FB

FB


Ads

Senin, 06 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 048

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali Pek In sudah terbangun dan dia cepat merenggut jubah itu dari tubuhnya ketika melihat betapa dirinya diselimuti jubah itu. Dia bangkit dan melihat Kam Hong masih duduk bersila tak jauh dari situ. Cuaca masih gelap remang-remang tertutup kabut.

“Engkau sudah bangun?” Kam Hong yang peka sekali pendengarannya itu menoleh.

“Terima kasih untuk jubahmu ini”, kata Pek In sambil mengembalikan baju itu kepada Kam Hong yang menerimanya. “Kita harus berangkat sekarang, aku tahu jalannya.”

“Masih agak gelap, sukar melihat jelas ke depan.”

“Aku tahu jalannya, marilah.”

Keduanya lalu bangkit dan berjalan perlahan-lahan meninggalkan tempat itu. Biarpun Pek In sebagai penunjuk jalan berjalan di depan, akan tetapi Kam Hong tak pernah mengurangi kewaspadaan, diam-diam menjaga kalau-kalau Pek In terperosok ke dalam jurang atau mengalami halangan lain.

Matahari pagi telah mengusir kabut gelap ketika mereka keluar dari daerah berbatu itu dan tiba di kaki sebuah bukit.

“Tak jauh lagi dari sini, di lereng bukit itu tempat Suheng bertapa.” kata Pek In dengan nada suara girang.

“Lihat, mereka sudah mengejar!” Tiba-tiba Kam Hong berkata. “Mari kita cepat lari!”

Pek In menengok dan benar saja, lima sosok bayangan sedang menuruni lereng dari mana mereka berdua datang tadi dan gerakan mereka amat cepat.

“Mari kupondong kau, Nona!” kata Kam Hong.

“Tidak, jangan sentuh aku!”

Tiba-tiba Pek In berkata dengan cepat dan wajah Kam Hong menjadi merah sekali ketika dia bertemu pandang dengan dara itu. Dari pandang mata itu dia melihat kemarahan!

“Ahh, aku hanya bermaksud agar kita dapat melarikan diri lebih cepat, Nona, tiada maksud lain.” katanya menghela napas.

Sejenak mereka berpandangan, kemudian Pek In menunduk.
“Maafkan aku.... aku.... biarlah aku lari sendiri saja.”

“Terserah.”

Mereka lalu lari mendaki bukit itu. Akan tetapi, Kam Hong maklum bahwa betapapun lihainya nona ini, namun dalam hal berlari cepat, dia masih kalah jauh dibandingkan dengan Im-kan Ngo-ok, maka kalau terlalu lama waktunya berlari, tentu akan dapat disusul oleh Im-kan Ngo-ok. Dugaannya benar karena kini terdengar bentakan-bentakan dari belakang, tanda bahwa lima orang lawan itu sudah mengejar semakin dekat.

“Nona, mereka telah datang dekat.”

Kata Kam Hong, tidak berani menawarkan lagi untuk memondong nona itu, sungguhpun dia ingin sekali untuk diperbolehkan memondongnya, karena dengan jalan itu dia masih sanggup untuk melarikan diri dari jangkauan lima orang itu. Akan tetapi Pek In berkata, sambil menunjuk ke depan.

“Tempat Suheng sudah dekat!”

“Kalau begitu, cepat kau lari ke sana dan berlindung, biar aku menghalangi mereka mengejarmu, Nona.” kata Kam Hong dan dia sudah berdiri tegak membalikkan diri, menanti datangnya lima orang itu dengan kipas di tangan kiri dan suling emas di tangan kanan.
Sikapnya amat gagah sehingga sejenak Pek In memandang penuh kagum, kemudian dia pun segera lari menuju ke lereng bukit di mana dia tahu terdapat guha tempat suhengnya “bertapa” dan melatih diri dengan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut. Dia belum pernah memasuki guha itu karena dilarang oleh ayahnya, akan tetapi dia sudah tahu tempatnya maka kini dia pun tidak ragu-ragu lari menuju ke situ.

Sementara itu, Kam Hong yang berdiri tegak itu, menghadang datangnya Im-kan Ngo-ok, kini sudah berhadapan dengan mereka.

“Im-kan Ngo-ok, kalau kalian berkeras, terpaksa aku melupakan bahwa kalian adalah tokoh-tokoh besar dunia kang-ouw!” bentak Kam Hong dengan suara tegas dan penuh wibawa.

“Bocah lancang she Kam, lebih baik serahkan suling itu kepada kami!”

Bentak Sam-ok sambil memandang ke arah suling emas di tangan Kam Hong seperti seorang anak kecil melihat sebuah mainan yang amat menarik hatinya.

Tentu saja Im-kan Ngo-ok sudah pernah mendengar tentang keluarga Suling Emas yang meninggalkan pusaka suling emas dan ilmu-ilmu mujijat dan kini melihat pemuda ini, perhatian mereka bercabang, sebagian masih menginginkan Koai-liong Pokiam akan tetapi sebagian lagi menginginkan suling emas pusaka itu!

“Hemm, kalian ini orang-orang tua yang terlalu jauh tersesat.” kata Kam Hong dan dia pun segera menggerakkan suling dan kipas untuk menerjang mereka.

Kini dia menerjang lebih dulu karena dia sedang berusaha untuk mencegah mereka mengejar Pek In yang sudah melanjutkan larinya. Biarlah dara itu menyelamatkan diri lebih dulu karena kalau dara itu sudah terbebas dari ancaman lima orang ini, dia pun akan mudah meninggalkan mereka.

Akan tetapi sekali ini, lima orang Im-kan Ngo-ok agaknya sudah mempersiapkan diri. Dan memang semalam mereka telah berunding bagaimana sebaiknya kalau mereka berhadapan lagi dengan pemuda yang amat lihai itu.






Kemarin sore, Ji-ok, Sam-ok, Su-ok dan Ngo-ok telah mengeroyoknya dan merasakan kelihaiannya yang luar biasa, dan kini mereka semua maju, dipimpin oleh Toa-ok mengeluarkan suara geraman aneh, mereka berlima sudah berlompatan mengurung Kam Hong.

Mula-mula Ngo-ok mengeluarkan gerengan serigala dan tubuhnya sudah berjungkir balik, berloncatan di atas kedua tangan dan kadang-kadang menggunakan kepalanya dengan gerakan yang gesit dan terlatih. Su-ok sudah merendahkan tubuhnya yang sudah pendek sekali itu sehingga dia nampak seperti seekor katak yang siap hendak menerkam dan meloncat, perutnya menggembung mengumpulkan tenaga pukulan Katak Buduk.

Adapun Sam-ok Ban Hwa Sengjin, yang biarpun termasuk orang ke tiga dari mereka namun memiliki kepandaian yang setingkat dengan Ji-ok dan memiliki pengalaman yang paling luas, di antara para saudaranya, juga sudah memasang kuda-kuda kemudian tubuhnya mulailah bergerak berpusing perlahan-lahan seperti kitiran yang mulai digerakkan oleh angin lembut! Inilah pembukaan dari Ilmunya yang paling dia andalkan, yaitu Ilmu Thian-te Hong-i (Hujan Angin Langit Bumi).

Ji-ok, nenek bertopeng tengkorak tulen itu sudah siap dengan ilmunya yang hebat, yaitu pukulan-pukulan dengan Ilmu Kiam-ci atau Jari Pedang, dengan kedua telunjuk tangan berobah berkilauan itu.

Dan orang pertama dari mereka, Toa-ok, juga sudah siap dengan kedua tangan panjang tergantung di kanan kiri, kelihatannya seperti tidak memasang kuda-kuda, akan tetapi kakek seperti gorila ini sesungguhnya amat berbahaya.

Melihat mereka berlima sudah siap dan mulai bergerak mengelilinginya dalam kepungan, Kam Hong menerjang ke arah Toa-ok sebagai orang pertama yang disangkanya tentu paling lihai, sulingnya berobah menjadi sinar kuning emas yang lebar, panjang dan terang, yang mengeluarkan suara melengking merdu. Suara itu menyambar ke arah telinga sedangkan ujung suling menotok ke arah jalan darah di bawah telinga itu.

“Huhhh....!”

Toa-ok mendengus dan lengan kirinya yang panjang itu menyambar, lengannya menangkis suling sedangkan tangannya dilanjutkan mencengkeram ke arah leher lawan. Namun Kam Hong sudah mengelak dan menggerakkan sulingnya ke atas, siap melanjutkan serangannya dan kipasnya dibuka dan diputar ke kiri untuk menangkis serangan Ngo-ok dan Ji-ok sekaligus. Kemudian, dengan mengeluarkan suara berdengung aneh, sulingnya membuat corat-coretan di udara secara aneh karena tubuhnya juga terbawa oleh gerakan suling dan ternyata dia menulis di udara, mencorat-coretkan huruf Tiong yang membuat sulingnya bergerak melingkar membentuk segi empat dan sekaligus setiap gerakan menyerang seorang lawan sehingga empat orang lawan di sekeliling itu disambar sinar suling semua, kecuali Toa-ok yang menerima serangan langsung sebagai penutup huruf Tiong itu, serangan mengerikan karena suling itu menyambar dari atas ke bawah seperti petir menyambar.

“Ohhhh....!”

Toa-ok menahan dengan kedua lengannya, dibantu oleh Ji-ok yang menahan suling itu dengan Kiam-ci.

“Dessas.... takkkk!”

Tubuh Toa-ok dan Ji-ok terpelanting. Mereka tidak terluka hebat, akan tetapi tetap saja mereka terpelanting dan mengalami kekagetan hebat karena serangan suling tadi seolah-olah mereka rasakan seperti serangan petir sungguh-sungguh. Mereka menjadi marah dan mulailah mereka menghujankan serangan bertubi-tubi dan secara teratur, satu demi satu namun saling berganti dan saling membantu sehingga serangan itu terus menerus dan sambung-menyambung.

Menghadapi penyerangan Im-kan Ngo-ok yang agaknya menggabungkan ilmu mereka itu, Kam Hong tidak berani berlaku lengah atau sembrono, maka dia pun mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan tiba-tiba gerakan sulingnya berobah. Dia telah menyimpan kipasnya dan kini dia sepenuhnya mengandalkan sulingnya dalam permainan Kim-siauw Kiam-sut yang luar biasa hebatnya. Nampaklah gelombang sinar dan suara, sinar kuning emas yang memenuhi tempat itu dan gelombang suara yang tinggi rendah, amat aneh dan menggetarkan jantung siapa yang mendengarnya.

Sementara itu, dengan lari secepatnya, akhirnya Cu Pek In telah tiba di daerah guha yang dijadikan tempat berlatih Sim Hong Bu, suhengnya. Akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya ketika dia melihat suhengnya itu duduk di luar guha yang tertutup batu besar itu, duduk di atas sebongkah batu dan di depannya duduk pula seorang gadis cantik yang segera dikenalnya karena gadis itu bukan lain adalah Ci Sian! Akan tetapi rasa girang dan lega hatinya mengalahkan keheranannya maka begitu Hong Bu bangkit berdiri dan memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan berseru,

“Sumoi....!” dia lalu menghampiri dan segera merangkul pundak suhengnya itu dan menangis!

“Eh, ada apakah, Sumoi? Apa yang telah terjadi?” tanya Sim Hong Bu dengan kaget bukan main.

Dia tadi sudah merasa terheran-heran melihat Pek In berlari-lari mendatangi di pagi hari itu dan kini keheranannya bertambah dan dia terkejut melihat sumoinya menangis, hal yang amat jarang terjadi karena sumoinya adalah seorang dara perkasa yang gagah dan bahkan agaknya pantang menangis atau setidaknya juga tidak secengeng wanita biasa.

“Suheng.... aku.... aku baru saja terlepas dari bahaya.... Im-kan Ngo-ok telah menangkapku.... aku.... aku tertolong oleh....“

“Di mana mereka?” Hong Bu sudah memotong kata-kata itu. Pada saat itu terdengarlah bunyi lengking suling itu.

“Penolongku sedang menghadapi mereka.... kau bantulah dia, Suheng....” kata Pek In dan mendengar suling itu, Ci Sian sudah melompat bangun,

“Itu.... itu suling Paman.... eh.... Suhengku Kam Hong....!” Dan dia pun lalu lari ke arah suara suling itu.

Sementara itu, tahulah Hong Bu bahwa sumoinya telah tertolong oleh suheng dari Ci Sian seperti yang diceritakan oleh dara itu, maka dia pun cepat lari memasuki guha, mengambil pedangnya menutup kembali batu depan guha dan menarik tangan sumoinya,

“Mari kita bantu dia!” Mereka pun berlari-lari menuju ke arah suara itu ke mana Ci Sian sudah lebih dulu lari.

Ketika Hong Bu dan Pek In tiba di tempat itu, mereka melihat Ci Sian sudah berada disitu dan mendengar dara ini mengeluarkan suara keras, memaki-maki dan mengejek lima orang pengeroyok itu.

“Cih, kalian ini lima ekor siluman tua bangka sungguh tak bermalu! Mau ditaruh ke mana muka kalian yang perot kempot itu, hah? Lima tua bangka mengeroyok seorang pemuda, sungguh tak tahu malu. Itukah namanya tokoh kang-ouw? Huh, pengecut curang, tak berharga! Malu! Malu!”.

Diam-diam Hong Bu tersenyum geli dan tahulah dia bahwa Ci Sian adalah seorang dara yang penuh semangat dan gairah, jenaka, galak, keras, hangat dan beraninya luar biasa.

Akan tetapi dia pun amat kagum menyaksikan sinar kuning emas bergulung-gulung seperti gelombang dahsyat itu, dan karena memang sejak pertemuan pertama kali dia sudah amat kagum kepada Kam Hong, maka kini diam-diam dia merasa semakin kagum dan suka kepada pendekar sakti itu.

Akan tetapi dia pun terkejut karena maklum bahwa lima orang pengeroyok itu pun bukan orang sembarangan dan merupakan orang-orang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi bukan main. Oleh karena itu, tanpa ragu-ragu lagi dia pun lalu meloncat ke depan, menghunus pedangnya dan berseru.

“Kam-taihiap, biar aku membantumu!”

Kam Hong sudah melihat munculnya Ci Sian dan hatinya merasa girang, akan tetapi juga mulai khawatir. Tadi dia melindungi Pek In dan setelah nona itu dapat menyelamatkan diri, eh, kini muncul Ci Sian yang tentu saja harus dilindunginya! Kemudian muncul pula Pek In dan seorang pemuda yang kelihatannya gagah perkasa sekali.

Ketika dia melihat pemuda itu mencabut pedang dan meloncat ke dalam pertandingan, dia merasa kaget dan kagum bukan main, juga sekarang dia mulai ingat bahwa dia agaknya pernah bartermu dengan pemuda perkasa ini. Namun dia tidak sempat bertanya atau mengingat-ingat karena dia sudah dibikin kagum bukan main menyaksikan gerakan pedang dari pemuda itu. Gerakan pedang yang mengimbangi gelombang sinar sulingnya, dan pedang itu bahkan mengeluarkan pula suara mengaung-ngaung yang menandingi lengking suara sulingnya! Sebatang pedang yang ampuh dan Ilmu pedang yang luar biasa.

“Ah, Koai-liong Po-kiam dan Suling Emas kedua-duanya diserahkan kepada kita, ha-ha!”

Sam-ok tertawa akan tetapi suara ketawanya ini sebetulnya hanya untuk menyembunyikan rasa khawatirnya menyaksikan permainan pedang sehebat itu yang membantu gelombang sinar suling yang sukar dilawan itu.

Dan memang kekhawatiran Sam-ok itu beralasan. Hebat bukan main permainan suling dan pedang itu, bergulung-gulung seperti dua ekor naga bermain-main di angkasa, bergelombang seperti badai mengamuk sehingga tempat itu penuh dengan sinar pedang yang kebiruan dan sinar suling yang keemasan!

Indah bukan main sehingga baik Pek In maupun Ci Sian sampai memandang bengong terlongong. Indah dan juga menggetarkan sampai debu salju bertebaran dan semua itu ditambah lagi dengan suara melengking dari suling dan suara mengaung dari pedang, seolah-olah ada dua suara saling sahut atau saling mengiringi dalam perpaduan suara yang aneh sekali.

Lima orang Im-kan Ngo-ok itu berusaha untuk mempertahankan diri, akan tetapi kini keadaannya berbalik sudah. Bukan Im-kan Ngo-ok berlima yang mengeroyok, bahkan mereka berlima itulah yang terkurung dan terdesak oleh sinar pedang dan suling yang datang dari semua jurusan, seolah-olah mereka itu dikeroyok oleh belasan orang lawan!

Selama mereka hidup, baru sekarang Im-kan Ngo-ok mengalami hal seperti ini, bertemu dengan dua orang muda yang tak terkenal, akan tetapi telah memiliki kepandaian yang luar biasa dahsyatnya dan masing-masing memegang pusaka-pusaka yang telah dijadikan perebutan oleh dunia kang-ouw. Suling Emas dan Pedang Naga Siluman muncul bersama! Bukan main!

Tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan susul-menyusul dan mula-mula tubuh Ngo-ok yang berjungkir balik itu roboh terguling disusul terlemparnya tubuh Su-ok dan keduanya memegangi pundak dan paha yang berdarah terkena sambaran pedang!

Kemudian disusul Toa-ok terjengkang terkena totokan ujung suling yang mengenai pundak kirinya, dan juga Ji-ok terkena hantaman suling pada punggungnya yang membuat nenek ini terguling. Pada saat yang berikutnya, hanya berselisih beberapa detik saja, sinar pedang dan sinar suling menyambar ke arah Sam-ok! Sam-ok sudah ternganga ketika sinar biru menyambar ke arah lehernya!

“Tak perlu membunuh!”

Terdengar Kam Hong berseru dan Sam-ok roboh terguling kena tertotok ujung suling yang mengenai tengkuknya, disusul suara “cringgg!” nyaring sekali disertai muncratnya bunga api ketika suling itu langsung menangkis pedang yang nyaris membabat leher Sam-ok.

Baik Kam Hong maupun Hong Bu meloncat ke belakang dengan tangan tergetar dan cepat mereka memeriksa senjata masing-masing dan merasa lega bahwa senjata mereka tidak rusak.

Lima orang Im-kan Ngo-ok itu tidak terluka parah dan mereka sudah bangkit kembali, sejenak memandang kepada dua orang muda itu bergantian, kemudian mereka lalu melompat dan pergi meninggalkan tempat itu tanpa sepatah kata pun kata keluar dari mulut mereka.

“Tak usah dikejar, musuh yang sudah mengaku kalah dan melarikan diri.” kata pula Kam Hong melihat Hong Bu hendak mengejar mereka.

Sim Hong Bu menyimpan pedangnya dan menghadapi Kam Hong, sinar matanya penuh kagum dan ia lalu menjura.

“Sungguh beruntung dapat bertemu dengan Kam-taihiap lagi di tempat ini, terutama dapat menikmati Ilmu Taihiap yang sungguh mengagumkan sekali.”

Kam Hong menarik napas panjang. Dia kini dapat mengerti bahwa pemuda inilah yang menjadi suheng dari Pek In dan kalau pemuda ini dengan pedang yang diandalkan oleh keluarga Cu, maka mereka itu bukanlah omong kosong belaka,

“Engkau pun memiliki kepandaian yang amat mengagumkan hatiku, orang muda....”

“Taihiap, namaku adalah Sim Hong Bu, kita pernah saling bertemu beberapa tahun yang lalu....”

“Hong Bu pernah menolongku ketika Su-bi Mo-li muncul dahulu, Paman.... eh, Suheng....!” kata Ci Sian dan mendengar sebutan yang ragu-ragu ini, Kam Hong tersenyum.

Dia maklum akan isi hati dara ini, yang tentu telah bercerita kepada Hong Bu bahwa dia adalah suhengnya, maka kini menyebutnya suheng. Dan memang sesungguhnyalah, bukankah Ci Sian itu sumoinya, mengingat bahwa mereka berdualah yang berhak menjadi murid kakek kuno yang mewariskan ilmu-ilmu itu. Mereka berdua sajalah yang berhak menyebut diri sebagai pewaris-pewaris ilmu itu dan menjadi murid jenazah kuno yang bernama Cu Keng Ong itu. Dan karena itu, maka sudah sepatutnyalah kalau mereka berdua saling menyebut suheng dan sumoi. Untuk menghilangkan keraguan Ci Sian dan juga untuk memberi muka kepada dara itu, dia pun lalu menjawab.

“Ya, aku teringat akan hal itu, Sumoi. Memang Sim Hong Bu ini seorang yang gagah, dahulu menolongmu dan sekarang pun menolongku pula.”

“Ah, Kam-taihiap harap jangan merendahkan diri, sesungguhnya bukan aku yang menolong Taihiap, melainkan Taihiaplah yang menolong Sumoiku....”

“Eh, Hong Bu, setelah kita saling mengenal seperti ini, perlu lagikah engkau menyebut-nyebut Taihiap kepada Suheng? Rasanya tidak enak benar.” Ci Sian mencela.

Kam Hong tertawa.
“Benar apa yang dikatakan Sumoi. Hong Bu, mulai sekarang, jangan menyebut Taihiap, sebut saja Toako, cukuplah.”

“Suheng, mari kita pergi dari sini.... Ayah tentu akan merasa gelisah sekali karena sejak kemarin aku belum pulang. Kau antarlah aku pulang agar Ayah dan para Paman percaya apa yang telah terjadi.” kata Pek In dan dia pun lalu memegang tangan Hong Bu dan menarik pemuda itu untuk pergi.

“Sumoi, engkau telah diselamatkan oleh Kam-tai.... Kam-twako, sepatutnya kita menghaturkan terima kasih.”

“Aku.... aku....!” Pek In memandang bingung dan membuang muka.

Kam Hong maklum akan apa yang dirasakan oleh dara itu, maka dia pun tertawa.
“Sudahlah, di antara kita, perlukah bersikap sungkan dan pakai segala macam terima kasih segala?”

“Suheng, marilah!”

Pek In kembali menarik tangan Hong Bu. Pemuda ini memandang kepada Ci Sian dengan pandang mata penuh kasih sayang dan kemesraan, juga penuh dengan perasaan kecewa dan duka karena mereka harus berpisah itu.

“Ci Sian.... kapankah kita dapat saling bertemu kembali?”

Suara pemuda remaja itu terdengar gemetar penuh perasaan, penuh harapan. Sinar matanya dan suaranya ini tidak terlepas dari perhatian Kam Hong yang berpandangan tajam dan tahulah dia bahwa pemuda perkasa itu agaknya jatuh hati kepada Ci Sian!

Juga Pek In adalah seorang wanita dan biasanya seorang wanita amat peka terhadap sikap pria dan seorang wanita akan mudah sekali mengetahui apabila melihat pria yang jatuh cinta, maka Pek In juga dapat melihat sinar mata penuh kasih dan suara yang menggetar mesra penuh harapan itu.

Pada saat yang sama itu, timbullah rasa cemburu yang amat menyakitkan hati di dalam diri Cu Pek In dan.... Kam Hong! Pendekar ini terkejut sendiri dan cepat dia memejamkan mata dan menarik napas panjang untuk mengusir pikiran yang dianggapnya tidak benar itu. Mengapa dia merasa cemburu kalau ada seorang pemuda jatuh cinta kepada Ci Sian, hal yang sudah sewajarnya itu?

Sementara itu, Ci Sian sendiri hanya merasa suka terhadap Hong Bu, pemuda yang selain amat baik, gagah perkasa, ternyata juga memiliki ilmu kepandaian yang hebat itu. Dalam keadaan biasa, tentu dia pun akan bersikap biasa dan ramah saja. terhadap pemuda itu.

Akan tetapi melihat betapa sikap Pek In amat mesra dan manja, melihat betapa dara itu kelihatan tidak senang ketika Hong Bu bicara dengannya, timbul perasaan panas di hati dara ini. Maka dia pun tersenyum manis sekali kepada Hong Bu dan berkata.

“Hong Bu, kalau ada jodoh tentu kita kelak akan dapat saling bertemu kembali! Selamat berpisah Hong Bu.”

Ucapan ini sebetulnya biasa, akan tetapi karena sikap Ci Sian sengaja dibuat menjadi amat mesra, maka tentu saja kata-kata itu bisa diartikan lain, yaitu memang dara ini mengharapkan dengan sangat akan pertemuan kembali antara mereka, bahkan memakai kata “jodoh” segala! Pek In menjadi semakin cemberut, menarik tangan suhengnya dan berkata,

“Marilah Suheng!”,

Karena ditarik tangannya, terpaksa Hong Bu pergi juga, akan tetapi sampai tiga kali dia menoleh ke arah Ci Sian yang berdiri sambil memandang dengan tersenyum manis.

“Dia memang seorang pemuda yang hebat!”

Mendengar ucapan Kam Hong ini, Ci Sian terkejut. Dia tadi masih memandang ke arah lenyapnya bayangan dua orang itu, dan kini dia terkejut mendengar kata-kata Kam Hong, bukan terkejut karena isi kalimatnya, melainkan karena suaranya. Suaranya amat berbeda, dan ketika dia menoleh dan memandang, dia merasa lebih berat lagi karena pada wajah yang tampan itu tampak bayangan kemarahan!

“Paman.... eh, Suheng.... bolehkan aku mulai sekarang menyebutmu Suheng saja? Bukankah engkau telah menganggapku sebagai Sumoi karena kita sama-sama menjadi murid jenazah kuno.... eh, siapa namanya...., Cu Keng Ong itu?”

Baru saja hatinya penuh dengan cemburu, akan tetapi kini melihat wajah Ci Sian yang cerah dan mendengar ucapannya, lenyaplah rasa cemburu itu dan Kam Hong tersenyum, lalu mengangguk.

“Tentu saja boleh, bahkan engkau seharusnya menyebut aku Suheng, Sumoi.”

Ci Sian juga sudah merasa lega melihat Kam Hong tersenyum,
“Eh, Suheng, engkau tadi kenapa sih?”

“Kenapa bagaimana?”