FB

FB


Ads

Senin, 20 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 078

Biarpun muka mereka sudah tidak berlepotan tahi kuda lagi, namun pakaian mereka masih kotor dan ia yakin bahwa bau tahi kuda, tentu masih keras melekat pada tubuh mereka. Akan tetapi, yang ia perhatikan adalah orang ke tiga karena orang ini adalah seorang yang berpakaian seperti pendeta, jubah yang lebar dan muka orang itu penuh brewok. Tentu seorang pendeta saikong yang memelihara cambang bauk dan yang mempunyai sepasang mata bundar lebar dan alis yang amat tebal menyeramkan.

“Bocah setan, kalau engkau memang ada kepandaian, hayo lawan Paman guru kami!” kata Si Tinggi Besar dengan nada menantang.

“Hemm, kiranya kalian mengundang paman guru kalian?” kata Ci Sian dan memperhatikan saikong itu.

Orang itu usianya tentu kurang dari enam puluh tahun, tubuhnya gemuk tingginya sedang, namun mukanya penuh brewok dan sepasang matanya yang lebar itu memandang kepadanya seperti mata seekor harimau kelaparan memandang seekor kelenci gemuk. Sinar mata itu menjelajahi seluruh tubuh Ci Sian, membuat dara ini merasa malu dan marah.

“Hei, mata iblis! Engkau memandang apa?” bentak Ci Sian sambil menambatkan kendali kuda di batang pohon.

“Ha-ha-ha, memandang wajahmu yang cantik, bentuk tubuhmu yang menggairahkan, ha-ha-ha! Biarpun murid-murid keponakanku melaporkan bahwa engkau telah merobohkan mereka, akan tetapi melihat kecantikanmu, biarlah aku mengampunkanmu asal engkau mau menemaniku selama tiga hari, ha-ha-ha!”

Ci Sian adalah seorang dara yang pada dasarnya berwatak jenaka, lincah dan periang. Biasanya, ia suka menggoda orang dan pandai bicara. Akan tetapi, ia paling benci kalau ada laki-laki yang kurang ajar, maka kini mendengar pendeta brewok itu mengeluarkan kata-kata yang dianggapnya kotor, ia sudah merasa marah bukan main. Betapapun juga, ia dapat menahan kemarahannya dan tersenyum mengejek.

“Hei, engkau ini berpakaian pendeta akan tetapi muka dan suaramu seperti babi! Apakah engkau ini yang bernama Ti Pat Kai itu?”

Ucapannya ini merupakan ejekan dan penghinaan yang hebat karena Ti Pat Kai adalah Siluman Babi yang menjadi tokoh dalam cerita See-yu, yang terkenal sebagai seorang yang mata keranjang dan malas dan suka sekali makan. Mendengar ejekan seperti itu, saikong yang memang masih mentah itu menjadi malu dan marah bukan main. Dia menoleh kepada dua orang murid keponakannya.

“Kalian larikan kuda itu dan serahkan gadis ini kepadaku. Akan kubekuk dia dan kuberi hajaran agar ia kapok dan menyesal telah dilahirkan sebagai seorang wanita cantik!”

Setelah berkata demikian, saikong itu mengeluarkan suara gerengan yang nyaring. Suara itu mengandung getaran yang cukup hebat dan itu merupakan tingkat yang masih rendah dari ilmu Sai-cu Ho-kiang, yaitu ilmu menaklukkan dengan getaran suara.

Sai-cu Ho-kang adalah Ilmu Auman Singa dan ilmu yang berdasarkan tenaga khi-kang ini memang diciptakan orang karena melihat daya kekuatan yang ada pada auman singa atau harimau. Binatang ini kadang-kadang dengan aumannya saja sudah mampu melumpuhkan lawan, seolah-olah dalam getaran suara itu ada tenaga mujijat yang membuat calon korbannya menjadi lumpuh.

Dan kini, saikong itu juga mempergunakan ilmu ini, walaupun tingkatnya masih rendah akan tetapi suara gerengan itu sudah mengandung getaran yang cukup kuat. Akan tetapi, sekali ini yang dihadapinya adalah Ci Sian, dan justeru dara ini memperoleh kesaktiannya berdasarkan latihan khi-kang tingkat tinggi melalui sulingnya, justeru ilmu meniup suling dan Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu yang mendasarkan kekuatannya pada getaran suara, maka tentu saja Sai-cu Ho-kang dari saikong itu seperti anak main-main saja bagi Ci Sian!

“Hi-hik, gerenganmu sama sekali tidak mirip seekor singa, melainkan lebih mirip suara babi yang hendak disembelih!” Ci Sian mengejek.

Kakek itu menjadi semakin marah. Kalau tadi timbul nafsu berahinya melihat dara jelita ini, sekarang, ucapan-ucapan yang menghina dari Ci Sian mengusir semua nafsu dan yang tinggal hanyalah nafsu kemarahan. Matanya yang bundar lebar itu berobah merah bersama dengan wajahnya yang menjadi merah padam. sambil menggereng dan tanpa dapat mengeluarkan kata-kata saking marahnya, dia sudah menubruk maju, menggunakan kedua lengannya yang panjang dan besar, dan jari-jari kedua tangannya dibuka, sikapnya seperti seekor singa yang hendak menerkam. Akan tetapi, dengan gerakan yang mudah saja Ci Sian mengelak.

Kakek itu membalik dan kembali sudah mengirim serangan dengan tangannya yang berbentuk cakar setan. Melihat gerakan yang cepat dan mendatangkan angin ini, Ci Sian maklum bahwa lawannya ini memiliki kepandaian yang lumayan. Ia pun cepat mengelak lagi dan sebelum ia membalas, kakek itu dengan cepatnya sudah dapat membalik dan menyerang lagi. Kiranya, keistimewaan kakek ini adalah kecepatan menyambung serangan yang gagal dengan serangan berikutnya.

Pada saat itu, dari sudut matanya Ci Sian melihat betapa kuda hitamnya sudah dinaiki oleh dua orang penjahat itu yang kini agaknya mempergunakan sikap halus sehingga kuda hitamnya mau saja dibawa kabur! Ia hanya tersenyum dan cepat menghadapi lawannya, sambil mengelak ia kini menggerakkan tangannya dari samping.

“Wuuuuttt.... plakkk!”

Dan saikong itu terpelanting. Biarpun saikong itu memiliki gerakan cepat untuk menyambung serangannya yang gagal, namun tamparan Ci Sian tadi lebih cepat lagi sehingga biarpun dia sudah berusaha mengelak, tetap aja pundaknya kena ditampar tangan kecil halus itu akan tetapi yang mengandung tenaga kuat, sehingga dia terpelanting. Hal ini membuatnya penasaran bukan main. Cepat dia meloncat dan langsung saja menyerang dengan bertubi-tubi.

“Plak-plak-dukkk!”

Ci Sian kini tidak mengelak lagi, melainkan menangkis dan pertemuan antara lengan yang besar berbulu dengan lengan yang berkulit halus dan kecil itu mengakibatkan beberapa kali Si Saikong menyeringai kesakitan dan akhirnya kembali dia kena ditampar dan terpelanting dengan tulang pundak nyeri, seperti akan remuk rasanya.

“Singgg....!”

Saikong itu sudah mencabut keluar sebatang golok yang punggungnya berbentuk gergaji. Amat besar, lebar berkilauan tajam mengerikan sekali.

Ci Sian menengok dan melihat betapa kuda hitamnya telah lari jauh sekali, diam-diam ia merasa kaget dan kagum. Kuda hitamnya itu memang hebat sekali. Ditungganggi oleh dua orang masih mampu lari secepat itu. Ia harus cepat merobohkan lawannya ini kalau tidak mau repot mencari kudanya itu nanti.






Maka begitu melihat sinar golok menyambar, ia cepat menghindar. Seperti juga ilmu silatnya bertangan kosong, ternyata ilmu golok saikong itu memiliki keistimewaan yang sama, yaitu begitu luput serangannya, golok itu tanpa berhenti bergerak telah membalik dan menyambung serangan pertama tadi dengan serangan selanjutnya.

Akan tetapi sekali ini Ci Sian sudah siap dan begitu golok membalik, ia mengeluarkan bentakan melengking tinggi sekali, keluar dari kekuatan khi-kangnya. Saikong itu tersentak kaget dan menjadi bengong, goloknya berhenti bergerak dan ini sudah cukup bagi Ci Sian. Sekali tangan kirinya menyambar, terdengar suara “plakk” dan pangkal telinga kanan kakek itu kena ditempiling olehnya.

Kakek itu terpelanting ke kiri dan roboh tak bergerak lagi, pingsan dan goloknya terlempar. Ci Sian tidak mempedulikan lagi lawannya yang sudah semaput itu, ia cepat meloncat dan mengejar ke arah larinya kuda hitam yang kini tidak nampak bayangannya lagi.

Kuda itu sudah tidak nampak lagi, akan tetapi tidak sukar bagi Ci Sian untuk mengikuti jejaknya karena kuda yang ditunggangi oleh dua orang itu mempunyai jejak yang nyata. Jejak itu membawanya keluar dari dusun, bahkan tidak memasuki dusun melainkan mengambil jalan memutar melalui sebuah padang rumput lain yang agak tandus.

Ketika ia tiba di luar sebuah hutan ke mana kuda hitam itu masuk, tiba-tiba saja berloncatan kurang lebih dua puluh orang yang segera mengurungnya dan mereka itu semua memegang sebatang golok. Melihat dari pakaian dan wajah mereka, Ci Sian dapat menduga bahwa mereka ini tentulah teman-teman dua orang pencuri kuda tadi. Mereka itu memiliki wajah jahat dan kejam, dan di antara mereka ia melihat pula pencuri kuda yang tinggi besar. Marahlah Ci Sian.

“Singgg....!”

Dua puluh orang itu silau oleh sinar keemasan yang nampak ketika Ci Sian mencabut sulingnya. Akan tetapi, mereka segera tertawa geli.

“Wah, ia malah hendak menghibur kita dengan musik!”

“Aih, sekalian saja sambil menari agar lebih asyik!”

Teriakan-teriakan itu nadanya mengejek. Mereka tadinya mendengar dari dua orang teman mereka bahwa mereka berhasil melarikan kuda hitam akan tetapi mereka dikejar oleh seorang pendekar wanita yang lihai. Oleh karena itu, dua puluh orang itu bersembunyi dan kini muncul untuk mengurung.

Akan tetapi, ketika melihat dara yang remaja dan cantik itu mencabut sesuatu, mereka sudah kaget, dan akhirnya tertawa melihat bahwa yang dicabut itu bukan sebatang pedang pusaka melainkan sebatang suling emas yang indah! Tentu saja mereka memandang ringan dan mengeluarkan kata-kata yang nadanya mengejek. Si Tinggi Besar memandang dengan alis berkerut, diam-diam menyumpah ketololaln teman-temannya yang memandang rendah gadis itu.

Akan tetapi dia sendiri pun menjadi bengong ketika melihat gadis itu kini menempelkan suling pada bibirnya yang tipis merah, siap hendak meniup suling! Bagaimana pula ini? Tadi, gadis itu memiliki sepak terjang yang amat hebat, dan benarkah kini ia datang untuk menghibur teman-temannya dengan nyanyi dan tari?

Memang Ci Sian sudah merasa mendongkol sekali melihat ia dikurung oleh orang-orang kasar ini, apalagi melihat kudanya tidak ada di situ, tentu sudah dibawa terus ke dalam hutan. Maka ia pun tidak mau membuang banyak waktu dan terus saja ia meniup sulingnya.

Mula-mula memang terdengar nada-nada merdu yang membuat dua puluh orang itu menyeringai dan tertawa-tawa, akan tetapi kemudian mereka menjadi pucat sekali ketika suara itu mengeluarkan getaran-getaran hebat dan membuat mereka merasa seolah-olah telinga mereka ditusuk-tusuk jarum. Mereka mulai menutup telinga dengan tangan, akan tetapi rasa nyeri itu masih saja menembus masuk, malah seperti menusuk-nusuk jantung. Mereka kelabakan, dan akhirnya, dua puluh orang itu roboh pingsan semua! Dan Ci Sian sudah tidak mau peduli lagi, terus saja ia melompat masuk ke dalam hutan, mengikuti jejak kaki kudanya.

Untung bahwa tanah di dalam hutan itu lembek dan agak basah sehingga ia dapat menemukan jejak kaki kudanya dan terus ia berlari. Akan tetapi ketika ia tiba di tempat terbuka yang penuh dengan daun-daun kering dari pohon-pohon di sekitarnya, ketika ia sedang berlari ke depan, tiba-tiba saja kakinya terjeblos ke bawah.

Ia terkejut sekali merasa betapa kakinya itu tenggelam ke dalam pasir berlumpur yang mempunyai daya sedot amat kuatnya! Ia meronta dan berusaha mencari pegangan di tepi, akan tetapi yang ada hanya rumput dan begitu kena cengkeramannya tentu saja rumput-rumput itu tidak dapat menahan tubuhnya dan jebol. Dan celakanya, makin ia mengerahkan tenaga meronta, makin cepat tubuhnya tersedot ke bawah!

Sebentar saja ia sudah terbenam sampai ke pinggang! Sia-sia saja ia mengerahkan tenaga sinkang maupun khi-kang karena kakinya tidak mempunyai landasan yang kuat untuk diinjak, melainkan terbenam ke dalam lumpur yang menyedot, sedangkan di atasnya tidak terdapat apa-apa untuk dijadikan pegangan!

Dan kini dari belakang pohon-pohon yang tak jauh dari sekitar tempat jebakan yang merupakan empang-lumpur itu, bermunculan kepala-kepala orang dan tak lama kemudian dari empat penjuru beterbangan anak panah ke arah tubuhnya yang tinggal nampak bagian atasnya itu saja!

Ci Sian yang masih memegang sulingnyaa cepat menggerakkan suling dan semua anak panah itu runtuh dan patah-patah. Akan tetapi, kembali gerakannya ini membuat tubuhnya makin merosot kebawah dan kini lumpur sudah mencapai dadanya! Panik juga Ci Sian, ia akan menghadapi maut dengan senyum kalau saja ia harus mati dengan sewajarnya, dalam perkelahian misalnya. Akan tetapi ia akan mati secara mengerikan, disedot lumpur sampai tenggelam!

Untuk berteriak minta tolong merupakan hal yang ia tidak sudi lakukan. Maka ia lalu menempelkan suling di bibirnya dan meniupkan nada yang amat tinggi melengking dan panjang. Mendengar ini kepala-kepala penjahat yang tadi bermunculan di balik pohon segera menghilang. Memang, suara sulingnya itu mengerikan sekali! Tiba-tiba terdengar suara orang di dekat telinganya.

“Ih, siluman apa yang dapat mengeluarkan suara seperti itu?”

Ci Sian menengok ke kanan kiri dan bulu tengkuknya meremang. Tidak nampak seorang pun manusia akan tetapi suara itu demikian jelasnya terdengar di dekat telinganya! Ia tentu saja tahu akan adanya ilmu Coan-im Jip-bit (Mengirim Suara Dari Jauh), akan tetapi suara yang didengarnya itu demikian jelas, bahkan terdengar olehnya gerakan bibir dan pernapasannya. Bukan main! Suara itu mengherankan suara sulingnya, akan tetapi suara itu sendiri mirip suara siluman!

Dan tiba-tiba saja terdengar suara keras dan sebuah pohon berikut cabang-cabang dan dahan-dahan serta daun-daunnya roboh dan hampir menimpanya! Pohon itu jebol bersama akar-akarnya dan jatuh melintang di dekatnya! Tentu saja ini merupakan pertolongan yang menyelamatkan nyawanya. Cepat Ci Sian memegang dahan pohon, dengan hati-hati mengerahkan tenaganya menarik dirinya perlahan-lahan keluar dari isapan lumpur. Akhirnya ia pun bebaslah!

Ia melompat keluar dari tempat itu melalui batang pohon dan setelah tiba di tepi kolam lumpur yang berbahaya itu, Ci Sian tanpa mempedulikan pakaiannya yang berlepotan lumpur segera meloncat ke dalam gerombolan pohon-pohon di mana tadi ada orang-orang yang bersembunyi dan yang menyerangnya dengan anak panah. Akan tetapi di situ tidak nampak seorang pun!

Ci Sian msnjadi marah dan ia terus lari mengikuti jejak kudanya, kini berhati-hati karena ia tahu bahwa ia berhadapan dengan gerombolan jahat yang cerdik dan yang mungkin akan menjebaknya lagi.

Ketika ia tiba di tengah hutan, tiba-tiba terdengar bentakan-bentakan nyaring dan bermunculanlah belasan orang yang semua mengenakan pakaian hijau sehingga gerakan mereka sukar diikuti, apalagi kalau bersembunyi diantara semak-semak. Mereka semua memegang pedang dan dipimpin oleh seorang kakek yang tinggi kurus berpakaian seperti seorang tosu, dengan rambut digelung tinggi di atas kepala, diikat dengan pita kuning. Juga tosu ini memegang sebatang pedang.

Ci Sian sudah marah dan sudah Memegang sulingnya, maka tanpa banyak kata lagi ketika orang-orang itu mengepung dan menyerangnya, ia pun menggerakkan sulingnya yang mengeluarkan suara melengking-lengking. Dalam beberapa gebrakan saja ia telah merobohkan empat orang dengan sulingnya. Akan tetapi tiba-tiba kakek tosu itu berdiri tegak dan mengangkat pedangnya ke atas kepala, mulutnya berkemak-kemik, lalu terdengar bentakannya,

“Nona, lihat apakah engkau akan kuat menghadapi pengeroyokan ratusan orang anakku!”

Dan tiba-tiba saja Ci Sian mendapatkan dirinya dikeroyok oleh tosu-tosu muda yang usianya belasan tahun akan tetapi yang kesemuanya mirip dengan tosu tinggi kurus itu! Bukan hanya wajah mereka yang sama, akan tetapi juga pakaian dan gelung rambut mereka, dengan ikatan pita kuning itu semua sama. Dan mereka itu ratusan orang banyaknya, semua juga memegang pedang dan mengepungnya dengan ketat!

Ci Sian menjadi terkejut dan marah, ia memutar sulingnya dengan hebat, akan tetapi celakanya, remaja-remaja yang berpakaian tosu ini agaknya tidak dapat dirobohkan, seperti bayangan-bayangan saja yang mengelilinginya dan membuatnya pusing!

Tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan semua tosu remaja itu pun lenyap! Yang ada hanya belasan orang berpakaian hijau yang masih mengepungnya! Maka tahulah, Ci Sian bahwa tosu tua itu menggunakan sihir dan ia pun cepat memutar suling sambil mengerahkan khikang sehingga dari lubang suling itu terdengar suara menggetar yang cukup kuat.

Menurut petunjuk suhengnya, suara yang mengandung getaran khi-kang ini akan mampu menolak pengaruh sihir yang kuat sekalipun. Sambil melindungi dirinya dari pengaruh sihir dengan suara sulingnya, Ci Sian mengamuk terus dan merobohkan lagi beberapa orang. Dan ketika sisanya lari, tosu tua itu pun tidak lagi nampak bayangannya.

Ci Sian melanjutkan pengejarannya dengan melihat jejak kaki kuda hitamnya. Dan ketika dia menembus hutan yang tidak berapa besar itu, ia melihat kuda hitamnya sedang makan rumput di tepi hutan sebelah sana, dengan tenangnya. Giranglah hatinya dan ia segera lari menghampiri, akan tetapi dengan amat hati-hati karena ia masih curiga kalau-kalau ia terjebak perangkap.

Akan tetapi ternyata tidak terjadi sesuatu dan ia segera menangkap kendali kuda dan memasang kendali kuda itu di mulut kudanya. Ketika ia meloncat ke punggung kuda itu, ia merasakan sesuatu yang amat berbeda. Kuda itu tidak membuat reaksi seperti Hek-liong-ma. Kalau Hek-liong-ma ditungganginya, maka ia merasakan bagaimana otot-otot kuda itu menegang, kepalanya diangkat, telinganya juga berdiri dan ada semacam kekuatan dahsyat bekerja di dalam tubuh kuda yang dapat dirasakannya melalui jepitan pahanya dan melalui kendali yang dipegangnya.

Akan tetapi kuda ini reaksinya lambat dan lemah sekali, bahkan agaknya masih merasa enggan meninggalkan rumput hijau segar. Ketika Ci Sian menarik kendali kudanya, kuda itu melangkah maju, sama sekali tidak seperti Hek-liong-ma yang biasanya tentu meloncat ke depan seperti seekor harimau!

“Hemm, sadarlah dan buka matamu baik-baik!” terdengar bisikan aneh seperti tadi dan karena suara itu terdengar dekat telinga kirinya, Ci Sian menengok ke kiri.

Akan tetapi tidak nampak sesuatu dan ia terkejut sekali. Cepat ia meloncat turun dari atas punggung kudanya dan melihat bahwa kuda hitam itu ternyata sama sekali bukan Hek-liong-ma, juga bukan hitam melainkan kuda coklat yang amat buruk lagi berpenyakitan.

“Ihhh....!”

Ia berseru keras sehingga kuda itu kaget juga. Ci Sian terheran-heran. Bagaimana tadi ia melihat betul bahwa kuda itu sebagai Hek-liong-ma? Apa yang telah terjadi? Ia lalu teringat kepada kakek tosu yang pernah menyihirnya, maka ia pun dapat menduga bahwa ia tentu menjadi korban sihir pula ketika tadi melihat kuda itu. Dan ia pun dapat menduga bahwa ada orang yang suaranya didengarnya tadi, telah membuka matanya dari pengaruh sihir, seperti juga tadi menolongnya ketika ia terjebak dalam lumpur.

Dan begitu ia melihat kuda coklat berpenyakitan itu, ia melihat pula kuda yang tadinya ia lihat sebagai kuda biasa, ternyata kuda biasa itulah yang sesungguhnya kuda hitam miliknya! Ia cepat meloncat ke atas punggung kuda itu dan kini ia merasakan reaksi yang wajar dari Hek-liong-ma, maka giranglah hatinya. Cepat ia membalapkan kuda itu meninggalkan tempat yang menyeramkan itu, menuju ke timur.

Sementara itu, matahari telah mulai naik tinggi ketika kuda hitam berlari sampai ke lereng sebuah bukit. Daerah itu mulai penuh dengan bukit-bukit, daerah pegunungan yang luas dan sunyi. Ketika Ci Sian menghentikan kudanya dan memandang ke depan, ia melihat bayangan seorang laki-laki berdiri seperti patung tak jauh dari situ. Ia memperhatikan dan merasa heran sekali. Tempat itu amat sunyi dan luas, dan laki-laki itu berdiri seorang diri saja.

Seorang laki-laki yang tidak diketahui wajahnya karena berdiri membelakanginya. Hanya ia tahu bahwa orang itu adalah laki-laki, melihat dari pakaian bentuk tubuhnya dari belakang, bentuk tubuh yang sedang akan tetapi lebar pada pundaknya dan nampak kokoh. Rambutnya panjang riap-riapan dan pakaiannya sederhana, tangan kanannya memegang sebatang tongkat pendek, seukuran pedang. Ia merasa curiga.

Jangan-jangan seorang di antara para pencuri kuda, pikirnya. Ia harus berhati-hati. Para pencuri kuda itu mempunyai banyak orang pandai, bahkan ada yang pandai main sihir segala. Maka, untuk menjaga dirinya, Ci Sian meloncat turun dari atas punggung kuda dan dengan hati-hati ia menuntun kuda menghampiri orang itu yang kini menyandarkan tubuhnya ke sebatang pohon, kaki kanannya diangkat menginjak sebuah batu di bawah pohon itu.

Sungguh menyeramkan keadaan laki-laki itu, bersandar dan tidak bergerak-gerak, memandang ke bawah lereng seperti orang melamun. Rambut panjangnya yang riap-riapan itulah yang mendatangkan suasana menyeramkan, karena rambut itu putih seperti benang perak, berkilauan tertimpa cahaya matahari. Tentu seorang laki-laki telah tua sekali, pikir Ci Sian, karena rambut itu sudah menjadi uban semua.

AKAN tetapi, kalau melihat bentuk tubuhnya, seperti tubuh orang muda. Setelah tiba agak dekat sekalipun Ci Sian masih belum dapat melihat mukanya yang tertutup oleh rambut panjang mengkilap putih itu. Diam-diam ia bergidik dan merasa seram. Ada sesuatu yang mengerikan pada pribadi orang itu, pikirnya dan ia berhati-hati sekali. Betapapun juga, karena ia harus melewati orang itu dan tidak mungkin mengambil jalan memutar, maka ia terus menuntun kuda hitam dan melanjutkan perjalanannya, mengerling dengan penuh waspada ke arah laki-laki rambut putih yang bersandar pada batang pohon itu.

Tiba-tiba laki-laki itu menggerakkan tangan kirinya menuding ke depan, dan tanpa menoleh ke arah Ci Sian terdengarlah suaranya,

“Nona, sebaiknya engkau jangan melalui jalan menuju ke depan itu.”

Ci Sian terkejut. Suara itu seperti pernah dikenalnya! Akan tetapi ia tidak tahu dan tidak ingat lagi di mana ia pernah mendengar suara itu. Ingatan ini segera dihalau oleh rasa penasaran dan marahnya.

“Mengapa?” tanyanya dengan nada suara tidak puas. “Siapa melarang aku mengambil jalan ini dan mengapa?”

“Tidak ada yang melarang, tetapi sebaiknya jangan engkau ke sana.” kata orang itu tanpa menengok sehingga Ci Sian masih juga belum dapat melihat wajahnya.

“Kenapa?” tanya Ci Sian penasaran. Suara itu bening, tidak seperti suara seorang kakek tua.

“Karena isteriku sedang jengkel dan marah-marah, dan kalau engkau ke sana dan ia melihat Hek-liong-ma tentu akan lebih marah lagi dan engkau akan menghadapi kesukaran.”

Begitu singkat dan sungguh-sungguh suara orang itu sehingga suaranya menjadi lucu rasanya bagi Ci Sian. Ingin ia tertawa, mentertawakan orang itu. Akan tetapi ada sesuatu pada orang itu yang membuat ia tidak dapat tertawa. Kalau orang itu begitu takut kepada isterinya yang katanya sedang marah-marah, mengapa pula ia harus ikut-ikut merasa takut? Karena itu, tanpa menjawab ia terus menuntun kudanya lewat di depan orang itu, dengan sikap waspada menjaga diri kalau-kalau orang itu akan menyerangnya.

Akan tetapi, kini terjadi keanehan pada Hek-liong-ma. Kuda itu tiba-tiba saja meringkik dan mogok, tidak mau ditarik oleh Ci Sian ketika binatang itu tiba di depan laki-laki rambut panjang itu.

“Hishhh, hayo maju, Hek-liong-ma!”

Ci Sian menarik-narik kendali kudanya yang mendadak mogok itu. Sambil menarik kudanya, ia melirik dan ia terkejut. Pria itu ternyata memang benar belum tua sekali. Sebagian wajahnya nampak dan ternyata dia seorang Laki-laki yang berwajah nampak tampan dan gagah, melihat wajah itu usianya tentu sekitar tiga puluh enam tahun atau sebaya dengan suhengnya, Kam Hong. Kalau lebih tua pun tidak akan banyak selisihnya, hanya dua tahun. Dan sepasang mata yang menunduk itu kelihatan mencorong menakutkan! Akan tetapi, pria itu tidak memandang kepadanya, hanya melirik ke arah kuda yang mogok lalu menggerakkan tangan kirinya.

“Pergilah, Hek-liong-ma!” katanya lirih dan sungguh aneh, kuda itu kini mau bergerak, jalan mengikuti Ci Sian sambil mengeluarkan suara seperti orang merintih, Ci Sian terkejut.

“Apakah hubunganmu dengan kuda ini? Apakah.... apakah engkau yang menyerahkan kuda ini kepada kakek pedagang kuda itu?”

Tiba-tiba ia teringat akan cerita kakek itu. Laki-laki itu tetap tidak memandang kepada Ci Sian, masih menundukkan mukanya dan berkata tak acuh.

“Kuda itu sekarang punyamu, jaga baik-baik.”

Melihat sikap ini, diam-diam Ci Sian tidak senang. Biasanya, semua laki-laki bersikap manis kepadanya, akan tetapi Laki-laki ini memperlakukan ia seolah-olah ia tidak nampak olehnya. Laki-laki sombong, pikirnya dan ia pun tidak mau bicara lagi, melanjutkan perjalanannya, tidak peduli akan peringatan yang diberikan oleh laki-laki itu tentang isterinya, pikirnya mendongkol.

Setelah melewati orang yang menimbulkan rasa ngeri di dalam hatinya itu, Ci Sian lalu meloncat ke atas punggung kudanya dan menjalankan kudanya perlahan-lahan menuruni lereng. Perutnya terasa lapar dan ia harus cepat-cepat menemukan dusun untuk mencari makanan.

Tiba-tiba ia menahan kendali kudanya dan memandang ke bawah. Di depan sana terdapat seorang wanita sedang berjalan seorang diri, memakai payung untuk melindungi mukanya dari sengatan matahari. Di tempat seperti itu berjalan melenggang dengan memakai payung! Sungguh suatu pemandangan yang amat aneh dan juga lucu.

Akan tetapi harus diakuinya bahwa jarang ia melihat seorang wanita secantik wanita berpayung itu. Wanita itu usianya tentu sudah ada tiga puluh tahun, walaupun wajahnya nampak cantik manis sekali dan tubuhnya yang terbungkus pakaian rapi dan indah itu nampak padat dan ramping menggairahkan.

Gerakannya ketika melenggang seperti seorang sedang menari saja. Benar-benar seorang wanita yang selain cantik, juga memiliki bentuk tubuh indah dan memiliki gerakan bergaya yang amat menarik. Setelah dekat, ia melihat betapa sepasang mata wanita itu juga amat tajam dan berwibawa, dan membayangkan kecerdikan.

“Berhenti! Berhenti dan turun kau!”

Wanita berpayung itu membentak, suaranya nyaring dan bening, juga amat berwibawa sehingga sebelum ia tahu apa yang harus ia lakukan, Ci Sian sudah menahan kendali kudanya dan berhenti.

“Apa.... apa katamu....?”

Tanyanya bingung karena ia tidak tahu mengapa suara wanita itu mempunyai pengaruh yang demikian kuatnya sehingga ia seperti terdorong oleh kehendak yang amat kuat untuk menghentikan kudanya, bahkan untuk turun, akan tetapi hal ini masih dilawannya.

“Turun kataku! Turun dari atas kuda itu!”

kembali wanita berpayung itu membentak dan sungguh luar biasa sekali, Ci Sian turun dari atas kudanya seperti seorang anak kecil takut akan perintah ayahnya.

Padahal, bukan takut yang mendorongnya turun, melainkan entah apa ia sendiri tidak tahu, yang jelas ia harus turun dari atas kuda itu! Dan anehnya, kuda itu kini meringkik lirih dan berjalan perlahan-lahan menghampiri wanita berpayung itu.

“Huh, engkau tentu mencuri kuda Hek-liong-ma ini!” kata wanita berpayung itu sambil mengerutkan alisnya dan memandang marah kepada Ci Sian. “Masih muda sudah belajar mencuri, ya? Mencuri kuda lagi, tidak tahu malu!”

Marahlah Ci Sian! Dan kemarahan karena dituduh menjadi pencuri kuda itu tiba-tiba saja membuatnya sadar akan kelakuannya sendiri yang tidak wajar ketika ia turun dari atas punggung kuda. Maka ia pun cepat mengerahkan sinkangnya dan tahulah ia bahwa ia tadi berada di bawah pengaruh kekuatan yang tidak wajar dari wanita itu. Kini, dengan mata berapi ia memandang kepada wanita itu dan menudingkan telunjuknya.

“Siluman betina! Jangan sembarangan saja menuduh orang! Aku bukan pencuri dan yang sudah jelas, engkau adalah seorang tukang tenung, siluman betina yang menggunakan ilmu hitam untuk mempengaruhi aku!”

“Eh, eh.... bocah setan! Sudah menunggang kuda orang seenaknya masih marah-marah lagi? Engkau patut dihajar!”

Dan tiba-tiba saja wanita itu melangkah maju, gerakannya cepat bukan main dan tangan kirinya sudah melayang dan menampar ke arah pipi Ci Sian dengan kuatnya.

“Plakkk!”