FB

FB


Ads

Jumat, 10 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 062

Melihat ini, Syanti Dewi marah sekali dan sambil mengeluarkan lengking panjang dia telah meloncat dari tempat duduknya seperti terbang saja dan tahu-tahu dari atas dia sudah menyambar dengan pukulan tangan terbuka ke arah kepala kakek itu.

“Plakk!”

Pukulan itu kena ditangkis dan tubuh Syanti Dewi terlempar! Untung dia dapat berjungkir balik dengan cepat sehingga tidak jatuh terbanting. Pangeran sudah memberi isyarat kepada para pengawal untuk maju membantu Syanti Dewi, akan tetapi pada saat itu terdengar bentakan nyaring,

“Sam-ok, engkau sungguh keterlaluan!”

Nampaklah kini seorang pengemis berpakaian tambal-tambalan dan bermuka penuh cambang dan kumis meloncat ke tengah panggung berhadapan dengan kakek tinggi besar. Semua orang memandang, juga Syanti Dewi. Akan tetapi begitu Syanti Dewi memandang wajah tertutup brewok itu, seketika wajahnya menjadi pucat sekali, kedua matanya terbelalak, dan tiba-tiba dia mengulurkan kedua tangan ke arah pengemis itu, mulutnya mengeluarkan jerit melengking dan tubuhnya roboh terguling!

Ketika Ouw Yan Hui cepat merangkulnya, ternyata Sang Puteri itu telah jatuh pingsan! Sejenak Tek Hoat memandang ke arah Syanti Dewi, dan ketika melihat betapa Syanti Dewi dipondong masuk oleh Ouw Yan Hui, dia pun lalu menghadapi lagi kakek raksasa itu.

“Sam-ok, tidak perlu engkau menyembunyikan lagi mukamu di belakang kedok, karena aku telah mengenalmu! Para tamu sekalian, ketahuilah bahwa kakek yang menutupi mukanya dengan kedok kulit tipis ini bukan lain adalah, Sam-ok, orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, atau juga Ban Hwa Sengjin, bekas koksu dari Negara Nepal! Dia mempunyai niat tidak baik terhadap Sang Pangeran, bahkan inilah orangnya yang mengatur segala pencegatan dan penculikan terhadap Pangeran!”

Setelah berkata demikian, dengan cepat Tek Hoat sudah menyerang dengan pukulan maut ke arah leher Sam-ok. Kakek itu yang merasa bahwa tidak perlu menyembunyikan dirinya lagi, tertawa dan sekali renggut saja kedok kulit tipis yang menutupi mukanya terbuka dan nampaklah wajah aslinya.

Dia masih sempat tertawa-tawa, akan tetapi segera dia harus mencurahkan perhatiannya karena sekali ini dia menghadapi Si Jari Maut, seorang yang amat lihai, sama sekali tidak boleh dibandingkan dengan lawan-lawannya yang tadi. Maka dia pun mengelak, menangkis dan balas menyerang dengan hebatnya. Sementara itu, ketika para tamu mendengar bahwa kakek itu adalah Sam-ok atau bekas Koksu Nepal yang hendak mencelakai Pangeran Mahkota, mereka menjadi marah.

“Tangkap musuh negara!”

“Bunuh penjahat itu!”

Bukan hanya orang-orang kang-ouw, juga kini Souw Kee An telah menggerakkan pasukannya untuk mengepung dan mulai bergerak, sedangkan para anak buah Kim-coa-to juga digerakkan oleh Ouw Yan Hui yang merasa terkejut bukan main mendengar bahwa kakek itu adalah orang ke tiga dari Im-kan Ngo-ok!

Dan pada saat itu muncullah berturut-turut empat orang yang amat mengejutkan semua orang. Mereka itu bukan lain adalah Toa-ok Su Lo Ti, kakek bermuka gorila, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, nenek yang berkedok tengkorak, Su-ok Siauw-siang-cu, hwesio cebol dan Ngo-ok Toat-beng Sian-su, tosu yang tingginya dua setengah meter itu. Kini lengkaplah sudah Im-kan Ngo-ok muncul di situ setelah Tek Hoat membuka kedok Sam-ok tadi!

Melihat ini, para tamu tentu saja mereka yang mempunyai kepandaian, sudah menerjang ke depan, membantu para pasukan pengawal dan para anak buah Kim-coa-to, mengeroyok lima orang datuk kaum sesat itu.

Akan tetapi, lima datuk itu bukanlah orang-orang sembarangan sehingga dalam waktu singkat saja sudah banyak perajurit pengawal, anak buah Kim-coa-to dan orang-orang kang-ouw yang roboh terjungkal. Hanya Wan Tek Hoat dan Souw Kee An, dibantu oleh para perajurit pengawal yang masih terus melawan. Tek Hoat masih bertanding dengan amat hebatnya melawan Sam-ok, keduanya tidak mau mengalah dan mengeluarkan seluruh kepandaian mereka sehingga bayangan mereka seolah-olah telah menjadi satu.

Akan tetapi setelah Ji-ok membiarkan tiga orang saudaranya menghadapi pengeroyokan para pengawal dan dia sendiri membantu Sam-ok, Tek Hoat menjadi terdesak hebat.

Memang hebat sekali sepak terjang Tek Hoat. Biarpun dia menghadapi orang ke dua dan ke tiga dari Im-kan Ngo-ok, dia masih mampu melindungi dirinya, bahkan membalas dengan tamparan-tamparannya yang amat dahsyat. Akan tetapi ketika Toa-ok maju pula dengan pukulan yang mendatangkan angin amat kuatnya, Tek Hoat menjadi repot sekali dan akhirnya sebuah pukulan yang amat keras dari tangan kiri Sam-ok mengenai punggungnya.

“Ughhh....!”

Tek Hoat muntahkan darah segar, akan tetapi dia masih sigap dan cepat melompat ke belakang, kemudian mengamuk lagi tanpa mempedulikan keadaan dirinya yang telah terluka di sebelah dalam oleh hantaman telapak tangan Sam-ok tadi. Kegagahannya ini membuat para lawannya menjadi kagum juga.

“Jari Maut, jangan khawatir, kami datang membantumu!”

Tiba-tiba terdengar suara halus namun mendatangkan getaran amat kuatnya, dan nampaklah berkelebatnya bayangan dua orang ke tempat itu.

Tek Hoat girang sekali.
“Naga Sakti Gurun Pasir! Bagus engkau datang! Dan Ceng Ceng! Bagus, kau bantulah saudaramu yang sudah kepayahan ini!”

Yang datang itu adalah seorang laki-laki yang perkasa yang buntung lengan kirinya, berusia kurang lebih empat puluh lima tahun, berpakaian sederhana dan memiliki sepasang mata yang mencorong seperti mata naga, bersama seorang wanita cantik sekali biarpun usianya sudah hampir empat puluh tahun, dan masih lincah sekali. Mereka ini adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir Kao Kok Cu dan isteri yang menjadi penghuni Istana Gurun Pasir, ayah bunda dari Jenderal Muda Kao Cin Liong yang gagah perkasa itu!

“Huh, baru dikeroyok oleh lima siluman kecil itu saja engkau sudah kerepotan, Tek Hoat!” nyonya itu mengejek pengemis yang sedang repot didesak tiga orang lawannya itu. “Dan engkau kini telah menjadi jembel, ganti saja julukanmu menjadi Jembel Maut! Hi-hi-hik!”






“Wah, engkau masih cerewet seperti dulu juga, Ceng Ceng. Bantulah, mengapa cerewet?” Tek Hoat mencela.

Memang dua orang ini sejak dulu suka ribut saja kalau jumpa, sungguhpun di dalam hati mereka terdapat kasih sayang yang besar karena mereka itu adalah saudara seayah berlainan ibu, bernasib sama pula karena mereka dilahirkan sebagai anak-anak haram, ibu mereka telah menjadi korban perkosaan ayah mereka (baca cerita Kisah Sepasang Rajawali ). Bahkan di waktu muda, keduanya hampir saling jatuh cinta ketika mereka belum mengetahui bahwa mereka itu sesungguhnya seayah.

Ceng Ceng masih mengejek, akan tetapi sambil mengejek dia sudah menerjang Ji-ok, sedangkan suaminya, Si Naga Gurun Pasir yang pendiam, telah menerjang Toa-ok. Sekali terjang saja, Toa-ok yang mencoba menangkis itu telah terjengkang!

Bukan main kagetnya hati Im-kan Ngo-ok ketika melihat munculnya pria berlengan satu yang amat sakti ini. Mereka mengenal siapa adanya Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya, maka mereka kini tahu bahwa kini keadaan menjadi berbalik dan mereka terancam bahaya. Maka, setelah melawan beberapa lamanya dan mereka terdesak hebat, Sam-ok yang merupakan otak mereka biarpun dia itu orang ke tiga, bersuit nyaring dan lima orang itu lalu berlompatan jauh dan melarikan diri.

Tek Hoat terhuyung-huyung dan terguling, pingsan. Pukulan yang diterimanya dari Sam-ok tadi amat hebat. Melihat ini Ceng Ceng cepat menubruknya dan memeriksa. Suaminya juga mendekati dan tidak mengejar lima orang datuk sesat itu yang segera melarikan diri ke perahu mereka dan cepat berlayar pergi meninggalkan pulau yang kini terlalu berbahaya bagi mereka itu.

“Bagaimana dia?” Kao Kok Cu, Si Naga Sakti bertanya kepada isterinya sambil memeriksa.

“Agaknya dia mengalami luka di dalam tubuhnya. Lihat ini punggungnya.” kata Wan Ceng.

Punggung yang telah dibuka bajunya itu nampak kebiruan. Kao Kok Cu lalu menempelkan telapak tangannya untuk mengobati Tek Hoat. Sementara itu, Pangeran Mahkota yang sejak tadi tenang-tenang saja menonton pertempuran, kini menghampiri dengan wajah girang.

“Wah, untung ada Paman Kao dan Bibi yang datang!” katanya.

Melihat Pangeran yang mereka kenal baik ini, Kao Kok Cu dan Wan Ceng menjura dan Kao Kok Cu lalu melanjutkan pengobatannya. Sementara itu, Wan Ceng bercerita kepada Pangeran.

“Kami bertemu dengan Cin Liong. Dia masih sibuk setelah membuat pembersihan di barat dan dia mengatakan bahwa Paduka berada dalam bahaya, dan dia minta kepada kami untuk menyusul ke Pulau Kim-coa-to ini. Kami terlambat, akan tetapi untung ada saudara hamba Si Jari Maut ini yang menghadapi Im-kan Ngo-ok yang berbahaya.”

“Hemm, jadi Paman pengemis itu adalah saudara Bibi, ya? Dan dia itu Si Jari Maut? Pantas demikian lihainya. Dia pernah menyelamatkan aku dari para perampok pula. Ah, tak kusangka bahwa dialah orangnya.... pantas Enci Syanti Dewi pingsan seketika setelah tadi melihatnya.”

“Syanti Dewi? Di mana dia sekarang?” tanya Wan Ceng dengan girang.

Memang dia sudah mendengar bahwa Syanti Dewi berada di pulau itu, maka dia bersama suaminya yang menyusul Sang Pangeran itu sekalian hendak menjenguk Puteri Bhutan itu yang menjadi saudara angkatnya.

“Dia tadi pingsan ketika melihat Si Jari Maut dan digotong ke dalam oleh Ouw-toanio.”

Mendengar ini, Wan Ceng lalu bangkit berdiri dan setelah melihat bahwa Tek Hoat tidak berbahaya keadaannya, dia lalu lari memasuki gedung untuk mencari Syanti Dewi. Ternyata Syanti Dewi telah mengalami kejutan yang menggoncangkan batinnya. Melihat munculnya Tek Hoat dalam keadaan seperti jembel, dia terkejut, terheran, dan terharu sehingga dia jatuh pingsan. Melihat Ceng Ceng memasuki kamar itu, Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya. Akan tetapi Ceng Ceng berkata dengan suara berwibawa.

“Minggirlah, biar kuperiksa Enci Syanti.”

Akan tetapi Ouw Yan Hui masih memandang dengan curiga.
“Aku adalah Candra Dewi, saudara angkatnya.”

Ceng Ceng memperkenalkan diri. Mendengar ini, barulah Ouw Yan Hui bangkit. Kiranya inilah orang yang sering dibicarakan Syanti Dewi, wanita yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi, isteri dari Pendekar Naga Sakti dari Gurun Pasir itu!

Ceng Ceng lalu memeriksa keadaan Syanti Dewi. Tahulah dia bahwa saudara angkatnya itu mengalami pukulan batin yang mengguncangkan jantungnya dan perlu beristirahat.

“Dia tidak berbahaya akan tetapi perlu beristirahat, biarlah saya menjaganya di sini.” katanya lagi kepada Ouw Yan Hui.

Ouw Yan Hui mengangguk, lalu dia keluar. Sebagai nyonya rumah, tentu saja dia harus mengatur keadaan di luar yang tadi menjadi kacau oleh Im-kan Ngo-ok. Di ruangan itu dia melihat Pangeran bersama Naga Sakti Gurun Pasir berlutut di dekat tubuh Si Jari Maut yang masih pingsan, sedangkan Souw-ciangkun repot mengurus anak buahnya yang luka-luka. Ouw Yan Hui lalu mengepalai anak buahnya untuk membersihkan tempat, mengangkuti yang luka ke belakang dan mempersilakan para tamu untuk duduk kembali dan memerintahkan para pembantunya menyuguhkan minuman baru.

Sementara itu, Tek Hoat siuman dari pingsannya. Begitu membuka mata, dia cepat bangkit duduk dan melihat di situ terdapat Kao Kok Cu dan Pangeran, pandang matanya liar mencari-cari ke kanan kiri.

“Mana dia....? Ke mana dia....?”

“Engkau mencari siapa?”

Kao Kok Cu bertanya karena ketika pendekar ini tadi datang bersama isterinya, dia tidak melihat Syanti Dewi.

Akan tetapi Pangeran Kian Liong mengerti. Setelah dia mendengar bahwa pendekar yang seperti pengemis ini adalah Si Jari Maut Wan Tek Hoat, maka tahulah dia mengapa Syanti Dewi pingsan ketika melihatnya. Dia tahu bahwa inilah pria yang diceritakan oleh Syanti Dewi kepadanya, satu-satunya pria di dunia yang pernah dicinta dan masih dicinta oleh Sang Puteri itu. Maka Pangeran pun tersenyum.

“Paman, engkau mencari Syanti Dewi? Dia berada di dalam gedung, engkau susullah dia ke sana” Dia menuding ke arah gedung. “Akan tetapi, keadaanmu seperti ini, Paman. Sebaiknya kalau engkau berganti pakaian lebih dulu...., tidak baik engkau bertemu dengannya dalam pakaian seperti ini.”

Wan Tek Hoat bangkit berdiri dan menggeleng kepalanya, memandang kepada Pangeran itu dengan sinar mata berterima kasih.

“Biarlah, Pangeran. Biar hamba menemuinya seperti ini, biar dia melihat keadaan hamba yang sebenarnya.” Setelah berkata demikian, dia pun berjalan cepat memasuki gedung.

Melihat itu, Kao Kok Cu menggeleng kepala dan berkata, tidak langsung ditujukan kepada Sang Pangeran, seperti bicara kepada diri sendiri,

“Sungguh dia itu menyiksa diri sendiri sampai sedemikian rupa.”

“Akan tetapi dia tidak menderita seorang diri, juga Enci Syanti Dewi menderita batin hebat sekali karena dia. Cinta asmara antara dua orang itu memang sungguh amat luar biasa sekali.” kata Sang Pangeran.

Pendekar berlengan satu itu memandang kepada Sang Pangeran dan tersenyum, sinar matanya yang mencorong itu menatap kagum. Pangeran ini masih begini muda, akan tetapi nampaknya memiliki kebijaksanaan yang besar dan pandangannya amat mendalam.

“Jadi Paduka telah mengetahui apa yang terjadi di antara mereka berdua?”

Pangeran itu mengangguk.
“Enci Syanti telah bercerita kepadaku dan karena Si Jari Maut itulah maka sampai sekarang Enci Syanti tidak mau menyerahkan hatinya kepada pria lain sehingga tadi terpaksa aku turun tangan untuk membantunya.”

Dengan singkat Sang Pangeran lalu bercerita tentang sayembara “menangkap” Syanti Dewi tadi dan dia maju untuk membantu Sang Dewi keluar dari pulau itu tanpa menyinggung perasaan Ouw Yan Hui yang sudah menanam banyak sekali budi terhadap Syanti Dewi. Mendengar penuturan Pangeran itu, Kao Kok Cu menarik napas panjang. Dia termenung sebentar, kemudian berkata lirih.

“Mereka itu saling mencinta dan patut dipuji kesetiaan mereka. Mudah-mudahan saja pertemuan sekali ini akan membuat mereka bersatu dan takkan terpisah kembali.”

Mereka berhenti bicara ketika Ouw Yan Hui datang menghampiri. Wanita ini menjura kepada Kao Kok Cu dan berkata,

“Harap maafkan bahwa baru sekarang saya mengetahui bahwa Taihiap adalah Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya amat terkenal itu. Dan saya menghaturkan terima kasih atas bantuan Taihiap dan isteri Taihiap yang telah mengusir Im-kan Ngo-ok yang datang mengacau di sini. Adik saya, Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang keluarga Taihiap, terutama tentang isteri Taihiap.”

Melihat sikap yang ramah ini, Kao Kok Cu balas menjura dan berkata,
“Memang, Enci Syanti Dewi adalah kakak angkat dari isteri saya.”

Mereka lalu dipersilakan duduk di tempat kehormatan dan pesta yang tadi terganggu itu dilanjutkan, biarpun kini para tamu saling bicara sendiri, membicarakan peristiwa yang baru terjadi.

Kemunculan Im-kan Ngo-ok itu saja sudah mengejutkan dan mengherankan semua orang karena sebagian besar dari mereka baru sekali itu berkesempatan melihat datuk-datuk kaum sesat yang namanya sudah sering mereka dengar itu. Apalagi kemudian muncul Naga Sakti Gurun Pasir yang namanya seperti dongeng, sebagai penghuni Istana Gurun Pasir yang tidak kalah terkenalnya dengan nama-nama seperti Istana Pulau Es!

Dan menyaksikan betapa Naga Sakti Gurun Pasir bersama isterinya tadi menghadapi Im-kan Ngo-ok, bersama Si Jari Maut yang juga telah mereka dengar namanya membuat para tokoh kang-ouw itu kagum bukan main. Tak mereka sangka bahwa di Pulau Kim-coa-to itu mereka akan menyaksikan perkelahian tingkat atas yang demikian hebatnya.

Sementara itu, dengan jantung berdebar dan kedua kaki gemetar, Tek Hoat memasuki ruangan dimana Syanti Dewi masih rebah ditunggu oleh Wan Ceng. Dia ingin berjumpa dengan Syanti Dewi, sebentar saja, untuk minta ampun atas semua dosa dan kesalahannya. Dia tidak ingin mengganggu Syanti Dewi, ingin membiarkan wanita itu berbahagia bersama Pangeran, bahkan tadinya dia sudah hendak meninggalkan tempat itu tanpa diketahui seorang pun.

Akan tetapi, melihat Syanti Dewi terancam bahaya, tentu saja tidak mungkin mendiamkan begitu saja dan ketika dia muncul dan melihat wanita itu roboh pingsan, hatinya seperti diremas-remas rasanya. Kini tak mungkin dia pergi tanpa menengok dulu bagaimana keadaan wanita itu, dan minta ampun. Kalau Syanti Dewi sudah mengampuni, barulah dia akan hidup dengan hati bebas daripada penyesalan.

Pengampunan dari Syanti Dewi akan merupakan dorongan hidup baru baginya, dan kebahagiaan Syanti Dewi, biarpun di samping pria lain, akan membuat dia rela untuk menghabiskan sisa hidupnya dalam keadaan bebas dan dia tentu akan merasa seperti hidup kembali, tidak seperti sekarang seolah-olah terbelenggu oleh rasa penyesalan dan kedukaan!

“Syanti....!”

Dia memanggil lirih ketika melihat wanita itu masih rebah telentang di atas pembaringan dengan muka pucat dan tidak bergerak seperti telah mati, sedangkan Ceng Ceng duduk di atas bangku dekat pembaringan.

“Ssttt....!” Wan Ceng menengok dan menyentuh bibirnya. “Biarkan dia beristirahat, dia mengalami guncangan batin yang cukup parah.”

“Syanti....!”

Tek Hoat mengeluh dan dia pun lalu menjatuhkan diri berlutut di dekat pembaringan, menatap wajah itu dengan penuh kerinduan, penuh keharuan dan penuh penyesalan mengapa dia sampai menyiksa hati seorang dara seperti ini! Dua titik air mata membasahi bulu matanya dan melihat ini, Wan Ceng menjadi terharu.

Dipegangnya tangan saudara tirinya itu.
“Tek Hoat, mengapa engkau sampai menjadi begini? Bukankah dahulu engkau dan Syanti Dewi berada di Bhutan, engkau malah menjadi panglima dan kalian akan kawin....?”

Tek Hoat menggeleng kepala dan menarik napas panjang.
“Ceng Ceng, aku memang bodoh, aku seorang laki-laki yang tidak berharga sama sekali, apalagi untuk menjadi suaminya, bahkan mendekatinya pun aku terlalu kotor. Akan tetapi.... aku tak mungkin kuat untuk hidup lebih lama lagi sebelum mendapat pengampunannya.... maka aku datang untuk minta ampun kepadanya....”

Wan Ceng menatap wajah pengemis itu dan tak dapat menahan runtuhnya air matanya. Dia merasa kasihan sekali kepada saudaranya ini.

“Tek Hoat...., Tek Hoat, mengapa engkau menyiksa hatimu sampai begini? Mengapa engkau begini sengsara, Saudaraku....?” Dia memegang lengan yang tegap kuat itu.

Tek Hoat menunduk.
“Entahlah, mungkin darah yang jahat dari Ayah kita lebih banyak mengalir dalam tubuhku. Biarlah, Ceng Ceng, biarlah aku yang menanggung semua dosa Ayah kita.... kudoakan saja engkau berbahagia.... biarlah aku seorang yang menanggungnya....”

“Tek Hoat....!”

Wan Ceng sejenak merangkul pundak itu, kemudian dia bangkit berdiri dan meninggalkan ruangan itu. Dia tahu bahwa dalam keadaan seperti itu, sebaiknya membiarkan dua orang itu bertemu dan bicara berdua saja, setelah Syanti Dewi sadar.

Akan tetapi Tek Hoat tidak bangkit dari berlututnya. Dia mengambil keputusan untuk terus berlutut sampai menerima pengampunan dari mulut Syanti Dewi! Dia memperhatikan pernapasan Syanti Dewi dan merasa lega bahwa keadaan wanita itu memang tidak lagi mengkhawatirkan, dan agaknya Syanti Dewi dalam keadaan tidur.

Satu jam lebih Tek Hoat berlutut di depan pembaringan dan akhirnya Syanti Dewi bergerak, membuka mata dan mulutnya berbisik,

“Tek Hoat...., Tek Hoat....”

Tek Hoat merasa jantungnya seperti ditusuk-tusuk. Syanti Dewi memanggil-manggil dia!
“Aku.... aku di sini....” katanya dengan suara gemetar dan muka menunduk, tidak berani memandang wanita itu.

Syanti Dewi bangkit duduk, matanya terbelalak dan ketika dia melihat pengemis yang berlutut di depan pembaringan itu, dia mengeluh,

“Tek Hoat....!” isaknya membuat dia sesenggukan dan tidak kuasa mengeluarkan suara lagi.

Setiap dia memandang keadaan pria itu, dia mengguguk menangis, menutupi muka dengan kedua tangannya dan air matanya mengalir turun melalui celah-celah jari-jari tangannya.

“Syanti.... Syanti Dewi.... ampunkanlah aku.... aku datang hanya untuk minta ampun kepadamu, kau ampunkanlah aku, Syanti.... agar aku dapat melanjutkan hidup ini....”

“Tek Hoat....”

Sejak tadi Syanti Dewi hanya mampu menyebut nama ini, nama yang sudah terlalu sering disebutnya dalam mimpi, bahkan yang selalu bergema di dalam hatinya semenjak dahulu sampai sekarang.

“Syanti.... aku tidak ingin mengganggumu, sungguh mati.... biar aku dikutuk Tuhan jika aku berniat buruk kepadamu.... tidak, lebih baik aku mati daripada mengganggumu, Syanti. Aku tadinya sudah hendak pergi diam-diam, tapi.... tapi Im-kan Ngo-ok muncul dan kau terancam.... sekarang, kau katakanlah bahwa engkau sudi mengampuniku.... biar kucium ujung sepatumu, Syanti, kau ampunkanlah aku.... biarkan aku berani untuk melanjutkan hidup yang tak berapa lama lagi ini....”

“Tek Hoat.... duhai, Tek Hoat.... mengapa engkau sampai menjadi begini....?”

Syanti Dewi berkata, terengah-engah dan tersedu-sedu, dan kini tangan dengan jari-jari halus itu meraba kepala Tek Hoat, meraba muka yang penuh brewok itu, meraba baju yang penuh tambalan, jari-jari tangan yang gemetar.

“Mengapa.... mengapa engkau menjadi begini....?”

“Sudah sepatutnya aku menerima hukuman, Syanti, memang sudah sepatutnya aku manusia rendah ini hidup dalam keadaan yang serendah-rendahnya. Tapi aku belum merasa puas kalau belum mendapat ampun darimu, Syanti...., kau ampunkanlah aku.... kau ampunkanlah aku....” Dan pria itu lalu menunduk, hendak mencium ujung sepatu Syanti Dewi.

“Tek Hoat, jangan....!”

Dan kini Syanti Dewi juga merosot turun dari atas pembaringan, ikut berlutut di depan Tek Hoat dan merangkulnya!

Tek Hoat terkejut, dan undur dan terbelalak.
“Jangan begitu, Syanti. Jangan kau mengotorkan dirimu. Sungguh, aku tidak ingin mengganggumu. Engkau.... engkau sudah sepatutnya, sungguh pantas menjadi isteri Pangeran Mahkota, kelak menjadi permaisuri.... wahai Syanti Dewi, sungguh mati aku ikut merasa bahagia melihat kebahagiaanmu....”

Kini Syanti Dewi yang memandang dengan mata terbelalak.
“Apa katamu? Engkau.... engkau akan merasa girang kalau aku menjadi isteri orang lain? Kau.... kau rela....?”

“Tentu saja, Syanti Dewi, aku merelakan apa pun, bahkan nyawaku, demi kebahagiaanmu....”

“Kalau begitu, engkau.... engkau sudah tidak cinta lagi kepadaku?”

“Ehhh....? Mengapa engkau bertanya demikian? Syanti Dewi.... aku..... cintaku.... ah, orang macam aku ini mana ada harganya bicara tentang cinta? Kau ampunkan aku, Syanti....”

“Tidak! Kalau engkau merelakan aku menjadi isteri orang lain, sampai mati pun aku tidak akan mengampunimu. Tek Hoat...., Tek Hoat.... sampai usia kita sudah tua begini, apakah engkau masih belum dewasa? Bertahun-tahun aku menantimu di sini, sampai hampir mati rasanya aku menantimu, dan kini.... begitu engkau muncul.... engkau hanya mau menyatakan bahwa engkau rela kalau aku menjadi isteri orang lain! Ya Tuhan, tidak akan ada hentinyakah engkau merusak hancurkan hati dan perasaanku, Tek Hoat?” Syanti Dewi lalu menangis lagi sesenggukan.

Tek Hoat yang masih berlutut itu memandang bengong seperti orang kehilangan ingatan, atau seperti orang yang tolol. Semua ucapan dan sikap Syanti Dewi sungguh tak pernah terbayangkan olehnya sehingga dia terkejut dan kesima. Akhirnya dia dapat juga berkata-kata, karena dia harus mengatakan sesuatu melihat Syanti Dewi menangis mengguguk seperti itu.

“Tapi.... tapi, Syanti.... aku melihat sendiri, mendengar sendiri betapa engkau telah memilih Pangeran Mahkota menjadi jodohmu.... malah aku bersyukur....”

Dia tidak melanjutkan kata-katanya karena Syanti Dewi sudah menurunkan kedua tangan dan melalui air matanya memandang kepadanya seperti orang merasa penasaran dan marah.

“Tentu saja engkau tidak tahu! Yang kau ketahui hanya dirimu sendiri saja, kesusahanku sendiri saja! Pangeran sengaja melakukan itu untuk menolongku, mengertikah engkau? Aku tidak mungkin dapat menjadi isteri orang lain dan sudah kukatakan ini kepada Pangeran yang menjadi sahabatku terbaik, maka dialah yang akan membantuku keluar dari sini tanpa menyinggung perasaan Enci Ouw Yan Hui. Aahhh, perlukah aku menjelaskan semuanya lagi? Tidak cukupkah kalau aku katakan bahwa aku tidak dapat menikah dengan orang lain kecuali dengan engkau? Bahwa hanya engkaulah satu-satunya pria yang pernah kucinta, yang masih kucinta, dan yang selamanya akan kucinta? Atau haruskah aku bersumpah kepadamu?”

Dua mata Tek Hoat menjadi basah dan air matanya menggelinding turun satu-satu. Dia bangkit berdiri, memandang wanita itu, sinar harapan baru muncul dalam pandang matanya.

“Syanti.... Syanti Dewi...., be...., benarkah itu? Benarkah itu.?”

“Bodoh! Engkau laki-laki canggung yang bodoh! Ahh, betapa gemas hatiku....! Mari, mari kubuktikan....!”

Kini Syanti Dewi bangkit berdiri dan menyambar tangan kiri Tek Hoat, digandengnya tangan kiri pria itu dengan tangan kanannya, lalu diseretnya Tek Hoat keluar sehingga keduanya setengah berlari menuju ke ruangan itu. Di situ nampak Ouw Yan Hui dan Pangeran Kian Liong sedang bercakap-cakap dengan Ceng Ceng dan Kao Kok Cu, sedangkan para tamu sedang bercakap-cakap sendiri dengan asyiknya.