FB

FB


Ads

Senin, 20 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 071

Akan tetapi, sungguh hebat lawannya itu karena begitu melihat serangannya gagal, tanpa memberi kesempatan kepada lawan untuk membalas serangan, Cu Seng Bu sudah merobah serangannya, kini dari samping dia menubruk lagi, tangan kiri mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala, sedangkan tangan kanan tetap merupakan paruh garuda menotok ke arah pusar!

Gerakannya mirip dengan seekor burung garuda yang mencakar dan mematuk, akan tetapi berbeda dengan ilmu silat garuda yang lajim, terutama sekali gerakan kakinya yang berbeda, sedangkan tubuhnya meliuk seperti tubuh ular atau seperti leher bangau. Dan yang amat berbahaya adalah kecepatannya itulah. Dari serangan gagal tadi dia dapat melanjutkan serangan ke samping, ini menunjukkan bahwa orang itu selain ahli ginkang juga sudah menguasai setiap gerakannya dengan sempurna.

Namun Cin Liong tidak mau didesak. Dia mengelak ke bawah untuk menghindarkan cengkeraman pada ubun-ubun kepala dan dengan tangan kiri dia menangkis totokan pada pusarnya, sedangkan tangan kanannya pada saat itu juga, selagi tubuhnya merendah, sudah menghantam ke arah lutut kaki kiri lawan dengan tangan miring ini tidak kalah dahsyatnya dibandingkan kalau dia menggunakan golok membacok kaki itu, dan kalau mengenai sasaran, tentu sedikitnya sambungan lutut itu akan terlepas kalau tidak tulangnya remuk sama sekali.

Akan tetapi, Cu Seng Bu sungguh memiliki gerakan yang cepat bukan main karena tiba-tiba saja tubuhnya sudah melesat ke atas seperti burung terbang saja. Akan tetapi sungguh tidak diduganya bahwa pemuda itu pun memiliki kecepatan yang hebat karena melihat lawannya mencelat ke atas, Cin Liong juga meloncat mengejar dan mengirim pukulan dengan dahsyat dengan tangan terbuka. Pada saat itu, Cu Seng Bu juga menyambut lawan dengan tendangan tumit kakinya. Tak dapat dihindarkan lagi, tangan dan kaki itu saling bertemu selagi tubuh mereka masih di udara.

“Dess....!”

Keduanya terpental dan keduanya dapat turun ke atas lantai dengan baiknya. Dan masing-masing merasakan getaran yang cukup hebat akibat benturan itu.

“Haiiittt....!”

Cu seng Bu sudah menyerang lagi, gerakannya indah, tangan kirinya terbuka melingkar ke depan merupakan serangan gertakan, akan tetapi yang sungguh-sungguh menyerang adalah tangan kanannya yang mencuat dari bawah lengan kiri itu dan langsung menghantam ke arah dada lawan dari bawah dengan kecepatan luar biasa dan tenaga dahsyat. Itulah jurus yang disebut Hio-te-hoan-hwa (Mencari Bunga di Bawah Daun). Cin Liong maklum bahwa jurus itu mempunyai banyak sekali perobahan, maka dia pun mengelak dengan menggeser kaki kiri ke belakang.

Benar saja dugaannya, lawannya telah merobah gerakan, tubuhnya merendah dan dari bawah kedua tangan itu menyambar bergantian ke atas, menyerang pusar dan perut, kemudian disambung dengan tendangan sambil bangkit berdiri, tendangan yang amat kuat mengarah dagunya! Itulah jurus Hai-ti-lauw-goat (Menyelam Laut Mencari Bulan)!

Cin Liong lalu menangkis sambil berloncatan dan selanjutnya dia pun membalas dengan jurus-jurus dari Ilmu Silat Sin-liong Ciang-hoat, ilmu silat istimewa dari ayahnya. Tubuhnya meliuk-liuk seperti seekor naga beterbangan di angkasa, dan kedua tangannya membentuk cakar-cakar naga, serangannya datang dari atas dan bawah secara tidak terduga-duga karena tubuhnya yang naik turun dengan cepat dan lincah sekali.

Melihat betapa pemuda itu menguasai kelincahan seperti dia, Cu Seng Bu menjadi penasaran dan ketika dia melihat pemuda itu memukulnya dengan lengan kanan membuat gerakan melengkung dari samping mengarah pelipisnya, dia pun mengerahkan tangannya dan menangkis sambil membentak keras.

“Dukkk!”

Dua lengan bertemu dan keduanya telah mengerahkan sin-kang masing-masing. Kuda-kuda kaki Cin Liong tergeser dan dia mundur dua langkah, akan tetapi tubuh Cu Seng Bu terhuyung-huyung! Dari kenyataan ini saja terbukti bahwa dalam hal tenaga, ternyata Cu Seng Bu masih kalah setingkat!

Akan tetapi, Cu Seng masih penasaran dan berkali-kali mereka saling tangkis, tidak mengelak lagi, menggunakan kekerasan. Terdengar suara “dak-duk” menggetarkan kalau lengan mereka saling bertemu dan berkali-kali tubuh mereka tergetar dan terdorong atau, terhuyung.

Perkelahian itu telah berlangsung sampai seratus jurus dan belum juga ada yang kalah atau menang, sungguhpun sudah beberapa kali Cu Seng Bu nampak terhuyung dan beberapa kali dia menyeringai seperti menahan sakit. Memang dalam benturan-benturan tenaga sinkang, dia kalah kuat dan dia mengalami guncangan hebat yang ditahan-tahannya.

Sayang bahwa keluarga Cu biasanya memandang diri sendiri terlalu tinggi, dan sikap seperti ini menimbulkan sifat tidak mau kalah atau sukar menerima kenyataan bahwa dirinya kalah kuat. Setiap kekalahan mendatangkan rasa penasaran dan Cu Seng Bu menjadi semakin nekat.

Tiba-tiba dia mengeluarkan bentakan nyaring dan dengan dahsyatnya dia menubruk maju, kedua tangannya didorongkan dengan pengerahan tenaga sekuatnya. Melihat ini, Cu Han Bu sampai menggerakkan kedua tangan ke depan, seolah-olah hendak mencegah adiknya.

Sementara itu, melihat hebatnya serangan yang dia tahu seperti hendak mengadu nyawa ini, Cin Liong maklum bahwa dia harus berani mengambil keputusan. Maka dia pun mengeluarkan suara melengking nyaring dan tubuhnya pun tiba-tiba meluncur ke depan dalam kedudukan seperti menelungkup, seperti seekor naga yang sedang terbang!

Itulah ilmu Sin-liong-hok-te (Naga Sakti Mendekam di Tanah) dan biarpun ilmu itu untuk seorang yang berlengan satu, namun Kao Kok Cu mengajarkan juga kepada Cin Liong. Tentu saja gerakannya menjadi kaku dan pemuda ini tidak sepenuhnya dapat menguasai ilmu ini, akan tetapi tenaga yang timbul karena ilmu ini amat dahsyatnya, terpusat kepada lengan yang menjulur ke depan.

“Bress....!” Hebat sekali pertemuan antara dua orang yang berilmu tinggi ini di udara.

Seolah-olah ada dua bintang bertubrukan dan tubuh Cu Seng Bu terlempar ke belakang seperti layang-layang putus talinya, kemudian terbanting ke atas lantai. Dia mengeluarkan keluhan lirih dan merangkak bangun, dari ujung mulutnya menitik darah segar. Dapat juga dia bangkit berdiri dan meraba gagang pedangnya, sebatang pedang lemas.

Akan tetapi, melihat keadaan adiknya, dan melihat betapa pemuda perkasa itu masih berdiri tegak dalam keadaan segar. Cu Han Bu maklum bahwa adiknya telah kalah dan kalau dibiarkan maju lagi dengan berpedang, hal itu amat memalukan karena merupakan suatu kenekatan yang terdorong oleh sikap tidak tahu diri dan tidak mau kalah.

“Cukup, Adik Seng Bu. Engkau sudah kalah dan biarkan aku yang maju sekarang!” kata Cu Han Bu sambil memegang lengan adiknya dan menariknya mundur dengan lembut.






Cu Seng Bu tidak membantah, melepaskan lagi gagang pedangnya dan dia menarik napas panjang berkali-kali, kelihatan menyesal sekali.

“Adikmu ini tiada guna, Twako” katanya dan tiba-tiba dia muntahkan darah segar.

“Mengasolah, Adikku.” kata kakaknya.

Cu Seng Bu menolak tangan Cu Pek In yang hendak memapahnya, dan dia pun lalu kembali ke tempat duduknya, duduk dengan kedua kaki dinaikkan, bersila dan mengatur pernapasan untuk mengobati luka di sebelah dalam dadanya akibat benturan hebat dengan lawan yang amat tangguh tadi. Dia diam-diam menyesal mengapa tidak sejak semula dia menghadapi lawan itu dengan pedangnya. Kalau dia menggunakan pedang dan pemuda itu pun bersenjata, belum tentu dia kalah dan andaikata dia kalah pun, lebih banyak kemungkinan dia mati, tidak seperti sekarang ini, menderita luka dan tidak tewas sehingga harus menghadapi kekalahannya dan menderita rasa malu.

Melihat Cu Han Bu maju dan menoleh kepadanya, Cu Pek In lalu berseru,
“Sambutlah, Ayah!”

Dan begitu tangan kanannya bergerak nampak sinar emas berkelebat menuju ke arah ayahnya itu yang mengangkat tangan kanan menyambutnya. Ternyata yang dilontarkan oleh dara itu adalah sebatang suling emas! Cu Han Bu memegang suling emas, memandangnya sebentar, menarik napas panjang lalu menggeleng kepala.

“Tidak, Pek In!. Aku adalah penghuni Lembah Naga Siluman, bukan lagi Lembah Suling Emas!”

Dia tersenyum pahit mengenangkan kekalahannya terhadap Kam Hong yang lebih tepat berjuluk Suling Emas dan semenjak kekalahannya itu, dia tidak ingin lagi mengingat tentang suling emas, apalagi mempergunakan suling emas sebagai senjata karena hal itu hanya mengingatkan akan kekalahannya dan seperti ejekan saja.

Dia lalu melontarkan kembali suling itu kepada putrinya yang menyambutnya dengan alis berkerut, penuh kekhawatiran karena dara ini maklum bahwa di antara semua senjata, bahkan dibandingkan dengan sabuk emas yang dipakai ayahnya, suling itu merupakan senjata yang paling ampuh bagi ayahnya.

Cu Han Bu sudah melolos sabuk emasnya dan berdiri tegak memandang kepada Kao Kok Cu, sinar mata yang mempersilahkan pendekar itu maju melawannya. Melihat ini, Kao Kok Cu juga sudah bangkit dari tempat duduknya. Akan tetapi Cin Liong yang masih berdiri tegak dan belum kembali ke tempat duduknya, berkata,

“Ayah, akulah yang wajib melaksanakan perintah Sri Baginda. Ayah hanya membantu saja kalau aku gagal. Oleh karena itu, sebelum aku kalah, harap Ayah jangan turun tangan lebih dulu. Marilah, to-enghiong, mari kita tentukan hasil adu kepandaian ini. Ayah hanya akan maju kalau aku sudah kalah“

Cun Han Bu memandang kagum. Kalau saja keadaan tidak memaksa mereka itu saling berhadapan sebagai musuh, dia akan merasa bangga dan senang sekali memiliki sahabat seperti keluarga Kao, yang gagah perkasa ini. Maka dia pun menghampiri pemuda itu dengan sabuk emas dipegang gagangnya oleh tangan kanan sedangkan ujungnya yang lain dipegang oleh tangan kiri. Sikapnya keren ketika dia berkata,

“Kao-goanswe, engkau sungguh hebat dan Adikku sudah kalah olehmu. Kalau sekarang aku pun kalah olehmu, maka berarti pihak kami mengaku kalah. Nah, silahkan engkau mengeluarkan senjatamu!”

Kao Cin Liong telah mempelajari ilmu-ilmu kesaktian dari ayahnya dan dia telah digembleng sehingga kedua tangan dan kakinya seolah-olah telah menjadi pengganti senjata. Seperti ayahnya, dia tidak pernah memegang senjata, kecuali kalau berpakaian dinas sebagai jenderal. Pedang yang tergantung di pinggangnya kalau dia berpakaian hanya merupakan tanda pangkat belaka. Maka pada saat itu pun dia tidak membawa senjata. Melihat ini, Wan Ceng lalu melolos pedangnya dan memandang kepada suaminya untuk minta persetujuan suaminya. Kao Kok Cu mengangguk dan Isterinya lalu melontarkan pedang itu ke atas.

“Cin Liong, terimalah pedang ini!” serunya dan pedang itu meluncur ke atas, kemudian seperti mempunyai mata saja, pedang itu berputaran di udara lalu meluncur turun ke arah Cin Liong yang menerimanya dengan manis.

Itulah pedang Ban-tok-kiam dan pedang yang amat berbahaya ini karena mengandung racun-racun yang amat hebat, nampak kehitaman seperti penuh karat, nampak menyeramkan sekali. Jangankan sampai tertusuk bagian tubuh yang penting, baru tergores saja sudah dapat membawa maut!

Biarpun dia telah memiliki ilmu-ilmu silat tangan kosong yang lihai, namun jangan disangka bahwa Cin Liong asing dengan senjata. Sama sekali tidak, dia pandai mainkan delapan belas macam senjata, terutama ilmu pedang!

Melihat pemuda itu sudah memegang senjata, Cu Han Bu yang tidak mau bersikap sungkan-sungkan lagi lalu menggerakkan sabuk emasnya di atas kepala, diputar-putar makin lama makin cepat, lalu berkata,

“Orang muda, lihat seranganku!”

Dan tiba-tiba dari gulungan sinar emas itu mencuat sinar berkeredepan yang menyambar ke arah kepala Cin Liong, dibarengi dengan tangan kiri yang mencengkeram ke arah dada. Sungguh merupakan serangan yang amat dahsyat, sekaligus menyerang dengan sabuk emas dan tangan kiri.

Entah mana di antara keduanya itu yang lebih berbahaya, karena harus diakui bahwa hawa pukulan tangan kiri yang mencengkeram itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan hawa pukulan sabuk emas yang menandakan bahwa tangan itu tidak kalah kuatnya dibandingkan dengan senjata itu.

Cin Liong bersikap waspada. Dia maklum bahwa lawannya ini lebih lihai daripada Cu Seng Bu tadi. Sedangkan terhadap Cu Seng Bu dia pun hanya memperoleh kemenangan tipis, maka dia tahu bahwa sekali ini dia menghadapi lawan yang amat tangguh dan dia harus berhati-hati. Melihat serangan itu, dia pun menangkis dengan pedangnya ke atas, dan mendorongkan tangannya ke depan untuk menyambut cengkeraman tangan kiri lawan.

“Tringgg.... Plakkk!”

Keduanya terdorong mundur oleh pertemuan senjata dan tangan itu, dan Cin Liong dapat merasakan betapa tenaga orang ini amat kuat, lebih kuat daripada tenaga Cu Seng Bu dan dia merasa betapa tubuhnya tergetar oleh dua adu tenaga tadi.

Akan tetapi, Cin Liong tidak sempat berpikir lebih banyak lagi karena kini terdengar suara berdesing-desing dan pandang matanya menjadi silau melihat gulungan sinar keemasan yang menyambar-nyambar dengan amat dahsyatnya.

Gulungan itu membungkus diri Cu Han Bu, dan suara berdesing-desing itu makin lama makin nyaring, Sinar-sinar yang mencuat dari gulungan emas yang merupakan tembok benteng itu makin gencar menyerangnya sehingga pemuda ini terpaksa harus memutar pedangnya, untuk melindungi tubuhnya. Dia merasakan desakan yang amat kuat dari gulungan sinar keemasan itu dan setiap kali pedangnya menangkis, terdengar suara nyaring dan dia merasa telapak tangannya perih sekali!

Memang hebat sekali ilmu kepandaian Cu Han Bu itu. Untuk selama kurang lebih tiga puluh jurus sabuk emasnya merupakan gulungan sinar yang menghujankan serangan kepada Cin Liong, membuat pemuda itu sibuk sekali menangkis dan hampir tidak ada kesempatan untuk membalas serangan lawan. Kemudian secara tiba-tiba gulungan sinar keemasan itu lenyap dan kini Cu Han Bu melakukan serangan satu-satu dengan gerakan lambat.

Akan tetapi, setiap kali sabuk emas itu menyambar terdengar suara angin dahsyat menghembus dan begitu Cin Liong menangkisnya, pemuda ini berseru kaget karena tenaga yang terbawa oleh sabuk itu sedemikian kuatnya sehingga kuda-kuda kakinya tergeser dan hampir dia terhuyung, dan selain tenaga yang amat kuat ini, juga dia merasa betapa ada hawa panas menjalar ke seluruh lengannya!

Tahulah dia bahwa lawannya kini benar-benar telah mengerahkan seluruh tenaga simpanannya! Dia pun berusaha untuk balas menyerang, bahkan kini dia berusaha sedapat mungkin untuk menghindarkan pertemuan senjata secara langsung karena dia maklum bahwa tenaga sin-kangnya masih kalah kuat dibandingkan dengan orang ini.

Akan tetapi, gerakan Cu Han Bu yang lambat itu ternyata amat aneh dan di sekitar tubuhnya seolah-olah ada gulungan tenaga yang tidak nampak sehingga setiap kali pedang Ban-tok-kiam di tangan Cin Liong balas menyerang, ujung pedang itu menyeleweng seperti ditangkis oleh hawa yang amat kuat.

Sementara itu, sabuk emas setiap kali menyerang, tidak dapat dielakkan lagi karena biarpun gerakan sabuk itu lambat, namun seolah-olah dapat mengikuti ke mana pun Cin Liong mengelak! Oleh karena ini, pemuda itu terpaksa menangkis dan menangkis lagi dan makin lama tangkisannya menjadi semakin lemah karena memang berat rasanya menangkis sabuk itu sehingga lewat beberapa lama kemudian, setiap kali menangkis dia tentu terhuyung ke belakang!

Patut diketahui bahwa ketika dia melawan Cu Seng Bu tadi, keadaannya dengan lawan itu seimbang, sehingga Cin Liong terpaksa harus mengerahkan seluruh tenaganya. Oleh karena itu, setelah kini dia berhadapan dengan Cu Han Bu, yang memiliki kepandaian lebih tinggi dan juga tenaga lebih kuat dibandingkan dengan adiknya, tentu saja Cin Liong menjadi lelah dan semakin lama tenaganya menjadi semakin lemah.

Betapapun juga, dengan Ban-tok-kiam di tangannya, pedang yang juga ditakuti oleh Cu Han Bu yang mengenal pedang beracun yang amat berbahaya dia masih mampu bertahan sampai seratus jurus dia belum juga kalah, walaupun sudah berkali-kali dia terhuyung ke belakang.

Tentu saja Wan Ceng memandang dengan penuh khawatir, alisnya berkerut dan beberapa kali dia mengepal tinju tangannya. Hanya Kao Kok Cu yang masih tetap tenang saja karena biarpun dia juga maklum bahwa puteranya itu akan kalah, namun dia percaya bahwa Cin Liong mampu menjaga diri sehingga tidak sampai terancam keselamatannya.

Cu Han Bu memang telah mengeluarkan semua kepandaiannya. Baginya, perkelahian itu adalah soal hidup atau mati, karena kalau dia kalah, biarpun andaikata dia masih hidup, namun dia dan adiknya seperti telah mati saja, akan mengundurkan diri dan menjadi pendeta dengan mencukur gundul kepala mereka. Inilah sebabnya dia menyerang dengan ganas tanpa mempedulikan lagi apakah serangannya akan menewaskan lawannya.

Melihat betapa lawannya makin kuat dan makin ganas, tiba-tiba Cin Liong mengeluarkan pekik melengking nyaring dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, dia sudah mengeluarkan Ilmu Sin-liong Hok-te dengan menggunakan pedang Ban-tok-kiam.

Tubuhnya meluncur ke depan, disambung oleh pedangnya, menerjang ke arah lawan dengan kekuatan yang amat dahsyat. Melihat ini Cu Han Bu terkejut. Dia maklum bahwa ilmu ini luar biasa sekali dan tadi adiknya juga kalah oleh ilmu ini. Maka dia pun meloncat ke depan menyambut, sambil memutar sabuk emasnya.

“Trannggg.... plakkkk....!”

Kini nampak pedang Cin Liong terlempar ke atas dan pemuda itu sendiri terguling! Akan tetapi dia sudah dapat meloncat lagi ke atas dan manyambar pedangnya, siap untuk menyerang lagi. Pada saat itu, Kao Kok Cu mencelat ke depan dari atas kursinya.

“Cukup, Cin Liong. Engkau telah kalah!” katanya dan pemuda itupun tidak membantah karena harus diakuinya bahwa dia telah kehilangan pedang tadi, dan juga pundaknya telah beradu dengan ujung sabuk emas dan biarpun tulang pundaknya tidak patah, namun lengan kirinya itu menjadi setengah lumpuh dan kalau digerakkan menjadi nyeri sekali pada pundaknya.

Jelaslah bahwa kalau dia maju melawan lagi sama artinya dengan membunuh diri, maka dia pun menjura ke arah Cu Han Bu dan kembali ke tempat duduknya, disambut oleh Ibunya yang segera memeriksa pundaknya.

Pundak itu matang biru! Wan Ceng cepat mengeluarkan koyo hitam, melumerkan koyo itu dengan hawa panas dari telapak tangannya dan menempelkan koyo itu di pundak puteranya, dan menyuruh puteranya menelan dua butir pel hitam. Kemudian keduanya duduk menonton pertandingan antara Kao Kok Cu dan Cu Han Bu dengan penuh perhatian setelah Wan Ceng menyimpan kembali pedang Ban-tok-kiam.

Sementara itu, tadi Kao Kok Cu telah menghadapi Cu Han Bu dan berkata,
“Saudara Cu, kini keadaan kita satu-satu. Marilah kita menentukan siapa yang akan keluar sebagai pemenang.”

“Silakan kau mengeluarkan senjata, Kao-taihiap,” kata Cu Han Bu dengan sikap masih menghormat.

“Aku tidak pernah mempergunakan sanjata. Majulah!” tantang Naga Sakti Gurun Pasir.

Cu Han Bu percaya akan kata-kata ini dan tidak menganggap pendekar itu memandang rendah kepadanya. Maka dia pun tidak sungkan-sungkan lagi dan sudah memutar sabuk emasnya dan menyerang dengan gerakannya yang lambat namun mantap dan amat kuat itu.

Tadi ketika Cu Han Bu bertanding melawan Cin Liong, Kao Kok Cu sudah menyaksikan gerakan-gerakannya dan sebagai seorang ahli silat tinggi yang sudah matang, sekali lihat saja dia sudah tahu akan sifat-sifat ilmu silat lawan ini. Memang harus diakuinya bahwa jarang dia melihat orang memiliki ilmu silat sehebat keluarga Cu ini. Ilmu silat mereka adalah ilmu silat asli, ilmu silat keluarga yang telah dilatih secara sempurna sekali dan pada waktu itu, kiranya jarang menjumpai orang-orang dengan ilmu setinggi yang dimiliki keluarga Cu ini. Karena dia sudah tahu akan sifat ilmu silat lawan, maka kini dia tahu bagaimana harus menghadapinya. Tadi dia memperhatikan gerakan Cu Han Bu.

Orang ini ketika menghadapi Cin Liong, kadang-kadang mempergunakan kecepatan yang luar biasa selama beberapa puluh jurus, menghujankan serangan tidak memberi kesempatan kepada lawan untuk balas menyerang, kemudian dia mengubah gerakannya menjadi lambat-lambat sekali. Akan tetapi Kao Kok Cu maklum bahwa justeru kalau bergerak lambat-lambat inilah maka orang ini amat berbahaya karena di sini letak seluruh kekuatannya!

Kalau Cu Han Bu bergerak perlahan-lahan dan lambat-lambat itu maka dia amat kuat dan seolah-olah tubuhnya dikelilingi oleh benteng yang tidak nampak dan kekuatan dalam yang dahsyat. Oleh karena itu, ketika Cu Han Bu mulai menyerang dengan gerakan lambat-lambat itu, Kao Kok Cu tidak mau membalas serangan, bahkan dia hanya mengelak saja selalu menanti lawan menyerang untuk dielakkan dengan amat mudah tentunya, karena memang serangan-serangan Cu Han Bu itu biarpun amat mantap dan kuat, namun lambat-lambat datangnya.

Karena tidak melihat lawan dapat dipancing dengan gerakan lambat, Cu Han Bu menjadi tidak sabar lagi. Dia mengeluarkan suara lengkingan tinggi yang menggetarkan jantung karena dia telah mengerahkan khikangnya yang dihimpun ketika dia berlatih suling, dia mulai menyerang dengan cepat!

Diam-diam Kao Kok Cu merasa girang. Akan tetapi dia masih tetap mengelak ke sana-sini dan sekali-kali dia menangkis dengan tangan kanannya dan hanya membalas serangan lawan dengan sembarangan saja, dengan tamparan-tamparan tangan kanan yang mengandung angin bersuitan.

Melihat betapa lawannya bersikap tenang dan seperti tidak sungguh-sungguh. Cu Han Bu mulai marah! Dia mulai mengira bahwa Si Naga Sakti Gurun Pasir ini memandang ringan kepadanya! Gerakannya dipercepat sehingga makin lama gulungan sinar keemasan itu menjadi semakin lebar, dan tubuhnya lenyap sama sekali dalam bungkusan gulungan sinar!

Kao Kok Cu menanti sampai gerakan itu tiba pada kecepatan puncak, kemudian tiba-tiba dia membentak dan tubuhnya sudah meluncur ke depan, seperti sebatang anak panah, atau seperti seekor naga terbang, menyerang ke depan, lengan baju kirinya yang “kosong” itu bergerak-gerak dan seperti hidup!

Melihat ini, Cu Han Bu cepat menusukkan sabuk emasnya. Akan tetapi sabuk itu dapat ditangkap dan dilibat oleh lengan baju kiri itu yang hidup seperti seekor ular yang membelit, tidak mungkin dapat ditarik kembali dan otomatis gerakan sabuk itupun terhenti.

Cu Han Bu terkejut dan menjadi nekat, menghantamkan tangan kirinya. Akan tetapi inilah kekeliruannya, karena pada saat itu Naga Sakti Gurun Pasir sedang mempergunakan Ilmu Sin-liong-hok-te dan kekuatan mujijat memasuki tubuhnya, maka begitu pendekar ini menangkis dengan tangan kanannya, dua tangan bertemu di udara dan akibatnya, tubuh Cu Han Bu terlempar sampai beberapa meter jauhnya dan sabuk emas itu patah menjadi dua, yang sepotong masih dipegang dan yang sepotong lagi berada dalam libatan lengan baju Naga Sakti Gurun Pasir!

Cu Han Bu bangkit berdiri, mukanya pucat sekali, napasnya terengah-engah dan jelaslah bahwa dia menderita luka dalam yang hebat. Sejenak dia terbelalak memandang kepada Kao Nok Cu, kemudian mengerakkan tangannya hendak memukulkan sepotong sabuk emas itu ke arah kepalanya sendiri!

“Wuuuut.... tranggg....!”

Sepotong sabuk emas itu terpental dan terlepas dari pegangan, disambar potongan sabuk emas yang meluncur dari lengan baju Kao Kok Cu yang menyambitkannya ketika melihat bekas lawan itu hendak membunuh diri.

“Hanya pengecut sajalah yang tidak berani menghadapi kekalahan dalam hidup!”

Terdengar suara Kao Kok Cu berkata, suara yang menggetar dan mengandung kekuatan sedemikian dahsyatnya sehingga seluruh benda di sekitar tempat itupun ikut tergetar. Cu Han Bu terkejut, memandang ke bekas lawannya dan menarik napas panjang, lalu jatuh terduduk, bersila dan memejamkan matanya.

Kao Kok Cu membiarkan saja dia demikian itu seketika lamanya karena dia maklum bahwa kalau tidak cepat-cepat majikan lembah itu mengumpulkan hawa murni, dia tentu takkan dapat tertolong lagi.

Cu Pek In lari menghampiri ayahnya, akan tetapi sebelum dia menyentuh ayahnya dia dicegah oleh Cu Seng Bu yang memegang lengan gadis itu. Cu Pek In memandang ayahnya dengan air mata menetes di kedua pipinya dan suasana amat menyedihkan dan mengharukan hati keluarga Kao Kok Cu.

Mereka ini tahu bahwa dengan berhasilnya mereka melaksanakan perintah kaisar, mereka pun berarti menghancurkan kebahagiaan keluarga Cu ini! Mereka merasa menyesal sekali, akan tetapi apa yang sudah terjadi tidak dapat diperbaiki kembali. Mereka bertiga memandang ke arah Cu Han Bu, seperti yang dilakukan oleh Cu Seng Bu dan Pek In, dan mereka menanti.

Tak lama kemudian, pernapasan yang tadinya memburu itu menjadi semakin tenang dan akhirnya terdengar Cu Han Bu menarik napas panjang, lalu membuka matanya dan pertama kali dia menggerakkan mata, dia memandang ke arah Kao Kok Cu.

“Terima kasih, Naga Sakti Gurun Pasir, bukan karena engkau telah menyelamatkan aku, melainkan karena engkau telah ingatkan aku yang hampir menjadi pengecut. Engkau benar, dan aku tidak akan takut menghadapi kegagalan. Kami telah kalah. Nah, dengarlah. Pedang itu berada pada muridku yang bernama Sim Hong Bu. Dialah yang berhak mewarisi pedang itu bersama ilmunya dan sekarang dialah yang berhak atas pedang itu, bukan kami.“

Kao Cin Liong merasa kecewa karena tadinya dia mengharapkan bahwa kemenangan itu akan membuat keluarga ini menyerahkan pedang pusaka itu kembali.

“Dan, di mana adanya Sim Hong Bu itu, Lo-enghiong?”

Cu Han Bu tersenyum pahit.
“Goan-swe engkau boleh menangkapku, menbunuhku, akan tetapi jangan harap akan dapat memaksa kami menjadi pengkhianat-pengkhianat yang mengkhianati dia yang menjadi muridku dan pewaris pedang pusaka kami!”

Cu Seng Bu dan Cu Pek In juga menentang pandang matanya dengan sikap menantang. Kao Kok Cu maklum bahwa tiada gunanya memaksa karena orang-orang gagah seperti ini tentu akan lebih suka menyerahkan nyawa daripada harus mengkhianati orang sendiri.

“Satu pertanyaan lagi, Saudara Cu Han Bu. Perlukah aku menggeledah di lembah ini untuk mencari Sim Hong Bu?”

Cu Han Bu memandang dengan sinar mata tajam.
“Percuma, dia tidak berada di sini.”

“Biar aku akan mencarinya di sini, Ayah,” kata Cin Liong akan tetapi ayahnya mencegah.

“Tidak perlu, Cin Liong. Saudara Cu Han Bu sudah mengatakan bahwa dia tidak ada di lembah ini. Dia sudah mengatakan sejujurnya dan aku yakin dia mempunyai cukup kehormatan untuk tidak membohongi kita. Mari kita pergi, kita akan mencari sendiri Sim Hong Bu!” Setelah berkata demikian, Kao Kok Cu menjura ke arah mereka dan berkata, “Perkenankan kami pergi dari sini, Saudara Cu dan maafkan semua perbuatan kami.”

Kao Kok Cu bersama anak isterinya hendak membalikkan tubuh, akan tetapi Cu Han Bu bangkit dan berkata dengan suara parau,

“Kao Kok Cu!”

Pendekar itu bersama isteri dan puteranya berhenti dan membalikkan tubuh, memandang dengan alis berkerut.

“Dengarlah! Hari ini kami keluarga Cu kalah olehmu, akan tetapi ingat, murid kami Sim Hong Bu yang kelak akan membuktikan bahwa kami tidak kalah olehmu, dan pedang Koai-liong Po-kiam, pedang pusaka kami itu yang akan mengalahkanmu! Nah, mulai sekarang, aku dan Adikku akan mengasingkan diri sesuai dengan janji, menjadi hwesio dan bertapa di tempat sunyi. Biarlah murid kami itu yang kelak membalaskan kami. Pek In, antarkan tamu sampai menyeberang!”

Dengan muka pucat dan mata basah air mata, Cu Pek In memandang dengan mata penuh kebencian kepada keluarga Kao, lalu berkata,

“Mari!”