FB

FB


Ads

Senin, 20 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 072

Dia pun lalu berjalan dengan tubuh ditegakkan, menuju ke arah jurang penyeberangan. Kao Kok Cu dan anak isterinya mengikutinya karena mereka maklum bahwa kalau fihak tuan rumah menghendaki, sukar bagi mereka untuk dapat keluar dari lembah itu tanpa bahaya. Andaikata dirusak saja jembatan tambang itu, berarti mereka tidak tahu bagaimana harus keluar dari lembah yang terasing dari dunia luar dan hanya dihubungkan dengan dunia luar melalui jembatan tambang itu saja.

Tanpa mengeluarkan kata-kata, Pek In memberi isyarat kepada para penjaga. Jembatan tambang diangkat naik, gadis itupun meloncat ke atas jembatan tambang itu diikuti oleh tiga orang tamunya. Setelah mereka semua tiba di seberang, gadis itu lalu berkata dengan sikap kaku,

“Selamat jalan!”

Kao Cin Liong merasa kasihan.
“Selamat tinggal, Nona dan maafkan kami.”

Akan tetapi gadis itu telah meloncat kembali ke atas jembatan tambang dan berlari cepat menuju kembali ke lembah. Kao Kok Cu menarik napas panjang.

“Sungguh sayang, Cin Liong, kita telah menanam bibit kebencian dalam hati keluarga yang demikian gagahnya.”

“Kita berada dalam tugas, Ayah, bukan urusan pribadi,” kata Cin Liong tenang.

“Benar! Kalau mereka itu benar-benar orang gagah tentu menyadari hal itu. Urusan ini urusan tugas perintah, bukan urusan pribadi, akan tetapi kalau mereka menganggap sebagai permusuhan, perorangan dan mendendam kepada kita, adalah karena ketololan mereka sendiri!” kata Wan Ceng yang wataknya masih belum berobah, yaitu keras dan berani.

Kao Kok Cu menarik napas panjang. Dia tidak dapat menyangkal kebenaran ucapan isterinya dan puteranya, betapapun juga, dia tahu bahwa bagi sebuah keluarga yang hebat seperti keluarga Cu itu, nama merupakan hal yang amat penting dan sekarang mereka itu kehilangan nama, oleh karena itu sudah pasti mereka merasa sakit hati. Pendekar ini masih mendengar ancaman Cu Han Bu dan dia sudah menganggap nama Sim Hong Bu sebagai nama yang mungkin kelak akan menimbulkan kesukaran baginya dan keturunannya.

Agaknya Wan Ceng dapat membaca kekhawatirannya di wajah suaminya, maka nyonya ini berkata dengan gagah,

“Bekerja tidak boleh kepalang tanggung! Kita telah mengalahkan keluarga itu, dan sekarang, bagaimanapun juga kita harus bisa mendapatkan orang yang bernama Sim Hong Bun itu dan merampas pedang pusaka istana sebelum urusan menjadi berlarut-larut.”

Kao Cin Liong mengangguk.
“Ucapan Ibu benar sekali, dan saya kira murid mereka itu tentu tidak berada jauh dari lembah ini!”

Demikianlah, tiga orang itu lalu mulai mencari jejak Sim Hong Bu, akan tetapi karena mereka belum pernah melihat wajah pemuda yang bernama Sim Hong Bu itu, tentu saja tidak mudah bagi mereka, apalagi, seperti kita ketahui, pemuda itu menyembunyikan diri dalam sebuah guha rahasia untuk melatih ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut sampai sempurna.

Dan karena mereka selama beberapa hari menyelidiki tempat-tempat sekitar lembah itu, maka mereka melihat munculnya Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang baru kembali dari perjalanan mereka mengunjungi Sai-cu Kai-ong. Tiga orang itu bersembunyi dan membayangi Yu Hwi dan Cu Kang Bu.

“Dia.... bukankah dia itu Ang-siocia, murid dari Hek-sin Touw-ong....?”

Ceng Ceng atau Wan Ceng berbisik kepada suaminya. Kao Kok Cu mengangguk. Kini dia pun teringat, Itulah gadis yang dulu pernah membantu mendiang ayahnya, yaitu Jenderal Kao Liang ketika ayahnya itu ditawan Pangeran Nepal di sebuah benteng yang amat kuat (baca Kisah Jodoh Rajawali). Gadis liar yang banyak akalnya dan yang pada dasarnya mempunyai watak yang gagah perkasa dan baik, seperti yang telah dibuktikannya ketika membantu ayahnya itu.

“Dan pria itu.... mungkinkah dia Sim Hong Bu?” bisik Cin Liong dengan jantung berdebar penuh harapan.

Pria itu nampak gagah perkasa, tinggi besar seperti raksasa dan memang pantaslah kalau menjadi murid keluarga Cu yang berilmu tinggi, walaupun raksasa ini agaknya sudah terlalu tua untuk menjadi murid mereka.

“Hemm, mungkin saja. Lihat, mereka menuju ke jurang pemisah lembah” bisik Kao Kok Cu.

“Sebaiknya kita tanya secara terus terang saja. Heiii, tunggu dulu....!” Wan Ceng berseru dan meloncat keluar, diikuti suaminya dan puteranya.

Yu Hwi dan Cu Kang Bu yang sedang berjalan dengan asyik dan mesranya, sambil bergandengan tangan dan bercakap-cakap diseling senyum mesra, terkejut sekali dan cepat mereka saling melepaskan tangan dan membalikkan tubuh memandang kepada tiga orang yang muncul secara tiba-tiba itu.






Seorang pendekar seperti Si Naga Gurun Pasir tentu saja sukar dapat dilupakan orang, terutama sekali karena lengannya tinggal sebelah itu. Demikian pula dengan Yu Hwi, begitu melihat pendekar ini, dia terkejut sekali dan teringat, apalagi setelah dia melihat Wan Ceng, maka dengan gagap saking kaget dan juga gembiranya dia berseru,

“Bukankah.... bukankah saya berhadapan dengan Naga Sakti Gurun Pasir, Kao Kok Cu Taihiap bersama isteri?”

Ucapan kekasihnya ini membuat Cu Kang Bu juga terkejut bukan main. Pernah dia mendengar nama besar seperti nama tokoh dalam dongeng ini, dan pernah pula kekasihnya bercerita tentang pertemuan kekasihnya dengan pendekar sakti dan isterinya ini ketika kekasihnya membantu mendiang Jenderal Kok Liang, ayah dari pendekar sakti ini.

“Ingatanmu kuat sekali, Nona. Benar, aku adalah Kao Kok Cu dan ini adalah isteri dan putera kami.”

“Hemm, engkau tentu Ang-siocia, bukan?”

Wan Ceng berkata sambil memandang wajah gadis itu, akan tetapi lalu dia memandang wajah Cu Kang Bu sambil bertanya penuh curiga,

“Dan siapakah dia ini?”

Ang-siocia atau Yu Hwi tertawa mendengar disebut nama julukannya yang sudah lama sekali tak pernah didengarnya yang hampir dilupakannya itu.

“Ah, Bibi yang gagah perkasa, saya tidak berjuluk Ang-siocia lagi. Lihat, pakaian saya tidak merah, bukan? Dan dia ini adalah....” Wajahnya berobah dan dia tidak melanjutkan kata “tunangan” itu. “....bernama Cu Kang Bu.”

“Ah....!” Cin Liong berseru, kecewa.

“Apakah masih saudara dengan sahabat-sahabat Cu Han Bu dan Cu Seng Bu?” Tanya Kao Kok Cu.

Cu Kang Bu yang sudah lama mengagumi nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sudah cepat menjura dengan hormat dan menjawab,

“Mereka itu adalah kakak-kakak saya dan saya merasa terhormat sekali dapat bertemu dengan Kao-taihiap yang nama besarnya sudah lama saya dengar dari..... tunangan saya ini.“

Mendengar bahwa laki-laki gagah perkasa bertubuh raksasa ini adalah adik dari keluarga Cu yang merahasiakan di mana adanya Sim Hong Bu yang membawa pedang pusaka itu, Wan Ceng yang cerdik cepat bertanya,

“Saudara Cu Kang Bu, dapatkan engkau memberitahu kami di mana adanya Sim Hong Bu....?”

“Sim Hong Bu....?”

Kang Bu dan Yu Hwi berkata heran, tidak tahu bagaimana harus menjawab. Mereka tidak tahu mengapa keluarga ini bertanya tentang murid itu, dan mereka meragu apakah mereka boleh memberitahukan kepada orang lain karena pemuda itu sedang menyembunyikan dirinya untuk menggembleng diri dan melatih ilmu pedang sampai sempurna.

Bukankah Sim Hong Bu mempunyai tugas yang amat berat, yaitu kelak dialah yang harus mengangkat kembali nama keluarga lembah dan menandingi kalau mungkin mengalahkan Suling Emas? Selagi mereka meragu, terdengar suara nyaring di belakang mereka.

“Paman, jangan beritahukan! Ayah dan Paman Seng Bu telah terluka oleh mereka dan sedang menanti kedatangan Paman!”

Kiranya yang bicara itu adalah Cu Pek In yang memandang ke arah keluarga Kao itu dan dengan sinar mata penuh kebencian.

“Mereka ingin merampas pedang pusaka kita, dan kalau mereka tahu di mana adanya dia, tentu akan dirampasnya pedang itu!”

Cu Kang Bu memandang dengan mata terbelalak, sedangkan Yu Hwi memandang pendekar sakti dan isterinya itu dengan wajah terheran-heran.

“Bagaimana Ji-wi dapat melakukan hal seperti itu? Aku.... aku tidak peccaya....”

Kao Kok Cu menarik napas panjang.
“Kami adalah utusan Kaisar yang ingin agar pedang pusaka yang dicuri dari gudang pusaka istana itu dikembalikan.”

Mengertilah kini Yu Hwi dan dia menjadi serba salah. Akan tetapi Kang Bu sudah menarik tangannya.

“Mari, Hwi-moi, kita menengok kedua kakak kita yang terluka.”

Dan mereka bertiga lalu lari ke arah jurang, menyeberangi jurang melalui jembatan tambang, meninggalkan tiga orang keluarga Kao yang hanya dapat memandang saja.

“Agaknya tak mungkin dapat diharapkan dapat menemukan Sim Hong Bu itu melalui mereka, dan harus dicari lebih jauh lagi!” kata pendekar itu yang mengajak anak isterinya untuk meninggalkan lembah. Akan tetapi mereka mencari terlalu jauh.

Tak lama sesudah Cu Kang Bu dan Yu Hwi kembali ke lembah, dengan hati-hati sekali Cu Kang Bu lalu meninggalkan lembah untuk pergi ke guha tempat persembunyian Sim Hong Bu dan dia mengajak pemuda itu untuk pergi ke lembah.

Keluarga Cu berduka cita, bukan hanya karena Cu Han Bu dan Cu Seng Bu kalah bertanding dan terluka parah, akan tetapi juga karena keputusan dua orang tokoh itu untuk selanjutnya mencukur gundul kepala mereka dan hidup sebagai pertapa yang mengasingkan diri!

“Sebelum kami berdua mencukur rambut dan meninggalkan tempat ini untuk mengasingkan diri sebagai pendeta, aku ingin lebih dulu menunaikan kewajibanku meresmikan pernikahan kalian, Kang Bu dan Yu Hwi. Keadaan kita sedang prihatin, oleh karena itu maafkanlah saudara tuamu ini bahwa terpaksa pernikahan kalian tidak diramaikan, cukup disaksikan oleh para pembantu murid kita di lembah dan dilakukan upacara sembahyang kepada leluhur kita. Sesudah itu, kalian berdualah yang kami serahi untuk mengurus lembah ini, akan tetapi kalau kalian menghendaki untuk tinggal di tempat lain, terserah, asalkan semua anak buah dibubarkan lebih dulu dan jembatan yang menghubungkan lembah ini keluar dimusnahkan. Dan aku titip Pek In kepada kalian.”

Cu Han Bu berhenti sebentar dan menarik napas panjang untuk menekan hatinya yang terharu melihat Pek In menangis terisak-isak.

“Dan engkau, Sim Hong Bu. Engkau adalah murid kami, juga pewaris pedang pusaka keluarga Cu. Bahkan engkau satu-satunya pewaris Ilmu Pedang Koa-liong Kiam-sut. Engkau menjadi buronan pemerintah, karena kaisar telah mengirim utusan untuk merampas pedang pusaka. Bersumpahlah bahwa engkau akan mempertahankan pedang pusaka kami itu, demi menjunjung nama keluarga kami!”

“Teecu bersumpah, Suhu.” kata Hong Bu dengan suara tegas. “Teecu akan mempertahankan pedang ini dengan taruhan nyawa teecu!”

“Bagus, hatiku lega mendengar itu. Dan engkau mempunyai tugas yang amat berat, Hong Bu. Selain mempertahankan pedang, juga untuk membela nama baik keluarga Cu dan Lembah Suling Emas yang terpaksa kita robah menjadi Lembah Naga Siluman ini, kelak engkau harus membuktikan bahwa Koai-liong kiam (Pedang Naga Siluman) tidak kalah terhadap Kim-siauw (Suling Emas). Carilah Kam Hong dan ajaklah dia bertanding untuk membuktikan siapa yang lebih unggul antara kalian, dengan demikian harapan kami selama ini tidak akan sia-sia.”

Tentu saja Hong Bu sudah pernah mendengar akan hal ini, hal yang sungguh membuat hatinya tidak enak. Dia amat kagum dan suka kepada Kam Hong, dan kenyataan bahwa dia kelak harus berhadapan dengan pendekar itu sebagai musuh, sungguh membuat hatinya tidak enak, apalagi kalau dia teringat kepada Ci Sian yang menjadi sumoi dari pendekar besar itu! Akan tetapi, dia maklum, bahwa dia tidak dapat menolak permintaan suhunya ini.

“Baik, Suhu. Pesan Suhu ini pasti akan teecu penuhi.”

“Masih ada lagi, muridku. Engkau melihat sendiri betapa Suhu-suhumu telah terluka dan terpaksa menjadi hwesio karena dikalahkan oleh keluarga Naga Sakti Gurun Pasir. Aku yakin bahwa kalau engkau sudah menyempurnakan latihan-latihanmu, engkau akan mampu mengalahkan dia. Maka aku menghendaki agar kelak engkau mencari Naga Sakti Gurun Pasir dan atas nama kami membalas kekalahan kami untuk mempertahankan kehormatan nama keluarga Cu!”

Sebenarnya, di lubuk hatinya, Sim Hong Bu tidak setuju dengan sikap suhunya. Suhu dan susioknya ini kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir bukan karena urusan pribadi seperti yang mereka ceritakan kepadanya tadi. Keluarga Kao itu datang sebagai utusan Kaisar dan kalau dalam pertandingan perebutan pedang itu keluarga Cu kalah, hal itu sudah wajar karena dalam setiap pertandingan tentu ada yang kalah dan ada yang menang. Pula, apa jeleknya kalah oleh Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya dipuja-puja seperti tokoh dewa dalam dongeng?

Akan tetapi suhu dan keluarga suhunya memang dia tahu amat keras kepala, tidak dapat menerima kekalahan karena terlalu lama terbiasa dengan anggapan bahwa keluarga mereka adalah keluarga yang tak pernah terkalahkan, keluarga yang menyimpan rahasia ilmu-ilmu dahsyat, nenek moyang mereka yang menciptakan benda-benda, pusaka seperti Suling Emas dan Pedang Naga Siluman.

Cu Han Bu melihat keraguan muridnya dan diam-diam dia merasa agak malu juga. Dia agaknya dapat membaca apa yang menjadi keraguan hati muridnya, maka dia berkata lagi,

“Hong Bu, ketahuilah bahwa kami tidak mempunyai dendam sakit hati pribadi terhadap Naga Sakti Gurun Pasir. Pertentangan antara mereka dan kami hanya kebetulan saja karena puteranya menjadi jenderal dan utusan Kaisar. Akan tetapi, kalau engkau sebagai murid dan pewaris keluarga kami tidak memperlihatkan bahwa kita tidak kalah oleh mereka, tentu dunia kang-ouw akan menganggap bahwa nama keluarga Cu adalah nama kosong belaka.”

“Baiklah, teecu mengerti apa yang Suhu maksudkan.”

Akhirnya Hong Bu menjawab dan diam-diam dia mengeluh dalam hatinya karena selain dia kini karena pedang itu telah menjadi buronan pemerintah, juga dia sudah berjanji akan menghadapi dua orang pendekar yang paling sakti di dunia ini!

“Ada satu hal lagi, muridku. Yaitu mengenai diri Sumoimu, Pek In. Telah kupikirkan dalam-dalam hal ini untuk waktu lama sekali. Aku akan merasa berbahagia sekali kalau kelak Pek In dapat menjadi isterimu, Hong Bu.”

Tentu saja Pek In menjadi malu dan menundukkan mukanya yang berobah merah sekali dan jantungnya berdebar-debar tegang. Sebaliknya, wajah Hong Bu menjadi pucat, kemudian merah. Tak disangkanya gurunya akan membicarakan hal itu secara terbuka. Dia tahu betul bahwa sumoinya jatuh cinta kepadanya, dan dia pun sudah dapat menduga dari sikap suhunya bahwa suhunya juga setuju untuk mengambil mantu dia. Akan tetapi dia sendiri menyayang Pek In hanya sebagai murid. Tanpa disengajanya, tiba-tiba saja wajah Ci Sian terbayang di depan matanya.

“Suhu.... tentang ini.... teecu.... teecu sama sekali masih belum berpikir soal perjodohan....”

Cu Han Bu menarik napas panjang.
“Hong Bu, kukatakan tadi bahwa aku akan merasa berbahagia kalau kelak engkau dapat berjodoh dengan Pek In. Tentu saja aku sama sekali tidak memaksamu, urusan perjodohan adalah urusan dua orang dan terserah kepada kalian, aku hanya mengatakan akan berbahagia kalau kalian berjodoh....“

Sampai di sini, Cu Han Bu memberi isarat membubarkan pertemuan itu karena kesehatannya belum pulih benar dan terlalu banyak bicara mendatangkan rasa nyeri di dadanya.

Demikianlah, pernikahan antara Yu Hwi dan Cu Kang Bu dilangsungkan dengan sederhana sekali, dengan pesta antara keluarga dan anak buah lembah itu sendiri tanpa dihadiri oleh seorang pun dari luar lembah, dan disaksikan arwah nenek moyang mereka yang mereka sembahyangi.

Dan pada keesokan harinya, Sim Hong Bu harus meninggalkan lembah, membawa bekal emas dan perak secukupnya dan menyembunyikan pedang pusaka itu di balik jubahnya. Dua orang gurunya, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu sendiri yang mengantarnya sampai ke luar dari lembah.

Kemudian, beberapa hari sesudah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu pergi menuju ke sebuah Kuil yang berada di puncak sebuah bukit dekat lembah, lalu disaksikan oleh para hwesio mereka menggunduli rambut, menjadi hwesio lalu melakukan perjalanan untuk mengasingkan diri mereka, sesuai dengan janji mereka terhadap Si Naga Sakti Gurun Pasir!

Yu Hwi dan Cu Kang Bu kini menjadi majikan lembah. Akan tetapi baru sebulan setelah mereka menikah, mereka sudah ditimpa suatu peristiwa yang membingungkan hati mereka, yaitu lenyapnya Cu Pek In dari lembah! Di dalam kamar gadis itu mereka menemukan sehelai surat yang memberitahukan mereka bahwa gadis itu hendak pergi menyusul dan mencari Sim Hong Bu dan minta agar paman dan bibinya tidak mencarinya!

Cu Kang Bu menjadi bingung sekali. Dia yang diserahi untuk mengurus Pek In oleh kakaknya, akan tetapi bagaimana dia dapat memaksa gadis itu untuk kembali? Setelah berunding dengan isterinya, akhirnya dia mengambil keputusan untuk tinggal diam saja sambil manyimpan surat itu.

“Pek In jatuh cinta dan merasa ditinggalkan Hong Bu, maka dicari pun tidak akan ada gunanya.” demikian Yu Hwi berkata. “Dia sudah dewasa dan memiliki ilmu kepandaian cukup, maka perlu apa khawatir? Biarlah dia merantau memperluas pengetahuannya. Keputusan hati seorang gadis yang jatuh cinta tidak mungkin dirobah lagi dan percuma saja kalau kau cari dia juga.”

Demikianlah, Cu Kang Bu tidak pergi mencari Pek In karena dia dapat mengerti akan kebenaran kata-kata isterinya. Andaikata dicari dan dapat dia temukan, apakah dia akan menggunakan kekerasan memaksa Pek In tinggal di lembah? Tidak mungkin! Dia tahu bahwa keponakannya itu bukan hanya suka memakai pakaian pria, akan tetapi juga mempunyai kekerasan hati, kadang-kadang melebihi pria.

**** 072 ****