FB

FB


Ads

Jumat, 10 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 063

Ketika Syanti Dewi muncul menggandeng tangan pengemis itu, semua orang menengok dan hanya Pangeran, Ceng Ceng dan Kao Kok Cu sajalah yang memandang dengan muka berseri karena tiga orang ini mengerti apa artinya itu.

Ouw Yan Hui juga sudah dapat menduga, akan tetapi alisnya berkerut karena dia amat mengharapkan Syanti Dewi menjadi isteri Pangeran Mahkota Kian Liong. Para tamu terbelalak kaget dan terheran-heran, apa lagi ketika Syanti Dewi yang mukanya masih basah air mata itu kini berkata dengan suara lantang sekali,

“Cu-wi yang mulia, saya hendak membuat pengumuman, harap Cu-wi sekalian menjadi saksi bahwa saya telah memilih dan menetapkan jodoh saya, yaitu Wan Tek Hoat yang saya gandeng ini!”

Mata para tamu itu makin lebar terbelalak dan memandang tidak percaya. Syanti Dewi, wanita cantik seperti bidadari itu memilih pengemis ini menjadi jodohnya? Akan tetapi, terdengarlah tepuk tangan dan ternyata yang bertepuk tangan itu adalah Wan Ceng, dan Pangeran Kian Liong sendiri, dan ketika para tamu melihat siapa yang bertepuk tangan, mereka pun beramai-ramai bertepuk tangan, sungguhpun di dalam hati mereka itu terdapat rasa penasaran sekali.

Mereka tidak tahu akan riwayat percintaan antara kedua orang itu dan yang mereka ketahui sekarang hanya bahwa Syanti Dewi adalah seorang wanita secantik bidadari sedangkan pria itu adalah seorang laki-laki yang nampak jauh lebih tua dan seperti jembel pula. Tentu saja mereka merasa penasaran.

Sementara itu, melihat betapa Sang Pangeran sendiri menyambut pengumuman ini dengan tepuk tangan dan wajah berseri gembira, Ouw Yan Hui merasa terheran-heran. Akan tetapi pada saat itu Pangeran Kian Liong mendekatinya dan berkata,

“Ouw-toanio sendiri tentu sudah tahu akan riwayat mereka, maka sekarang mereka telah saling bertemu, alangkah baiknya kalau peresmian perjodohan mereka dilaksanakan di sini juga, dengan disaksikan oleh para tamu.”

Ouw Yan Hui memandang dengan muka agak pucat.
“Tapi.... tapi.... bukankah Pangeran....”

“Sssttt, Ouw-toanio. Enci Syanti Dewi pantas menjadi bibiku, sekarang bertemu dengan Paman Wan Tek Hoat yang sejak dahulu dicintainya, hanya untuk menghilangkan rasa tidak enak dan malu saja setelah dia menolak semua calon.”

Kemudian dengan suara mendesak Pangeran itu minta kepada Ouw Yan Hui agar usulnya itu diumumkan. Ouw Yan Hui merasa lemas, akan tetapi tidak berani menentang. Dia menarik napas panjang dan bangkit dengan tubuh lesu, lalu berkata dengan suara lantang,

“Cu-wi yang mulia, Cu-wi telah melihat sendiri bahwa Adik Syanti Dewi telah memilih jodohnya. Maka, selagi Cu-wi masih berada di sini, kami akan meresmikan perjodohan mereka pada besok pagi. Silahkan Cu-wi beristirahat di dalam pondok tamu sementara kami akan membuat persiapan untuk pesta besok pagi.”

Para tamu menyambut dengan gembira dan mereka kembali saling bicara sehingga suasana menjadi bising. Ceng Ceng menggandeng tangan Tek Hoat sambil berkata,

“Hayo kau ikut aku! Calon pengantin masa seperti ini? Engkau harus cukur dan mandi tujuh kali, berganti pakaian....” tiba-tiba nyonya ini menjadi bingung.

“Wah, pakaian yang mana....?”

Dia menoleh kepada suaminya. Dalam perjalanan itu, suaminya ada membawa pengganti pakaian, akan tetapi pakaian biasa dan tentu saja kurang pantas kalau dipakai pengantin.

Pangeran Kian Liong tersenyum lebar.
“Jangan khawatir, Bibi. Kebetulan bentuk tubuh Paman Wan Tek Hoat hampir sama dengan tubuhku, dan aku ada membawa beberapa potong pakaian yang akan cukup pantas kalau dipakai olehnya.”

Wan Ceng tersenyum girang.
“Sungguh, Paduka selalu bisa mendapatkan akal dan jalan keluar, terima kasih!”

Memang ada hubungan yang akrab antara Pangeran Mahkota dengan suami isteri pendekar itu karena putera mereka, yaitu Kao Cin Liong, merupakan seorang sahabat baik sekali dari Pangeran Kian Liong. Bahkan Sang Pangeran ini pernah pula mengunjungi Istana Gurun Pasir, bersama sahabatnya yang kini menjadi seorang jenderal muda itu.






Syanti Dewi hanya tersenyum menyaksikan Tek Hoat ditarik-tarik oleh Wan Ceng ke dalam gedung, dan dia sendiri lalu mendekati Ouw Yan Hui dan memegang tangan enci atau juga gurunya itu. Dia dapat melihat wajah yang muram dari Ouw Yan Hui, maka dia berbisik,

“Maafkan aku, Enci Hui, engkau tahu, dia itu tunanganku dan.... dialah satu-satunya pria yang kucinta. Kami akan kembali ke Bhutan...., Ayah telah tua sekali dan terlalu lama aku meninggalkan keluargaku di sana....”

Ouw Yan Hui memandang wajah adik atau juga muridnya ini. Melihat wajah cantik itu memandang kepadanya dengan penuh permohonan, dan penyesalan, dia merasa terharu juga. Dia amat sayang kepada Syanti Dewi, seperti adiknya atau seperti anaknya sendiri maka dirangkulnya Syanti Dewi.

Mereka berpelukan dan tidak mengeluarkan suara, akan tetapi pada mata Ouw Yan Hui yang biasanya amat tabah dan berhati dingin itu nampak air mata berlinang. Lalu mereka pun memasuki gedung untuk membuat persiapan.

Pesta pernikahan itu dilakukan secara sederhana sekali, apalagi hanya dihadiri dan disaksikan oleh para tamu kurang lebih dua ratus orang banyaknya, mereka yang tadinya datang ke pulau itu untuk menghadiri perayaan ulang tahun Syanti Dewi.

Memang tadinya Ouw Yan Hui mengusulkan untuk mengundur hari pernikahan agar dia dapat mengirim undangan sebanyaknya, akan tetapi Tek Hoat dan Syanti Dewi tidak setuju. Biarlah perjodohan mereka disahkan secara sederhana, sudah disaksikan oleh Pangeran Kian Liong dan fihak keluarga diwakili oleh Wan Ceng dan suaminya.

“Kami akan kembali ke Bhutan dan di sanalah nanti diadakan pesta yang meriah,” kata Syanti Dewi.

Biarpun acara pernikahan itu amat sederhana, namun cukup meriah karena di situ hadir pula Sang Pangeran.

Ouw Yan Hui menangis tersedu-sedu, hal yang amat luar biasa baginya, ketika sepasang pengantin itu memberi hormat kepadanya. Juga Wan Ceng menangis dan merangkul kakak tirinya dengan hati terharu, lalu mencium Syanti Dewi yang masih terhitung kakak angkatnya pula.

Suasana menjadi mengharukan sekali, akan tetapi Pangeran Kian Liong lalu maju memberi selamat kepada sepasang mempelai dengan mengangkat cawan arak sehingga semua tamu juga mengangkat cawan arak dan suasana menjadi gembira kembali.

Setelah Tek Hoat dicukur, membersihkan diri dan berganti pakaian pangeran yang indah, berubahlah jembel yang terlantar itu menjadi seorang laki-laki yang amat gagah dan tampan, yang wajahnya berseri-seri dan sepasang matanya mencorong tajam. Betapapun juga, dia adalah seorang pria yang usianya sudah mendekati empat puluh tahun dan kelihatan juga setengah tua, sebaliknya, Syanti Dewi biarpun usianya juga sepantar dia, namun masih nampak seperti seorang dara berusia dua puluh tahun saja!

Pertemuan dua hati dan dua badan yang saling mencinta ini tentu saja terasa nikmat di hati dan kebahagiaan yang amat mendalam membuat mereka merasa terharu. Tiada habisnya mereka bercakap-cakap menceritakan semua pengalaman mereka semenjak mereka saling berpisah, dan di dalam penuturan ini terungkaplah semua peristiwa dan kesalah pengertian di antara mereka, juga terungkaplah bukti-bukti betapa mereka itu sesungguhnya saling mencinta. Dan akhir dari semua itu membuat mereka merasa saling dekat, dan di dalam hati mereka bersumpah untuk tidak saling berpisah lagi selama-lamanya.

Mereka merasa berbahagia sekali. Benarkah mereka berbahagia? Apakah bahagia itu? Bagaimanakah kita dapat berbahagia? Kebahagiaan! Sebuah kata ini kiranya dikenal oleh setiap orang manusia di dunia ini, dikenal dan dirindukan, dicari dan dikejar-kejar selama kita hidup. Betapa kita semua, masing-masing dari kita, selalu mendambakan kebahagiaan dalam kehidupan kita.

Kata “kebahagiaan” sudah menjadi kabur, bahkan seringkali, hampir selalu malah, tempatnya diduduki oleh sesuatu yang sesungguhnya bukan lain adalah kesenangan. atau kepuasan belaka. Kalau kita memperoleh sesuatu yang kita harap-harapkan, maka kita mengira bahwa kita berbahagia! Benarkah itu? Ataukah yang terasa nyaman di hati itu hanyalah kesenangan yang timbul karena kepuasan belaka, karena terpenuhinya sesuatu yang kita harap-harapkan, atau inginkan? Dan kepuasan hanya merupakan wajah yang lain dari kekecewaan belaka.

Kepuasan hanya selewat, dan sebentar kemudian rasa nikmat dan nyaman karena kepuasan ini pun akan lewat dan lenyap, mungkin terganti oleh kekecewaan yang selalu bergandeng tangan dengan kebalikannya itu. Kepuasan dan kekecewaan, seperti juga kesenangan dan kesusahan saling isi mengisi, saling bergandeng tangan dan selalu bergandengan karena memang merupakan si kembar yang mungkin berbeda rupa. Di mana ada kepuasan, tentu ada kekecewaan. Di mana ada kesenangan, tentu ada kesusahan. Orang yang mengejar kesenangan, tak dapat tiada akan bersua dengan kesusahan, siapa mengejar kepuasan, tak dapat tiada akan bertemu dengan kekecewaan.

Kebahagiaan berada di atas, jauh di atas jangkauan atau pengaruh senang dan susah, puas dan kecewa. Kebahagiaan tak mungkin dijangkau atau dikejar, kebahagiaan tak mungkin digambarkan. Senang dan susah adalah permainan pikiran, terikat oleh waktu dan bersumber kepada Si Aku.

Si Aku ini sudah tentu terombang-ambing antara senang dan susah karena Si Aku itu, selalu penuh dengan keinginan dan sudah barang tentu tidak mungkin segala keinginan yang tiada habisnya itu selalu terpenuhi, maka terjadilah puas dan kecewa. Bahkan kalau keinginan sudah terpenuhi sekalipun, menimbulkan hal-hal lain. Yaitu menimbulkan kekhawatiran kalau-kalau kita kehilangan sesuatu yang sudah kita miliki itu, dan menimbulkan pengikatan diri kepada sesuatu yang menyenangkan itu sehingga kalau kita kehilangan, timbullah duka.

Kebahagiaan tidak mungkin dapat dimiliki, tidak dapat diperoleh deqgan usaha dan daya upaya, tidak mungkin dapat ditimbun. Kebahagiaan tidak ada hubungannya dengan pikiran yang selalu mengejar kesenangan! Kebahagiaan tidak mungkin ada selama masih ada Si Aku yang ingin senang! Kebahagiaan baru ada di mana ada cinta kasih.

Kita selalu penuh oleh Si Aku yang selalu mengejar kesenangan dan yang selalu hendak menjauhi kesusahan. Sedikit saja kita dijauhi kesenangan, kita lalu mengeluh dan merasa sengsara. Kebahagiaan bukan hal yang dapat dikhayalkan. Kita selalu mencari-cari yang tidak ada sehingga mana mungkin kita menikmati yang ada? Mana mungkin kita dapat melihat keindahan SINI kalau mata kita selalu mencari-cari dan memandang SANA saja?

Pernahkah kita menikmati kesehatan? Pernahkah dalam keadaan badan sehat kita pergi keluar kamar menghirup udara sejuk dan memandang awan berarak di angkasa? Tidak, kita selalu sibuk dengan sesuatu, pikiran selalu penuh dengan persoalan. Kita selalu ingin ini ingin itu sehingga mata kita seperti buta terhadap segala keindahan yang terbentang luas di sekeliling kita. Pernahkah kita pada waktu subuh pergi berjalan-jalan, melihat suasana ketika matahari mulai timbul? Pernahkah di waktu senja kita melihat suasana ketika matahari tenggelam, betapa indahnya angkasa? Pernahkah kita menerawang bintang-bintang di malam hari yang cerah? Tidak pernah! Pikiran kita, siang-malam, sibuk mencari uang, mencari kesenangan, mencari ini dan itu, tanpa ada hentinya.

Kita tidak pernah menikmati kesehatan, akan tetapi kita selalu mengeluh kalau tidak sehat! Kita tidak pernah “merasakan” keadaan yang berbahagia. Kita bahkan tidak sadar lagi di waktu kita sehat, tidak dapat merasakan betapa nikmatnya kesehatan, akan tetapi kita amat memperhatikan di waktu kita tidak sehat, mengeluh dan mengaduh. Dalam keadaan menderita sakit, kita mengeluh dan membayangkan betapa akan bahagianya kalau kita sembuh, kalau kita sehat. Akan tetapi bagaimana kalau kita sudah sehat? Pikiran penuh dengan keinginan laln dan “ingin sehat” tadi pun sudah terlupa, “bahagia karena sehat” pun sudah terlupa dan kita tidak lagi menikmati keadaan sehat itu!

Demikianlah selalu. Pikiran menjauhkan kebahagiaan. Pikiran selalu mengeluh setiap saat, merasa tidak berbahagia, atau kalau tiada sesuatu yang dikeluhkan, pikiran mencari-cari sesuatu yang DIANGGAP lebih menyenangkan, lebih enak. Tentu saja kita tidak pernah dapat menikmati bahagia kalau pikiran selalu mengejar kesenangan yang berada di masa depan. Bahagia adalah saat demi saat, bahagia adalah sekarang ini, tapi pikiran selalu penuh dengan kesenangan lalu, penuh dengan harapan-harapan dan keinginan-keinginan masa depan.

Pernahkah Anda berdiri di dalam cahaya matahari pagi, di tempat terbuka yang cerah, yang berhawa hangat nyaman? Memandang ke sekeliling tanpa ada Si Aku yang ingin senang? Cobalah sekali-kali. Waspada membuat kita tidak mengeluh, melainkan bertindak tepat menghadapi segala hal yang terjadi. Pikiran atau Si Aku selalu membentuk iba diri dan keluhan.

Syanti Dewi dan Wan Tek Hoat tentu saja merasa senang karena idam-idaman hati mereka tercapai. Kerinduan hati mereka terpenuhi. Akan tetapi kehidupan bukan hanya sampai di situ saja. Hari-hari dan peristiwa-peristiwa, seribu satu macam, masih membentang luas di depan dan yang terpaksa harus mereka hadapi. Selama mereka terikat kepada kesenangan sudah pasti kebahagiaan karena pertemuan itu pun hanya akan menjadi suatu kesenangan sepintas lalu saja!

Ah, mengapa kita tidak pernah mau membuka mata melihat kenyataan bahwa segala macam bentuk KESENANGAN itu selalu akan menimbulkan KEBOSANAN? Dapatkah kita hidup tidak menjadi hamba nafsu kita sendiri yang selalu mengejar-ngejar kesenangan? Dapatkah? Kita sendiri yang harus menyelidiki drin menjawab pertanyaan kita ini kepada diri sendiri, dengan PENGHAYATAN dalam kehidupan, bukan teori-teori usang. Setiap hal dapat saja merupakan berkah, tapi dapat juga menjadi kutukan, setiap hal yang menimpa kita bisa saja menjadi sesuatu yang menyenangkan atau menyusahkan, akan tetapi penilaian itu hanyalah pekerjaan pikiran atau Si Aku! Kebahagiaan berada di atas dari semua itu, tak dapat terjangkau oleh pikiran, seperti juga cinta kasih!

Beberapa hari kemudian, berangkatlah rombongan itu meninggalkan Pulau Kim-coa-to. Mereka adalah si pengantin baru Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, Wan Ceng dan Kao Kok Cu, dan Pangeran Kian Liong, dikawal Souw-ciangkun dan sisa anak buahnya, karena banyak di antara mereka yang terpaksa ditinggalkan dalam perawatan karena luka-luka mereka.

Sepasang pengantin itu diajak ke kota raja oleh Sang Pangeran, kemudian baru dari kota raja mereka akan melanjutkan perjalanan ke Bhutan, dengan pengawalan khusus, dengan sepucuk surat dari Sang Pangeran sendiri untuk Raja Bhutan.

Sedangkan Wan Ceng dan suaminya pergi ke kota raja, selain untuk mengawal Sang Pangeran, juga ingin bertemu dengan putera mereka yang tentu telah kembali dari tugas di barat. Dan di dalam perjalanan inilah, di dalam kereta yang membawa mereka, Pangeran Kian Liong teringat akan janjinya kepada Bu-taihiap, yaitu pendekar sakti Bu Seng Kin yang pernah menolongnya, maka dia pun lalu membicarakan hal itu kepada Si Naga Sakti dan isterinya.

Suami isteri itu mengerutkan alis mereka dan saling pandang.
“Bu-taihiap? Siapakah dia itu?” Wan Ceng bertanya, bukan kepada pangeran, melainkan kepada suaminya.

Si Naga Sakti Gurun Pasir mengangguk.
“Aku belum pernah bertemu dengan dia, akan tetapi aku pernah mendengar namanya. Dia bernama Bu Seng Kin. Namanya pernah menggetarkan dunia sebelah barat dan kabarnya dia memang memiliki ilmu kepandaian yang tinggi sekali.”

“Dia memang hebat!” kata Sang Pangeran. “Aku melihat sendiri betapa dia dan isteri-isterinya menghadapi Si Jangkung dan Si Pendek, dua orang dari Im-kan Ngo-ok itu. Bahkan Pendekar Bu itu dikeroyok dua, dan mengalahkan dua lawan itu dengan mudah. Dia memang lihai sekali, Paman Kao.”

Kao Kok Cu dan isterinya mengangguk-angguk. Kalau seorang diri dapat mengalahkan Su-ok dan Ngo-ok, berarti memang telah memiliki tingkat kepandaian yang tinggi. Akan tetapi Wan Ceng yang memperhatikan ucapan Pangeran itu, kini bertanya,

“Paduka katakan tadi isteri-isterinya? Berapakah banyaknya isteri-isterinya?”

Sang Pangeran tertawa.
“Dalam hal itu agaknya dia memang agak istimewa. Yang ikut bersama dia pada waktu itu ada tiga orang.”

“Tiga orang isteri? Ikut bersama?” Wan Ceng terbelalak.

“Benar, dan ketiga orang isterinya itupun rata-rata amat lihai!”

“Dan anaknya itu.... anak dari isteri ke berapakah?” tanya pula Wan Ceng.

Kembali Sang Pangeran tertawa. Kecerewetan seorang wanita dalam hal-hal seperti itu tidak mengherankan dia.

“Aku tidak tahu, Bibi dan kami tidak sempat bicara tentang hal itu. Akan tetapi pada waktu itu, puterinya juga ikut dan kulihat dia seorang gadis yang cantik dan memiliki sifat gagah seperti seorang pendekar wanita. Dan menurut Bu-taihiap, antara puterinya dan Cin Liong terdapat hubungan persahabatan yang akrab. Karena itulah maka dia ingin berjumpa dengan kalian untuk membicarakan pertalian jodoh antara mereka dan mereka minta kepadaku untuk dapat menjadi perantara.”

“Hemm, seakan-akan orang she Bu itu sudah memastikan bahwa kami tentu setuju!” Wan Ceng berkata tak senang.

“Isteriku, urusan jodoh merupakan urusan dua orang yang bersangkutan. Kita orang-orang tua hanya berdiri di belakang dan mengamati saja agar segala hal terlaksana dengan baik dan benar, maka hal ini pun baru bisa dibicarakan kalau kita sudah bicara dengan anak kita. Bagi kita, tidak bisa menerima atau menolak sebelum mendengar suara Cin Liong.”

“Sayang bahwa aku sendiri tidak tahu benar akan keadaan keluarga Bu-taihiap itu, akan tetapi kurasa Cin Liong telah berkenalan dengan keluarga itu ketika dia memimpin pasukan ke barat. Sebaiknya memang kalau kita, eh, maksudku Paman dan Bibi berdua menanyakan”

Demikianlah, di dalam perjalanan menuju ke kota raja itu, ada bahan pemikiran yang amat serius bagi suami isteri pendekar ini, karena yang disampaikan oleh Pangeran itu menyangkut perjodohan dan masa depan putera tunggal mereka.

Sementara itu, di dalam kereta lain yang sengaja disediakan oleh Pangeran, sepasang suami isteri, Wan Tek Hoat dan Syanti Dewi, masih tenggelam dalam kemanisan bulan madu dan tidak mempedulikan segala keadaan lainnya seolah-olah di dunia ini hanya ada mereka berdua!

**** 063 ****