FB

FB


Ads

Senin, 20 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 076

Ci Sian menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu, Hong Bu. Kami berdua tidak mempunyai tujuan tertentu. Kami melakukan perjalanan bersama mencari Hek-i-mo membalas dendam kematian Ibuku, dan di sepanjang perjalanan Suheng mengajarkan ilmu kepadaku. Tapi.... ah, tak kusangka dia akan pergi begitu saja....”

Ci Sian benar-benar merasa kehilangan dan berduka. Tiba-tiba saja ia merasa bahwa di dunia ini tidak ada lagi lain orang kecuali Kam Hong baginya. Dan Kam Hong pergi begitu saja meninggalkannya tanpa memberi kesempatan kepadanya untuk membantah atau menahannya.

“Jadi engkau tidak tahu dia akan pergi ke mana? Kalau engkau tahu, kita akan dapat mengejarnya.”

“Kita....?”

“Ya, aku akan membantumu, Ci Sian. Aku pun tidak mempunyai tujuan tertentu dalam perjalananku ini. Aku mau membantumu mencari Kam-twako.”

“Mari kita pergi dulu dari tempat terkutuk ini!” Ci Sian berkata sambil melompat pergi.

Hong Bu mengejar dan mereka berlari-lari meninggalkan sarang Hek-i-mo itu. Mereka berlari terus dan Ci Sian terus berlari, membiarkan Hong Bu mengikutinya, tanpa bicara.

Mereka keluar dari daerah itu akan tetapi ketika mereka tiba di luar kota, di jalan kecil yang sunyi, dan malam menjadi agak gelap karena bulan telah condong ke barat dan tertutup awan yang mulai berkumpul, Ci Sian berhenti berlari. Di tepi jalan terdapat sebuah pondok kosong, tempat para petani mengaso di waktu siang sehabis bekerja. Mereka duduk di atas bangku bambu di bawah pondok.

“Kita menanti sampai pagi di sini saja.” kata Ci Sian.

Hong Bu mengangguk.
“Sebaiknya begitulah.”

Dan mereka pun hanya duduk diam, tidak ada yang mulai bicara. Suasana amat sunyi dan Hong Bu dapat merasakan betapa kesedihan menyelubungi hati dara itu. Dia merasa kasihan, akan tetapi dia tidak tahu bagaimana dapat menghiburnya dan dia khawatir kalau-kalau salah bicara, maka dia memilih diam saja.

Berulang kali Ci Sian menarik napas panjang. Memang dara ini membiarkan pikirannya melayang-layang, membayangkan semua pengalamannya sejak kecil sampai ia bertemu dengan Kam Hong dan mengalami banyak hal bersama.

Kiranya pendekar itu melakukan perjalanan bersama hanya untuk dua hal, yaitu pertama untuk mengajarkan ilmu silat Kim-siauw Kiam-sut yang mereka temukan berdua, dan membantunya membalas dendam terhadap Hek-i-mo. Tidak ada hal lain lagi kecuali itu! Tidak ada hal lain! Inilah yang membuat Ci Sian termenung dan merasa berduka. Dia.... dia tidak mencintaku!

Demikian pikiran yang membuat Ci Sian merasa berduka. Kalau Kam Hong mencintanya, tidak mungkin mau meninggalkannya, meninggalkannya seorang diri saja di dunia ini. Kembali ia menarik napas panjang.

Hong Bu yang sejak dahulu telah jatuh hati kepada dara ini, dan sekarang dia merasa kagum bukan main karena tadi dia melihat sendiri betapa lihainya Ci Sian sekarang dengan ilmu sulingnya, merasa tidak tega. Dia dapat menduga bahwa Ci Sian merasa berduka ditinggalkan suhengnya, dan merasa hidupnya kesepian, merasa sendirian saja di dunia yang luas ini.

“Bagaimana kalau engkau beristirahat dan tidur di sini? Biar kubuatkan api unggun dan aku menjaga di sini.” kata Hong Bu dengan lirih dan halus.

Hampir saja Ci Sian lupa dan mengira bahwa yang bicara itu adalah Kam Hong! Akan tetapi begitu ia menoleh dan melihat bahwa yang duduk di sampingnya dan yang bicara halus tadi adalah Hong Bu, ia menggeleng kepala.

“Aku tidak mengantuk. Dan lebih baik tidak membuat api unggun. Setelah apa yang terjadi di sana tadi, tentu ada orang-orang jahat yang mengejar kita. Biarlah kita beristirahat sambil duduk di sini sampai pagi. Eh Hong Bu, bagaimana engkau dapat muncul secara tiba-tiba dan membantuku menghadapi raja iblis itu?”

Tiba-tiba Ci Sian teringat dan perhatiannya mulai teralih kepada Hong Bu dan hal ini cukup untuk membuat ia melupakan kesedihannya karena ia seperti tidak merasa kesepian dan sendiri lagi. Hong Bu tersenyum, akan tetapi senyum pahit.

“Nasibku agaknya tidak lebih menyenangkan daripada nasibmu, Ci Sian. Aku pun hidup sendirian saja di dunia ini, tiada sanak saudara, tiada handai taulan, bahkan tanpa tujuan sama sekali! Kadang-kadang kalau aku sedang berjalan seorang diri dan memandang ke atas, aku merasa seakan-akan menjadi segumpal kecil awan yang terpencil sendirian terbawa angin, entah hendak dibawa ke mana oleh angin itu. Kadang-kadang aku merasa kesepian dan bingung. Apalagi kalau teringat bahwa aku telah menjadi seorang buronan dan dikejar-kejar oleh orang-orang sakti yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan aku!”

“Eh? Kenapa? Apa dosamu maka engkau dikejar-kejar oleh Kaisar?”

Hong Bu menepuk pedang di pinggangnya.
“Karena pedang inilah.”

“Koai-liong Po-kiam?”

“Ya, Koai-liong Po-kiam. Ci Sian, engkau sudah mendengar riwayat pedang yang meributkan ini. Biarpun pedang ini buatan nenek moyang keluarga Cu, akan tetapi pernah lenyap dan tahu-tahu berada di Istana Kaisar tanpa ada yang tahu bagaimana. Kemudian Bibi guru Tang Cun Ciu mencurinya dari istana, yang sesungguhnya bagi kami bukan mencuri melainkan mengambil kembali hak milik keluarga Cu. Kemudian, karena oleh mendiang Supek Ouwyang Kwan yang menjadi Yeti itu aku diangkat sebagai ahli waris ilmu Koai-liong Po-kiam dan pedangnya, maka pedang dan ilmu itu jatuh kepadaku.”






“Ya, dan engkau bersembunyi lalu berlatih di dalam guha itu.” kata Ci Sian.

“Benar, akan tetapi selagi aku beristirahat, baru-baru ini, di lembah kedatangan orang-orang sakti utusan Kaisar yang menuntut dikembalikannya pedang pusaka ini. Tentu saja Suhu Cu Han Bu dan Susiok Cu Seng Bu yang berada di lembah menentang dan terjadi pertempuran, dengan janji bahwa kalau pihak Suhu kalah, Suhu dan Susiok akan menjadi hwesio dan memberitahu di mana adanya pedang, sebaliknya kalau utusan itu yang kalah, utusan itu tidak boleh mengganggu lagi. Nah, terjadi pertempuran dan akibatnya.... Suhu dan Susiok kini menjadi hweslo....”

“Hah....?” Ci Sian terbelalak, kaget sekali. “Maksudmu.... kedua Locianpwe itu telah kalah?”

Hong Bu mengangguk.

“Tapi.... tapi menurut kata Suheng, Gurumu itu memiliki kesaktian yang luar biasa sekali, bahkan menurut Suheng ketika Suheng dan Gurumu pi-bu, Suheng mengalami kesulitan besar untuk memperoleh kemenangan tipis! Kalau begitu, alangkah saktinya utusan Kaisar itu. Siapakah mereka itu?”

“Mereka adalah Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya. Dia dan puteranya yang telah mengalahkan dan melukai Suhu dan Susiok.”

“Jenderal Muda Kao Cin Liong dan ayahnya? Ahhh....!”

Ci Sian terkejut dan dia pun mengerti sekarang mengapa guru dan Susiok Hong Bu sampai kalah, sungguhpun hal itu juga amat mengherankan hatinya. Dia tahu bahwa Kao Cin Liong adalah seorang pemuda sakti, akan tetapi tidak pernah mengira bahwa jenderal muda itu akan mampu mengalahkan tokoh penghuni Lembah Suling Emas!

“Agaknya engkau telah mengenal mereka.”

“Tentu saja, aku mengenal baik Jenderal Muda Kao Cin Liong. Jadi, kini engkau menjadi buruan mereka?”

“Ya, karena pedang pusaka ada padaku, dan karena memenuhi perjanjian pi-bu itu Suhu memberitahukan mereka bahwa pedang ada padaku tanpa memberitahu aku berada di mana, maka tentu mereka itu akan mencariku dan kalau bertemu, tentu mereka akan menuntut agar aku menyerahkan pedang ini.”

“Dan engkau akan menyerahkan pedang itu?”

“Tidak!” jawab Hong Bu dengan tegas. “Aku, sudah bersumpah kepada Suhu. bahwa aku akan mempertahankan pedang ini, karena pedang ini sesungguhnya adalah milik keluarga Cu dan aku telah menjadi ahli-warisnya. Betapapun juga, akan kupertahankan dengan taruhan nyawa“

Diam-diam Ci Sian memandang khawatir.
“Ah, engkau berada dalam keadaan yang amat tidak enak, Hong Bu.”

Hong Bu menarik napas panjang.
“Memang, demikianlah kenyataannya. Akan tetapi bukan menghadapi Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya yang membuat hatiku merasa amat tidak enak, melainkan menghadapi.... Suhengmu.”

“Ehhh....?” Ci Sian lalu teringat akan semua yang terjadi ketika suhengnya melakukan pibu (adu ilmu silat) melawan penghuni lembah, dan kata-kata Cu Han Bu bahwa kelak akan terbukti keunggulan Koai-liong Kiam-sut terhadap Kim-siauw Kiam-sut. “Jadi kau.... kau hendak mewakili keluarga Cu untuk menentang Suheng? Engkau hendak menebus kekalahan Gurumu?”

“Begitulah pesan Suhu kepadaku ....“

Sebelum Hong Bu melanjutkan kata-katanya untuk menyatakan bahwa sesungguhnya dia sama sekali tidak setuju dan tidak ingin berhadapan dengan Kam Hong yang amat dikaguminya itu sebagai lawan, Ci Sian sudah meloncat keluar dari pondok dan mencabut sulingnya!
“Bagus! Tidak perlu kau bersusah payah mencari Suheng! Mari hadapilah aku kalau engkau masih penasaran! Aku juga merupakan ahli-waris Kim-siauw Kiam-sut dan jangan harap dengan ilmu pedang tumpulnya itu akan mampu menandingi Kim-siauw Kiam-sut kami!”

“Eh-eh.... Ci Sian....!”

Hong Bu meloncat keluar pula dengan maksud untuk membantah, akan tetapi dia sudah disambut oleh sinar keemasan yang mengeluarkan bunyi melengking ketika suling di tangan Ci Sian itu bergerak menyambar dengan serangan yang amat hebat.

Hampir saja kepala Hong Bu kena disambar suling. Karena datangnya serangan demikian dahsyat dan tak terduga-duga, terpaksa dia melempar tubuh ke belakang lalu bergulingan, barulah dia terlepas dari cengkeraman maut!

“Eh, nanti dulu, Ci Sian....!”

Akan tetapi Ci Sian sudah menyerang Lagi sambil membentak,
“Mau bicara apa lagi? Mari kita lihat siapa lebih unggul di antara kita!”

Dan gulungan sinar kuning emas itu sudah menyambar dengan dahsyatnya.

“Tringgg....!”

Bunga api berpijar ketika pedang Koai-liong Po-kiam bertemu dengan suling emas di tangan Ci Sian. Dara itu merasa tangannya tergetar hebat, akan tetapi ia kini bukan seorang dara yang lemah, maka dengan kecepatan kilat ia sudah menyerang lagi.

Percuma saja bagi Hong Bu yang berkali-kali minta gadis itu bersabar sehingga terpaksa dia pun harus mainkan pedangnya karena serangan-serangan Ci Sian sama sekali tidak boleh dipandang ringan. Gadis itu telah menguasai sebuah ilmu yang amat lihai, bahkan tadi pun mampu melawan seorang tokoh sakti seperti Hek-i Mo-ong.

Maka terjadilah perkelahian antara pedang dan suling yang amat hebatnya di waktu menjelang pagi itu. Suara beradunya kedua senjata itu terdengar berkali-kali dan pertandingan yang terjadi di tempat sunyi itu benar-benar amat hebat. Baik gerakan pedang maupun suling keduanya mengeluarkan suara yang aneh. Pedang itu mengaung-ngaung seperti seekor naga yang marah, sedangkan suling itu mengeluarkan suara berlagu, sehingga nampaknya seolah-olah seekor naga yang sedang menari-nari diiringi musik yang gagah!

CI SIAN menyerang dengan sungguh-sungguh karena ia sudah marah sekali. Marah dan kecewa. Tadinya ia menganggap Hong Bu seorang pemuda yang amat menyenangkan, dan seorang sahabat yang boleh dipercaya. Akan tetapi ternyata tidak demikian! Hong Bu adalah seorang musuh yang hendak mengalahkan Kim-siauw Kiam-sut! Maka, kemarahannya membuat gerakannya menjadi semakin hebat.

Kekecewaan karena kenyataan bahwa pemuda ini adalah seorang musuh yang membuat Ci Sian menjadi nekat seperti itu, ditambah lagi dengan rasa duka karena suhengnya telah pergi meninggalkannya! Biarlah, pikirnya nekat, kalau aku kalah dan mati, biar suheng akan menyesal seumur hidup!

Sebaliknya, Hong Bu menjadi sibuk dan bingung bukan main. Dia telah jatuh cinta kepada gadis ini, seorang gadis yang amat dikaguminya dan dicintanya. Akan tetapi gadis ini sekarang menyerangnya kalang-kabut dan nekat. Dia tadi telah berterus terang, hanya karena dia tidak ingin menyimpan rahasia terhadap Ci Sian, hanya karena dia ingin bersikap jujur, akan tetapi sebelum dia menyatakan bahwa dia tidak setuju dengan perintah gurunya, gadis itu telah menyerangnya demikian dahsyatnya sehingga terpaksa dia harus membela diri.

Dan makin lama mereka bertanding, Hong Bu merasa makin tertarik. Tadi pun, ketika dia membantu Ci Sian menghadapi Hek-i Mo-ong, dia sudah melihat kenyataan yang amat mengherankan hatinya. Yaitu, bahwa ilmu pedangnya dapat bekerja sama dengan ilmu suling yang dimainkan Ci Sian. Bahkan terasa enak dan cocok, saling mengisi, saling melindungi dan bahkan saling melengkapi.

Karena itulah, ketika kini Ci Sian menyerangnya secara bertubi-tubi, timbul keinginan tahunya untuk mempelajari ilmu suling itu, apalagi ketika dia melihat bahwa pada dasarnya, dia seperti tidak asing dengan dasar gerakan dari Kim-siauw Kiam-sut. Biarlah dia melayani Ci Sian untuk beberapa lama sehingga dia dapat menyelami bagaimana sesungguhnya Kim-siauw Kiam-sut dan di mana letak ketangguhannya.

Maka dia pun membela diri, bukan hanya menangkis dan mengelak, melainkan juga balas menyerang karena dia hendak melihat pula bagaimana ilmu pedang yang dimainkan dengan suling itu dalam pertahanan dan serangan balasan. Juga dia amat mengagumi kekuatan khi-kang dahsyat yang keluar dari suara suling itu ketika dimainkan sedemikian cepatnya oleh Ci Sian.

Sebetulnya, tidaklah aneh kenyataan yang dilihat oleh Hong Bu itu, seperti juga sudah dilihat oleh Kam Hong dan yang diduga dengan tepat oleh pendekar ini. Kim-siauw Kiam-sut adalah ilmu pedang yang dimainkan dengan suling, Ciptaan Si Pencipta suling itu sendiri, yaitu Cu Keng Ong. Sedangkan Koai-liong Po-kiam adalah ilmu pedang ciptaan Cu Hak, seorang keturunan dari Cu Keng Ong yang lihai, yang telah membuat pedang Koai-liong Pok-kiam, dan kemudian ilmu pedang ini disempurnakan oleh Ouwyang Kwan. Tentu saja penciptaan ilmu pedang ini amat dipengaruhi oleh Kim-siauw Kiam-sut, bahkan ilmu inilah yang menjadi sumbernya maka pada dasarnya banyak terdapat persamaan-persamaan.

Dalam gembiranya karena dapat mempelajari ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu, Hong Bu lupa diri dan dia terus melayani Ci Sian sampai berjam-jam. Entah sudah berapa ratus jurus mereka bertanding dan Hong Bu selalu hanya menjaga diri saja, hanya kadang-kadang membalas serangan lawan kalau dia terlalu terdesak.

Sampai matahari pagi menerangi bumi, kedua orang muda remaja itu masih saja bertanding! Muka dan leher Ci Sian sudah basah oleh keringat dan ia sudah lelah sekali karena malam tadi ia sudah banyak memeras keringat ketika melawan Mo-ong. Maka dapat dibayangkan rasa gemas hati dara ini. Gemas dan marah sekali karena dia merasa dipermainkan!

Kalau ia segera roboh dan tewas, ia tidak akan merasa penasaran. Akan tetapi sekarang ini keadaannya sungguh menggemaskan dan melelahkan, menang tidak kalah pun tidak! Jurus apa pun yang dikeluarkannya, pihak lawan hanya sebentar saja terdesak, akan tetapi segera Hong Bu dapat memperbaiki kedudukannya lagi dan melawan dengan tangguhnya. Ia merasa seperti menghadapi dinding baja saja terhadap pemuda ini. Semua serangannya gagal total! Dan serangan-serangan pemuda itu agaknya tidak sungguh-sungguh, seolah-olah Hong Bu memandang rendah kepadanya. Hal ini sungguh-sungguh membuat ia mendongkol dan marah sekali.

Sudah dicobanya untuk mendesak dengan sekuat tenaga, akan tetapi, sesungguhnya latihan-latihannya belum cukup matang dan memang ia kalah tenaga oleh Hong Bu, maka sampai tangannya yang memegang suling rasanya seperti lumpuh dan napasnya sudah memburu, belum juga ada ketentuannya dalam pertandingan itu. Saking jengkelnya, beberapa butir air mata keluar dari kedua matanya tanpa dapat dicegah lagi!

“Tring-trangggg....!”

Keduanya melangkah mundur saking kerasnya senjata mereka beradu dan Hong Bu terbelalak.

“Ci Sian....! Kau.... kau menangis....?”

“Siapa menangis? Ah, kau.... kau.... manusia kejam!”

Dan Ci Sian sudah menyerang lagi, tidak peduli betapa air matanya bertambah deras oleh pertanyaan pemuda tadi.

“Ah, maafkan aku.... ah, bukan maksudku.... aku hanya ingin memperhatikan ilmumu yang amat hebat itu, Ci Sian.... ah, trang....!”

Dan melihat Ci Sian menangis seperti itu, air matanya menetes-netes, tiba-tiba Hong Bu merasa seluruh tubuhnya lemas. Dia memasukkan pedangnya di sarung pedang, dan berdiri sambil bersedakap. Suling itu menyambar datang dan Hong Bu memejamkan mata, tidak mengelak atau menangkis!

“Wuuuuttt....!”

Suling itu lewat di atas kepalanya karena Ci San terkejut setengah mati melihat pemuda itu tidak mengelak, maka ia tadi menyelewengkan serangannya, lalu tangan kirinya memukul ke arah pundak pemuda itu.

“Desss....!”

Tubuh Ho Bu terguling roboh. Biarpun tidak terlalu keras, namun pada waktu itu Ci Sian telah memiliki sin-kang yang amat kuat, maka pukulannya tadi cukup untuk membuat Hong Bu yang sama sekali tidak mengerahkan sin-kang itu terpelanting.

“Bangun! Hayo lawanlah! Pengecut!” Ci Sian memaki.

Hong Bu yang telentang itu memandang dan tersenyum. Dia pun berkeringat pada muka dan lehernya.

“Tidak, Ci Sian, maafkan aku. Sungguh mati aku tidak bermaksud membikin engkau marah dan berduka sampai menangis....”

“Aku tidak menangis, keparat! Hayo bangkit dan lawanlah aku, mari kita lanjutkan dan bertanding sampai seorang di antara kita mampus!”

Akan tetapi Hong Bu hanya bangkit duduk dan menggeleng kepalanya.
“Tidak, aku.... tidak sanggup lagi melawanmu, Ci Sian....“

“Pengecut kau, keparat! Jangan mempermainkan aku, kau!”

Dan Ci Sian menggerakkan sulingnya ke atas, lalu suling itu menyambar ke bawah. Akan tetapi Hong Bu hanya memandang, sedikit pun tidak pernah berkedip, seolah-olah dia siap menghadapi kematian dengan rela.

Sinar keemasan yang menyambar turun itu berherti dan ujung suling itu sudah menyentuh kulit leher Hong Bu, dan di bawah kulit itulah terdapat jalan darah yang mematikan. Sedikit saja suling itu ditotokkan, maka nyawa Hong Bu akan melayang! Namun, pemuda itu hanya tersenyum pahit.

“Aku tidak mempermainkan engkau, Ci Sian. Aku tidak mau melawanmu....”

“Hayo bangkit kau, keparat! Atau.... hemm, kubunuh engkau sehingga mati konyol!” ujung suling itu menempel lebih ketat.

“Terserah kepadamu, Ci Sian. Aku akan rela mati di tanganmu. Aku memang lebih baik mati daripada harus berhadapan denganmu sebagai musuh. Aku tidak bisa memusuhimu Ci Sian, dan aku rela mati di tanganmu karena aku.... aku cinta padamu....”

“Ihhh....!”

Ci Sian meloncat ke belakang dan melepaskan sulingnya seolah-olah suling itu telah berobah menjadi seekor ular! Matanya terbelalak, dan air matanya masih menetes-netes turun ke atas kedua pipinya.

“Kau.... kau....” Ia tidak dapat melanjutkan kata-katanya karena hatinya terasa seperti diremas-remas.

Ia menjadi bingung, penuh dengan perasaan marah, menyesal, juga terharu. Tidak tahu ia harus bagaimana menanggapi pengakuan cinta itu, Hong Bu cinta padanya? Apakah cinta itu? Bagaimanakah cinta itu? Ia menjadi bingung dan karena bingung itulah ia menangis! Hong Bu kini bangkit berdiri dan memandang dengan muka yang agak pucat.

“Maafkan aku, Ci Sian.... mungkin aku menyinggung perasaanmu dengan pengakuanku itu.... aku tahu bahwa aku tidak berharga untuk seorang dara seperti engkau.... akan tetapi, aku tidak dapat pula merahasiakan ini. Semenjak kita saling bertemu.... aku telah jatuh cinta padamu. Entah, begitulah kenyataannya dan kalau tadi aku melayanimu bertanding, maksudku hanya untuk melihat begaimana sesungguhnya ilmu Kim-siauw Kiam-sut itu karena aku melihat betapa ilmu kita begitu serasi dan....”

Akan tetapi Ci Sian sudah menyambar sulingnya. Hong Bu siap untuk menerima serangan maut. Akan tetapi, gadis itu meloncat pergi dan lari secepatnya sambil masih menangis.

“Ci Sin....! Aku cinta padamu....!”

Hong Bu melangkah beberapa tindak ke depan, kedua tangannya diulur ke depan, akan tetapi dia hanya menarik napas panjang berulang kali, kemudian menundukkan mukanya yang menjadi muram ketika melihat dara itu menghilang. Dia tidak mau mengejar, karena pengejarannya tentu akan menambah marah dan dia sama sekali tidak ingin membikin marah atau susah kepada dara yang dicintanya itu.

Cinta asmara memang sesuatu yang amat aneh. Takkan habis-habisnya kalau dibicarakan, dan di dunia ini terdapat entah berapa banyak kisah-kisah tentang cinta asmara dan akibat-akibatnya. Cinta asmara memiliki kekuasaan yang tak terbatas! Dapat menundukkan manusia yang bagaimana kuat pun. Dapat membuat hati yang sekeras-kerasnya menjadi selunak-lunaknya, sebaliknya dapat mendatangkan kekerasan yang amat mengerikan. Cinta asmara dapat mengakibatkan perbuatan yeeg selembut-lembutnya dan sebaik-baiknya, dapat pula mendatangkan perbuatan yang sekejam-kejamnya.

Betapapun hidup tanpa cinta sama dengan pohon tanpa bunga, seperti bumi tanpa matahari, hampa dan tiada artinya sama sekali. Akan tetapi, tidak seperti yang kebanyakan dari kita kehendaki, yang dimaksudkan dengan cinta di sini bukanlah cinta orang lain kepada kita, melainkan yang terpenting adalah cinta kita kepada orang lain!

Cinta di dalam batin kita itulah api kehidupan, itulah kebajiken, itulah kebahagiaan. Dan cinta ini baru ada apabila batin sudah bersih daripada kebencian, iri hati, dan keinginan untuk senang sendiri. Yang penting adalah sinar kasih itu bernyala dalam hati, dan ini baru terjadi apabila hati kita kosong dan terbuka. Keinginan akan cinta kasih orang lain terhadap kita tiada lain hanyalah keinginan untuk menikmati kesenangan melalui orang yang kita harapkan cintanya itu.Lain tiada.