FB

FB


Ads

Jumat, 10 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 068

Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong muncul bersama guru mereka, yaitu sastrawan Pouw Tan, dan dua orang pemuda putera Milana yang masih mempunyai hubungan darah dengan keluarga-keluarga Kaisar ini lalu diantar oleh Pangeran Kian Liong untuk pergi menghadap Kaisar.

Dua orang pemuda ini lalu mengulang semua pengalamanna, ketika beberapa tahun yang lalu mereka ditangkap oleh Su-bi Mo-li, mengulang semua yang telah diceritakan oleh Sang Pangeran kepada Kaisar. Mendengar penuturan ini, Kaisar menjadi semakin sadar bahwa selama ini dia telah berdekatan dengan orang-orang yang pada hakekatnya ingin menyeretnya ke dalam kekuasaan mereka.

Dengan terbongkarnya kebusukan Sam-thaihouw ini, maka terbongkarlah pula kepalsuan Lan-thaikam, orang kebiri yang dahulu pernah membantu Kaisar melakukan kecurangan dalam memperebutkan kekuasaan menggantikan kedudukan Kaisar Kiang Hsi. Setelah diselidiki, ternyata Lan-thaikam ini menyimpan harta kekayaan yang luar biasa banyaknya, yang menyaingi isi gudang kekayaan Kaisar sendiri. Ribuan tail emas berada di dalam gudang rahasianya, belum lagi tanah yang tak terbatas luasnya!

Karena maklum bahwa antara Lan-thaikam dan mendiang Sam-thaihouw terdapat hubungan yang amat erat, dan bahwa terbongkarnya rahasia Sam-thaihouw itu akan membuat Lan-thaikam menjadi berhati-hati dan berbahaya, maka dengan rahasia Kaisar lalu membunuh thaikam ini dengan jalan menyuruh orang meracuninya! Maka, tak lama kemudian, hanya beberapa hari setelah Sam-thaihouw meninggal, tewas pulalah thaikam tua itu yang dianggap sebagai kematian wajar karena usia tua sehingga tidak menimbulkan keributan.

Setelah upacara pemakaman Sam-thaihouw selesai, datang pula Kao Cin Liong dari barat. Jenderal Kao Cin Liong yang muda belia dan gagah perkasa ini telah berhasil menumpas pergolakan di barat. Jenderal muda ini disambut dengan upacara kebesaran ketika menghadap Kaisar dan menceritakan atau melaporkan semua pelaksanaan tugasnya kepada Kaisar yang mendengarkan dengan girang.

Kaisar menghujani jenderal muda dengan hadiah dan pujian, akan tetapi di dalam pertemuan yang dihadiri pula oleh suami isteri Pendekar Naga Sakti dan Pangeran Kian Liong, Kaisar menyatakan rasa penasaran dan tidak puasnya dengan hilangnya pusaka istana Koai-liong Pokiam yang lenyap dicuri orang itu. Pasukan yang dikirim dari istana untuk menyelidiki hilangnya pedang pusaka ini ternyata telah mengalami kegagalan.

“Kiranya tidak ada orang lain kecuali Kao-goanswe (Jenderal Kao) yang akan dapat menemukan kembali pedang pusaka itu.” kata Kaisar antara lain, kemudian melanjutkan. “Pedang itu sendiri tidaklah sangat penting dan istana masih mempunyai banyak pedang pusaka yang lebih baik lagi. Akan tetapi, hal ini menyangkut kehormatan istana. Sungguh memalukan sekali kalau sampai pemerintah tidak berdaya menghadapi seorang pencuri saja dan tidak dapat merampas kembali pedang yang dicuri. Lalu bagaimana akan kata dunia kang-ouw terhadap kebesaran istana sehingga para pengawal dan ponggawanya tidak mampu menangkap seorang maling saja?”

Jenderal Muda Kao Cin Liong menyatakan kesanggupannya dan baru setelah mereka semua kembali ke rumah gedung tempat tinggal jenderal muda itu, Pangeran Kian Liong yang ikut pula berkunjung ke situ mengajak mereka semua berunding.

Dari Wan Tek Hoat, Pangeran ini telah mendengar tentang pedang Koai-liong-kiam. Didepan Kaisar, Pangeran itu memang tidak mengatakan sesuatu, karena tentu Kaisar akan marah sekali dan mungkin akan mengirim pasukan ke Lembah Suling Emas untuk merampas kembali pedang itu. Maka dia diam saja dan baru sekarang, dia menceritakan tentang pedang yang diperebutkan oleh orang-orang kang-ouw itu, menceritakan kepada Cin Liong dan ayah bundanya, seperti yang didengarnya dari Tek Hoat.

“Menurut ceritanya itu, jelaslah bahwa pedang Koai-liong-kiam yang telah menjadi pusaka istana itu dahulunya adalah milik keluarga Cu di Lembah Suling Emas.” kata Kao Cin Liong.

“Betapapun juga, perintah Kaisar harus ditaati, dan pula, memang sudah belasan tahun pedang itu menjadi pusaka istana, maka kita pun berhak untuk menuntutnya dan untuk itu tidak perlu mempergunakan pasukan. Pangeran, hamba akan berangkat sendiri tanpa pasukan, karena menghadapi keluarga yang menurut cerita Paman Wan Tek Hoat kepada Paduka itu adalah keluarga sakti yang menyembunyikan diri, sebaiknya diambil jalan menurut kebiasaan kang-ouw, bukan dengan serbuan pasukan tentara.”

Sang Pangeran mengerutkan alisnya.
“Akan tetapi, apakah tidak akan terlalu berbahaya? Perjalanan ke tempat itu, yang berada di Pegunungan Himalaya, amatlah jauhnya dan sukar sekali, pula, menurut Paman Wan Tek Hoat, ilmu kepandaian keluarga Cu itu sungguh amat hebat, bahkan katanya jauh lebih hebat daripada tingkat kepandaian Paman Wan Tek Hoat sendiri.”

“Memang berbahaya, akan tetapi itulah pekerjaan seorang pendekar, Pangeran.” kata Kao Kok Cu dengan tenang.

“Dan kami berdua akan menemani Liong ji (Anak Liong) untuk mencari pedang itu dan membawanya kembali ke istana.”

Mendengar ucapan itu, bukan main girangnya hati Pangeran itu. Terasa lapang dadanya, karena kalau pendekar itu bersama isterinya ikut, maka dia yakin bahwa pedang pusaka itu akan dapat didapatkan kembali dan dia tidak usah mengkhawatirkan keselamatan jenderal muda yang menjadi sahabat baiknya itu. Dia tertawa dan bangkit berdiri.

“Kalau begitu, saya tidak perlu mengkhawatirkan apa-apa lagi.”

Pangeran itu lalu kembali ke istana di mana telah menanti dua orang muda kembar yang masih ada hubungan keluarga dengan dia, yaitu Gak Jit Kong dan Gak Goat Kong.

Sementara itu, setelah Sang Pangeran kembali ke istana dikawal oleh pengawal-pengawalnya, barulah Kao Kok Cu dan isterinya mempunyai kesempatan untuk bicara secara bebas dengan putera mereka. Suami isteri ini merasa bangga sekali melihat betapa putera mereka kembali dari tugas ke barat dan mendapatkan sambutan yang meriah dari Kaisar.

Mereka bertiga kini pesta sendiri dengan suasana santai dan bebas di ruangan gedung jenderal muda itu. Dan dalam kesempatan inilah suami isteri pendekar itu lalu bertanya kepada Cin Liong tentang Bu Siok Lan, gadis keluarga Bu itu.






Tentu saja Kao Cin Liong terkejut den merasa heran bagaimana tiba-tiba orang tuanya bertanya tentang gadis itu. Dan melihat betapa ayah bundanya memandang kepadanya dengan sinar mata penuh selidik, tahulah dia bahwa mereka itu serius dan tentu telah terjadi sesuatu yang ada hubungannya dengan gadis itu, maka dia pun menjawabnya dengan terus terang.

“Ah, Bu Siok Lan? Dia adalah puteri musuh, akan tetapi telah berjasa besar dalam usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung di barat itu. Dan ibunya memang hebat, seorang Panglima Nepal yang tangguh sekali!”

Ayah bundanya mendengarkan dengan mata terbelalak heran ketika Cin Liong menceritakan tentang usaha menyelamatkan pasukan yang terkepung itu dan betapa dia berhasil menyelundup ke markas musuh dan bahkan memperoleh kepercayaan dari Panglima Nandini, dan menjadi sahabat baik dari Bu Siok Lan, puteri panglima itu, sampai bagaimana akhirnya dia berhasil menyelamatkan pasukan dan mengalahkan musuh, menghancurkan siasat Panglima Nandini yang pandai itu.

“Nah, demiklanlah ceritanya.” dia menutup kata-katanya. “Dan bagaimana Ayah dan Ibu dapat mengenal nama Bu Siok Lan? Apakah yang telah terjadi?”

Kini dialah yang ingin sekali mendengar dari mereka tentang Siok Lan yang tak pernah dijumpainya semenjak mereka berpisah sebagai musuh.

“Jadi dia itu puteri Panglima Nepal? Sialan!” Wan Ceng mengepal tinjunya dan nampak marah sekali. “Ini penghinaan namanya!”

“Tenanglah, isteriku. Ingat bahwa ayahnya adalah Bu-taihiap, seorang pendekar besar yang pernah menyelamatkan Pangeran....”

“Tidak peduli ayahnya pendekar atau dewa sekalipun, ibunya adalah seorang Panglima Nepal, panglima musuh. Bagaimana mereka itu berani menemui kita dan bicara tentang perjodohan?” Nyonya itu berkata lagi dengan marah.

“Ayah, Ibu, apa yang sesungguhnya telah terjadi? Siapakah mereka yang datang menemui Ayah Ibu dan bicara tentang perjodohan?” Cin Liong ingin sekali mendengar keterangan mereka.

Karena melihat isterinya marah-marah, Kao Kok Cu mewakili isterinya, memandang kepada puteranya dan bertanya, suaranya sungguh-sungguh,

”Cin Liong, katakanlah, apakah ada hubungan cinta antara engkau dan Nona Bu Siok Lan itu?”

“Apa.... apa maksud Ayah....?” Cin Liong bertanya dengan heran.

“Mendengarkan penuturanmu tadi, jelaslah bahwa antara engkau dan dia terdapat hubungan persahabatan, sungguhpun hubungan di pihakmu itu terjadi sebagai siasatmu untuk menyelamatkan pasukanmu yang terkepung. Akan tetapi di samping itu, apakah engkau jatuh cinta kepada gadis itu?”

Cin Liong mengerutkan alisnya dan membayangkan keadaan yang lalu ketika ia masih menjadi sahabat Siok Lan dan juga Ci Sian. Cintakah dia kepada Siok Lan? Terbayang wajah Ci Sian dan dia lalu menjawab tenang,

“Tidak, Ayah! Aku memang suka padanya karena dia seorang gadis yang amat baik, akan tetapi hal itu bukan berarti bahwa aku cinta padanya.”

“Nah, apa kataku? Mereka itu tidak tahu malu!” Wan Ceng berkata lagi.

“Mengapakah mereka, Ibu?” Cin Liong bertanya.

“Keluarga yang tak tahu malu itu pernah bertemu dengan Pangeran Kian Liong dan hanya karena mereka kebetulan menyelamatkan Sang Pangeran maka mereka itu telah minta kepada Pangeran untuk menjadi perantara bagi mereka untuk memberitahukan kami bahwa mereka itu secara tak tahu malu sekali hendak mengikatkan perjodohan antara anak perempuan mereka itu denganmu!”

“Ahh....!”

Cin Liong terkejut juga mendengar berita ini. Tak disangkanya bahwa Panglima Nandini, yang telah dikalahkannya, yang tentu malah mendendam kepadanya, kini malah hendak menjodohkan puterinnya yang tunggal itu dengan dia!

“Kita harus menghadapi urusan ini dengan kepala dingin.” Kao Kok Cu berkata, sambil memandang kepada isterinya yang masih cemberut. “Jadi sudah jelas bahwa antara engkau dan gadis itu tidak ada hubungan cinta, Cin Liong?”

“Tidak, Ayah.”

“Dan bagaimanakah pendapatmu tentang uluran tangan mengadakan ikatan jodoh ini? Ingat, urusan perjodohan adalah urusanmu sendiri, Cin Liong, maka engkaulah yang berhak untuk memutuskan sendiri. Apalagi dalam hal ini, kami sebagai Ayah Bundamu belum pernah melihat gadis itu dan tidak tahu bagaimana watak-wataknya, sebaliknya engkau malah sudah bersahabat dengan dia sehingga engkau tentu mengerti pula bagaimana keadaan dan wataknya. Nah, bagaimana pendapatmu?”

Pemuda yang sudah menjadi jenderal dan sudah terbiasa dengan hal-hal yang hebat-hebat, bahaya yang besar-besar, namun sekali ini, ditanya tentang perjodohan, dia tidak mampu menyembunyikan rasa malunya dan wajahnya menjadi merah sekali.

“Ayah.... Ibu.... terus terang saja, aku belum mempunyai pikiran tentang perjodohan....”

“Jadi, berarti engkau menolaknya?”

“Ya, begitulah. Bukan menolak karena Siok Lan bukan seorang gadis yang baik, melainkan karena aku belum mempunyai pikiran untuk menikah, Ayah.”

“Baiklah, kalau begitu, kami dapat memberi jawaban yang tegas kalau sampai keluarga itu datang menemui kami.”

Urusan itu tidak diusik lagi dan keluarga ini lalu melanjutkan makan siang, kemudian Kao Kok Cu dan isterinya beristirahat, demikian pula Cin Liong yang baru saja pulang dan masih merasa lelah. Mereka mengambil keputusan untuk pergi atau berangkat melakukan tugas baru mencari pedang pusaka itu tiga hari kemudian.

Akan tetapi pada keesokan harinya, lewat pagi menjelang siang, serombongan tamu datang mengunjungi rumah Jenderal Kao Cin Liong. Cin Liong keluar menyambut dan terkejutlah dia ketika melihat Siok Lan yang datang bersama laki-laki setengah tua yang gagah perkasa, dan tiga orang wanita cantik, seorang di antaranya dikenalnya sebagai Panglima Nandini!

Dia sudah diceritakan oleh ibunya yang mendengarnya dari Pangeran Kian Liong bahwa ayah Bu Siok Lan yang terkenal dengan julukan Bu-taihiap itu memiliki banyak isteri, dan Panglima Nandini, ibu Siok Lan adalah seorang di antara isteri-isterinya, entah isteri yang keberapa! Baru saja Cin Liong keluar, dia sudah disusul oleh ibunya dan ayahnya.

Melihat Puteri Nandini dan Siok Lan yang sudah dikenalnya, Cin Liong segera maju memberi hormat dan bersikap biasa sebagai kenalan, seolah-olah puteri atau panglima itu bukan merupakan bekas panglima musuhnya.

“Ah, kiranya Bibi dan Adik Siok Lan yang datang berkunjung. Selamat datang, dan siapakah Paman dan para Bibi yang lain ini?”

Sejak tadi, dengan sepasang mata yang mencorong tajam itu Bu-taihiap sudah memandang kepada pihak tuan rumah dan dia kagum bukan main melihat pemuda yang gagah perkasa itu, juga dia agak terkejut kemudian kagum memandang pria berlengan satu itu. Tak perlu diperkenalkan iagi, dia dapat menduga siapa adanya pria berlengan satu itu.

“Ah, kalau mataku yang sudah mulai tua ini tidak salah lihat, agaknya kami sekeluarga berhadapan dengan pendekar sakti yang namanya menjulang tinggi di langit, Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu, benarkah dugaan saya?” kata Bu-taihiap sambil menjura dengan sikap hormat namun terbuka dan sederhana.

Melihat sikap dan mendengar ucapan ini saja, Kao Kok Cu sudah merasa tertarik sekali. Dia dapat mengenal orang yang sikapnya terbuka dan membayangkan pemandangan yang luas dan tajam.

Dia pun cepat membalas penghormatan orang dan menjawab.
“Dan saudara yang perkasa tentulah pendekar yang dikenal dengan Bu-taihiap, bukan?”

“Ha-ha-ha, orang macam saya ini mana pantas disebut pendekar oleh Si Naga Sakti Gurun Pasir?”

“Silakan, silakan masuk, biarlah kami mewakili putera kami untuk mempersilakan tamu masuk ke ruangan dalam untuk bicara.” kata Kao Kok Cu, merasa tidak enak melihat betapa isterinya menerima kedatangan rombongan tamu itu dengan sikap cemberut dan muram.

“Terima kasih, akan tetapi biarlah saya memperkenalkan dulu keluarga kami. Memang benar bahwa saya adalah Bu Seng Kin, ayah Bu Siok Lan puteri kami yang telah dikenal oleh putera Tai-hiap. Dan dia adalah Puteri Nandini Ibu dari Siok Lan, yang ini adalah Tang Cun Ciu, dan dia itu adalah Gu Cui Bi. Mereka bertiga adalah isteri-isteri saya.”

Tanpa sungkan-sungkian atau malu-malu, pendekar she Bu itu memperkenalkan isteri-isterinya yang cantik. Terpaksa Wan Ceng membalas penghormatan mereka, akan tetapi dia tetap mengerutkan alisnya dan cemberut. Akan, tetapi karena suaminya telah mempersilakan mereka, maka terpaksa Wan Ceng mendahului mereka menuju ke ruang tamu di mana para tamu itu dipersilakan duduk.

Setelah mereka semua duduk di ruangan yang cukup luas itu, Kao Kok Cu yang maklum bahwa pertemuan ini tidak akan membawa kegembiraan bagi kedua pihak, tidak mau membuang banyak waktu lagi dan segera dia membuka kata-kata dengan suara tenang dan halus,

“Kami sekeluarga mengucapkan selamat datang dan terima kasih kepada keluarga Bu yang telah datang mengunjungi kami. Mengingat bahwa hubungan antara kedua pihak hanya pernah dilakukan oleh putera kami Kao Cin Liong dengan puteri Cu-wi dan ibunya, maka apakah kunjungan ini hanya karena perkenalan itu ataukah ada keperluan lain?”

Bu Seng Kin tersenyum dan memandang kagum. Begitu bertemu, dia pun merasa suka dan kagum kepada pendekar berlengan satu itu, yang dilihatnya sebagai seorang yang benar-benar gagah, tidak berliku-liku dan bersikap jantan tanpa sungkan-sungkan. Dia menarik napas panjang.

“Kao-taihiap, maafkanlah kedatangan kami kalau kami mengganggu. Akan tetapi sebelum saya mewakili keluarga mengemukakan apa yang menjadi keperluan kunjungan kami, terlebih dahulu saya ingin bertanya apakah Tai-hiap sekalian telah mendengar sesuatu tentang keluarga kami dari Pangeran Mahkota Kian Liong?”

Si Naga Gurun Pasir mengangguk.
“Benar, kami telah bertemu dengan Pangeran Mahkota dan beliau telah menyampaikan keinginan Bu-taihiap sekeluarga untuk mengadakan ikatan jodoh antara anak-anak kita.”

Mendengar ini, Bu Siok Lan mengerling ke arah Cin Liong, akan tetapi pemuda itu menundukkan kepalanya dengan alis berkerut. Dapat dibayangkan betapa tidak enak rasa hati pemuda ini. Dia akan lebih suka dihadapkan dengan musuh-musuh yang ganas daripada sekarang ini, di mana dia menghadapi hal yang tidak amat enak.

Dia dapat menduga bahwa Siok Lan jatuh cinta kepadanya, dan agaknya keluarga Siok Lan telah mengambil keputusan untuk mengikatkan perjodohan antara dia dan Siok Lan. Kalau pihak wanita sudah mengemukakan keinginan seperti itu, dan pihak pria menolaknya, dan hal itu terpaksa harus dilakukannya karena dia tidak jatuh cinta kepada Siok Lan, maka tentu akan menimbulkan perasaan ditolak dan hal ini dapat mengakibatkan rasa terhina di pihak si wanita.

“Ah, Kao-taihiap telah bersikap terus terang dan terbuka, sungguh melegakan hati kami. Memang benarlah demikian, Tai-hiap. Saya sendiri baru sekarang berkesempatan melihat putera Tai-hiap yang gagah perkasa, akan tetapi Siok Lan dan Ibunya telah memperoleh kehormatan untuk bertemu dan berkenalan dengan putera Tai-hiap untuk mengikatkan perjodohan antara puteri kami Siok Lan dan putera Tai-hiap. Dan untuk membicarakan keinginan kami itulah maka sekarang kami sekeluarga datang bertemu dengan Tai-hiap sekeluarga”.

Bagi Kao Kok Cu, tugas menjadi wakil pembicara keluarganya ini pun tidaklah ringan. Dia juga merasakan, seperti juga puteranya, betapa tidak enaknya suasana saat itu. Akan tetapi sebelumnya dia sudah membicarakan urusan itu dengan isterinya dan puteranya, maka kini tanpa ragu-ragu lagi dia lalu menjawab dengan suara tenang namun tegas,

“Harap Bu-taihiap sekeluarga suka memaafkan kami kalau kami terpaksa memberi jawaban yang tidak sesuai dengan harapan Cu-wi (Anda Sekalian). Setelah kami mendengar dari Pangeran Mahkota, kami bertiga telah membicarakan hal itu dan kami telah mengambil keputusan bahwa pada waktu ini, putera kami Kao Cin Liong belum mempunyai keinginan untuk mengikatkan diri dalam perjodohan dengan siapapun juga.”

Jawaban itu sungguh mengejutkan keluarga Bu dan kini Bu Seng Kin dan dua orang isterinya yang lain semua memandang kepada Nandini dan puterinya, Siok Lan. Bukankah Nandini dan Siok Lan telah mengatakan, bahwa “ada apa-apa” antara jenderal muda itu dan Siok Lan. Bukankah pinangan atau usul perjodohan ini sudah pasti akan diterima? Maka, penolakan halus ini sungguh di luar dugaan mereka dan amat mengejutkan.

Apalagi Bu-taihiap yang merasa terpukul sekali, wajahnya menjadi pucat ketika dia menoleh kepada isterinya, Nandini. Siok Lan sendiri mengangkat muka dengan kaget dan memandang kepada Cin Liong, akan tetapi pemuda itu bersikap tenang saja. Puteri Nandini yang merasa terpukul, terhina dan malu, bangkit berdiri dan menegur Cin Liong,

“Kao Cin Liong apakah engkau hendak mempermainkan Anakku?”

Mendengar kata-kata keras ini dan melihat sikap Nandini yang bangkit berdiri, Wan Ceng tidak dapat menahan kesabarannya lagi dan dia pun bangkit berdiri.

“Beginikah sikap seorang tamu yang baik? Ataukah tamu kami ini hanya seorang yang tidak tahu aturan dan liar?”

Dua orang wanita itu saling pandang dengan sinar mata berapi. Nandini lalu berkata lagi, ditujukan kepada Wan Ceng, dan karena memang dia itu seorang yang biasa memimpin pasukan dan tidak biasa bersikap sopan-santun, dia berkata dengan lantang dan sejujurnya,

“Puteramu telah saling mencinta dengan puteriku, akan tetapi sekarang dia menolak puteriku dengan dalih belum ingin mengikatkan diri dalam perjodohan, bukankah itu bararti puteramu hendak mempermaikan puteriku?”

“Siapa mencinta puterimu?” Wan Ceng semakin marah. “Kalau anakku bersikap baik kepada kalian, apakah itu berarti dia mencinta puterimu?”

“Siok Lan!” Nandini yang sudah marah itu membentak puterinya. “Apa artinya ini? Kau bilang bahwa kalian sudah saling mencinta!”

Dapat dibayangkan betapa perihnya hati seorang gadis dalam keadaan seperti itu. Akan tetapi, dengan muka pucat dia memandang kepada Cin Liong dan menjawab.

“Aku memang cinta kepadanya, Ibu, dan.... aku yakin dia pun cinta padaku....”

“Cin Liong, aku percaya engkau cukup gagah untuk berkata sejujurnya dan memberi penjeiasan tentang hal ini.” terdengar Kao Kok Cu berkata kepada puteranya, suaranya tegas penuh wibawa.

“Aku tidak pernah mencintanya dan tidak pernah menyatakan cinta kepada Adik Siok Lan!” kata Jenderai Muda itu, suaranya juga tegas dan lantang sambil matanya memandang ke arah gadis itu, sehingga tidak dapat disangsikan lagi kebenarannya.

Dengan suara gemetar Nandini berseru,
“Siok Lan....?”

Gadis itu menundukkan mukanya dan beberapa butir air mata menuruni pipinya. Dapat dibayangkan betapa hancur hati seorang dara menghadapi semua itu, di mana seorang pemuda yang dicintanya terang-terangan menyatakan bahwa tidak mencinta dirinya! Padahal tadinya dia sudah begitu yakin!

“Dia memang tidak pernah menyatakan cinta, akan tetapi.... suaranya, pandang matanya, senyumnya..... ah, Ibu, bunuh saja aku....!” Dan dia pun menangis!

Wan Ceng sekarang merasa menang dan dia pun menjadi penasaran sekali.
“Hemm, sungguh tidak tahu diri! Mana mungkin puteraku jatuh cinta kepada anak seorang panglima pasukan musuh? Dan bagaimanapun juga, aku tidak sudi menjadi besan seorang Panglima Pasukan Nepal!”

“Jaga mulutmu!” Nandini membentak. “Jangan mencampurkan urusan jodoh dengan kedudukan!”

“Huh, kau mau apa? Kau kira aku takut kepadamu?” Wan Ceng menantang.

Dua orang wanita itu sudah saling pandang seperti dua ekor singa betina yang memperebutkan anak mereka, akan tetapi pada saat itu, Kao Kok Cu sudah memegang lengan isterinya dan berbisik,

“Tenanglah, mereka adalah tamu-tamu yang harus dihormati.”

Sementara itu, Bu-taihiap juga melerai dan berkata kepada isterinya,
“Hushhh, diamlah, kita adalah tamu-tamu dan pula penolakan pinangan adalah hal wajar mengapa ribut-ribut?” Kemudian, pendekar ini dengan muka merah sekali menghadapi Kao Kok Cu, memberi hormat dan berkata, “Harap Kao-taihiap suka memaafkan kami yang tidak tahu diri. Memang tadinya kami sudah berpendapat bahwa tidak mungkin orang seperti Naga Sakti Gurun Pasir mau berbesan dengan kami yang bodoh. Maafkanlah dan kami mohon diri.”

Kao Kok Cu merasa tidak enak sekali. Dia pun balas memberi hormat dan berkata,
“Harap Bu-taihiap tidak terlalu merendahkan diri. Taihiap juga tahu bahwa urusan jodoh adalah urusan anak-anak, dan kalau mereka tidak mau, tidak mungkin dipaksakan.”

“Kami mengerti, selamat tinggal.”

“Selamat jalan!”

Bu-taihiap bersama tiga orang isterinya dan Siok Lan yang ditarik oleh ibunya, pergi dari rumah itu dengan muka merah dan diam-diam Kao Kok Cu yang mengantar sampai ke depan itu maklum bahwa tanpa dapat dicegah lagi, tentu timbul semacam dendam antara keluarga Bu dan keluarga Kao, sungguhpun hal itu bukan karena kesalahan pihak keluarga Kao. Betapapun juga, keluarga Bu tentu merasa terhina oleh peristiwa ini.

Dua hari kemudian, Kao Kok Cu, Wan Ceng, dan putera mereka, Jenderal Kao Cin Liong, berangkat meninggalkan kota raja untuk melakukan tugas yang diperintahkan oleh Kaisar, yaitu mencari dan merampas kembali Koai-liong Pokiam (Pedang Pusaka Naga Siluman) yang telah lenyap dicuri orang dari gudang pusaka istana beberapa tahun yang lalu.