapa engkau bersikap seperti orang tidak suka kepada Pangeran? Bukankah beliau telah bersikap manis dan ramah kepada kita?”

“Maaf, bagaimanapun juga, aku tidak mampu melupakan kenyataan bahwa dia adalah seorang Pangeran Mancu, penjajah tanah air kita,” jawab Han Beng tanpa mempedulikan bahwa Sang Pangeran sendiri berada di tempat itu mendengarkan kata-katanya.

“Tapi, kalau engkau beranggapan demikian, mengapa engkau melindunginya dari ancaman Im-kan Ngo-ok tadi? Mengapa tidak kau biarkan saja Pangeran penjajah ini tewas di tangan mereka?”

Ci Sian bertanya, suaranya mulai merasa penasaran. Memang sikap dara ini amat terbuka, dan ia selalu siap untuk menentang segala sesuatu yang dianggapnya tidak benar.

“Nona, engkau tahu bahwa kami para patriot tidak membenci pribadi-pribadi atau perorangan. Kami menentang penjajahan, bukan membenci seseorang. Dan kalau aku melindunginya, bukan berarti aku melindungi pribadi Pangeran, melainkan sesuai dengan rencana dan garis perjuangan para patriot. Untuk perjuangan ini, aku rela mengorbankan nyawaku.”

“Lalu apa yang hendak kau lakukan terhadap Sang Pangeran sekarang?” Ci Sian bertanya, suaranya lantang.

“Sesuai dengan tugas yang kuterima, aku harus membawa Pangeran pergi dari sini, menyelamatkannya dari orang-orang yang hendak membunuhnya.”

“Membawanya kembali ke istana di kota raja?”

Pemuda itu menggeleng kepala,
“Tugasku bukan demikian, melainkan membawanya ke suatu tempat.”

“Sebagai tawanan para patriot?”

Pemuda itu mengangguk.

“Aku yang menentangmu!” tiba-tiba dara itu berseru dan mengeluarkan sulingnya, melintangkan sulingnya di depan dada. Pemuda itu tercengang dan memandang dengan mata terbelalak.

“Apa maksudmu, Nona? Nona seorang pendekar yang berilmu tinggi, mana mungkin Nona hendak melindungi Pangeran penjajah dan hendak menentang kami....?”

“Aku tidak peduli akan segala patriot, segala penjajah, segala tetek-bengek! Pendeknya, aku hendak mengantar Pangeran kembali ke tempat tinggalnya, ke istananya di kota raja. Dan siapa pun yang hendak mencelakainya, baik orang-orang jahat macam Im-kan Ngo-ok, maupun orang-orang macam kau yang menamakan dirinya patriot, akan kutentang dan kulawan!”

Han Beng memandang bingung, lalu menarik napas panjang, nampak berduka.
“Ah, tidak kusangka sama sekali bahwa kita akan bertemu dalam keadaan seperti ini.“

Pangeran Kian Liong sudah mendengar cukup. Dia melangkah maju sambil tersenyum.
“Aku dapat memaklumi keadaan Ji-wi yang gagah perkasa. Akan tetapi sebelum kalian berdua ribut-ribut, marilah kita berbincang-bincang tentang diriku yang hendak di jadikan rebutan. Banyak orang menilai diriku begini, begitu, hanya dengan memandang diriku sebagai Pangeran Mahkota Kerajaan Mancu! Apa sih salahnya seorang manusia yang dilahirkan sebagai seorang putera Kaisar penjajah Mancu? Seperti juga apa salahnya kalau orang dilahirkan sebagai putera patriot, sebagai anak seorang penjahat, seorang jembel, dan sebagainya lagi? Kita ini masing-masing dilahirkan tanpa kita minta menjadi anak siapa pun!

Mengapa setelah terlahir, kita lupa akan hal ini, dan kita memecah-mecah manusia sebagai penjajah, sebagai pejuang, sebagai ini dan itu? Bukankah ketika kita terlahir, kita ini sama? Sebagai seorang orok yang begitu terlahir, telanjang dan menangis? Salahkah kalau aku menjadi putera Kaisar Mancu? Bagiku, yang penting adalah manusianya, bukan embel-embel berupa bangsanya atau keturunannya, hartanya, kedudukannya, atau kepandaiannya, atau agamanya dan sebagainya.

Manusia tetap manusia, diberi embel-embel apapun juga, dan yang menentukan apakah dia patut disebut manusia atau tidak bukanlah embel-embelnya itu, melainkan si manusianya sendiri. Aku menjadi Pangeran Mahkota adalah karena keadaanku, dan aku tidak menganggapnya buruk, karena aku tidak pernah menyalahgunakan kedudukan, dan aku berjanji kelak kalau menjadi kaisar, akan menjadi kaisar yang baik, untuk manusia, bukan untuk bangsa ini atau itu, melainkan untuk rakyatku.”

“Mudah memang bagi Paduka untuk bicara demikian, Pangeran,” Han Beng membantah. “Karena Paduka tidak pernah menderita karena penjajahan itu, Paduka tidak pernah merasakan bagaimana rakyat ditindas, tidak merasa betapa ayah Paduka dibunuh, ibu Paduka diperkosa orang, harta Paduka dirampas orang! Bangsa Mancu telah menjajah dan menindas bangsa Han, apakah kami para patriot yang mencinta rakyat dan tanah air tidak seharusnya dan sepatutnya bangkit dan berusaha mengenyahkan penjajah?”

Pangeran itu tersenyum.
“Sudah kukatakan, semua itu telah terjadi dan aku tidak bertanggung-jawab. Tanggung jawabku adalah sekarang ini, kalau menjadi pangeran ya jadilah pangeran yang baik, kalau menjadi kaisar jadilah kaisar yang baik dan demikian seterusnya menurut kedudukan masing-masing. Seperti kulihat, bangsa Mancu yang menjajah itu kini malah melebur dirinya menjadi bangsa Han! Mana ada kebudayaan Mancu dipelihara? Mana ada kesusastraan Mancu atau kesenian Mancu? Bahkan bahasa Mancu pun tidak selancar kupergunakan seperti bahasa Han. Bukan aku membela bangsa Mancu, melainkan kenyataannya demikian. Bagiku, semua manusia itu sama saja, bangsa apapun juga adanya. Baik buruk ditentukan oleh manusianya, bukan oleh bangsanya. Membeda-bedakan bangsa hanya akan menimbulkan kebencian dan permusuhan belaka.”

“Hem, Paduka akan bicara lain kalau ayah Paduka dibunuh kaisar, kalau ibu Paduka dipaksa kaisar menjadi selirnya!” kata Han Beng dengan suara penuh kepahitan.

Sang Pangeran terkejut juga mendengar ini dan memandang tajam. Pada saat itu Ci Sian sudah melangkah maju menghadapi Han Beng dan berkata dengan suara menantang,

“Sudahlah, tidak perlu banyak cakap lagi, Cia Han Beng! Sekarang terserah kepadamu! Aku akan mengawal Pangeran pulang ke kota raja dan siapapun juga yang akan mengganggunya, biar engkau sekalipun, terpaksa akan kuhadapi sebagai lawan! Ingat, aku tidak berpihak kepada kerajaan, juga tidak berpihak kepada kaum patriot. Aku tidak mengerti soal itu dan tidak mau tahu. Aku hanya bertindak sebagai seorang yang ingin menjadi seorang pendekar, membela yang lemah terancam, menentang yang kuat sewenang-wenang. Nah, terserah kepadamu!”

Sejenak Han Beng meragu. Kalau bukan Ci Sian yang berdiri menghalangi, tentu akan diterjangnya dan dilawannya, betapapun lihainya pelindung Pangeran itu. Akan tetapi Ci Sian yang berdiri di depan dan menantangnya. Dia bukan takut melawan dara ini, sama sekali tidak, karena biar pelindung Pangeran lebih lihai daripada Ci Sian sekalipun akan dilawannya. Akan tetapi dia enggan melawan Ci Sian sebagai musuh. Dia telah jatuh cinta kepada dara ini. Akhirnya dia menarik napas panjang dan menyarungkan pedang Ang-hio-kiam yang sejak tadi masih dipegangnya.

“Sudahlah, aku tidak ingin menghadapimu sebagai musuh, Nona. Sampai jumpa!”

Berkata demikian, pemuda itu lalu meloncat dan sebentar saja lenyaplah pemuda itu dari dalam hutan itu. Pangeran Kian Liong menarik napas panjang.

“Sayang.... sayang hatinya dipenuhi oleh dendam....”

“Akan tetapi dia seorang murid Kun-lun-pai yang baik sekali, Pangeran, dan memang keadaannya.... eh, patut dikasihani.”

Sang Pangeran memandang tajam kepada dara yang mendatangkan rasa kagum di hatinya itu.
“Ah, benarkah bahwa ayahnya terbunuh Kaisar dan Ibunya dirampas....” Dara itu mengangguk.

Sang Pangeran mengingat-ingat, lalu mengangguk-angguk.
“Sekarang aku tahu.... selir ayah ada yang katanya bekas isteri seorang pendekar Kun-lun-pai. Hemm, luar biasa sekali, dan pemuda itu, yang sesungguhnya masih saudara tiriku, yang diracuni dendam, bahkan telah menyelamatkan aku dari ancaman Im-kan Ngo-ok.”

“Tidak luar biasa, Pangeran. Ingat, dia seorang pendekar dan seorang patriot.”

“Dan engkau, Nona Bu?”

“Saya? Saya seorang biasa, bukan patriot.”

“Tapi kenapa engkau menolongku, Nona?”

“Karena saya sudah banyak mendengar tentang Paduka sebagai seorang pangeran yang bijaksana, bahkan orang-orang gagah mengharapkan kelak kalau Paduka menjadi kaisar, Paduka akan menghapus segala kelaliman, membasmi segala kejahatan yang terjadi. Karena itu, sudah sepatutnyalah kalau saya melindungi Paduka dari ancaman malapetaka.”

“Hemm, sungguh hebat. Dan sekarang apa yang hendak kau lakukan dengan diriku, Nona?”

“Mengantar Paduka menuju ke kota raja.”

Pangeran itu teringat kepada Su-bi Mo-li dan memandang kepada empat mayat mereka dengan mata ngeri.

“Dan kalau kita sudah tiba di kota raja?”

Ingin dia mengetahui, pamrih apa yang tersembunyi di balik keinginan dara ini untuk mengawal dan melindunginya.

“Sesudah kita di kota raja? Tentu saja Paduka kembali ke istana Paduka dengan aman.”

“Dan engkau?”

“Saya? Saya akan melanjutkan perjalanan saya.”

“Ke manakah, Nona?”

“Kemana saya sendiri belum tahu. Saya sedang mencari Suheng saya, Pangeran.”

“Dan kau.... setelah berhasil mengantarku ke istana, engkau tidak menghendaki imbalan jasa apa-apa?”

Ci Sian memandang wajah yang halus itu dengan tajam, tidak mengerti.
“Imbalan jasa apa? Saya tidak menghendaki apa-apa, hanya menghendaki Paduka selamat sampai di istana, cukuplah. Imbalan apa? Jasa apa?”

Melihat keterbukaan hati dara ini yang polos dan jujur sekali, Sang Pangeran menjadi kagum bukan main. Seorang dara yang masih murni dan telah memiliki ilmu kepandaian yang demikian hebatnya!

“Kalau begitu, mari kita pergi, Nona. Tidak tahan aku untuk berdiam di sini lebih lama lagi.”

“Baik, Pangeran. Mari kita pergunakan dua ekor kuda itu, jangan mempergunakan kereta karena hal itu akan menarik perhatian orang.”

Pangeran itu tidak membantah dan karena memang dia tidak memakai pakaian pangeran, hanya pakaian pemuda biasa, maka ketika mereka berdua menunggang kuda berdampingan, tidak akan ada yang menyangka bahwa yang pria itu adalah Pangeran Mahkota. Orang tentu akan mengira bahwa mereka hanya sepasang muda-mudi yang melakukan perjalanan belaka, atau sepasang suami isteri yang masih amat muda, atau juga sepasang pendekar.

Melihat sikap Ci Sian yang amat lincah gembira, gagah perkasa dan amat tabah, hati Pangeran itu menjadi makin suka dan kagum. Sebaliknya melihat sikap Pangeran yang amat ramah, lemah-lembut, sama sekali tidak ceriwis, dan setelah bercakap-cakap ia mendapatkan kenyataan bahwa Sang Pangeran memiliki pengetahuan yang amat luas, Ci Sian juga merasa kagum. Hatinya terhibur juga melakukan perjalanan bersama seorang pemuda yang begini pandai, tahu akan segala hal, bahkan tahu akan keadaan di dunia kang-ouw!

“Nona Bu, engkau memiliki ilmu silat yang amat tinggi sekali, maka kukira engkau tentu masih mempunyai hubungan dengan Bu-taihiap, Bu Seng Kin. Bukankah demikian?”

Ci Sian terkejut dan menoleh kepada pemuda yang menunggang kuda di sampingnya itu. Akan tetapi ia tidak mungkin dapat membohong kepada sepasang mata yang jernih tajam itu. Maka ia pun mengangguk tanpa menjawab karena hatinya kesal mendengar disebutnya nama ayahnya.

“Masih ada hubungan apakah, kalau aku boleh bertanya?”

Terpaksa Ci Sian menjawab singkat,
“Dia.... dia itu ayah kandung saya.”

“Ah....! Maaf, maaf, kiranya Nona adalah puteri Bu-taihiap? Sungguh luar biasa! Kalian ini keluarga Bu agaknya hendak melimpahi diriku dengan budi-budi yang amat besar. Bukan hanya ayahmu yang pernah menyelamatkan diriku, juga dari tangan Im-kan Ngo-ok, sekarang puterinya juga!”

“Dia.... ayah saya pernah menolong Paduka?”

“Benar, malah dia menolongku disertai tiga orang isterinya dan seorang puterinya. Yang manakah di antara tiga orang isterinya itu yang menjadi ibumu, Nona?”

Ci Sian maklum siapa yang dimaksud dengan puteri ayahnya itu. Tentu Bu Siok Lan, puteri ayahnya dan Panglima Nepal Nandini itu, siapa lagi? Dan tiga orang isterinya itu ia pun sudah dapat menduganya. Siapa lagi kalau bukan Nandini, Nikouw Gu Cui Bi, dan wanita dari Lembah Suling Emas, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu itu? Ia cemberut, hatinya kesal sekali. Akan tetapi ia harus menjawab pertanyaan Sang Pangeran.

“Ibu saya telah meninggal dunia. Saya tidak mengenal mereka itu!”

Dan ia pun cemberut dan mencambuk kudanya sehingga kudanya lari congklang. Sang Pangeran juga mencambuk kudanya untuk mengejar. Pangeran ini biarpun masih amat muda, namun sudah berpengetahuan luas. Dia tahu bahwa dara itu marah.