FB

FB


Ads

Senin, 06 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 050

Sudah terlalu lama kita meninggalkan Ang Tek Hoat yang hidup secara amat menyedihkan, seperti seorang jembel yang sama sekali tidak mengurus diri, selalu hidup seperti keadaan seorang gelandangan, juga sikapnya membayangkan otak yang tidak waras atau yang oleh umum mungkin dianggap seperti orang yang gila.

Kehidupan manusia memang kadang-kadang nampak menyedihkan sekali karena perubahan-perubahan yang terjadi menimpa diri seorang manusia seolah-olah membuat manusia yang tadinya berada di puncak tertinggi kini berada di tempat yang paling rendah.

Si Jari Maut Ang Tek Hoat ini pernah menjadi calon mantu Raja Bhutan, disamping kedudukan panglima muda yang dipegangnya, menjadi calon suami seorang puteri cantik jelita seperti Syanti Dewi yang dicintanya. Betapa tinggi kedudukannya ketika itu, betapa penuh bahagia hidupnya. Dan dibandingkan dengan sekarang ini, sungguh orang takkan mau percaya bahwa jembel yang seperti orang gila itu adalah Si jari Maut Ang Tek Hoat itu!

Orang akan melontarkan kesalahan kepada nasib. Namun, benarkah nasib yang mempermainkan kehidupan manusia? Apakah adanya nasib itu? Nasib hanya sebutan yang dipakai orang untuk menyatakan keadaan seseorang dalam kehidupannya. Dan kita tidak pernah mau membuka mata mempelajari suatu persoalan dengan penuh kewaspadaan, apalagi kita tidak mau menjenguk ke dalamnya untuk melihat bahwa segala sesuatu itu bersumber kepada diri kita sendiri. Melihat kesalahan diri sendiri merupakan hal yang tidak menyenangkan, juga mengerikan, maka kebanyakan dari kita lebih suka menutup mata dan melontarkan sebab-sebabnya kepada nasib!

Biarpun kelihatannya seperti orang gila, namun pria yang memiliki ilmu kepandaian tinggi ini tidak pernah menyesalkan nasib. Dia tahu benar akan kesesatan-kesesatan, kejahatan-kejahatan yang pernah dilakukannya di masa muda (baca ceritaKISAH SEPASANG RAJAWALI dan JODOH RAJAWALI ). Hal ini dapat dibuktikan betapa seringkali dia termenung dan mengeluh panjang pendek, bahkan kadang-kadang terdengar kata-katanya seperti bicara kepada diri sendiri dan hal ini yang membuat orang-orang menyangka dia gila.

“Ijinkanlah aku bertemu dengan dia sekali lagi untuk minta ampun dan membuktikan bahwa aku telah bertobat....!”

Kata-katanya itu sebenarnya sama dengan doa yang ditujukan kepada Tuhan agar dia dapat dipertemukan sekali lagi dengan kekasihnya, dengan Syanti Dewi agar dia memperoleh kesempatan untuk meminta ampun atas semua kesalahannya kepada dara itu. Baru sekarang ia sadar benar betapa dia telah banyak menyebabkan penderitaan hidup atas diri dara yang amat dicintainya itu! Baru dia sadar betapa sebenarnya puteri itu amat mencintainya, mencintainya dengan murni, tidak seperti dia yang cintanya penuh dengan pementingan diri pribadi sehingga penuh dengan cemburu yang gila.

Hanya karena mencari Syanti Dewi maka Tek Hoat sampai terbawa arus orang-orang kang-ouw menuju ke Pegunungan Himalaya. Di Bhutan dia sudah menyelidiki dan ternyata Sang Puteri itu tidak berada di Bhutan. Jadi seolah-olah lenyap tanpa bekas!

Maka dia pun ikut berkeliaran di Himalaya, sampai-sampai dia terbawa oleh orang kang-ouw mengunjungi Lembah Gunung Suling Emas, kemudian bahkan terlibat dalam pertempuran membantu Jenderal Muda Kao Cin Liong, keponakannya sendiri, menghadapi pasukan-pasukan Nepal. Tentu saja dia tidak mau menerima penawaran jenderal muda yang masih keponakannya sendiri itu untuk membantu terus, dan dia pun langsung meninggalkan Lhagat dan karena merasa yakin bahwa dia tidak akan dapat menemukan Syanti Dewi di Pegunungan Himalaya maka dia melakukan perjalanan kembali ke timur.

Biarpun dia sudah menjadi seorang yang berpakaian jembel dan hidupnya merana, tidak teratur, namun Tek Hoat sekarang jauh lebih mendekati kehidupan seorang manusia utama dibandingkan dahulu ketika dia masih menjadi hamba nafsu-nafsunya. Kini dia merupakan orang yang sudah bertaubat benar-benar, tidak pernah mau melakukan hal-hal yang buruk, bahkan menghadapi siapapun juga, dia tidak mempunyai sedikit pun perasaan benci atau ingin mengganggu.

Namun, hal ini bukan berarti bahwa dia bersikap masa bodoh dan tidak peduli, karena setiap menghadapi hal-hal yang tidak patut, melihat kejahatan berlangsung di depan mata, sudah pasti dia turun tangan membela atau melindungi pihak lemah dan menentang mereka yang bertindak sewenang-wenang.

Akan tetapi lenyaplah sudah Si Jari Maut yang dulu mudah membunuh orang, karena kini dia cukup menggunakan kepandaiannya mengalahkan orang dan membuat orang itu takut untuk melanjutkan kejahatannya saja. Paling hebat dia hanya merobohkan lawan dan melukainya, luka yang tidak berbahaya bagi keselamatan nyawa lawan itu. Inilah Si Jari Maut Ang Tek Hoat atau juga Wan Tek Hoat sekarang, biarpun menjadi jembel miskin namun sepak terjangnya seperti seorang pendekar tulen!

Beberapa bulan kemudian setelah dia meninggalkan Lhagat, pada suatu hari dia sudah tiba di kota Kiu-kiang, sebuah kota yang cukup besar di ujung utara Propinsi Kiang-si. Tujuannya adalah ke Telaga Wu-ouw, yaitu sebuah telaga besar sekali di Propinsi Kiang-su, di sebelah utara kota Hang-kouw karena dia mendengar bahwa telaga yang amat besar itu indah sekali pemandangannya.

Seperti biasa, ketika dia memasuki sebuah kota, Tek Hoat langsung mencari tempat penginapan, bukan hotel atau losmen, melainkan dia mencari rumah-rumah kosong, atau kuil kosong. Akan tetapi sungguh sial baginya, kota Kiu-kiang itu merupakan kota yang ramai dan teratur sehingga dia tidak dapat menemukan sebuah pun rumah atau kuil kosong!

Akhirnya, karena hari sudah hampir malam, dia terpaksa memilih tempat bermalam di bawah sebuah jembatan besar ditepi kota. Dia membersihkan tempat itu yang penuh batu-batu dan semak berduri, menumpuk rumput kering lalu dia pun merebahkan diri di bawah jembatan sambil melamun.

Asyik juga rebah di situ, melihat betapa jembatan itu agak bergerak-gerak kalau ada kuda atau kereta lewat, dan dari situ dia pun dapat mendengarkan orang-orang bercakap-cakap diatas jembatan itu tanpa yang bicara tahu bahwa di bawah jembatan ada orang mendengarkan percakapan mereka.

Bermacam-macam hal dibicarakan orang dan kadang-kadang Tek Hoat tersenyum sendiri kalau mendengar percakapan yang lucu-lucu baginya. Dalam keadaan seperti itu, di mana kita bebas dari segala hal yang kita lihat atau dengar, baru kita dapat merasakan betapa lucunya dan juga menyedihkan adanya kehidupan manusia ini.

Percekcokan suami isteri akan terdengar lucu, karena sebelum mereka menjadi suami isteri, atau di waktu mereka masih pengantin baru, tentu suami isteri itu sendiri tak pernah membayangkan bahwa akan ada saat percekcokan diantara mereka, di mana kemarahan bahkan kebencian meracuni hati. Kata-kata seseorang yang semanis madu terhadap orang lain tentu akan terdengar lucu karena kita akan melihat betapa kemanisan itu hanya merupakan kedok belaka, merupakan suatu jembatan untuk mencapai sesuatu yang menjadi pamrih.

Kepalsuan-kepalsuan dalam kehidupan kini nampak jelas oleh Tek Hoat, membuat dia makin merasa betapa kotornya dirinya, betapa dia telah melakukan segala macam kekotoran dan kepalsuan. Karena kenyataan betapa palsunya dirinya dan semua manusia di sekelilingnya, betapa di balik setiap sikap, setiap senyum, kata-kata manis, bahkan hampir setiap perbuatan selalu bersembunyi sesuatu yang lain yang menjadi pamrih yang mendorong perbuatan palsu itu, maka mungkin saja inilah yang membuat Tek Hoat menjadi tidak peduli kepada diri sendiri. Dia seperti orang yang merasa muak dengan dirinya sendiri dan seolah-olah membiarkan dirinya sedemikian untuk sekedar “menghukumnya”!






Tiba-tiba Tek Hoat bangkit duduk ketika dia mendengar percakapan yang amat menarik hatinya. Dan kebetulan sekali yang bicara itu agaknya berhenti di atas jembatan! Dia cepat mengerahkan pendengarannya untuk menangkap semua percakapan itu setelah kalimat pertama ini amat menarik hatinya.

“Kalau dia tidak mau seret saja sudah!”

Kalimat Inilah yang membangkitkan perhatian Tek Hoat karena membayangkan akan terjadinya tindakan sewenang-wenang terhadap orang lemah.

“Ah, orang macam dia mana bisa menggunakan kekerasan? Sebaiknya dibujuk saja.” terdengar suara orang ke dua.

“Oleh karena itulah maka aku mencari kalian dan kebetulan sekali bertemu dengan kalian di sini. Thio-wangwe mengatakan bahwa dia bersedia membayar lima belas tail perak kepada pelukis itu kalau mau melukisnya.”

“Lima belas tail?” seru suara pertama.

“Wah, sebuah lukisan untuk lima belas tail? Gila itu!”

“Bahkan dia masih menjanjikan untuk memberi hadiah dua tail perak kepadaku kalau aku dapat membujuknya.” kata orang ke tiga.

“Wah, hebat! Dari mana dapat mencari uang semudah itu? Mari kita pergi dan kita bujuk dia sampai dia mau!”

“Kalau tidak mau dibujuk, biar kuancam dia.”

“Aih, harus hati-hati, agar dia mau. Kalau dia sudah mau dan menerima uang itu.... heh-heh, mudah saja menggasak uang itu darinya. Pelukis tua kerempeng seperti itu mana bisa mempertahankan uang lima belas tail?”

Tiga orang itu lalu meninggalkan jembatan, tidak tahu bahwa tak jauh di belakang mereka terdapat seorang pengemis brewok yang berjalan seenaknya sambil membayangi mereka. Pengemis ini bukan lain adalah Si Jari Maut!

Karena cuaca sudah mulai gelap, Tek Hoat lalu mendahului tiga orang itu ketika mereka lewat di bawah sinar lampu jalan dan dia melihat bahwa tiga orang itu berwajah licik dan kejam seperti wajah orang-orang yang biasa melakukan kecurangan-kecurangan dengan jalan apa pun untuk memperoleh uang. Seorang di antara mereka bahkan membawa sebatang golok tergantung di pinggang dan selain bertubuh besar juga nampak bengis.

Mereka bertiga itu menuju ke sebuah losmen kecil di ujung kota yang letaknya agak terpencil dan sunyi. Tiga orang itu menerobos masuk dan ternyata pengurus losmen itu agaknya sudah mengenal Si Tinggi Besar yang membawa golok karena begitu melihat orang ini pengurus itu kelihatan takut-takut dan menyambut dengan sikap menjilat.

Akan tetapi dengan bengis Si Tinggi Besar itu bertanya,
“Di mana kamar pelukis tua she Pouw itu?”

“Di.... di sana, paling belakang, akan tetapi kami harap.... mohon agar jangan mengganggu tamu kami....”

Sementara itu, Tek Hoat sudah mendahului mereka dan mengintai dari atas genteng. Mudah baginya menemukan kamar pelukis tua itu, karena memang tidak terlalu sukar menemukan seniman-seniman seperti pelukis, penyair dan sebagainya. Seorang kakek kurus yang berada di dalam kamar sendiri, bernyanyi-nyanyi kecil membaca sajak atau menggubah sajak karena tangannya tidak memegang apa-apa! Ketika dia tiba di atas kamar pelukis itu, dia mendengar orang tua itu sedang mendeklamasikan sajak yang agaknya tengah digubahnya.

.... batin kosong tanpa isi....
.... alam pun sunyi sepi....
.... hening....diam....suci....
.... seniman tua asyik
sepi sendiri....

“Tok-tok!”

Ketukan pintu kamarnya mengejutkannya dan menariknya kembali ke dunia kenyataan. Dia bersikap tenang dan tanpa turun dari atas pambaringan di mana dia duduk bersila, dia menoleh ke pintu dan suaranya halus dan lirih, seolah-olah dia belum sepenuhnya kembali atau keluar dari dalam khayalnya.

“Siapa di luar?”

“Pouw-lo-siucai.... harap buka pintu, saya ada keperluan penting untuk dibicarakan dengan Lo-siucai!”

Kakek itu adalah sastrawan pelukis Pouw Toan. Seperti Pernah kita mengenal sastrawan pelukis ini ketika dia mengunjungi Puteri Syanti Dewi di Pulau Kim-coa-to, Pouw Toan adalah seorang sastrawan perantau yang pandai sekali membuat sajak, menulis huruf indah dan melukis. Selain ini, dia juga seorang sastrawan yang banyak merantau di dunia kang-ouw dan banyak mengenal orang-orang gagah di seluruh dunia, bahkan dia adalah seorang sahabat baik dari suami isteri pendekar sakti Gak Bun Beng dan isterinya yang amat terkenal, yaitu Puteri Milana.

Kakek Pouw Toan tersenyum pahit mendengar sebutan Lo-siucai itu.
“Hemm, siapakah menjadi siucai? Aku tidak pernah merebutkan titel, aku hanyalah rakyat kecil biasa, jangan sebut aku dengan Lo-siucai segala. Siapakah engkau yang berada di luar dan mengganggu orang yang sedang asyik sendiri?”

“Saya.... saya pelayan, ada perlu penting sekali!” kata suara di luar mendesak.

“Hemmm, aku ini seniman miskin, tidak takut maling dan rampok maka pintu kamarku tak perlu dikunci. Kalau ingin masuk dan bicara, dorong saja pintunya terbuka.” kata Pouw Toan.

Daun pintu didorong dari luar dan diam-diam Tek Hoat sudah siap dengan pecahan genteng di tangan, siap melindungi kakek itu kalau-kalau tiga orang itu hendak menggunakan kekerasan. Dia tahu bahwa dengan pecahan genteng itu saja dia akan mampu melindungi kakek di dalam kamar yang aneh itu. Dia merasa amat tertarik kepada kakek itu, apalagi ketika mendengar sajaknya yang luar biasa tadi dan ingin sekali dia mengenal kakek itu lebih jauh, tentu saja mengenalnya dengan diam-diam karena selama bertahun-tahun ini dia tidak mau mengenal orang secara berdepan.

Ketika melihat bahwa yang masuk ada tiga orang yang memiliki wajah yang licik, Pouw Toan mengerutkan alisnya.

“Hemm, kalian datang mau apakah? Jangan katakan bahwa kalian ini pelayan losmen.“

Seorang di antara mereka, yaitu orang yang diutus oleh Hartawan Thio dan yang membujuk dua orang kawannya untuk membantunya, menjura kepada Pouw Toan dan berkata,

“Pouw-lo-siucai....”

“Sudah kukatakan aku bukan siucai segala! Lekas katakan apa keperluan kalian.”

“Eh.... eh, begini, Pouw-sianseng....” katanya gagap karena biarpun kakek itu nampak kurus kerempeng, harus diakui bahwa dia amat berwibawa dan sikapnya seperti seorang pendekar gagah perkasa. “Kedatangan saya ini adalah atas kehendak Thio-wangwe. Saya diutus untuk....”

“Sudahlah, katakan kepada Thio-wangwe bahwa saya bukan tukang gambar orang....“

“Tapi Sianseng kemarin melukis seorang bocah penggembala kerbau di luar kota itu. Dan karena tertarik melihat hasil lukisan Sianseng, maka Thio-wangwe ingin sekali dirinya dilukis oleh Sianseng.”

“Beberapa kali sudah dia minta kepadaku untuk melukis dan aku sudah menolak. Aku hanya melukis apa yang ingin kulukis, biar dia itu penggembala kerbau atau benda berupa sampah sekalipun. Aku tidak mau dipaksa melukis seorang raja sekalipun, atau setangkai bunga indah sekalipun kalau aku tidak menghendakinya.”

Si Tinggi Besar itu agaknya sudah tidak sabar lagi.
“Hei, pelukis tua sombong! Thio-wangwe hendak memberimu lima belas tail perak, tahukah engkau? Lima belas tail perak! Ingat, dalam waktu berbulan-bulan engkau takkan bisa memperoleh uang sebanyak itu!”

Pouw Toan mengangkat mukanya memandang wajah Si Tinggi Besar yang bersikap kasar itu, dan dia tersenyum sambil menggeleng kepalanya.

“Seorang tua bodoh seperti aku ini sudah tidak membutuhkan apa-apa, tidak butuh uang banyak, hanya butuh kebebasan untuk melukis, untuk bernyanyi, untuk apa saja yang mendatangkan kebahagiaan di hatiku. Apa artinya uang lima belas tail perak bagiku?”

“Bagimu tidak ada artinya, akan tetapi bagi kami ada!” bentak Si Tinggi Besar dengan marah dan tiba-tiba dia telah mencabut goloknya dan menodongkan ke arah dada kakek pelukis itu.

Tek Hoat hanya memandang dengan urat saraf menegang, akan tetapi dia belum turun tangan karena maklum bahwa si Tinggi Besar itu hanya mengancam dan keselamatan Si Pelukis itu belum perlu dibela. Dia ingin melihat bagaimanakah kakek lemah yang perkasa itu dan bagaimana perkembangan selanjutnya. Dia ingin mengenal kakek itu, mengenal dari sikap dan gerak-geriknya dalam menghadapi ancaman itu.

Kakek Pouw Toan adalah orang yang sudah puluhan tahun bertualang di dunia, sudah ribuan kali menghadapi ancaman malapetaka, maka tentu saja penodongan ini merupakan hal kecil saja baginya. Sungguhpun dia seorang yang sama sekali tidak pernah belajar ilmu silat, akan tetapi dia telah memiliki keberanian dan kegagahan seorang pendekar tulen. Maka dia hanya tersenyum saja memandang kepada penodongnya, lalu menarik napas panjang.

“Hemm, sungguh untung sekali kau!” Katanya sambil tersenyum kepada penodongnya.

Tentu saja Si Tinggi Besar itu menjadi melongo keheranan. Selama dia menjadi tukang pukul yang suka mempergunakan kekerasan dan ancaman untuk memaksakan kehendaknya, baru sekarang ini dia bertemu dengan seorang kakek lemah yang ditodong tidak memperlihatkan sedikit pun rasa kaget dan tak takut sebaliknya malah tersenyum dan mengatakan dia untung!

“Ah, sudah gilakah engkau? Apa maksudmu?” bentaknya.

“Ha, untung bahwa dua orang muridku sedang pergi, kalau dia berada di sini, aku terpaksa akan menaruh kasihan kepadamu.” Memang aneh sekali ucapan itu, akan tetapi nampaknya kakek itu tidak menggertak.

“Sudahlah, katakan, kau mau melukis Thio-wangwe atau tidak! Kalau mau, mari ikut dengan kami ke gedung Hartawan Thio, kalau tidak, golokku akan minum darahmu di sini juga!” Si Tinggi Besar mengancam.

Pouw Toan menggerakkan pundaknya. Dia tahu bahwa seorang penjahat cilik kasar macam ini memang berbahaya, mungkin saja membunuh hanya untuk soal dan uang kecil saja. Maka dia menarik napas panjang dan bangkit berdiri.

“Yah, karena diancam golok, mau apa lagi? Baik, aku akan melukisnya, akan tetapi jangan salahkan aku kalau hasil lukisannya jelek.”

“Siapa peduli baik atau jelek? Yang penting kau lukis dan menerima upah lima belas tail perak!” kata utusan Hartawan Thio itu dengan girang melihat hasil ancaman temannya itu berhasil. “ Mari kita berangkat!”

Tiga orang itu berhasil menggiring Pouw Toan keluar dari losmen itu dan pengurus losmen menarik napas lega melihat bahwa kedatangan tiga orang itu ternyata tidak menimbulkan keributan seperti yang dikhawatirkannya, Pouw Toan dengan sikap tenang-tenang saja mengikuti mereka dan sedikit pun tidak kelihatan takut seolah-olah dia bukan pergi sebagai seorang yang dipaksa dan diancam, melainkah sedang pergi “jalan-jalan” bersama tiga orang sahabatnya, bahkan di sepanjang perjalanan dia bersenandung!

Tak jauh di belakang mereka, seorang pengemis berjalan mengikuti dan pengemis ini tentu saja adalah Si Jari Maut yang semakin tertarik dan semakin kagum terhadap diri pelukis tua itu.

Thio-wangwe menerima kedatangan Pouw Toan dengan girang sekali. Cepat dia sendiri menyambut Pouw Toan dan mempersilakan pelukis itu bersama tiga orang “pengantarnya” masuk ke dalam ruangan tamu di samping rumah dan segera hartawan itu berdandan dan mempersiapkan dirinya untuk dilukis, sedangkan pelayan-pelayannya menyediakan alat lukis seperti yang diminta oleh Pouw Toan karena pelukis ini hanya membawa “senjatanya” saja, yaitu sebuah mauw-pit (pena bulu) alat melukis. Semua ini dilihat oleh Tek Hoat yang kembali sudah mengintai di atas wuwungan rumah gedung itu.

Untuk peristiwa luar biasa yang menggembirakan hatinya ini, Thio-wangwe membolehkan isteri dan para selirnya menonton dia dilukis dan hal ini malah mendatangkan kegembiraan, karena dia pun ingin agar gambarnya memperlihatkan wajah gembira dan bahagia. Di antara para selirnya ada yang mengipasinya, ada yang menyuguhkan hidangan dan minuman dan hartawan ini duduk di atas kursi empuk, tersenyum-senyum memandang kepada Pouw Toan yang asyik melukisnya.

Dan pelukis itu pun nampak melukis dengan sungguh-sungguh, mencorat-coret ke atas kain yang dibentangkan di depannya sedangkan tiga orang pengantarnya tadi duduk di sudut, menghadapi hidangan dan minuman, memandang dengan wajah berseri karena mereka membayangkan upah yang besar dan juga mereka bermaksud untuk merampas uang yang akan dihadiahkan kepada pelukis itu!

Diam-diam Tek Hoat agak kecewa juga. Biarpun pelukis itu bersikap gagah dan berani, namun ternyata dia pun hanya orang yang tunduk terhadap keadaan yang memaksanya sehingga kini, biarpun tidak memperlihatkan rasa takut, tetap saja pelukis itu memenuhi permintaan Si Hartawan, bukan karena uang, melainkan karena paksaan. Kegagahan macam apa ini, pikirnya dengan kecewa.

Akan tetapi dia tetap menanti di atas wuwungan sambil memperhatikan keadaan. Dari tempat dia bersembunyi, dia tidak dapat melihat dengan jelas bagaimana hasil lukisan dari kakek itu.

Kurang lebih setengah jam Pouw Toan membuat corat-coret, kadang-kadang memandang ke arah tuan rumah, kadang-kadang kepada lukisannya dan akhirnya dia mengangkat lukisannya itu ke atas, memandangnya dan berkata dengan wajah berseri,

“Sudah selesai!”

Ketika dia mengangkat lukisannya itu, dari atas genteng Tek Hoat dapat melihat lukisan tadi dan hampir saja dia tertawa bergelak. Dia melihat lukisan yang aneh dan lucu, lukisan seorang yang pakaiannya sama benar dengan pakaian hartawan itu, akan tetapi wajahnya yang biarpun semodel dengan wajah Thio-wangwe, namun mempunyai ciri-ciri seperti wajah seekor babi!

Dan orang bermuka babi itu sedang makan dengan lahapnya, air liurnya membasahi ujung bibir, tangan kiri memegang paha ayam, tangan kanan meraba dada montok seorang wanita setengah telanjang dan ada wanita-wanita cantik lain mengerumuninya. Persis seperti gambar Ti Pat Kai, yaitu tokoh siluman babi menjelma manusia dalam cerita See-yu, yang sedang dirayu oleh sekumpulan siluman wanita. Muka yang seperti babi itu membayangkan nafsu-nafsu angkara murka, penuh dengan gairah berahi dan kegembulan, muka seorang pelahap dan juga seorang yang gila perempuan!

Mendengar pelukis itu mengatakan bahwa lukisannya sudah selesai, Thio-wangwe cepat meloncat bangun berdiri, dengan wajah berseri-seri dia lalu lari menghampiri pelukis itu.

“Sudah selesai? Cepat amat! Wah, perlihatkan padaku....!”

Dan dia pun menyambar lukisan itu dari tangan Pouw Toan, dengan wajah yang gembira dia memandang dan.... seketika matanya terbelalak, mukanya berobah merah sekali.

“Kau.... kau.... sungguh kurang ajar sekali!” teriaknya dan dia merobek lukisan itu menjadi dua dan melemparkannya ke atas lantai.

Pouw Toan bangkit, menjura dan berkata,
“Sudah kukatakan bahwa aku tidak mempunyai keinginan melukismu, Wangwe, oleh karena dipaksa, maka aku hanya melukiskan nafsu-nafsu yang bergelimangan memenuhi tempat ini. Maaf, aku tidak bermaksud menghinamu, Wangwe, akan tetapi aku melihat betapa Wangwe terkurung dalam kurungan emas, terbelenggu oleh nafsu-nafsu yang suatu saat nampak sebagai menyenangkan dan memuaskan, akan tetapi pada lain saat akan berobah menjadi menyusahkan dan mengecewakan, membosankan. Karena itu....”

“Pergi! Kau manusia tidak sopan, pergi dari sini! Hayo bawa dia pergi!” bentak hartawan itu kepada tiga orang yang mengantar Pouw Toan datang tadi.

Utusan Thio-wangwe tadi memberi isyarat kepada dua orang kawannya untuk mengantar Pouw Toan keluar dan dia sendiri tinggal di situ untuk minta upahnya. Dengan uring-uringan Thio-wangwe melemparkan upahnya kepada orang itu yang cepat menyusul teman-temannya keluar.

“Sialan!” katanya kepada teman-temannya. “Upahku diberikan dengan marah-marah, akan tetapi upah lukisan itu dia tidak mau diberikan.”

“Kenapa?” tanya Si Tinggi Besar.

“Kau tidak melihat lukisannya?” Yang ditanya menggeleng.

“Lihat ini! Dia melemparkan lukisan ini pada mukaku ketika aku menuntut upah lukisan!”

Kata utusan itu dan Si Tinggi Besar bersama kawannya lalu melihat lukisan yang telah robek menjadi dua itu di bawah lampu luar gedung. Ketika mereka berdua melihat lukisan itu, seorang di antara mereka tertawa.

“Heh, mirip memang!”

“Hushh!” bentak Si Tinggi Besar. “Si Tua Bangka ini sengaja mempermainkan dan kita yang tidak memperoleh rejeki. Orang macam ini harus dihajar!” bentaknya dan dia menghampiri pelukis itu.

“Sabar, kawan.” kata temannya. “Sebaiknya kita antar dia kembali ke losmen. Tidak ada untungnya memukul orang tua lemah seperti dia.”

Kembali Pouw Toan berjalan seenaknya dan dengan tenang saja diiringkan tiga orang yang kelihatan kecewa dan marah-marah itu. Tak jauh di belakang mereka, Tek Hoat juga selalu membayangi dan diam-diam dia mulai kagum kepada Pouw Toan. Kiranya Pouw Toan tidak mengecewakan hatinya.

Pelukis tua itu benar-benar hebat! Karena dipaksa, dia mau melukis, akan tetapi lukisannya dilakukannya seenak sendiri saja sehingga menjadi lukisan yang mengejek dan menelanjangi hartawan yang berenang dalam lautan nafsu itu. Sungguh tepat sekali lukisannya dan sepatutnya hartawan itu berterima kasih kepadanya karena telah disadarkan!

Setelah tiba di losmen, Si Tinggi Besar itu mengantar Pouw Toan ke kamarnya dan dengan suara keras memerintahkan pelukis itu untuk mengumpulkan seluruh barang bawaan dan miliknya yang berada di kamar itu, kemudian memaksanya keluar lagi.

“Eh, kalian hendak membawaku ke mana lagi?” tanya Pouw Toan.

“Huh, kusuruh melukis!” bentak Si Tinggi Besar.

“Melukis apa?”

“Melukis neraka!”

“Ha-ha-ha, aku senang sekali melukis neraka. Coba katakan, neraka itu macam apa?”

“Tolol! Mana aku pernah melihat neraka?”

“Aku pun belum, ha-ha-ha!” Pouw Toan tertawa senang.

“Mari ikut dengan kami, kau akan melihat neraka dan akan dapat melukisnya.” kata Si Tinggi Besar yang mendorong kakek itu.

Mereka pergi lagi akan tetapi kini mereka membawa Pouw Toan ke luar kota dan di tempat yang sunyi, Si Tinggi Besar merampas buntalan Pouw Toan dari pundaknya.

“Eh, apa yang kau lakukan ini?”

“Aku ingin mengirim kau ke neraka agar engkau dapat melukisnya. Ha-ha-ha! Nah, buka pakaianmu itu!” Si Tinggi Besar menodongkan goloknya. Akan tetapi pada saat itu tampak bayangan berkelebat.

“Desss! Aughhhhh.... !”

Si Tinggi Besar terpelanting ketika pundaknya ditampar oleh Tek Hoat yang tak dapat menahan kesabarannya lagi melihat betapa pelukis itu hendak dibunuh setelah barangnya dirampas, bahkan sebelum dibunuh pakaiannya disuruh buka!

Dua orang teman Si Tinggi Besar terkejut sekali melihat munculnya seorang pengemis yang berani memukul temannya, segera menyerang. Akan tetapi, Tek Hoat menanti sampai tangan yang menyerangnya itu mendekat, kemudian dia mengangkat kedua lengannya menangkis.

“Krek! Krek!”