FB

FB


Ads

Jumat, 10 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 070

Pada pagi yang cerah itu, Cu Pek In, gadis berusia delapan belas tahun yang berpakaian pria, dengan rambut digelung ke atas dan ditutup sebuah topi pelajar itu, sedang berjalan pulang ke lembah dengan wajah riang. Dia baru saja kembali dari guha rahasia di mana Sim Hong Bu masih tekun “bertapa” sambil menyempurnakan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut.

Tidak ada orang yang mengetahui tempat rahasia itu kecuali keluarga Cu, bahkan selama Hong Bu bertapa di situ memperdalam ilmu pedang pusaka itu, tidak ada orang lain yang boleh masuk kecuali Pek In. Gadis inilah yang dalam waktu beberapa hari sekali datang menjenguk sambil membawakan bahan makanan untuk Hong Bu.

Pada pagi hari itu Pek In baru saja kembali dari kunjungannya kepada Hong Bu, pemuda yang dicintanya itu, dan karena sikap Hong Bu kepadanya cukup manis, maka hatinya gembira sekali pada pagi hari itu. Dia berjalan sambil kadang-kadang berloncatan dan bernyanyi-nyanyi gembira, lupa bahwa suara nyanyiannya ini sepenuhnya suara wanita, jauh berbeda dengan pakaiannya.

Kalau dia tidak mengeluarkan suara, tentu dia akan disangka seorang pemuda yang amat tampan sekali. Sebagai seorang gadis, kecantikan Pek In biasa saja, tidak terlalu menonjol. Akan tetapi kalau dia dianggap pria karena pakaiannya, maka dia adalah seorang pria yang amat ganteng, dengan muka yang putih dan mata yang jeli dan menarik.

Sebagai puterti tunggal Cu Han Bu orang pertama dari keluarga Cu, tentu saja dara ini memiliki kepandaian yang cukup tinggi. Namun, kini dia tidak tahu bahwa ada tiga pasang mata yang mengikuti gerak-geriknya dari jarak dekat! Hal ini saja sudah membuktikan bahwa tingkat kepandaian tiga orang yang membayanginya itu jauh lebih tinggi lagi dibandingkan dengan dia.

Tiga orang ini baru melihatnya setelah dia berada di dekat lembah, dan memang sudah sejak kemarin tiga orang ini mengintai di lembah itu. Tiga orang ini bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir bersama isteri dan puteranya.

Mereka sudah tiba di pegunungan ini dan tahu bahwa Lembah Suling Emas yang dimaksudkan sebagai tempat tinggal keluarga Cu itu tentu di sekitar tempat ini. Akan tetapi mereka belum juga menemukan tempat itu, maka mereka lalu menyembunyikan diri dan mengintai karena mereka merasa yakin bahwa pada suatu waktu tentu ada penghuni lembah yang keluar untuk suatu keperluan.

Sudah sehari semalam tiga orang sakti ini menanti dan akhirnya usaha mereka berhasil. Mereka melihat Cu Pek In berjalan seorang diri dengan sikap gembira sekali. Keluarga Naga Sakti Gurun Pasir tentu saja dengan sekali pandang sudah tahu bahwa “pemuda” yang berjalan seorang diri itu adalah seorang gadis. Mereka lalu membayangi dengan hati-hati. Mereka melihat bahwa dara yang berpakaian pria itu menuju ke tepi sebuah jurang yang amat lebar dan amat dalam, jurang yang pernah mereka datangi.

Ketika tiba di tepi jurang, seperti biasa Pek In menoleh ke kanan kiri dan belakang, setelah merasa yakin bahwa di tempat itu tidak terdapat orang lain, dia lalu mengeluarkan suling emasnya dari balik bajunya dan meniup sulingnya. Terdengar suara melengking nyaring yang mengejutkan hati tiga orang pengintai itu. Mereka maklum bahwa tiupan suling itu bukanlah tiupan biasa melainkan tiupan seorang yang memiliki khi-kang yang kuat.

Tiga orang yang melakukan pengintaian itu memandang dengan mata terbelalak penuh keheranan dan juga kekaguman ketika mereka melihat betapa dari dasar jurang itu kini nampak sehelai tambang yang cukup besar dan kuat, perlahan-lahan naik ke atas dan akhirnya melintang menyeberang jurang.

Mengertilah mereka bahwa dara itu tadi menggunakan suara suling untuk memberi tanda kepada orang-orang di seberang jurang yang tidak nampak, dan orang-orang itu telah menarik tambang yang merupakan jembatan dan jembatan tambang itu tadinya menjulur kendur ke bawah, tersembunyi kabut.

Memang benar dugaan mereka, karena kini dengan gerakan ringan sekali, dara berpakaian pria itu meloncat ke atas tambang itu dan berjalan di atas tali dengan gerakan yang lincah.

“Cepat, aku akan mendahuluinya dan kalian di belakangnya. Dia akan membawa kita ke seberang sana!” bisik Si Naga Sakti Gurun Pasir kepada isteri dan puteranya.

Wan Ceng dan Cin liong mengerti apa yang dimaksudkan oleh pendekar sakti itu, maka mereka mengangguk dan begitu pendekar itu berkelebat cepat meloncat ke depan, Wan Ceng dan Cin Liong juga meloncat dengan kecepatan kilat menuju ke tepi jurang. Bagaikan seekor burung saja, tubuh pendekar berlengan satu itu telah berada di atas tambang, dan gerakannya sedemikian ringannya sehingga Pek In yang berjalan di depan itu sama sekali tidak tahu bahwa di belakangnya ada orang yang mengikutinya.

“Nona, perlahan dulu!”

Ucapan itu mengejutkan Pek In dan dia menoleh sambil menunda langkahnya. Akan tetapi pada saat itu, orang yang tiba di belakangnya telah meloncat ke atas, melewati kepalanya dan tahu-tahu seorang laki-laki yang bertubuh tegap dan berlengan satu telah berdiri di atas tambang di depannya!

PEK IN memandang dengan mata terbelalak. Hampir dia tidak percaya bahwa ada orang yang berani melakukan perbuatan yang amat berbahaya seperti itu, ialah meloncati atas kepalanya dan turun lagi ke atas tambang di depannya. Hanya seekor burung saja yang agaknya akan mampu melakukan hal itu!

Akan tetapi, dia tidak sempat terheran-heran terlalu lama, karena tambang itu bergoyang di belakangnya dan ketika dia menengok, ternyata di belakangnya terdapat dua orang lain yang sudah berjalan di atas jembatan tambang itu. Dia telah dikepung dari depan dan belakang!

“Siapa kalian? Mau apa kalian?”

Bentaknya, maklum bahwa dia tidak berdaya, dan bahwa para penjaga yang bertugas menarik dan mengendurkan tambang itu pun tidak berdaya karena kalau mereka itu mengendurkan tambang, bukan hanya tiga orang asing itu yang akan terjerumus ke dalam jurang, akan tetapi dia juga karena dia berada di tengah-tengah antara mereka!

“Maaf, Nona. Kami hanya ingin agar Nona membawa kita ke seberang. Kami ingin bertemu dengan para penghuni Lembah Suling Emas!” kata Kao Kok Cu dan dia pun segera melangkah ke depan, mendahului gadis itu menyeberang.

Pek In tidak membantah karena tahu bahwa percuma saja membantah. Dia pun lalu melangkah ke depan, akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan di belakangnya,

“Tunggu dulu. Biarkan kami jalan lebih dulu!” Dan Pek In menghentikan langkahnya, menoleh.






Pada saat itu, nampak dua sosok tubuh melayang lewat dan seperti orang pertama dua orang itu pun melayang seperti burung terbang saja ke depannya melalui atas kepala dan kini mereka bertiga bersicepat mendahuluinya menyeberang! Tentu saja Pek In terkejut bukan main. Lembah itu telah didatangi oleh tiga orang yang amat tinggi kepandaiannya!

Maka dia pun cepat menyeberang. Setelah dia menyeberang, dia memberi isyarat dengan tangannya dan para penjaga tambang lalu menurunkan lagi tambang itu sampai tidak nampak tertutup kabut yang bergantung di dalam jurang.

“Siapa kalian dan mau apa kalian memasuki tempat kami dengan paksa?”

Pek In membentak setelah dia berhadapan dengan tiga orang itu. Dia memperhatikan mereka dan mendapat kenyataan bahwa selain orang pertama, yang buntung lengannya dan bersikap gagah tadi, juga wanita setengah tua dan pemuda yang berdiri di depannya itu membayangkan kegagahan yang mengagumkan.

“Nona, benarkah di sini yang dinamakan Lembah Suling Emas? Kami tidak sangsi lagi bahwa di sinilah Lembah itu, maka kami minta kepada Nona sukalah membawa kami bertemu dengan para penghuni lembah, yaitu keluarga Cu. Kami mempunyai keperluan yang penting untuk kami bicarakan dengan mereka.”

Sampai beberapa lamanya dara itu memandang kepada mereka dengan penuh selidik, kemudian tiba-tiba dia berkata sambil bertepuk tangan,

“Aih, bukankah aku berhadapan dengan Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

Kao Kok Cu dan anak isterinya tertegun. Tak mereka sangka bahwa dara berpakaian pria ini memiliki pemandangan yang demikian tajamnya, dan sekali bertemu telah dapat mengenal mereka. Dan memang Pek In dapat menduga siapa adanya mereka karena dara itu melanjutkan.

“Dan kalau Paman ini Naga Sakti Gurun Pasir, tentu Bibi ini adalah Istri Paman dan dia ini tentulah Jenderal Kao Cin Liong, putera Paman!”

“Hemm, siapakah engkau, Nona? Dan bagaimana engkau dapat mengenal kami?” Wan Ceng bertanya, sinar matanya tajam penuh selidik ditujukan kepada wajah dara itu.

Cu Pek In tersenyum bangga. Memang dia memiliki pengetahuan yang amat luas tentang orang-orang kang-ouw yang belum pernah dilihatnya. Dia mendengar banyak keterangan dari ayah dan para pamannya, dan juga dari bibinya, Tang Cun Ciu.

Dia pernah mendengar tentang Naga Gurun Pasir, dan cacad pada lengan yang buntung sebelah, maka ketika dia menyaksikan kehebatan kepandaian pria berlengan buntung itu, kemudian menyaksikan kelihaian wanita dan pemuda itu, tidak sukarlah baginya untuk menebak siapa adanya mereka. Apalagi dia pun sudah mendengar banyak tentang diri Jenderal Kao Cin Liong yang telah memperoleh kemenangan gemilang atas pasukan Nepal baru-baru ini.

“Namaku Cu Pek In dan kalau kalian hendak menjumpai Ayahku, marilah!”

Setelah berkata demikian, gadis yang lincah ini lalu berlari ke depan, meloncat dan menggunakan seluruh kepandaian ginkangnya untuk berlari secepat mungkin. Tentu saja maksudnya untuk menguji kepandaian tiga orang ini. Dia memang memiliki gin-kang yang hebat, maka larinya seperti terbang saja.

Setelah lari cepat beberapa lamanya, dia menoleh dan dapat dibayangkan betapa kaget rasa hatinya melihat bahwa tiga orang yang ditinggalkannya itu kini berada tepat di belakangnya, kelihatan berjalan seenaknya saja namun tak pernah tertinggal sedikit pun olehnya! Maka tahulah dia bahwa nama besar Naga Sakti Gurun Pasir sekeluarganya bukan nama kosong belaka dan diam-diam dia malah merasa khawatir sekali karena dia belum tahu apa maksud kedatangan mereka, maksud bersahabat ataukah maksud bermusuh.

Dan pada saat itu, yang berada di dalam lembah hanyalah ayahnya dan Pamannya, Cu Seng Bu, sedangkan pamannya yang lain, Cu Kang Bu sedang pergi bersama Yu Hwi, juga Sim Hong Bu yang boleh diandalkan itu masih berada di dalam guha. Betapapun juga, Pek In menenteramkan hatinya dengan penuh kepercayaan bahwa bagaimana saktinya pihak tamu, kalau sampai terjadi hal yang tidak diinginkan, dia percaya bahwa ayahnya dan pamannya yang kedua akan mampu menanggulanginya.

Lembah ini memang telah dilengkapi dengan alat-alat rahasia sehingga ketika Pek In membawa tiga orang tamunya itu sampai ke depan rumah besar keluarga Cu, maka dua orang gagah itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu, telah berada di situ menanti kedatangan mereka!

Kiranya para penjaga yang tadi melihat kedatangan tiga orang yang setengah memaksa Pek In, diam-diam telah mengirim berita melalui alat rahasia sehingga sebelum gadis itu tiba bersama para tamu itu, Cu Han Bu dan Cu Seng Bu telah mengetahui dan kini mereka telah menanti kedatangan Pek In di depan rumah.

Pek In mengerti bahwa tentu ayahnya telah mendengar dari para penjaga bahwa ada tamu yang amat lihai datang dengan cara memaksa Pek In, maka kini dia ingin mencoba ayah dan pamannya, dengan ucapan gembira,

“Ayah, Paman tahukah Ayah siapa yang datang sekali ini?”

Sejak tadi Cu Han Bu dan Cu Seng Bu memang telah mencurahkan perhatian mereka kepada Kao Kok Cu dan diam-diam mereka terkejut sekali! Kalau ada pendekar yang amat tinggi kepandaiannya dan dia itu hanya berlengan satu, dengan isterinya yang cantik dan gagah penuh semangat, dan puteranya yang juga gagah perkasa dan memiliki mata seperti ayahnya, mata yang mencorong seperti mata naga, siapa lagi pendekar itu kalau bukan Si Naga Sakti Gurun Pasir yang hanya pernah mereka dengar namanya seperti dalam dongeng itu? Maka Cu Han Bu lalu menjura, diikuti oleh Cu Seng Bu yang juga sudah dapat menduga seperti kakaknya.

“Maaf, kalau dugaan kami keliru. Akan tetapi benarkah bahwa lembah kami yang buruk ini memperoleh kehormatan besar dengan kunjungan pendekar besar Si Naga Sakti Gurun Pasir beserta isteri dan puteranya?”

Kembali keluarga itu terkejut. Orang-orang lembah ini sungguh lihai. Naga Sakti Gurun Pasir boleh jadi amat terkenal di dunia kang-ouw, akan tetapi tidak pernah keluar sehingga jarang ada yang mengenalnya, akan tetapi keluarga lembah ini sekali lihat telah dapat menebaknya dengan tepat.

Kao Kok Cu lalu balas menghormat dan berkata tenang.
“Tidak salah dugaan itu, kami adalah keluarga Kao dan kami datang untuk bicara dengan majikan lembah.”

“Kami adalah keluarga Cu, pemilik lembah ini. Saya bernama Cu Han Bu dan dia adalah adik saya bernama Cu Seng Bu, dan dia itu adalah Cu Pek In, anak tunggal saya. Keluarga kami kebetulan hanya kami bertiga inilah yang saat ini berada di sini, oleh karena itu, Kao-taihiap sekeluarga silakan masuk dan mari kita bicara di ruangan tamu.”

“Terima kasih.”

“Silakan!”

Cu Han Bu mendahului para tamunya masuk, dan setelah tiga orang tamu itu mengikutinya, Cu Seng Bu dan Pek In lalu mengikuti pula dari belakang. Yang disebut ruang tamu itu adalah sebuah ruangan yang amat luas dan di sinilah mereka dipersilakan duduk oleh pihak tuan rumah. Mereka berenam duduk mengelilingi sebuah meja besar. Setelah memandang wajah Naga Sakti Gurun Pasir sejenak, akhirnya Cu Han Bu berkata, suaranya datar dan tegas, namun penuh hormat,

“Kao-taihiap, setelah Taihiap sekeluarga berhadapan dengan kami, nah, silakan memberitahu keperluan apakah yang membawa Taihiap bertiga datang mengunjungi kami”.

Kao Kok Cu menarik napas panjang. Tugas yang dipikulnya bersama isteri dan puteranya itu sungguh bukan merupakan tugas yang enak di hati. Sudah menjadi peraturan umum yang tak tertulis di dunia kang-ouw bahwa orang yang telah dapat menguasai sebuah benda dengan mengandalkan ilmu kepandaiannya, maka dia pun berhak menjadi pemilik benda itu. Akan tetapi, betapapun juga, dia dan isterinya hanya membela puteranya yang mengabdi kepada Kaisar.

“Cu-taihiap, tiada lain kedatangan kami ini adalah untuk bicara dengan keluarga Cu tentang pedang Koai-liong-pokiam!”

Pada wajah Cun Han Bu dan Cu Seng Bu tidak nampak perobahan sesuatu, hanya Cu Pek In yang memandang dengan alis berkerut tanda bahwa hati dara ini merasa tidak senang.

Cu Han Bu memandang tajam dan berkata,
“Apakah Naga Sakti Gurun Pasir termasuk orang-orang yang hendak memperebutkan pedang pusaka itu seperti dilakukan oleh sekelompok orang kang-ouw beberapa tahun yang lalu?”

Pertanyaan ini merupakan serangan atau ejekan yang membuat Kao Kok Cu merasa agak bingung. Akan tetapi dia ditolong oleh puteranya.

Dengan suara lantang dan tegas Kao Cin Liong berkata,
“Hendaknya Cu-lo-enghiong ketahui bahwa kami datang bukan atas nama pribadi, melainkan atas perintah Sri Baginda Kaisar. Saya adalah seorang panglima yang diutus oleh Kaisar untuk menemukan kembali pedang Koai-Liong-pokiam yang telah lenyap dicuri orang dari gedung pusaka istana beberapa tahun yang lalu. Dan Ayah Bunda saya hanya menemani saya dalam tugas ini.”

Ucapan itu tegas dan jelas. Dua orang saudara Cu itu saling pandang, dan sejenak mereka tidak dapat menjawab. Menghadapi orang-orang kang-ouw, mereka memang tidak usah merasa malu dan sungkan akan kenyataannya bahwa pedang itu dicuri oleh keluarga mereka, akan tetapi menghadapi utusan Kaisar lain lagi soalnya! Mereka bukan hanya dapat dituduh pencuri hina, akan tetapi bahkan juga sebagai pemberontak!

Kalau jenderal muda ini datang bersama pasukan besar, tentu mereka tidak dapat melawan dan terpaksa melarikan diri. Akan tetapi jenderal muda itu datang tanpa pasukan, hanya ditemani ayah bundanya, hal ini berarti bahwa mereka datang sebagai orang-orang gagah yang mengandalkan kepandaian sendiri, walaupun sebagai utusan Kaisar.

Dari kedatangan orang gagah yang hendak merampas kembali pedang pusaka harus dihadapi dengan kegagahan pula, dengan kepandaian! Agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh jenderal muda itu, dan oleh karena itulah dia datang bersama ayah dan ibunya yang sakti.

Cu Han Bu mengangguk-angguk lalu berkata,
“Tidak kami sangkal lagi bahwa pencuri pedang dari dalam gudang pusaka adalah seorang di antara keluarga kami. Akan tetapi hal itu hendaknya tidak dianggap sebagai pencurian, melainkan sebagai hak kami untuk mengambil kembali pedang pusaka keluarga kami yang hilang. Pedang itu adalah buatan nenek moyang kami dan kami yang berhak atas pedang itu! Jadi, kami tidak merasa mencuri dari istana”

“Hemm, kami tidak tahu dari mana asal pedang itu. Yang kami ketahui hanyalah bahwa pedang Koai-liong-pokiam itu berada di dalam gudang pusaka istana sebagai satu di antara benda-benda pusaka kerajaan. Tentang asal mulanya, seperti juga asal mula semua benda pusaka di istana, kami tidak tahu. Kenyataannya adalah bahwa pedang itu dicuri dari dalam gudang pusaka, dan untuk itulah kami datang, sebagai utusan Kaisar untuk mengambil kembali pedang itu. Kami harap keluarga Cu sadar akan hal ini dan suka mengembalikan pedang itu kepada kami, agar memudahkan tugas kami sebagai utusan Kaisar.”

Jelaslah bahwa Cin Liong selalu mempergunakan nama Kaisar sebagai kesan bahwa dia sama sekali tidak berniat mencampuri urusan pedang pusaka dan hanya bertindak sebagai utusan, bukan mencampuri permusuhan atas nama pribadi. Dan ayahnya setuju dengan sikap puteranya, walaupun ibunya, Wan Ceng, bersungut-sungut dan menganggap puteranya itu terlalu merendahkan diri!

“Pedang itu kini tidak ada pada kami lagi.” kata Cu Han Bu dengan suara tenang.

Cin Liong memandang tajam penuh selidik dan panghuni lembah itu harus mengakui bahwa sinar mata pemuda itu membuat bulu tengkuknya meremang karena sepasang mata itu amat tajam dan mencorong.

“Cu-lo-enghiong, banyak tokoh kang-ouw menjadi saksi bahwa keluarga Cu mendapatkan pedang itu dari Yeti dan bahwa pencurinya dari istana adalah Cui-beng Sian-li yang menjadi keluarga di sini. Kalau pedang itu kini tidak ada pada keluarga Cu, lalu berada di mana?”

Cu Han Bu bangkit berdiri, alisnya berkerut.
“Orang muda, engkau terlalu mendesak!”

Cin Liong juga bangkit berdiri, sikapnya gagah.
“Lo-enghiong, saya adalah utusan Kaisar, harap engkau orang tua tidak menyembunyikan di mana pedang itu kini.”

“Kalau aku tidak mau memberi tahu?”

“Kami akan menganggap bahwa engkau yang menyembunyikan pedang itu!”

“Hemm, pedang itu didapat dengan mengandalkan kepandaian dan karena pedang itu adalah milik keluarga kami, maka bagaimanapun juga harus kami pertahankan. Tapi, kami tidak ingin memberontak terhadap pemerintah. Nah, keluarga Kao, kami hanya mau memberitahukan di mana pedang itu sekarang berada....”

“Ayah....!”

Pek In berseru akan tetapi ayahnya memberi isyarat dengan tangan agar puterinya itu duduk kembali yang segera ditaati oleh Pek In, akan tetapi dengan wajah penuh kekhawatiran.

“Untuk mendapatkan keterangan dari kami, Sam-wi harus dapat mengalahkan dulu keluarga Cu!”

“Bagus! Kenapa tidak dari tadi bicara begitu? Berliku-liku bukan sikap orang gagah!” bentak Wan Ceng yang sudah bangkit berdiri.

Akan tetapi Kao Kok Cu bersikap tenang dan menyentuh lengan isterinya untuk menyabarkannya. Kemudian dia menghadapi Cu Han Bu dan suaranya terdengar tenang, sedikit pun tidak dipengaruhi amarah, namun terdengar penuh wibawa,

“Saudara Cu Han Bu telah menyatakan kehendaknya. Kita bukan anak-anak kecil, juga bukan orang-orang yang suka mencari permusuhan. Kami datang untuk menemukan kembali pedang pusaka istana, dan Saudara Cu agaknya hendak mempertahankan pedang itu atau segan memberitahu di mana adanya pedang itu tanpa lebih dulu ditebus dengan adu ilmu. Nah, bagaimana syarat yang diajukan oleh kalian sebagai pihak tuan rumah?”

Cu Han Bu bersikap hati-hati sekali. Ketenangan Naga Sakti Gurun Pasir itu sedikit banyak mendatangkan rasa jerih di dalam hatinya, karena dia maklum bahwa seperti itulah sikap seorang pendekar sejati yang tidak ragu-ragu lagi akan kekuatan diri sendiri dan selalu bersikap tenang dalam menghadapi apa pun juga, tidak lagi dapat dipengaruhi oleh rasa marah, rasa takut atau lain perasaan lagi, kokoh kuat seperti batu karang, di tengah laut.

“Di pihak keluarga kami pada saat ini hanya ada saya dan Adik Cu Seng Bu kami berdua, akan maju mewakili keluarga kami untuk menghadapi pihak utusan Kaisar.” kata Cu Han Bu, sengaja menggunakan sebutan utusan “Kaisar” untuk menekankan bahwa mereka tidak menganggap keluarga Naga Sakti Gurun Pasir sebagai musuh-musuh pribadi.

“Hemm, dua lawan dua, itu sudah adil.” kata Cin Liong. “Saya dan Ayah akan maju menghadapi kalian. Akan tetapi bagaimana kalau di antara dua orang yang seorang kalah dan seorang lagi menang?”

“Yang menang akan saling berhadapan, sampai ada yang kalah.” sambung Cu Han Bu, tenang.

“Bagaimana kalau kami kalah?” tanya lagi Cin Liong.

Cu Han Bu tersenyum.
“Kami tidak terlalu mengharapkan itu. Akan tetapi kalau pihak kami menang, kalian harus pergi dari sini dan bersumpah tidak akan mengganggu kami lagi dalam urusan pedang.”

“Tapi itu berarti mengabaikan perintah Kaisar!” Cin Liong berseru.

“Terserah! Tapi itulah perjanjian dalam adu ilmu ini, tentu saja kalau pihak kalian tidak keberatan.”

Cin Liong mengepal tinju. Kata “keberatan” itu sama dengan “takut”!
“Baik.” jawabnya.

“Kalau kami kalah, kami akan pergi dan kami bersumpah tidak akan mengganggu kalian dalam urusan pedang, dan aku akan mengundurkan diri dari kedudukanku di istana karena berarti tidak mampu melaksanakan perintah Kaisar!”

“Cin Liong....!” Wan Ceng berseru kaget, akan tetapi suaminya kembali menyentuh lengannya.

“Ucapan Liong-ji cukup tepat sebagai seorang gagah.” katanya tenang.

“Dan bagaimana kalau kalian yang kalah?” Cin Liong kini balas mendesak.

Cu Han Bu tidak tersenyum, melainkan memandang tajam.
“Kalau kami yang kalah, kami akan memberitahukan di mana adanya pedang itu dan di samping itu, kami berdua akan menggunduli kepala dan menghabiskan sisa hidup sebagai hwesio dan mengasingkan diri.”

“Ayah....!” Pek In berseru kaget, mukanya pucat.

“Pek In, seorang laki-laki harus mempunyai harga diri. Jenderal Muda Kao telah mempertaruhkan kedudukannya yang tinggi, maka keputusan itu patut dihormati dan diimbangi dengan keputusan kami mempertaruhkan keputusan kami pula. Dan, kalah dalam tangan keluarga Naga Sakti Gurun Pasir merupakan kekalahan terhormat. Keputusanku tidak dapat dirubah pula.”

“Aku setuju dengan keputusan yang diambil Bu-twako.”

Sambung Cu Seng Bu yang memang sebelum mereka menghadapi keluarga Naga Sakti Gurun Pasir itu telah berunding dengan kakaknya dan keduanya mengambil keputusan ini.

“Baik sekali. Nah, kita boleh mulai” kata Kao Kok Cu dengan tenang dan dia pun bangkit berdiri, siap untuk bertanding.

Akan tetapi Cin Liong sudah maju ke depan ayahnya.
“Tidak, Ayah. Biarkan aku maju lebih dulu.”

Melihat ini, Kao Kok Cu tersenyum dan duduk kembali. Dia percaya penuh kepada puteranya yang telah mewarisi sebagian besar dari ilmu-ilmunya dan dia tahu bahwa biarpun masih muda, namun Cin Liong bukan orang yang sembrono, bahkan sudah banyak pengalamannya dalam menghadapi lawan yang pandai ketika menjalankan tugas-tugas sebagai seorang panglima perang.

Kao Cin Liong sudah melangkah maju ke tengah ruangan di mana telah menanti Cu Seng Bu yang maju lebih dulu mewakili keluarga Cu. Cu Seng Bu berdiri tegak dan menatap calon lawannya itu dengan penuh perhatian pemuda itu masih muda sekali, paling banyak sembilan belas tahun atau dua puluh tahun usianya, dia berpikir. Biarpun pemuda itu putera tunggal Naga Sakti Gurun Pasir, akan tetapi dalam usia semuda itu, mana mungkin memiliki ilmu kepandaian yang sangat tinggi? Rasanya mustahil kalau dia sampai kalah oleh seorang yang baru saja dewasa. Akan tetapi dia tidak berani memandang rendah.

Sim Hong Bu, muridnya dan murid kakaknya juga sebaya dengan pemuda ini, dan dia tahu bahwa tingkat kepandaian Sim Hong Bu, akan melampaui dia kalau pemuda itu sudah dapat menguasai Koai-liong Kiam-sut secara sempurna.

Cu Seng Bu berjuluk Bu-eng-sian (Dewa Tanpa Bayangan). Julukan ini saja sudah menunjukkan bahwa dia tentu seorang ahli gin-kang yang hebat, sehingga saking cepatnya dia bergerak, saking ringan tubuhnya, maka dia mendapat julukan itu, karena seolah-olah dia dapat berkelebat tanpa nampak bayangannya saking cepatnya. Oleh karena itu, dia menanti datangnya Cin Liong tanpa mencabut pedangnya, karena dia percaya bahwa dengan kecepatan gerakannya, dia akan mampu mengalahkan pemuda itu.

Kini mereka sudah berdiri, saling berhadapan dengan sinar mata saling pandang, saling menilai dan menyelidik.

“Kao-goanswe, kau majulah!” Cu Seng Bu menantang. “Engkau adalah tamu, maka silakan mulai lebih dahulu!”

Cin Liong tersenyum. Dia tahu bahwa dalam ilmu silat yang sudah tinggi tingkatnya, siapa maju menyerang lebih dulu berada di pihak yang lebih lemah.

“Cu-lo-enghiong, pihakmulah yang menantang, maka silahkan mulai leblh dulu, aku menanti,” katanya.

Hemm, pemuda ini cukup tenang, sikap yang mengkhawatirkan dan berbahaya. Dia pun tidak mau membuang waktu lagi, diam-diam dia mengerahkan semua tenaganya dan berseru nyaring,

“Jaga seranganku!”

Belum juga habis ucapan itu keluar dari mulutnya, tubuhnya telah melesat ke depan dengan kecepatan yang mengejutkan dan tahu-tahu tangan kanannya yang membentuk paruh garuda yang runcing melengkung itu telah mematuk ke arah leher Cin Liong. Kecepatan itu amat mengejutkan, dan tenaga yang terkandung dalam serangan itu pun dahsyat bukan main.

Akan tetapi Cin Liong memiliki ketenangan ayahnya dan ketabahan ibunya. Dia menghadapi serangan dahsyat itu dengan mata tanpa berkedip dan cepat namun tenang sekali dia sudah menggeser kaki ke kiri, mengelak dan mencari lubang pada lawan.