FB

FB


Ads

Senin, 20 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 073

Kita tinggalkan dulu perjalanan dua orang muda itu dan mari kita menengok dan berkenalan dengan yang dinamakan gerombolan Hek-i-mo itu. Gerombolan ini bersarang di Lereng Pegunungan Ci-lian-san yang terletak di perbatasan antara propinsi Sin-kiang dan Cing-hai. Di kedua propinsi ini, nama Hek-i-mo (Iblis Baju Hitam) amat terkenal dan boleh dibilang merekalah yang menjadi pemerintah gadungan yang menguasai semua jalan-jalan raya yang menghubungkan kedua daerah itu.

Tidak ada perampok atau bajak sungai yang tidak tunduk kepada mereka, dan juga semua perusahaan pengawal dari kedua propinsi itu semua mengenal dan bersahabat dengan Hek-i-mo. Mereka semua itu dengan sikap hormat menyerahkan sejumlah “pajak” atau “hadiah” kepada perkumpulan ini agar terjamin lancar pekerjaan mereka.

Bukan hanya mereka yan berkepentingan lewat di daerah tapal batas kedua propinsi ini saja yang bersahabat dengan Hek-i-mo, bahkan juga para pembesar di Sin-kiang boleh dibilang sudah dikuasai oleh perkumpulan lni. Pembesar yang bersahabat dengan Hek-i-mo tentu akan dilindungi.

Oleh karena itu, bukan merupakan pemandangan aneh kalau orang melihat satu dua orang anggauta Hek-i-mo yang dikenal dari pakaian mereka yang serba hitam, berkeliaran di kota-kota di daerah Sin-kiang atau Cing-hai sekalipun, dan menerima “sumbangan” dari toko-toko yang besar.

Belasan tahun lamanya pengaruh Hek-i-mo merajalela tanpa ada yang berani menentangnya. Memang dahulu banyak juga pendekar-pendekar yang berusaha menentang kekuasaan hitam ini, namun satu demi satu para pendekar penentang itu roboh, tewas atau terluka parah. Tidak ada seorang pun dapat menandingi Hek-i-mo dan akhirnya tidak ada lagi pendekar yang begitu bodoh untuk menyerahkan nyawa begitu saja.

Karena daerah ini terlalu jauh dari kota raja, dan juga karena Hek-i-mo tidak pernah terdengar memberontak, juga tidak melakukan kejahatan dengan mencolok, bahkan tidak pernah merampok karena mereka ini tidak pernah kekurangan “penghasilan”, maka Hek-i-mo dapat bertahan sampai belasan tahun tanpa terganggu.

Di manakah letak kekuatan Hek-i-mo dan bagaimana kuatnya? Hek-i-mo dipimpin oleh seorang kakek yang kini usianya sudah sekitar enam puluh lima tahun dan selama belasan tahun ini dia hanya dikenal dengan nama julukannya, yaitu Hek-i Mo-ong (Raja Iblis Baju Hitam) karena dia selalu memakai baju hitam-hitam dan tubuhnya yang seperti raksasa itu memang menyeramkan. Kuiit tubuhnya putih dan berbulu, karena memang dia mempunyai darah Han bercampur Kozak, ayahnya seorang Rusia Kozak dan ibunya seorang wanita Han.

Wajahnya dapat dikatakan tampan dan gagah, akan tetapi sepasang matanya yang kebiruan itu amat tajam seperti mata setan, dan senyumnya selalu sinis, mengandung ejekan yang memandang rendah siapapun juga.

Raksasa ini rambutnya sudah putih semua, dan memang rambutnya itu agak keputihan, dan dalam usia lima puluh tahun, lima belas tahun yang lalu ketika dia pertama kali muncul di barat, rambutnya pun sudah putih. Dahulu, sebelum dia dikenal sebagai Hek-i Mo-ong, namanya adalah Phang Kui, dan dia menggunakan she Phang yang menjadi she Ibunya.

Hek-I Mo-ong ini memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Selain ilmu silatnya yang tinggi, tenaganya yang amat besar, juga dia memiliki ilmu hitam atau ilmu sihir yang dipelajarinya dari Tibet. Ilmu sihir atau ilmu hitamnya inilah yang amat ditakuti orang, dan mula-mula memang dia selalu mempergunakan ilmu hitam ini untuk mencari pengaruh dan menundukkan orang-orang.

Phang Kui ini memang cerdik. Begitu muncul, kurang lebih delapan belas tahun yang lalu, dia tidak mau mengganggu orang baik-baik atau orang-orang pemerintah, melainkan merajalela di antara orang-orang jahat. Ditundukkannya semua perampok, bajak sungai, maling-maling dan semua orang jahat, ditundukkan semua perkumpulan yang menggerakkan tempat-tempat perjudian atau pelacuran, semua ketua mereka satu demi satu dikalahkannya. Namanya mulai dikenal dan ditakuti dan kalau orang sudah ditakuti oleh golongan sesat, tentu saja penduduk juga menjadi takut! Phang Kui menjadi “rajanya” orang jahat dan dia dijuluki Hek-i Mo-ong!

Dan mulailah orang-orang jahat mendekatinya dan menyanjungnya. Namun, Phang Kui tidak mau sembarangan memilih orang. Dia akhirnya berhasil mengumpulkan orang-orang dari golongan hitam, bukan orang-orang biasa, melainkan orang-orang yang dipilihnya, yang memiliki kepandaian atau bakat ilmu silat, memiliki tubuh yang kuat.

Dia mengumpulkan lima puluh orang yang digemblengnya sehingga mereka menjadi pasukan yang amat kuat, karena masing-masing anggauta merupakan seorang ahli silat yang tangguh di samping mempelajari satu dua macam ilmu hitam.

Semenjak itulah, perkumpulan Hek-i-mo berdiri, beranggautakan lima puluh orang yang tangguh sekali. Kemudian, Hek-i Mo-ong mengumpulkan delapan orang murid yang terdiri dari orang-orang yang tadinya sudah memiliki ilmu kepandaian tinggi, di antara tokoh-tokoh hitam yang yang ditundukkannya. Mereka ini dianggap sebagai murid-murid kepala dan beberapa tahun kemudian, terkenal pulalah nama Hek-I Pat-mo (Delapan Iblis Baju Hitam) yang merupakan murid-murid dan wakil Hek-i Mo-ong.

Delapan orang murid inilah yang mengurus segala urusan, juga mengepalai dan menggembleng anggauta-anggauta Hek-i-mo. Sedangkan Hek-i-mo sendiri lebih banyak mendekam di dalam sarangnya, yaitu sebuah gedung yang. cukup indah di lereng Pegunungan Ci-lian-san. Pekerjaannya hanyalah bersamadhi, makan enak, pesta-pesta, dan kadang-kadang memberi petunjuk kepada delapan orang murid-muridnya, baik dalam hal ilmu silat atau ilmu hitam. Hanya kalau ada urusan-urusan penting sekali sajalah maka Hek-i Mo-ong keluar sendiri. Akan tetapi segala urusan harian yang tidak begitu penting, cukup diselesaikan oleh Hek-i Pat-mo saja.

Akan tetapi, sampai usia enam puluh lima tahun itu, Hek-i Mo-ong tidak pernah menikah, walaupun di bagian belakang gedungnya terdapat bagian luas di mana hidup belasan orang wanita muda dan cantik yang merupakan sekumpulan wanita-wanita peliharaan atau selir-selirnya! Dia bukan seorang yang mata keranjang dan pengejar wanita, akan tetapi wanita-wanita muda cantik itu adalah “hadiah-hadiah” dari kepala perampok, pimpinan piauw-kiok dan juga pembesar!

Dia tidak menolaknya dan mengumpulkan wanita-wanita muda itu, akan tetapi hanya jarang dia menggauli mereka, juga Hek-i Pat-mo yang menjadi murid-murid kepala itu tidak ada yang beristeri sungguhpun usia mereka sudah antara empat puluh sampai lima puluh tahun. Hal ini bukan berarti mereka tidak mau berdekatan dengan wanita, akan tetapi mereka tidak mau terikat dengan wanita seperti guru mereka, dan wanita itu bagi mereka hanyalah alat bersenang-senang, tiada lain! Dan agaknya apabila mereka menghendaki seorang wanita cantik, maka wanita itu sudah pasti akan terjatuh oleh mereka, baik melalui ancaman, maupun ilmu silat atau ilmu sihir.

Betapapun juga, suhu mereka sudah memperingatkan dengan keras para murid tidak mengganggu wanita-wanita keluarga pembesar atau keluarga golongan “sahabat-sahabat” mereka, dan hanya membatasi pada wanita-wanita dusun dan wanita-wanita gunung saja.






Malam itu adalah malam bulan purnama. Dan seperti biasa, pada malam-malam seperti itu, Hek-i Mo-ong tentu mengajak delapan orang muridnya untuk berlatih samadhi di tempat terbuka, untuk menampung sinar bulan purnama yang mempunyai hikmat memperkuat ilmu hitam mereka.

Akan tetapi, tidak seperti biasanya, malam itu merupakan malam istimewa bagi Hek-i Mo-ong karena ada urusan penting yang harus ditanganinya sendiri, yaitu dengan ditawannya tiga orang musuh yang berani datang menentang Hak-i-mo! Biarpun yang menghadapi musuh-musuh ini adalah murid-muridnya, bahkan yang menawan juga murid-muridnya, akan tetapi untuk memutuskan hukuman apa yang harus diberikan kepada mereka harus dia sendiri yang menentukan.

Malam itu bulan amat terang, tidak ada awan hitam menghalang. Cahaya bulan yang misterius memandikan permukaan bumi dan terutama sekali di tanah datar tertutup rumput di belakang rumah gedung yang menjadi sarang Hek-i-mo itu cahaya bulan nampak aneh dan mendatangkan hawa dingin yang mendirikan bulu roma. Sunyi sekali suasana di tempat itu, sebuah padang rumput yang luas di belakang gedung.

Sejak tadi, para anak buah Hek-i-mo sudah berkumpul. Mereka memang disuruh berkumpul di tempat itu untuk menyaksikan “pengadilan” yang akan disidangkan untuk menjatuhkan hukuman kepada tiga orang tawanan. Karena sebagian dari mereka bertugas menjaga keamanan seperti biasa, maka yang berkumpul hanya sekitar tiga puluh orang, yang membentuk lingkaran lebar sakali di lapangan rumput itu, seperti pagar manusia yang aneh karena mereka semua berdiri dengan kedua kaki terpentang dan kedua lengan di belakang, tidak bergerak seolah-olah tiga puluhan orang itu telah berobah menjadi arca.

Pakaian mereka yang hitam membuat keadaan mereka itu lebih menyeramkan lagi. Hanya karena sinar bulan yang terang saja mereka dapat nampak, karena di malam hari tanpa bulan, mereka tidak akan kelihatan sama sekali. Pakaian mereka, sampai sepatu mereka, semua berwarna hitam.

Kemudian di sebelah dalam lingkaran luas yang dibuat oleh tiga puluh orang itu, nampak sebuah lingkaran lain, sebuah lingkaran yang garis tengahnya kurang lebih empat lima meter, dan lingkaran itu pun merupakan lingkaran segi delapan yang dibentuk oleh delapan orang yang duduk teratur seperti Pat-kwa (Segi Delapan).

Delapan orang ini berusia sekitar empat puluh sampai lima puluh tahun, rata-rata bertubuh tinggi besar dan nampak kuat, dengan sepasang mata yang berkilau tajam dan sikap mereka juga seperti arca, tanpa bergerak, duduk mereka bersila dan kedua lengan terletak di atas paha.

Di tengah-tengah lingkaran mereka itu terdapat sebuah bantal bundar berwarna merah, dan tak jauh dari situ nampak tubuh tiga orang yang terbelenggu kaki tangannya. Delapan orang itu adalah Hek-i Pat-mo, juga mereka semua mengenakan pakaian dan sepatu hitam, hanya lengan kanan mereka memakai sebuah gelang berwarna kemerahan. Kepala mereka memakai penutup kepala kain hitam pula sehingga mereka nampak lebih menyeramkan daripada para anak buah yang tidak memakai penutup kepala, melainkan menggelung rambut mereka ke atas seperti kebiasaan pendeta tosu.

Tak lama kemudian, tiga puluh lebih anggauta Hek-i-mo yang berdiri dengan kedua kaki terpentang itu, tiba-tiba menggerakkan kaki mereka dan kini kedua kaki itu merapat dan mereka berdiri tegak, memandang ke arah belakang gedung dengan sikap seperti pasukan memberi hormat kepada komandan mereka. Juga delapan orang Hek-i Pat-mo itu memandang ke arah pintu belakang gedung yang terbuka dari dalam dan dari pintu itu muncullah seorang laki-laki tinggi besar dengan langkah tenang. Memang Ketua Hek-i-mo ini menyeramkan.

Muncul di terang bulan seperti itu, pakaiannya yang serba hitam itu membuat wajahnya makin nampak putih, demikian pula rambutnya seperti benang-benang perak saja, berkilauan tertimpa cahaya bulan. Kepalanya tidak ditutupi, dan rambutnya yang panjang itu dibiarkan awut-awutan di atas kedua pundaknya. Bertemu dengan orang ini di tempat gelap yang sunyi seakan cukup membuat yang bertemu itu lari ketakutan, mengira bertemu dengan iblis.

Setelah memasuki lingkaran itu, Hek-i Mo-ong lalu duduk bersila di atas bantal bundar merah yang telah tersedia di situ, dan delapan orang muridnya mengangkat kedua tangan ke depan hidung, dengan tangan dirangkapkan seperti orang menyembah. Itulah penghormatan mereka sebagai murid kepada ketua mereka atau juga guru mereka.

Di bawah sinar bulan purnama, lingkaran itu cukup terang dan Hek-i Mo-ong memandang ke arah tiga tawanan yang terbelenggu kaki tangan mereka dan rebah miring itu. Tiga orang tawanan itu adalah tiga orang yang berpakaian ringkas seperti biasa dipakai oleh para kang-ouw. Seorang kakek berusia kurang lebih empat puluh tahun, seorang pemuda yang berusia antara dua puluh lima tahun dan seorang gadis berusia kurang lebih dua puluh tahun.

Mereka itu jelas tidak berdaya, sudah terbelenggu kaki tangan mereka, bahkan ada luka-luka berdarah di beberapa bagian tubuh mereka, namun sikap mereka masih gagah dan sama sekali tidak memperlihatkan rasa takut, bahkan ketika Hek-i Mo-ong muncul, mereka memandang kepadanya dengan sinar mata penuh kebencian.

“Siapakah dia?” Hek-i Mo-ong bertanya sambil menuding ke arah kakek itu.

Seorang di antara murid-muridnya, yang bersila berhadapan dengannya dan yang kumisnya amat lebat menutupi mulutnya,

“Namanya Cia Khun, adik dari Ciau-piauwsu dari kota Sin-ning.”

Hek-i Mo-ong mengangguk-angguk.
“Balas dendam, ya? Cia-piauwsu tewas karena berani menentang Hek-i-mo, apa anehnya dengan itu? Tidak ada penasaran karena salahnya sendiri. Dan orang seperti kalian ini, dengan kepandaian rendah, berani mencoba untuk menentang kami? Sekarang kau sudah tertawan, mau bilang apa lagi?”

“Hanya hendak mengatakan bahwa engkau adalah seorang manusia iblis terkutuk!” Kakek yang bernama Cia Kun itu membentak.

Hek-i Mo-ong tersenyum lebar.
“Dan pemuda itu?” tanyanya tak acuh.

“Putera dari mendiang Cia-piauwsu.” jawab muridnya yang berkumis tebal.

“Gadis itu?”

“Puterinya.”

“Keduanya belum menikah?”

“Belum.”

“Sayang, sayang....! Nah, kalian bertiga orang-orang tiada guna ini, boleh pilih. Mati atau menebus nyawamu bertiga dengan seribu tail perak!”

“Iblis!” Kakek itu memaki. “Jangankan kami tidak punya uang sebanyak itu, andaikata punya sekali pun, tidak sudi kami memberikan kepada iblis macammu! Lebih baik kami mati!”

Hek-i Mo-ong tertawa bergelak.
“Ha-ha-ha, masih hendak berlagak gagah-gagahan? Orang she Cia, kalau sekarang aku membunuhmu, siapa yang dapat melarang?”

“Bunuhlah! Siapa takut mampus?”

Kakek itu membentak dengan mata melotot, dan dua orang keponakannya hanya memandang dengan wajah agak pucat karena betapapun juga, ngeri hati mereka melihat Ketua Hek-i-mo ini. Mereka bertiga dengan nekat datang untuk membalaskan kematian Cian-piauwsu, yaitu ketua perusahaan pengawalan yang tewas di tangan Hek-i-mo. Mereka disambut oleh delapan orang murid kepala Hek-i-mo dan dalam perkelahian satu lawan satu, mereka bertiga kalah semua, luka-luka dan tertawan.

Baru ilmu kepandaian muridnya saja sudah sehebat itu, apalagi kepandaian gurunya ini. Hek-i Mo-ong mengeluarkan suara ketawa sekali lagi, lalu memberi perintah kepada seorang di antara delapan muridnya untuk mengambilkan lilin-lilin dari dalam rumah.

Seorang murid yang duduk di arah belakang, menyanggupi lalu meloncat bangun dengan cepat, tahu-tahu sudah lenyap dari situ dan memasuki rumah dari pintu belakang. Demikian cepat gerakan orang ini, apalagi karena pakaiannya hitam maka dia seolah-olah dapat menghilang saja, persis seperti lblis! Tak lama kemudian dia sudah datang lagi, membawa sebungkus lilin. Bungkusan dibuka dan keluarlah lilin yang cukup banyak.

Hek-i Mo-ong mengambil sebatang lilin, lalu membuat gerakan aneh dan.... lilin yang sebatang itu menyala! Dia menaruh lilin di depannya, dan sungguh mengherankan, biarpun malam itu ada angin lembut bertiup, namun lilin yang bernyala itu sama sekali tidak terganggu. Nyala api lilin itu tetap anteng dan tidak bergerak.

Sambil tersenyum-senyum aneh Raja Iblis Hitam itu lalu mengepal-ngepal lilin-lilin tadi dengan kedua tangannya yang besar. Seperti terkena hawa panas, lilin-lilin itu menjadi lunak dan kakek raksasa ini lalu membentuk lilin-lilin putlh menjadi boneka-boneka, tiga buah boneka yang mirip dengan tiga orang tawanan itu. Seorang kakek, seorang pemuda dan seorang gadis!

Tiga tawanan itu memandang dengan mata terbelalak, tidak tahu apa yang akan dilakukan manusia Iblis itu. Membuat boneka? Sudah gila agaknya orang itu, seperti anak kecil saja, membuat boneka di saat menyeramkan seperti itu.

Akan tetapi delapan orang muridnya hanya memandang penuh perhatian, seperti murid-murid yang sedang mempelajari sesuatu, sedangkan barisan anggauta Hek-i-mo yang kini sudah ikut duduk bersila, tetap dalam keadaan mengepung atau membuat lingkaran, memandang dengan takjub dan penuh hormat, sedikit pun tidak berbuat sesuatu atau mengeluarkan suara, bahkan hampir tidak berani bergerak.

Setelah selesai membuat boneka-boneka itu, Hek-i Mo-ong lalu mendirikan tiga buah boneka dari lilin putih itu di depannya sambil menyeringai girang. Tiba-tiba dia menggerakkan tangan kirinya ke arah para tawanan. Angin dahsyat menyambar dari tangannya, membuat rambut kepala tiga orang tawanan itu berkibar dan.... beberapa helai rambut mereka itu beterbangan ke arah kakek yang luar biasa ini.

Hek-i Mo-ong telah mengambil masing-masing tiga helai rambut dari kepala tiga orang tawanan secara luar biasa sekali! Dan tiga helai rambut itu lalu dia pasangkan pada kepala boneka masing-masing. Sungguh aneh sekali semua ini, dan tiga orang tawanan itu mulai merasa serem karena mereka sudah mendengar bahwa kepala gerombolan ini adalah seorang ahli ilmu hitam seperti iblis sendiri.

Setelah tersenyum-senyum melihat hasil karyanya, kakek itu lalu memandang lagi ke arah tiga orang tawanannya.

“Lepaskan belenggu mereka!” perintahnya.

“Tapi, Suhu, mereka itu sudah nekat, tentu akan mengamuk dan merepotkan!” kata Si Kumis Tebal.

“Ha-ha-ha, tidak. Mereka tidak akan mampu bergerak sebelum kuperintah!”

Jawab kakek ini, lalu dia menggunakan jari telunjuk untuk menotok kepada tiga buah boneka itu dan benar saja, ketiga orang tawanan itu dibebaskan dari belenggu, mereka tidak mampu menggerakkan kaki tangan, biarpun mereka tidak merasakan nyeri dan sebenarnya jalan darah mereka berjalan normal. Mereka masih rebah dan hanya memandang kepada boneka-boneka di depan kakek yang menyeramkan itu.

“Ha-ha-ha, murid-muridku, kalian lihatlah baik-baik. Biarpun aku bukan seorang ahli pembuat boneka, akan tetapi kalian dapat melihat dengan jelas bahwa tiga buah boneka ini adalah mereka bertiga, bukan? Kekurang-sempurnaan pembuatan boneka ini disempurnakan dengan pemasangan rambut asli mereka di kepala boneka masing-masing, inilah yang dinamakan ilmu Memindahkan Semangat Dalam Boneka. Kalian sudah kuajari caranya dan manteranya. Nah, dengarlah baik-baik, dan lihatlah.”

Kakek itu lalu mengembangkan kedua tangannya dengan jari-jari tangan gemetar ke atas boneka-boneka itu, makin lama kedua tangannya gemetar makin hebat dan mulutnya mengucapkan mantera-mantera dalam bahasa Tibet kuno. Delapan orang muridnya, Hek-i Pat-mo, memandang dengan penuh perhatian, dengan mata yang hampir tidak pernah berkedip.

Dan terjadilah keanehan yang menyeramkan. Tiga buah boneka yang rebah telentang di depan kakek itu mulai bergerak-gerak! Mula-mula hanya tiga helai rambut di kepala boneka-boneka itu yang bergerak-gerak seperti tertiup angin, dan agaknya gerakan rambut ini menjalar ke dalam boneka-boneka itu dan mulailah boneka-boneka itu bergerak-gerak seperti kemasukan roh.

Dan tiga orang tawanan itu, kini tidak terbelenggu lagi, ikut pula bergerak-gerak dan gerakan tubuh mereka persis dengan gerakan boneka-boneta itu, atau mungkin sebaliknya, yaitu bagaimanapun mereka bergerak, boneka-boneka itu ikut pula bergerak.

“Lihat baik-baik, muridku, lihat baik-baik. Selama ini, ilmu yang kalian pelajari hanya teorinya saja, dan kita sekarang memperoleh kesempatan untuk mempraktekkannya dengan tawanan-tawanan bandel ini. Nah, aku mulai dengan laki-laki yang tua itu.”

Dia mengambil sebuah di antara boneka-boneka itu, memegangnya dengan tangan kiri sedangkan tangan kanannya lalu mengeluarkan sebatang jarum. Kembali dia mengucapkan mantera, dan tiba-tiba dia memasukkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan boneka. Terdengar suara mengaduh dari kakek tawanan dan kakek itu menggunakan tangan kanan untuk memegangi tangan kirinya yang tiba-tiba saja sudah berdarah, seperti juga tangan boneka tertusuk jarum itu yang mengeluarkan sedikit darah.

Hek-i Mo-ong terkekeh senang sekali dan sepasang matanya bersinar-sinar, wajahnya berseri ketika dia melihat darah, seperti seekor harimau kelaparan mencium bau darah. Dia menancapkan jarum itu ke tengah-tengah telapak tangan kanan boneka dan kembali kakek itu mengeluh dan telapak tangan kanannya mengucurkan darah seperti baru saja ditusuk pedang yang amat runcing dan tajam. Kedua tangannya kini telah terluka berdarah, akan tetapi biarpun begitu, dia masih memandang kepada Hek-i Mo-ong dengan sepasang mata terbelalak penuh kebencian.

Hek-i Mo-ong bukan tidak tahu akan kekerasan hati tawanannya, dan agaknya hal ini menambah keganasannya. Dia menusukkan jarum itu bertubi-tubi ke semua bagian tubuh mereka. Mula-mula ke arah kedua kakinya, kemudian lengannya, kedua pipinya, pundaknya. Mula-mula ke bagian tubuh yang tidak mematikan dan seluruh tubuh kakek itu mengeluarkan darah? Di bagian tubuh boneka yang tertusuk nampak bintik-bintik darah, akan tetapi di tubuh kakek itu darah mulai bercucuran membasahi seluruh pakaianya.

Akan tetapi kakek itu tidak mengeluh lagi, bahkan lalu mengatupkan bibirnya menahan semua rasa nyeri. Sungguh merupakan pemandangan yang amat mengerikan melihat betapa kakek itu berkelojotan tanpa mengeluarkan suara, dan pandang matanya masih ditujukan kepada penyiksanya dengan penuh kebencian. Ada keinginan hatinya untuk nekat dan menyerang kakek iblis itu, akan tetapi setiap kali dia hendak menggerakkan kaki tangannya, dia terguling lagi dan karena kini seluruh tubuhnya penuh luka-luka dan darahnya banyak yang terbuang, maka dia menjadi semakin lemas dan akhirnya hanya rebah dan menanti datangnya maut saja.

Hek-i Mo-ong agaknya sudah merasa bosan menyiksa lawannya, maka kini dia menusukkan jarumnya ke dada boneka sampai tembus. Kakek tawanan mengeluarkan jerit tertahan satu kali, tubuhnya berkelojotan dan dari dada dan punggungnya mengucur darah, tidak banyak lagi dan tubuhnya pun terkulai lemas dan tak bernyawa lagi.

Sejak tadi, dua orang keponakannya hanya dapat menonton dengan mata terbelalak penuh kengerian dan jantung berdebar tegang. Mereka berdua pun tidak mampu menggerakkan kaki tangan, seolah-olah ada tali yang tidak nampak masih membelenggu mereka.

Kini, melihat paman mereka itu sudah tidak bergerak lagi, mereka merasa sedih dan marah sekali, akan tetapi bercampur juga dengan perasaan lega karena paman mereka itu tidak akan menderita lagi. Maka mereka lalu menujukkan pandang mata mereka kepada Hek-i Mo-ong dengan penuh kebencian, sedikit pun mereka tidak merasa takut walaupun mereka berdua maklum bahwa nyawa mereka berada di tangan kakek iblis ini.

“Ha-ha-ha, kalian yang masih muda-muda, apakah tidak sayang akan hidup kalian? Sediakan seribu tail perak dan aku akan membebaskan kalian dari kematian.”

Hek-i Mo-ong masih mencoba untuk membujuk dua orang muda itu. Baginya, tentu saja uang sebanyak itu jauh lebih penting daripada nyawa dua orang yang tidak ada artinya itu. Akan tetapi, dua orang muda itu sudah marah sekali. Selain mereka tidak mempunyai uang sebanyak itu, juga mereka tidak sudi takluk terhadap kakek iblis itu.

“Hek-i Mo-ong iblis tua bangka, siapa takut akan ancamanmu?”

Pemuda itu berteriak marah dan berusaha untuk memperoleh kembali tenaganya agar dia dapat mengamuk dan menyerang kakek itu. Akan tetapi usahanya sia-sia saja karena setiap kali kaki dan tangannya dapat bergerak, segera ada tenaga lain yang membuatnya lumpuh kembali.

“Bagus, kau mau main gagah-gagahan? Nah, rasakanlah ini!”

Kakek itu lalu menggunakan jarumnya yang telah menewaskan kakek tawanan tadi, untuk menusuk-nusuk kepala boneka pemuda itu, tusukannya tidak terlalu dalam akan tetapi cukup untuk mendatangkan rasa nyeri yang luar biasa pada pemuda itu.

Tiba-tiba saja pemuda itu dapat bergerak, mencengkeram dengan kedua tangannya kepada kepalanya, menjambak-jambak rambutnya karena dia merasakan kenyerian yang tak tertahankan lagi. Dan dari balik rambut-rambut kepalanya itu mulai bercucuran darah yang menetes-netes di leher dan mukanya. Mengerikan sekali.

Hek-i Mo-ong adalah seorang ahli totok, maka tusukan-tusukannya ditujukan kepada jalan-jalan darah dan kini pemuda itu menggunakan sepuluh jari tangannya mencakar sana-sini, seluruh tubuhnya yang terasa sakit-sakit. dan gatal-gatal, bergulingan dan mengeluarkan suara seperti gerengan seekor binatang buas.

Seluruh tubuhnya kini mengeluarkan darah seperti halnya pamannya tadi, akan tetapi dia lebih tersiksa daripada pamannya. Kemudian sambil tertawa bergelak Hek-i Mo-ong lalu memegang kedua kaki boneka yang sudah berbintik-bintik merah, dan menaruh boneka itu di atas api lilin yang bernyala di depannya.

Terdengar jeritan melengking yang amat mengerikan keluar dari mulut pemuda itu dan.... semua mata, terutama mata gadis itu, memandang terbelalak kepada tubuh pemuda itu.

Kini tubuh pemuda itu, terutama di bagian mukanya, mulai berkeriput, mengering seperti terkena api, dan makin lama jeritannya makin lemah dan tubuhnya mulai meleleh seperti lilin dibakar, berbareng dengan melelehnya boneka lilin yang terkena api itu. Bau sangit menusuk hidung. Bukan hanya gadis itu yang terbelalak dengan muka pucat menyaksikan peristiwa ini, bahkan para anggauta Hek-i-mo juga memandang dengan mata terbelalak dan wajah pucat.

Mereka itu ketakutan, membayangkan betapa akan mengerikan kalau sampai mereka terhukum oleh ketua mereka seperti itu. Hanya wajah Hek-I Pat-mo sajalah yang tidak berobah, bahkan sinar mata mereka berapi dan penuh kegembiraan dengan demonstrasi kekuatan ilmu hitam yang mengerikan itu.

Akhirnya Hek-i Mo-ong melemparkan sisa boneka pemuda yang telah terbakar itu, dan di situ nampak bekas tubuh pemuda itu yang telah menjadi seonggok daging terbakar yang mengeluarkan bau keras.

“He-he-he-he, bagaimana, Nona? Apakah engkau masih hendak berkeras kepala? Kalau engkau mau berusaha mengeluarkan uang tebusan itu, mungkin engkau akan dapat hidup!”

“Siluman keparat! Untuk apa aku hidup lagi setelah engkau membunuh Paman dan Kakakku sekejam itu? Kau kira aku takut melihat siksaan itu? Siksalah aku, bunuhlah, akan tetapi jangan harap aku akan tunduk kepadamu, Iblis berwajah manusia!”

Kakek itu tidak marah, hanya terkekeh.
“Murid-muridku, lihat baik-baik, boneka-boneka yang telah mengandung satu semangat dengan orang-orangnya itu bukan hanya dapat dipergunakan untuk mempengaruhi tubuh mereka, melainkan juga pikiran mereka. Lihatlah, aku akan membikin percobaan dengan gadis ini.”

Mendengar ini, gadis itu dengan mata terbelalak memandang ke arah boneka lilin yang memakai sehelai rambutnya itu, mukanya pucat dan jelas ada kengerian hebat di dalam pandang matanya, namun ia tetap tidak sudi untuk menakluk.

Kakek itu mengambil guci arak yang terletak di sampingnya, kemudian menempelkan guci ke bibirnya dan dituangkan sedikit arak ke dalam mulutnya. Dia memejamkan mata sebentar, lalu disemburkan arak itu ke arah boneka yang dipegangnya, dan dengan sepasang mata yang tajam seperti mata setan itu dia menatap ke arah wajah boneka, mulutnya berkemak-kemik. Dan nampaklah boneka itu mengeluarkan uap tipis! Berbareng dengan itu, terdengar keluhan dari mulut gadis itu. Hek-i Pat-mo memandang kepada gadis itu untuk menyaksikan akibat dari ilmu hitam guru mereka.

Gadis itu mengeluh perlahan, kedua matanya terpejam, kemudian ia mengerang dan kedua tangannyaa bergerak, mula-mula ke arah dadanya, lalu ke arah kepalanya dan tubuhnya mulai bergulingan, mulutnya terengah-engah dan sikapnya seperti orang kepanasan. Makin lama, rintihannya makin sering dan keras, dan bangkitlah ia, matanya masih terpejam dan kini, seperti orang kegerahan yang berada di dalam kamar seorang diri, gadis itu mulai menanggalkan pakaiannya satu demi satu sampai tidak ada lagi yang menutupi tubuhnya.

Lalu bangkit berdiri, meliuk-liukkan tubuhnya seperti orang masih kegerahan, lalu membuka matanya. Bukan lagi mata yang bersinar keras hati dan penuh kebencian dari gadis tadi, melainkan sepasang mata yang penuh gairah! Dan, seperti tertarik oleh besi semberani, gadis yang bertelanjang bulat itu menghampiri Hek-i Mo-ong, lalu menjatuhkan diri berlutut dan dengan erangan-erangan dan belaian kedua tangan, mulailah ia membelai dan merayu Hek-i Mo-ong! Gadis itu seolah-olah telah berubah menjadi gila, atau seorang yang kehausan karena nafsu berahi.

“Ha-ha-ha!”

Hek-i Mo-ong mendorongnya sampai terjengkang, kemudian kakek itu menggunakan tangan kiri mengambil beberapa ekor semut-semut merah yang berada di situ, memijit sedikit semut-semut itu dan ditempelkannya semut-semut yang kesakitan itu pada boneka lilin. Semut-semut yang kesakitan itu tentu saja lalu menggigit tubuh boneka itu dan gadis itu menjerit-jerit lirih, tubuhnya terasa gatal-gatal dan sakit dan ia menggaruk sana-sini dan tentu saja tubuhnya yang telanjang bulat itu menggeliat-geliat, berkelojotan.