FB

FB


Ads

Jumat, 10 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 065

Melihat gerakan dua orang yang menyerangnya itu, tahulah Kaisar Yung Ceng bahwa dia diserang oleh murid-murid Siauw-lim-pai, maka dia pun marah bukan main. Pedangnya diputar cepat untuk melindungi tubuhnya dan dia membentak,

“Pemberontak-pemberontak Siauw-lim-pai!”

Akan tetapi dua orang penyerangnya tidak banyak cakap lagi melainkan memperhebat desakan mereka sehingga Sang Kaisar pun harus mempercepat gerakannya. Selirnya dan para dayangnya menjerit dan menyembunyikan diri di sudut kamar sambil berangkulan dengan tubuh menggigil ketakutan. Sementara itu, enam orang hwesio yang berada di luar kamar masih mengamuk, dikeroyok banyak pengawal yang berdatangan.

Pada saat itulah Pangeran Kian Liong datang bersama Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, Kao Kok Cu, dan Wan Ceng. Tentu saja, tanpa diminta lagi, dua pasang suami isteri perkasa itu segera turun tangan.

“Kalian bantu para pengawal dan aku akan melindungi Kaisar!” kata Kao Kok Cu yang segera menerjang masuk ke dalam kamar Kaisar yang pintunya terbuka dan darimana dia dapat melihat Kaisar sedang dikeroyok oleh dua orang.

“Li Hwa, kau larilah!”

Hwesio tinggi besar itu berseru dan biarpun dia sedang menghadapi Kaisar, dia masih mampu menggunakan tangan kirinya untuk mendorong tubuh gadis itu yang terhuyung ke arah jendela. Gadis itu maklum bahwa keadaan amat berbahaya maka dia pun sekali loncat telah lenyap melalui jendela kamar.

Sementara itu Wan Tek Hoat, Syanti Dewi, dan Wan Ceng menerjang dengan tangan kosong, akan tetapi begitu mereka membantu para pengawal, enam orang hwesio Siauw-lim-pai itu terkejut bukan main. Sambaran tangan Tek Hoat mengeluarkan bunyi seperti menyambar pedang pusaka, juga pukulan-pukulan Wan Ceng mendatangkan angin dahsyat sekali, dan gerakan Syanti Dewi seperti seekor burung beterbangan dan tamparan-tamparannya juga seperti kilat menyambar-nyambar.

Biarpun enam orang hwesio itu masih berusaha untuk melawan mati-matian, namun dalam waktu belasan jurus saja mereka telah roboh terpelanting oleh pukulan-pukulan tiga orang yang baru datang ini, tak mampu bangkit kembali karena telah menderita luka parah, apalagi yang roboh membawa bekas pukulan tangan Wan Tek Hoat dan Wan Ceng, karena mereka itu tewas tak lama kemudian, dan hanya seorang di antara mereka, yang roboh oleh pukulan dan tamparan Syanti Dewi, yang masih hidup, biarpun dia juga tidak mungkin mampu melawan lagi.

Hwesio tinggi besar yang memimpin penyerbuan itu, yang tadi bersama gadis itu menyerang Kaisar, juga sudah roboh oleh Si Naga Sakti. Tulang pundaknya patah-patah terkena sentuhan jari tangan Kao Kok Cu dan kini dia memaki-maki Kaisar.

“Ai Seng Kiauw murid murtad, engkau membikin kotor nama Siauw-lim-pai! Engkau tidak segan-segan untuk memperkosa murid Siauw-lim-pai dan isteri suhengnya sendiri, dan biarpun engkau kini telah bersembunyi di dalam pakaian kaisar, namun kami murid-murid Siauw-lim-pai sejati enggan hidup bersama orang durhaka macammu ini di atas bumi!”

Setelah berkata demikian, hwesio itu menggerakkan pedang dengan tangan kirinya, menggorok leher sendiri!

Kaisar Yung Ceng terluka pundaknya dan sedang diperiksa oleh Kao Kok Cu. Akan tetapi ternyata luka itu tidak parah dan Kaisar marah sekali mendengar ucapan itu. Dia kini mengenal wajah para hwesio itu yang ternyata adalah suheng-suhengnya sendiri ketika dia belajar ilmu silat di Kuil Siauw-lim-si dahulu. Melihat bahwa masih ada seorang hwesio yang belum mati, Kaisar lalu menghampiri dan membentak,

“Pemberontak laknat, hayo katakan siapa yang menyuruh kalian melakukan penyerbuan ini!”

Akan tetapi hwesio yang terluka oleh pukulan Syanti Dewi itu memandangnya dengan mata mendelik dan tidak menjawab. Dia hendak membunuh diri dengan membenturkan kepala di lantai, akan tetapi Kaisar telah mendahuluinya, menotok lehernya sehingga dia tidak mampu bergerak lagi.

“Hayo mengaku kalau engkau tidak ingin disiksa!” Kaisar membentak lagi, wajahnya berobah merah saking marahnya.

“Ha-ha-ha-ha!”

Tiba-tiba hwesio itu tertawa dengan mata terbelalak, dan tiba-tiba dia menutup mulutnya dan melihat ini Wan Tek Hoat cepat bergerak maju memegang dagunya dan memaksanya membuka mulut. Namun terlambat! Ketika mulut itu terbuka, mulut itu penuh darah dan lidahnya sudah putus oleh gigitannya sendiri! Sungguh mengerikan sekali melihat mulut terbuka itu penuh darah dan potongan lidahnya jatuh keluar.

Syanti Dewi membuang muka melihat pemandangan yang mengerikan itu. Kaisar semakin marah. Hwesio ini sudah putus lidahnya, berarti tidak akan mau bicara dan tentu akan mati.

“Cari gadis itu! Cari sampai dapat dan tangkap hidup-hidup!” teriaknya kepada para pengawal yang segera lari cerai-berai untuk memenuhi perintah Kaisar itu.

Setelah para pengawal berserabutan lari untuk mengejar dan mencari gadis itu, baru Kaisar mempunyai kesempatan untuk memperhatikan empat orang penolongnya. Tentu saja dia mengenal Kao Kok Cu dan Wan Ceng, ayah dan ibu seorang panglimanya yang paling diandalkan, yaitu Jenderal Muda Kao Cin Liong.

“Untung sekali kalian datang.” kata Kaisar ketika melihat dua orang suami isteri perkasa ini memberi hormat kepadanya.

Kemudian dia mengangkat muka memandang kepada Wan Tek Hoat, kemudian kepada Syanti Dewi dan wajahnya berubah, matanya mengeluarkan sinar berseri ketika dia memandang puteri itu dan agaknya pandang matanya enggan meninggalkan wajah yang luar biasa cantiknya itu.

“Dan siapakah orang gagah ini dan wanita cantik seperti bidadari ini?” tanyanya tanpa mengenal sungkan lagi.

Syanti Dewi menunduk dan memberi hormat dengan sikap sederhana, akan tetapi diam-diam alisnya berkerut karena dia melihat pandang mata yang penuh nafsu di mata Kaisar itu yang ditujukan kepadanya. Juga Wan Tek Hoat melihat ini, akan tetapi dia pun menundukkan muka dengan sikap hormat.






Kao Kok Cu dan Wan Ceng tentu saja melihat pula sikap Kaisar, maka cepat-cepat Wan Ceng memberi keterangan,

“Sri Baginda, dia ini adalah Kakak angkat hamba, yaitu puteri Bhutan bernama Syanti Dewi, bersama suaminya.”

Kaisar nampak tercengang dan mengangguk-angguk.
“Ah, kiranya puteri Bhutan yang pernah membikin geger di istana belasan tahun yang lalu itu? Sungguh amat cantik luar biasa, dan memiliki kepandaian tinggi pula, pantas saja pernah membikin geger.”

Kao Kok Cu yang merasa tidak enak melihat betapa Kaisar yang mata keranjang ini agaknya tertarik sekali kepada Syanti Dewi, lalu maju dan berkata,

“Sebaiknya kalau Paduka beristirahat lebih dulu, biarlah hamba semua ikut membantu pengejaran terhadap gadis itu. Siapa tahu mereka itu masih mempunyai teman-teman yang tersebar di dalam istana, sehingga keselamatan Paduka masih terancam.”

Mendengar ucapan ini barulah Kaisar sadar akan keadaannya dan dia merasa betapa sikapnya tadi memang kurang sedap dipandang, apalagi mengingat bahwa wanita cantik ini disertai suaminya, bahkan suami isteri ini telah menyelamatkan dari ancaman bahaya maut. Kaisar lalu menarik napas panjang dan berkata dengan sikap ramah sekali,

“Baiklah, akan tetapi kami minta kepada kalian berempat untuk bersama kami makan pagi sehingga terdapat banyak kesempatan bagi kita untuk bercakap-cakap. Nah, sampai jumpa besok pagi.”

Kaisar lalu diantar oleh selir dan para dayang, berikut pengawal pribadi untuk menuju ke sebuah kamar lain karena kamar itu telah dikotori oleh banyak darah. Empat orang gagah itu lalu meninggalkan ruangan itu pula untuk membantu para pengawal mencari gadis yang buron tadi, juga mereka itu diam-diam merasa heran akan lenyapnya Pangeran Kian Liong yang tadinya datang bersama mereka akan tetapi yang kini tidak lagi nampak batang hidungnya!

Ke manakah perginya Pangeran Kian Liong? Memang tadi dia datang bersama dua pasang suami isteri itu. Akan tetapi ketika dia melihat gadis yang menyerang Kaisar itu melarikan diri melalui jendela kamar ayahnya, Pangeran ini lalu menyelinap dan melakukan pengejaran.

Dia tahu bahwa para penyerang ayahnya itu adalah orang-orang Siauw-lim-pai, maka diam-diam dia merasa menyesal sekali karena dia sudah dapat menduga pula apa yang menyebabkan orang-orang Siauw-lim-pai itu menyerbu istana dan menyerang ayahnya. Dan biarpun Pangeran ini tidak pandai ilmu silat, akan tetapi dia mengenal semua lorong dan jalan rahasia di dalam istana, maka dia dapat mengejar dan membayangi gadis yang melarikan diri itu.

Gadis itu sendiri merasa bingung. Memang ketika dia dan para susioknya (paman gurunya) menyelundup ke dalam istana, dia dan para susioknya itu menyamar sebagai pasukan pengawal. Akan tetapi dalam keadaan melarikan diri ini, tentu saja tidak mudah baginya untuk keluar dari lingkungan istana.

Di mana-mana terdapat penjaga dan bahkan kini di atas genteng pun nampak para penjaga! Maka dia lalu menyelinap dan memasuki lorong-lorong dan makin dalam dia masuk, makin bingunglah dia, tidak tahu mana jalan keluar lagi. Beberapa kali dia terpaksa mengambil jalan lain dan menyelinap sembunyi ketika hampir kepergok para penjaga.

Ketika dia tiba di lorong yang lebar, sepasukan penjaga melihatnya. Mereka berteriak mengejar dan terpaksa gadis itu lari lagi mengambil jalan lain. Selagi dia kebingungan karena dari mana-mana muncul penjaga, tiba-tiba sebuah pintu di sebelah kirinya terbuka dan muncul seorang pemuda yang memberi isyarat kepadanya dengan tangan agar dia masuk ke pintu itu. Dia merasa heran dan curiga.

“Sssttt.... ke sinilah, Nona....” kata pemuda itu berbisik.

Gadis itu masih meragu, akan tetapi kini terdengar derap langkah para penjaga dan pengawal yang sedang mencari-carinya, maka dia lalu menghampiri pemuda itu. Seorang pemuda yang berwajah tenang dan tersenyum ramah.

“Masuklah dan engkau akan selamat dari pengejaran mereka” pemuda itu berkata.

Karena tidak melihat jalan lain, gadis itu lalu memasuki pintu yang dibuka oleh pemuda itu, pedangnya masih tergenggam erat-erat di tangan kanannya. Untung dia bergerak cepat karena baru saja dia masuk, muncullah pasukan pengawal yang mengejarnya, tiba di depan pintu itu. Si Pemuda masih berdiri di depan pintu dan kini menutupkan pintunya sedikit sehingga gadis itu tidak nampak dari luar.

Gadis itu mengintai, pedangnya siap menusuk pemuda itu kalau Si Pemuda ternyata mengkhianatinya dan melapor kepada pasukan. Akan tetapi, dia terheran-heran melihat betapa semua pasukan, dipimpin oleh komandan mereka, memberi hormat kepada pemuda itu dan minta maaf kalau mereka itu mengganggu.

“Kalian ini mengapa ribut-ribut di sini dan sedang mencari apa?” tegur pemuda itu dengan lantang.

Komandan pasukan pengawal itu menjawab dengan suara penuh hormat,
“Harap maafkan kalau hamba sekalian mengganggu Paduka Pangeran. Hamba sedang mencari seorang buronan, yaitu seorang gadis yang merupakan satu di antara para penyerbu yang mengacau di istana.”

“Hemm, aku sudah mendengar akan hal itu. Apakah belum tertangkap semua? Seorang gadis katamu? Sejak tadi aku berada di dalam taman dan tidak melihat seorang asing, apalagi seorang gadis. Pergilah kalian cari ke tempat lain.”

Pasukan itu memberi hormat dan pergi dari tempat itu. Derap kaki mereka makin menjauh dan akhirnya lenyap. Gadis itu memandang ke belakangnya. Kiranya pintu itu menembus ke sebuah taman yang indah, yang cuacanya cukup terang dengan adanya lampu-lampu gantung beraneka warna menghias pohon-pohon di tempat indah itu.

Sunyi sekali di situ. Akan tetapi dia pun merasa terheran-heran ketika mendengar betapa pasukan tadi menyebut pemuda ini pangeran! Kecurigaannya timbul kembali. Seorang pangeran, putera Ai Seng Kiauw, putera Kaisar yang menjadi musuh besarnya! Dia menggenggam pedang itu erat-erat ketika pemuda itu menutupkan daun pintu yang menembus ke taman itu. Mereka berdiri berhadapan dan saling pandang. Pangeran Kian Liong tersenyum melihat dara yang masih amat muda itu memandangnya penuh curiga dengan pedang siap menyerang!

“Untuk sementara ini engkau aman, Nona.”

Pegangan pada gagang pedang itu mengendur, akan tetapi suaranya masih gugup ketika bertanya,

“Paduka.... Paduka seorang pangeran....?”

Pangeran Kian Liong mengangguk.
“Benar, dan namaku adalah Kian Liong.”

“Ah....!” Gadis itu nampak terkejut dan memandang wajah Pangeran itu dengan bengong.

Pangeran Kian Liong tersenyum. Ada sesuatu pada wajah dan terutama pada pandang mata gadis ini yang luar biasa baginya.

“Mari kita bicara di taman yang sunyi itu, Nona dan ceritakan siapakah Nona dan mengapa Nona yang masih begini muda tersangkut dalam urusan percobaan membunuh Sri Baginda, hal yang amat berbahaya sekali.”

Sikap dan suara Pangeran Kian Liong yang halus dan penuh ketenangan itu mendatangkan ketenangan pula dalam hati gadis itu dan dia pun menurut saja ketika diajak ke dalam taman, bahkan kini dia telah menyimpan kembali pedangnya di dalam sarung pedang yang disembunyikan di bawah mantelnya.

Mereka duduk berhadapan di atas bangku-bangku terukir indah di tengah-tengah taman, menghadapi sebuah kolam ikan di mana banyak terdapat ikan-ikan emas beraneka warna dan bentuk yang berenang-renang di sekeliling bunga-bunga teratai merah dan putih.

“Nama hamba Souw Li Hwa, Pangeran dan hamba.... hamba sama sekali tidak memusuhi Sri Baginda Kaisar, hamba bukan seorang pemberontak, melainkan seorang murid yang hendak membalaskan dendam Guru hamba yang hidup sengsara karena perbuatan murid Siauw-lim-pai murtad Ai Seng Kiauw!” Gadis itu mulai menceritakan keadaan dirinya.

Pangeran Kian Liong mengangguk maklum.
“Aku pun mengerti dan dapat menduga, Nona, akan tetapi betapapun juga orang yang bernama Ai Seng Kiauw dan dahulu menjadi murid Siauw-lim-pai itu sekarang adalah Kaisar! Nah, ceritakanlah semuanya, apa yang telah terjadi sehingga engkau malam ini dengan nekat bersama beberapa orang hwesio Siauw-lim-pai menyerbu istana dan mencoba membunuh Kaisar”.

Souw Li Hwa lalu bercerita. Dia seorang anak yatim piatu yang kedua orang tuanya tewas ketika dusunnya diserbu perampok. Dia masih kecil, baru berusia lima tahun ketika hal itu terjadi dan dia sendiri diselamatkan oleh pendekar Siauw-lim-pai yang kemudian mengangkatnya sebagai murid dan merawatnya seperti anak sendiri.

Li Hwa diberi pelajaran ilmu silat dan ketika dia berusia empat belas tahun, penolongnya yang juga merupakan gurunya dan pengganti orang tuanya itu menikah dengan seorang gadis cantik dan dia masih terus ikut gurunya, sebagai murid dan juga sebagai pembantu isteri gurunya yang juga amat sayang kepadanya.

Karena suami isteri itu tidak mempunyai anak biarpun mereka sudah menikah selama tiga tahun, maka mereka makin sayang kepada Li Hwa yang mereka anggap sebagai anak sendiri. Kemudian terjadilah malapetaka itu! Guru itu dan isterinya yang masih muda, belum tiga puluh tahun usianya dan yang memang memiliki wajah cantik itu, pergi mengunjungi Kaisar di istana.

Kaisar adalah murid Siauw-lim-pai dan terhitung sute dari guru Li Hwa, maka kedatangan suami isteri itu diterima dengan amat ramah oleh Kaisar. Akan tetapi, watak mata keranjang Kaisar itu menimbulkan malapetaka hebat menimpa keluarga yang tadinya hidup dengan rukun, dan bahagia itu.

“Ketika Suhu sedang asyik main catur bersama seorang thaikam, dan hal ini agaknya sengaja dilakukan oleh Ai Seng Kiauw, maka isteri Suhu yang berada di dalam kamar seorang diri itu didatangi oleh Ai Seng Kiauw dan diperkosa. Memang tidak ada saksi atau bukti, akan tetapi apalagi yang menyebabkan isteri Suhu itu tiba-tiba menggantung diri dalam kamar itu? Suhu tidak berani menuduh Kaisar karena tidak ada bukti, akan tetapi peristiwa itu membuat Suhu menjadi sakit-sakitan dan bahkan akhir-akhir ini Suhu menderita tekanan batin yang membuat dia seperti orang yang tidak waras lagi....”

Sampai di sini, gadis itu mengusap beberapa butir air mata yang membasahi pipinya. Pangeran Kian Liong menarik napas panjang. Cerita ini tidak aneh baginya, karena memang dia pernah mendengar peristiwa yang terjadi kurang lebih setahun yang lalu itu.

Li Hwa lalu melanjutkan ceritanya. Kiranya selagi mudanya dan menjadi murid Siauw-lim-pai, Ai Seng Kiauw bersama delapan orang lainnya yang juga menjadi murid-murid terpandai di Siauw-lim-pai merupakan sekelompok sahabat-sahabat akrab yang terkenal sebagai Sembilan Pendekar Siauw-lim-pai, demikianlah nama julukan yang mereka pilih dan mereka yang sembilan orang ini pernah bersumpah untuk saling setia.

Di antara delapan orang ini termasuk pula guru Li Hwa, sedangkan tujuh orang lainnya adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-si, hanya Ai Seng Kiauw dan guru Li Hwa sajalah yang tidak menjadi pendeta.

“Karena menganggap semua perbuatan Ai Seng Kiauw sebagai hal yang keterlaluan, murtad dan mengotori nama baik Siauw-lim-pai, apalagi karena mengingat betapa Ai Seng Kiauw telah berbuat laknat terhadap Guru hamba dan berarti melanggar sumpah setianya sendiri, maka tujuh Susiok itu lalu mendukung niat hamba untuk membalas dendam. Akan tetapi....” Kembali gadis itu mengusap air matanya, “Ternyata kami gagal...., dan entah bagaimana nasib tujuh orang Susiok yang malang itu....”

Pangeran Kian Liong memandang tajam. Biarpun dia masih muda dan tidak merupakan seorang ahli silat yang pandai, namun pergaulan Pangeran ini amat luas dan dia sudah mengenal banyak sekali orang-orang pandai dan sakti. Dia melihat bahwa dara ini sebetulnya bukan merupakan seorang kang-ouw yang keras hati, melainkan seorang nona yang halus perasaannya.

Dan entah mengapa, baru pertama kali ini Pangeran Kian Liong merasa tertarik kepada seorang gadis. Terutama sepasang mata dari dara inilah yang membuat dia terpesona, sepasang mata yang membayangkan penderitaan batin yang amat mendalam dan menimbulkan rasa iba dalam hatinya. Dia dapat membayangkan betapa dukanya hati nona ini.

“Nona, menyerbu istana merupakan perbuatan bodoh, sama dengan bunuh diri. Akan tetapi, mengapa engkau meninggalkan tujuh orang Susiokmu yang terkepung itu?”

Ditanya begini, dara itu nampak terkejut dan mukanya berobah pucat, lalu menjadi merah sekali, suaranya terisak ketika dia menjawab.

“Itu bukan kehendak hamba! Akan tetapi, Toa-susiok memaksa hamba.... dan.... dan hamba pikir.... kalau kami semua harus tewas, lalu siapa yang kelak akan membalas dendam? Usaha kami ini kali tidak berhasil, mungkin semua Susiok gugur, akan tetapi hamba masih hidup dan hamba akan....”

Tiba-tiba dia teringat bahwa dia berhadapan dengan seorang pangeran, putera dari Kaisar yang hendak dibunuhnya dan dia memandang dengan mata terbelalak! Dia menjadi bingung! Pemuda ini adalah putera Kaisar, putera musuh yang akan dibunuhnya, tetapi juga penolongnya, bahkan sampai saat itu keselamatannya mungkin berada di tangan Pangeran ini!

“Nona, mengapa Nona membiarkan diri terperosok ke dalam lembah dendam ini?”

“Betapa tidak? Hamba kehilangan orang tua, guru, sahabat.... hamba kehilangan satu-satunya orang yang selama ini mengasihi hamba.... dan sekarang, hamba seolah-olah ditinggal sendiri.... dan melihat penderitaan Suhu.... ah, apa yang dapat hamba lakukan kecuali berbakti dan membalas dendam kepada musuhnya?”

Pangeran Kian Liong menggeleng kepalanya sambil tersenyum penuh kesabaran.
“Ah, engkau masih terlalu muda, engkau tidak tahu dan hanya menurutkan perasaan saja, Nona. Apakah sebabnya engkau mendendam kepada Kaisar?”

“Hamba tidak mendendam kepada Kaisar, melainkan kepada Ai....”

“Ya, katakanlah mendendam kepada Ai Seng Kiauw. Mengapa?”

Gadis itu memandang dengan sepasang mata yang bersinar-sinar penuh kemarahan.
“Karena dia membuat Suhu menjadi gila! Karena dia membunuh isteri Suhu!”

Pangeran itu menggeleng kepalanya.
“Benarkah itu? Suhumu itu menjadi sakit dan gila, menurut hematku, karena kelemahannya sendiri, Nona.”

“Tidak, Suhu menjadi sakit karena kematian isterinya. Dan isterinya membunuh diri karena diperkosa....”

“Hemm, kalau dipikir secara demikian, memang segala ini ada sebab-sebabnya tentu. Misalnya, mungkin sikap isteri Suhumu terlalu manis, atau dia itu terlalu cantik, dan harus diingat lagi bahwa sebab terjadinya peristiwa itu adalah karena Suhumu datang mengunjungi Ai Seng Kiauw, dan malah membawa isterinya lagi! Coba bayangkan, andaikata dia tidak datang ke istana, dan andaikata dia tidak membawa isterinya, dan andaikata isterinya itu tidak cantik, dan andaikata dia itu tidak tergila-gila main catur.... dan masih banyak andaikata lagi yang menjadi sebab-sebab terjadinya suatu peristiwa. Oleh karena itu, mengapa Nona menyeret diri ke dalam dendam? Ingatlah bahwa Ai Seng Kiauw itu adalah kaisar, dan berusaha membunuh Kaisar, dengan dalih apapun juga, merupakan pemberontakan!”

Gadis itu kelihatan semakin gelisah dan bingung mendengar ucapan pemuda itu.
“Tapi.... tapi.... kalau hamba diam saja.... berarti hamba menjadi seorang murid yang tidak berbakti....!”

Pangeran itu tersenyum lebar.
“Ingat, Nona, tentu engkau tahu bukan siapakah aku ini? Aku adalah seorang pangeran, aku putera Kaisar, berarti aku putera seorang yang kau kenal sebagai Ai Seng Kiauw itu. Aku adalah putera musuh besar yang hendak kau bunuh! Dan apa yang kulakukan? Alangkah mudahnya kalau aku mau mencontohmu untuk berbakti! Sekali berteriak engkau akan tewas dikeroyok pengawal. Akan tetapi aku tidak mau berbakti seperti itu, berbakti dengan membunuh orang! Nona, tidak dapatkan engkau berbuat seperti aku, menghapuskan segala macam dendam sehingga tidak akan ada permusuhan di antara kita?”

Gadis itu kelihatan semakin bingung. Belum pernah dia bertemu, bahkan mendengar pun belum, akan adanya seorang putera yang tidak memusuhi orang yang hendak membunuh ayahnya seperti Pangeran ini! Malah Pangeran ini menolongnya, biarpun sudah tahu bahwa dia datang untuk membunuh ayah Pangeran itu!

“Aku.... aku tidak tahu....”

“Apakah Nona menghendaki kalau Nona bermusuhan dengan Ayahku, kemudian aku pun memusuhimu? Tidak akan ada habisnyakah dendam-mendendam ini?”

“Tapi.... tapi Ayahmu.... dia jahat....”

Pangeran itu menarik napas panjang, dan menggeleng kepala,
“Ayahku dahulu juga seorang pendekar, seorang gagah. Dan harus diakui bahwa dia seorang kaisar yang amat baik. Hanya dia mempunyai kelemahan, atau katakanlah dia sedang dalam sakit.... dan benarkah kalau kita harus membunuh orang yang sedang sakit? Ataukah tidak lebih tepat kalau kita berusaha mengobatinya?”

Tiba-tiba terdengar derap kaki banyak orang berlarian, makin lama makin dekat.
“Hemm, agaknya pasukan pengawal akan mencarimu ke tempat ini, Nona.”

Dara itu meloncat bangun dan mencabut pedangnya, akan tetapi Pangeran Kian Liong berkata,
“Jangan, Nona. Percuma saja engkau melawan mereka.”

“Habis, apakah aku harus menyerahkan diri begitu saja?”

“Aku ada akal. Cepat Nona menyelam di dalam kolam ikan, dan sembunyikan kepala dibawah dan di antara daun-daun teratai. Cepat!”

Karena dia sendiri memang sedang bingung dan panik, Li Hwa tidak melihat akal lain dan dia pun lalu masuk ke dalam kolam ikan! Air kolam itu setinggi dadanya dan dia pun menekuk lututnya sehingga terbenam sampai ke bawah mulut dan dia menyembunyikan sisa kepalanya di antara daun-daun teratai, di bagian yang gelap dari kolam itu.

Ketika pasukan pengawal memasuki taman dan tiba di dekat kolam ikan itu, Pangeran Kian Liong sedang melempar-lemparkan batu-batu kecil ke tengah kolam, membuat air kolam itu tergerak-gerak dan agak berombak.

“Maaf, Pangeran” kata seorang perwira pengawal setelah mereka semua memberi hormat. “Akan tetapi sebaiknya kalau Paduka masuk ke istana karena ada penjahat berkeliaran di sini. Tujuh orang sudah tewas, akan tetapi seorang dari mereka masih belum tertangkap.”

Pangeran Kian Liong mengerutkan alisnya.
“Tidak perlu kalian mengurus aku! Pergilah dan carilah dia sampai dapat. Dia tidak berada di sini. Hayo pergi dan jangan ganggu aku lagi!”

Komandan itu dan pasukannya menjadi ketakutan melihat Sang Pangeran bicara dengan sikap marah itu. Dengan hormat mereka lalu mengundurkan diri dan baru setelah tidak terdengar lagi langkah-langkah kaki mereka, Pangeran memberi isyarat kepada Li Hwa untuk keluar dari dalam air.

Gadis itu keluar dan Pangeran Kian Liong memandang dengan terpesona. Karena basah maka pakaian gadis itu melekat pada tubuhnya dan seperti mencetak bentuk tubuh yang padat langsing itu.

“Terima kasih, Paduka telah menyelamatkan hamba, Pangeran.”

Baru Sang Pangeran sadar ketika mendengar ucapan itu dan timbul rasa kasihan melihat seluruh tubuh gadis itu basah kuyup.

“Ah, engkau basah kuyup, Nona. Engkau bisa sakit nanti. Mari ikut denganku, engkau harus bertukar pakaian dan baru nanti kuantar engkau keluar dari dalam istana.”

Tanpa banyak cakap lagi Li Hwa lalu diajak pergi dari taman, memasuki kamar Sang Pangeran. Beberapa orang pelayan memandang heran, juga beberapa orang thaikam yang bertugas menjaga malam itu. Akan tetapi Sang Pangeran menaruh telunjuk pada mulutnya dan mereka itu berlutut dan tidak berani mengangkat muka, maklum bahwa Sang Pangeran minta agar mereka menutup mulut.

Mereka hanya merasa heran bukan main. Melihat Pangeran itu datang bersama seorang gadis cantik, tentu saja hal seperti itu tidak mendatangkan keheranan sungguhpun Pangeran Kian Liong bukan seorang pengejar wanita cantik. Akan tetapi datang bersama seorang gadis yang seluruh tubuhnya basah kuyup, sungguh merupakan hal yang luar biasa sekali.

Pangeran Kian Liong mengajak Li Hwa memasuki kamarnya dan menutupkan pintu kamar itu. Kemudian dia mengambil stel pakaiannya dan memberikannya kepada Li Hwa.

“Nah, kau boleh berganti pakaian kering ini, Nona. Dengan pakaianku ini engkau akan menjadi seorang pemuda dan akan mudah untuk kuantar keluar dari istana tanpa mendatangkan kecurigaan. Pakailah, engkau dapat berganti pakaian di balik tirai itu.”