FB

FB


Ads

Jumat, 10 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 061

“Cu-wi, seperti yang mungkin Cu-wi telah dengar dari kabar-kabar angin, pada kesempatan merayakan ulang tahun adik kami Syanti Dewi ini, kami telah memilih calon-calon untuk dipilih sebagai jodoh adik kami Syanti Dewi.”

Para tamu menyambut pengumuman ini dengan sorak-sorai dan Syanti Dewi menundukkan mukanya yang berobah pucat. Biarpun dia sudah tahu akan hal ini, akan tetapi begitu tiba saatnya diumumkan, dia merasa jantungnya seperti ditusuk! Dia tidak tahu bahwa tak jauh dari situ, di tempat persembunyiannya, Tek Hoat juga memejamkan matanya karena merasa hatinya seperti diremas-remas mendengar betapa di situ telah dipilih calon-calon jodoh untuk Syanti Dewi.

Setelah sorak-sorai berhenti, Ouw Yan Hui melanjutkan kata-katanya,
“Pertama-tama kami mengumumkan pemilihan kami, yaitu Thio Seng Ki. Ke dua adalah Yu Cian, ke tiga Kui Lun Eng, dan ke empat adalah Lie Siang Sun! Cu-wi telah menyaksikan sendiri kecakapan mereka dalam ilmu kepandaian masing-masing, sedangkan Thio-kongcu telah memberi sumbangan yang sedemikian besar nilainya.”

Kembali terdengar sorakan menyambut, akan tetapi tidak sehebat tadi karena kini banyak yang merasa kecewa karena nama mereka tidak disebut. Banyak yang mulai digoda rasa iri hati terhadap empat orang yang dipilih sebagai calon itu!

Tiba-tiba terdengar suara nyaring di antara penonton,
“Bagaimana menentukan pemenang di antara calon-calon yang kepandaiannya berbeda-beda itu? Kalau berdasarkan kekayaan, tentu orang she Thio yang menang, kalau berdasarkan ilmu silat, tentu orang she Lie yang menang!”

Orang-orang tidak memperhatikan lagi siapa yang bicara, akan tetapi semua tamu merasa setuju dengan ini dan keadaan menjadi bising. Ouw Yan Hui mengangkat kedua tangan ke atas dan baru dia mengakui bahwa akal yang dibisikkan oleh Pangeran kepadanya tadi memang baik sekali, karena kalau tidak, dia sendiri tidak tahu bagaimana harus menjawab pertanyaan orang itu.

“Harap Cu-wi mendengarkan dengan tenang!” kata Ouw Yan Hui dan karena dia mengeluarkan kata-kata ini disertai khi-kang, maka suaranya mengatasi semua kegaduhan dan para tamu lalu diam.

“Cu-wi yang mulia! Biarpun ada terdapat calon-calon yang telah kami pilih, akan tetapi penentuannya siapa yang akan terpilih tentu saja sepenuhnya berada di tangan adik kami. Oleh karena itu, mereka berempat itu akan diuji. Siapa di antara mereka yang dapat menangkap Adik Syanti Dewi selama terbakarnya setengah bagian dupa, maka dialah yang dianggap memenuhi syarat dan menang, dan berhak untuk membicarakan tentang jodoh dengan adik kami!”

Kembal para tamu menjadi berisik ketika mendengar pengumuman ini dan semua orang merasa bahwa aturan ini berat sebelah. Tentu saja yang akan menang adalah Si Pendekar Budiman, karena tiga orang calon-calon lainnya hanya orang-orang yang lemah, mana mungkin dapat menangkap Syanti Dewi yang terkenal lihai itu? Akan tetapi, empat orang calon itu adalah orang-orang yang cerdas, maka mereka pun mengerti maksudnya pengumuman ini.

Itu adalah suatu cara halus untuk memberi kesempatan kepada Sang Puteri untuk menentukan pilihan tanpa mengeluarkan kata-kata, hanya dengan membiarkan dirinya tertangkap oleh calon yang dipilihnya. Dan memang benarlah pendapat mereka ini karena tadi Sang Pangeran berbisik kepada Ouw Yang Hui, bertanya apakah Si Pendekar Budiman itu akan mampu menangkap Syanti Dewi selama setengah batang hio terbakar habis, dan dijawab dengan pasti oleh Ouw Yan Hui bahwa hal itu tidak mungkin dapat terjadi kalau Syanti Dewi tidak menghendakinya, karena gin-kang yang dikuasai oleh Syanti Dewi sudah setingkat dengan dia sendiri. Jawaban inilah yang meyakinkan hati Sang Pangeran untuk mempergunakan akal untuk membiarkan Syanti Dewi memilih dan disetujui pula oleh Ouw Yan Hui.

Sementara itu, wajah Syanti Dewi menjadi merah sekali mendengar pengumuman itu dan dia menoleh dan memandang ke arah Sang Pangeran karena dia dapat menduga bahwa tentu Ouw Yan Hui mengeluarkan pengumuman itu setelah berdamai dengan Sang Pangeran Kian Liong juga memandang kepadanya, tersenyum mengangguk sambil berbisik lirih,

“Nah, pemilihannya sepenuhnya berada kepadamu, Enci Syanti!”

Maka mengertilah Syanti Dewi bahwa memang hal itu sengaja diumumkan agar dia dapat menentukan pilihannya di antara empat orang calon itu. Wan Tek Hoat yang sejak tadi mengintai dengan hati yang perih, mengerti pula akan maksud dari ujian menangkap Syanti Dewi itu dan diam-diam dia pun setuju karena hal itu berarti memberi kesempatan kepada Syanti Dewi sendiri untuk menentukan pilihannya.

Diam-diam dia pun ikut membanding-bandingkan antara empat orang itu dan dia melihat bahwa mereka itu memang merupakan orang-orang yang pilihan dan pantas menjadi jodoh Syanti Dewi, jauh lebih pantas dibandingkan dengan dia. Akan tetapi dia ikut mengharapkan agar Syanti Dewi tidak memilih Pendekar Budiman, karena mempunyai suami seorang pendekar berarti menjadi isteri orang yang banyak dimusuhi orang lain.

Sementara itu, melihat betapa Syanti Dewi hanya duduk dengan kepala ditundukkan dan muka merah, Ouw Yan Hui lalu berbisik,

“Hayo, majulah Adikku, tentukan pilihanmu!”

Syanti Dewi mengangkat mukanya, lalu bangkit berdiri dan di bawah tepuk tangan riuh dia lalu melangkah ke tengah panggung, berdiri menghadap ke arah tamu sambil tersenyum dengan muka merah.

“Dipersilakan calon pertama, Thio Seng Ki untuk maju!”

Ouw Yan Hui berseru dan kembali orang-orang bersorak ketika melihat pemuda hartawan itu bangkit dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi dengan muka merah dan sikap malu-malu pula.

Seorang pembantu lalu menyalakan hio yang sudah dipotong setengahnya, lalu menancapkan hio sepotong itu di atas meja yang sudah dipersiapkan. Pembantu ini segera mundur dan Syanti Dewi yang sudah mengenal pemuda she Thio itu lalu menjura dan berkata,

“Silakan mulai, Thio-kongcu.”

“Maafkan saya....”

Thio Seng Ki lalu mulai bergerak hendak menangkap atau memegang lengan tangan Syanti Dewi, akan tetapi wanita ini melangkah mundur dan mengelak. Thio Seng Ki melangkah maju dan terus mengejar, akan tetapi dia seperti mengejar bayangan saja. Tangan yang kecil halus itu kelihatan begitu dekat, akan tetapi begitu sukar ditangkap bahkan untuk menjamahnya sedikit pun amatlah sukarnya.






Hanya keharuman yang keluar dari rambut dan pakaian puteri itu saja yang dapat ditangkap oleh hidungnya. Makin lama, makin penasaran dan khawatirlah hati pemuda hartawan itu. Dengan hartanya yang bertumpuk-tumpuk, dengan kemudaan dan ketampanannya, juga nama baiknya, dia mengira bahwa dia akan pasti dapat memperoleh dara manapun juga yang dikehendaki atau diinginkannya.

Akan tetapi mengapa Syanti Dewi selalu mengelak. Karena penasaran, juga karena dia ingin sekali menang dalam pemilihan jodoh ini, dia mengejar terus dan biarpun dia tidak pandai ilmu silat, dia mengejar dengan secepatnya sampai kadang-kadang terhuyung-huyung apabila tangkapannya dielakkan tiba-tiba oleh Syanti Dewi. Pertunjukan ini amat menegangkan, lucu dan menarik sehingga mulailah terdengar suara ketawa dan teriakan-teriakan mengejek apabila tubrukan atau tangkapan dari pemuda hartawan itu luput.

Akhirnya hio yang setengahnya itu habis terbakar.
“Waktunya habis, calon pertama telah gagal!”

Demikian pengumuman pembantu wanita dan terpaksa Thio Seng Ki menghentikan usahanya. Wajah dan lehernya basah oleh keringat dan Syanti Dewi lalu menjura dan memberi hormat.

“Harap Kongcu suka memaafkan saya.”

Thio Seng Ki menarik napas panjang, kecewa sekali, akan tetapi dia membalas penghormatan itu sambil berkata,

“Sudahlah, saya yang tidak mampu dan tidak beruntung, Nona.”

Dia pun mengundurkan diri, duduk di kursinya kembali, disambut sorakan para tamu, terutama mereka yang tadi merasa iri karena tidak memperoleh kesempatan.

“Dipersilakan calon ke dua, Yu Cian untuk maju!” kembali Ouw Yan Hui berseru.

Sastrawan muda itu tersenyum, bangkit berdiri dan melangkah maju menghampiri Syanti Dewi. Juga sastrawan ini disambut oleh suara ketawa karena semua orang maklum bahwa kalau wanita itu tidak menghendaki, biar sampai selama hidup pun sastrawan lemah ini tak mungkin akan dapat menyentuh Syanti Dewi. Akan tetapi Yu Cian kelihatan tenang menanti sampai sebatang hio yang sudah dipatahkan menjadi dua itu terbakar.

“Silakan, Yu-siucai.” kata Syanti Dewi yang menyebut siucai kepada sastrawan yang telah lama dikenalnya ini.

Yu Cian mengangguk dan dia lalu melangkah maju, tangannya digerakkan dengan sikap sopan untuk menyentuh tangan Syanti Dewi. Wanita itu menarik tangannya. Yu Cian melangkah lagi, diulanginya hendak menyentuh tangan Syanti Dewi yang kembali menarik tangannya sehingga tidak dapat disentuh. Setelah mengulangi sampai lima kali, Yu Cian lalu menjura ke arah Syanti Dewi, mukanya berobah agak pucat, suaranya mengandung kesedihan dan kekecewaan,

“Saya menyerah karena merasa tidak mampu. Maafkanlah atas kelancangan saya selama ini.” Dan sastrawan itu pun lalu mundur.

Semua tamu yang melihat ini menjadi diam, dan sastrawan itu tidak diejek ketika kembali ke bangkunya dengan sikap masih tenang, bibir tersenyum dan muka agak pucat. Syanti Dewi merasa kasihan sekali dan dia hanya dapat menjura ke arah pemuda itu.

“Harap maafkan saya....” katanya perlahan.

Ketika Kui Lun Eng maju dan berhadapan dengan Syanti Dewi, seniman ini tersenyum lebar berkata,

“Nona, kita adalah kenalan lama, tidak perlu saling sungkan lagi. Saya tahu bahwa sampai matipun saya tidak mungkin akan dapat menangkap Nona yang memiliki ilmu silat tinggi. Maka, biarlah saya menerima keputusan melalui jawaban Nona saja, dan untuk memudahkan, biar Nona menjawab dengan gelengan atau anggukan. Kalau Nona berkenan memilih saya, Nona mengangguk dan kalau tidak, Nona menggeleng. Nah, apa jawaban Nona?”

Semua tamu mendengarkan dengan hati tertarik dan tegang. Seniman ini ternyata bersikap jujur dan terus terang, sungguhpun dengan kejujurannya itu dia membuat Syanti Dewi merasa terdesak. Akhirnya, dengan halus Syanti Dewi menggeleng kepala lirih.

“Harap maafkan saya....”

Kui Lun Eng tertawa dan menengadah.
“Aih, sudah kudapatkan lagi suatu segi kebaikan pada diri Nona di samping semua keindahan itu, yaitu kebijaksanaan dan kejujuran. Terima kasih, Nona, biarlah kita tinggal menjadi kenalan yang baik saja.”

Dan dia pun mengundurkan diri, kembali ke tempat duduknya dan menuangkan arak, ke dalam mulutnya!

Kini tinggal seorang lagi dan semua tamu hampir dapat memastikan bahwa tentu Pendekar Budiman inilah yang menang, sebagai calon terakhir dan di samping itu juga sebagai seorang pendekar berilmu tinggi yang agaknya dapat menangkap wanita cantik jelita itu. Ketika dia dipersilakan maju, Lie Siang Sun melangkah dengan tegap tanpa ragu-ragu menghadapi Syanti Dewi dan menjura dengan hormat.

“Ingin saya mencontoh perbuatan Saudara Kui Lun Eng, akan tetapi karena pihak nyonya rumah sudah mengadakan peraturan, saya tidak berani melanggar.”

Ketika hio sudah dinyalakan, Lie Siang Sun lalu mulai bergerak begitu Syanti Dewi mempersilakan. Dan terjadilah kejar-kejaran yang amat menarik hati. Kini, Lie Siang Sun berusaha menangkap lengan atau ujung baju nona itu, dengan gerakan silat yang amat indah, dengan geseran-geseran kaki yang tegap dan cepat sekali, namun Syanti Dewi juga bergerak, sedemikian cepatnya sehingga tubuh yang ramping itu mula-mula nampak seperti menjadi banyak, dan kemudian, ketika Pendekar Budiman mengejar semakin cepat, tubuh Syanti Dewi lenyap dan yang nampak hanya bayangannya saja yang berkelebatan ke sana kemari.

Memang menarik sekali pertunjukan ini sehingga semua orang memandang dengan ternganga dan kadang-kadang terdengar seruan-seruan kagum kalau kedua orang itu mempergunakan gerakan yang indah, seperti meloncat dan berjungkir balik ke atas dan sebagainya.

Namun, dalam pandang mata Tek Hoat, juga beberapa orang tokoh yang memiliki tingkat kepandaian yang tinggi, maklumlah mereka ini bahwa Sang Pendekar Budiman itu ternyata tidak benar-benar hendak menangkap Syanti Dewi, bahkan selalu menjaga agar jangan sampai mereka bersentuhan, sungguhpun hal ini bukan berarti bahwa Syanti Dewi akan dapat tertangkap kalau dia menghendaki.

Tidak, wanita itu memiliki gin-kang yang jauh lebih tinggi daripada Pendekar Budiman, sehingga andaikata Lie Siang Sun mengejar dengan sungguh-sungguh sekalipun, dia tetap saja tidak akan mampu berhasil. Betapapun juga, melihat betapa Lie Siang Sun tidak benar-benar berusaha untuk menangkap Syanti Dewi, mereka yang dapat mengikuti gerakan mereka itu, juga Wan Tek Hoat, merasa kagum. Akan tetapi Ouw Yan Hui mengerutkan alisnya dan hatinya terasa kesal bukan main. Tahulah dia bahwa Syanti Dewi jelas menolak semua calon itu!

“Ah, dia akan gagal pula...., Pangeran sungguh hamba tidak mengerti sikap Adik Syanti....” keluhnya.

Sang Pangeran mengerti dan dia tersenyum. Dia tahu bahwa Syanti Dewi memang tidak suka dijodohkan dengan siapa pun. Wanita itu terlalu setia kepada pria yang masih dicintanya sampai saat itu. Karena melihat kenyataan bahwa benar-benar Syanti Dewi tidak mau memilih seorang pun di antara empat calon yang baik itu, terpaksa dia harus turun tangan seperti yang telah dijanjikan kepada Syanti Dewi.

“Kalau begitu, biarlah aku menjadi calon ke lima, Ouw-toanio.”

Seketika wajah itu berseri dan Sang Pangeran melihat betapa masih cantik jelitanya wanita ini dan dia merasa kagum. Ouw Yan Hui memandang Sang Pangeran dengan wajah berseri-seri! Kalau Pangeran itu mau menjadi calon, tentu Syanti Dewi tidak akan berani menolak! Wajahnya menjadi berseri-seri dan dia memandang dengan senyum di bibirnya, hal yang jarang terjadi ke arah Syanti Dewi yang masih bergerak cepat dikejar oleh Lie Siang Sun. Setelah pembantu mengumumkan bahwa dupa yang menyala itu telah habis, Lie Siang Sun menghentikan gerakannya, menjura kepada Syanti Dewi dan berkata,

“Ginkang dari Nona sungguh amat mengagumkan sekali. Aku Lie Siang Sun mengaku kalah dan maaf.”

“Harap maafkan aku, Lie Siang Sun Enghiong!”

Kata Syanti Dewi dengan suara mengandung penyesalan karena betapa pun juga, dia mengerti bahwa pendekar ini tadi tidak berusaha sungguh-sungguh untuk menyentuhnya. Kalau saja hatinya mau mendekati pria lain, agaknya pendekar inilah yang patut untuk menjadi jodohnya.

Tiba-tiba terdengar suara Ouw Yan Hui yang sudah bangkit berdiri dan suara itu kini terdengar amat nyaring dan mengandung kegembiraan, tidak seperti tadi,

“Pengumuman penting! Harap Cu-wi Yang Mulia ketahui bahwa calon jodoh untuk adik kami Syanti Dewi ditambah dengan seorang lagi, yaitu bukan lain adalah Yang Mulia Pangeran Kian Liong sendiri!”

Para tamu tadinya sudah merasa gembira sekali melihat betapa empat orang calon itu gagal dan tidak ada yang terpilih. Hal itu berarti membuka kesempatan baru bagi mereka, karena tentu akan diadakan pemilihan calon baru lagi. Akan tetapi, mendengar bahwa kini Sang Pangeran Mahkota maju sebagai calon, tentu saja semangat mereka mengempis dan mengendur, tubuh menjadi lemas karena mana mungkin mereka dapat bersaing dengan putera mahkota, Pangeran yang merupakan orang yang amat besar kedudukan dan kekuasaannya?
“Dan sekarang dipersilakan kepada Yang Mulia Pangeran untuk maju dan mencoba untuk menangkap Syanti Dewi” demikian Ouw Yan Hui mengumumkan pula.

Pembantu wanita sudah pula menyalakan dupa, akan tetapi sesungguhnya hal ini sama sekali tidak perlu. Syanti Dewi memandang kepada Pangeran itu yang telah bangkit dan melangkah tenang menghampirinya, dengan pandang mata berterima kasih karena dia tahu bahwa perbuatan pangeran ini hanya untuk menolongnya, sesuai dengan percakapan mereka malam tadi.

“Sudah siapkah engkau?” Sang Pangeran bertanya.

Syanti Dewi mengangguk.
“Silakan, Pangeran.”

Pangeran Kian Liong tersenyum dan melangkah maju menangkap lengan Syanti Dewi. Wanita itu mengelak dengan langkah mundur sambil tersenyum pula. Sang Pangeran terus mengejar dan setelah berusaha menangkap sampal lima kali, barulah dia berhasil memegang pergelangan tangan Syanti Dewi.

Melihat ini, Ouw Yan Hui girang bukan main. Sungguh tak pernah disangkanya bahwa Syanti Dewi akan membiarkan dirinya tertangkap oleh Pangeran itu. Saking girangnya, wanita pemilik Pulau Kim-coa-to ini sampai bangkit berdiri. Dan terdengarlah sorak-sorai para tamu melihat betapa Sang Pangeran berhasil menangkap pergelangan tangan Syanti Dewi dengan demikian mudahnya.

Jelaslah bagi semua orang bahwa memang Sang Puteri itu sengaja membiarkan lengannya ditangkap, kalau tidak demikian, kiranya tidak mungkin Sang Pangeran akan mampu menangkapnya. Sang Pangeran berdiri sambil menggandeng tangan Syanti Dewi, wajahnya berseri, sedangkan wajah Syanti Dewi menjadi kemerahan, mukanya menunduk.

Wan Tek Hoat juga mengikuti semua peristiwa ini dan melihat gerak-gerik Syanti Dewi, dia pun tahulah bahwa kekasihnya itu, sengaja membiarkan lengannya ditangkap Pangeran, atau lebih jelas lagi, Syanti Dewi telah memilih Sang Pangeran untuk menjadi calon jodohnya! Pilihan yang tepat, pikirnya dengan hati perih. Pemuda manakah yang lebih hebat daripada seorang Pangeran Mahkota, apalagi Pangeran Kian Liong yang terkenal akan kebijaksanaannya itu?

Hanya sedikit saja hal yang membuat hatinya tidak enak dengan pilihan itu, ialah melihat kenyataan bahwa Pangeran itu masih muda sekali, tentu kurang lebih baru dua puluh tahun usianya. Padahal, dia tahu benar bahwa usia Syanti Dewi tentu antara tiga puluh enam tahun, sungguhpun wanita itu tidak nampak lebih tua daripada Sang Pangeran. Sudah habislah riwayatnya dengan Syanti Dewi, pikirnya dengan lesu.

Dia harus pergi cepat-cepat dari tempat itu, jangan sampai mengganggu kebahagiaan Syanti Dewi. Baru sekarang dia tahu bahwa pada dasar hatinya, dia ingin melihat Syanti Dewi berbahagia dan kini melihat betapa Syanti Dewi bergandeng tangan dengan wajah kemerahan dengan Sang Pangeran, dia tidak mau mengganggu kebahagiaan mereka dan ingin pergi secepatnya tanpa ada yang melihatnya.

Akan tetapi tiba-tiba dia melihat berkelebatnya bayangan, juga semua tamu melihat ini dan tahu-tahu di atas panggung di tengah ruangan itu telah berdiri seorang laki-laki tinggi besar yang mukanya penuh keriput dan pucat sekali, kepalanya botak dan sikapnya garang.

“Sungguh tidak adil sekali!”

Laki-laki yang usianya tentu sudah sedikitnya enam puluh lima tahun itu berseru, suaranya lantang dan penuh wibawa, kakinya yang bersepatu baja itu dibanting keras dan lantai panggung itu pun melesak sampai beberapa senti meter dalamnya!

Melihat ada orang yang berani mengacau, Ouw Yan Hui yang masih berdiri itu berseru,
“Siapa berani lantang menentang keputusan? Apanya yang tidak adil?”

Kakek itu tertawa, suara ketawanya bergema di seluruh ruangan.
“Ha-ha-ha, mana bisa dibilang adil kalau kemenangan ini disengaja dan dibuat?”

“Adik kami Syanti Dewi berhak memilih siapapun juga menjadi jodohnya!”

Kembali Ouw Yan Hui berseru sambil memandang wajah pucat itu dengan penuh perhatian karena dia tidak mengenal siapa adanya kakek ini.

“Ha-ha-ha! Kalau memang hendak memilih Pangeran, mengapa pakai mengadakan sayembara segala macam? Sayembara menangkap Nona ini berarti menguji ketangkasan dan ilmu kepandaian, akan tetapi ternyata Nona ini sengaja menyerahkan diri kepada Pangeran. Bukankah itu berarti menghina orang-orang yang menghargai ilmu silat? Urusan mengadu kepandaian adalah urusan dunia kang-ouw, mengapa sekarang Pangeran yang berkedudukan tinggi, seorang Pangeran Mahkota malah hendak mencampuri dan memperlihatkan kekuasaan menangkan seorang dara? Bukankah hal itu berarti Pangeran tidak memandang mata dan menghina para orang kang-ouw pada umumya? Apakah orang-orang kang-ouw hendak dijadikan semacam pelawak-pelawak belaka? Hayo, hendak kucoba sampai di mana kesigapan Puteri Syanti Dewi ini, boleh nyalakan dupa dan aku akan menangkapnya!”

Semua orang kang-ouw terkejut sekali. Bagaimana ada orang yang berani bersikap begini kasar terhadap Pangeran Mahkota? Mereka sudah melihat betapa para pasukan pengawal sudah maju mengepung tempat itu untuk melindungi Sang Pangeran. Syanti Dewi maklum bahwa ada orang yang hendak mengacau, maka dia pun lalu menarik Sang Pangeran untuk mundur dan mengajak Sang Pangeran duduk kembali di tempatnya agar lebih mudah dilindungi oleh para pasukan pengawal apabila terjadi sesuatu yang tidak diinginkan. Dia sendiri sudah memandang kepada kakek tinggi besar itu dengan pandang mata marah. Demikian pula Ouw Yan Hui sudah marah sekali.

Akan tetapi sebelum kedua orang wanita ini sempat mengeluarkan kata-kata atau melakukan sesuatu, tiba-tiba nampak bayangan orang berkelebat dan Pendekar Budiman telah berada di atas panggung berhadapan dengan kakek raksasa itu.

Pendekar Budiman menjura dengan hormat, diam-diam merasa heran mengapa dia tidak mengenal kakek ini, padahal jarang ada tokoh kang-ouw yang tidak dikenalnya.

“Sobat, harap engkau sudi memandang mukaku dan tidak menimbulkan keributan di tempat ini. Puteri Syanti Dewi telah memilih Pangeran Yang Mulia sebagai jodohnya, bukankah hal itu harus disambut dengan gembira oleh kita semua?”

“Ha-ha-ha, engkau percuma saja berjuluk Pendekar Budiman, sebaiknya diganti saja dengan julukan Pendekar Pengecut! Engkau memasuki sayembara sebagai calon, akan tetapi engkau tidak sungguh-sungguh ketika mengejar Sang Puteri tadi.”

Pendekar Budiman Lie Siang Kun diam-diam terkejut. Orang ini dapat mengetahui hal itu menandakan bahwa kepandaiannya tinggi dan matanya awas benar.

“Sobat hal itu merupakan urusan pribadiku sendiri yang tiada sangkut-pautnya dengan orang lain. Sudahlah, harap engkau suka memandang kepadaku, dan mengingat bahwa tidak baik bagimu untuk membikin kacau di tempat ini, di mana hadir pula Paduka Yang Mulia Pangeran Mahkota.”

“Tidak, bagaimanapun juga, Syanti Dewi harus maju dan akan coba kutangkap selama setengah dupa bernyala-nyala. Ini adalah pertemuan orang-orang gagah, bukan pertemuan badut-badut!”

“Orang tua, ini adalah tempatku dan aku tidak pernah mengundangmu datang! Apakah engkau sengaja hendak mengajak berkelahi?” Tiba-tiba Ouw Yan Hui berseru dari tempat duduknya.

“Ha-ha-ha, orang-orang kang-ouw kalau sudah berkumpul, tentu mengadakan pertandingan ilmu silat. Ini baru menggembirakan dan gagah, bukan membiarkan kita menjadi badut-badut yang dipermainkan oleh Sang Pangeran hanya untuk menjilat. Pangeran tidak menghargai kita, bahkan memandang rendah dan menghina, hal ini tidak boleh dibiarkan saja. Kita orang-orang kang-ouw mempunyai harga diri. Hayo, kalau Sang Puteri tidak mau memenuhi syarat yang diajukan tadi, mari kita mengadakan pertandingan silat, siapa pun boleh maju melawanku!”

“Sobat engkau sungguh terlalu!” Pendekar Budiman berseru. “Sikapmu sama sekali tidak patut menjadi pendekar kang-ouw, melainkan lebih tepat sebagai seorang pengacau jahat. Nah, kalau engkau ingin berkelahi, akulah lawanmu.”

“Bagus! Aku sudah lama mendengar nama Pendekar Budiman, majulah!” tantang kakek itu dengan sikap memandang rendah sekali.

“Lihat seranganku!”

Pendekar Budiman sudah menerjang dengan sungguh-sungguh karena dia tahu bahwa kakek ini sengaja hendak mengacau dan menentang Pangeran. Dia sudah mendengar akan usaha-usaha jahat mereka yang telah menculik Pangeran sebelum Pangeran itu tiba di Pulau Kim-coa-to, maka dia merasa berkewajiban untuk melindungi Pangeran, juga untuk membela Syanti Dewi yang terancam oleh kekerasan dan pengacauan orang tua tak terkenal ini.

Akan tetapi ketika Pendekar Budiman sudah menerjang maju, dia terkejut bukan main. Kakek itu sama sekali tidak mengelak, dan baru setelah tamparan pendekar itu datang dekat, kakek ini menggerakkan tangan menangkis dan akibatnya tubuh pendekar itu terpelanting! Bukan main kuatnya tenaga sin-kang yang terkandung dalam tangkisan lengan itu. Lie Siang Sun sudah meloncat bangun dan dia memandang tajam.

Orang ini bukan orang sembarangan, melainkan seorang sakti, akan tetapi mengapa menentang Pangeran Mahkota? Dia mengingat-ingat para tokoh kaum sesat, akan tetapi tetap saja tidak mengenal wajah yang pucat itu. Karena dia harus melindungi Pangeran dan juga harus membela Syanti Dewi, maka dia lalu menerjang lagi, kini mengerahkan seluruh kepandaian dan tenaganya.

Akan tetapi segera dia mendapatkan kenyataan bahwa kepandaiannya masih jauh di bawah tingkat kakek yang luar biasa ini sehingga belum sampai tiga puluh jurus dia sudah kena ditendang terpelanting sampai beberapa meter jauhnya!

Melihat ini, beberapa orang tokoh kang-ouw yang berada di situ dan merasa penasaran, sudah maju berturut-turut, namun empat lima orang yang maju itu satu demi satu dirobohkan dengan mudah oleh kakek pucat itu. Sambil tertawa-tawa kakek itu memenantang.

“Ha-ha-ha, siapa lagi yang hendak mencoba kepandaian?”

Semua orang menjadi gentar dan melihat betapa kakek itu dengan mudah menjatuhkan para lawan itu, tanpa membunuhnya, tidak ada yang lebih dari dua puluh jurus, tahulah mereka bahwa kakek ini sungguh merupakan seorang yang lihai sekali. Melihat ini Ouw Yan Hui sebagai nyonya rumah merasa malu dan terhina sekali. Dia mengeluarkan bentakan nyaring dan sekali berkelebat, tahu-tahu tubuhnya telah berada di depan kakek itu.

“Ha-ha-ha, tidak bohonglah berita yang mengatakan bahwa Bu-eng-kwi Ouw Yan Hui, penghuni Pulau Kim-coa-to, memiliki gin-kang yang amat hebat. Nah, ini namanya baru lawan yang boleh ditandingi. Majulah, Bu-eng-kwi, hendak kulihat sampai di mana kehebatanmu!”

“Pengacau jahat, menggelindinglah!” bentak Ouw Yan Hui dan wanita ini sudah menerjang dengan amat cepatnya.

Gerakannya memang luar biasa cepatnya dan tahu-tahu jari tangan kirinya sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun lawan yang botak itu, sedangkan dua jari tangan kanan sudah menusuk ke arah kedua mata lawan! Hebat sekali serangan ini, dan kakek itu pun mengeluarkan suara kaget dan cepat melempar tubuh ke belakang.

“Hebat, gin-kang yang hebat!”

Kakek itu memuji, akan tetapi Ouw Yan Hui sudah menyerang lagi dengan lebih cepat dan lebih ganas karena dia merasa penasaran. Namun kakek itu dapat menangkis dan balas menyerang. Terjadilah serang-menyerang, pertandingan yang amat seru, jauh lebih seru dibandingkan dengan yang sudah-sudah tadi. Wanita itu memang memiliki gin-kang yang hebat, sukar dicari bandingnya di dunia kang-ouw. Tubuhnya seperti seekor burung saja yang beterbangan dan berkelebatan ketika mengelak atau balas menyerang.

Akan tetapi, ternyata lawannya itu memiliki ilmu silat yang amat hebat, dan lebih lagi, dalam hal tenaga sin-kang, Ouw Yan Hui kalah jauh maka biarpun dia sudah mengerahkan seluruh tenaga dan kepandaiannya, tetap saja setelah lewat tiga puluh jurus, dia kena ditampar pundaknya sampai terlempar dan terguling-guling.