FB

FB


Ads

Jumat, 03 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 040

Gadis itu bersilat dengan cepatnya. Gerakannya amat gesit, pukulan-pukulannya mendatangkan angin bersuitan dan daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang, bahkan ada yang rontok tertiup angin pukulan kedua tangan dan kakinya yang berloncatan ke sana sini seperti seekor burung yang sedang berlagak di pagi hari itu. Pagi hari itu cerah dan indah sekali dan lapangan rumput itu amat bersih kehijauan segar, hening tidak nampak seorang pun manusia lain di situ.

Gadis itu memang lihai sekali karena dia ini bukan lain adalah Yu Hwi. Usianya sudah dua puluh delapan tahun, akan tetapi dia nampak masih muda, agaknya hanya dua puluh dua atau dua puluh tiga tahun. Pakaiannya yang serba merah muda itu membuat dia nampak lebih muda dari pada usia yang sebenarnya.

Dan memang gadis ini lihai bukan main. Apalagi sekarang setelah dia menjadi murid tersayang dari Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sakti, tentu saja kepandaiannya meningkat dengan amat pesatnya. Dahulupun, dia telah merupakan seorang pendekar wanita yang amat lihai, yang terkenal dengan julukan Ang Siocia karena pakaiannya selalu kemerahan.

Dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sim Touw-ong Si Raja Maling, dia telah mewarisi ilmu silat yang tinggi, bahkan ilmunya yang disebut Kiam-to Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok) amat hebatnya. Dengan tangan kosong dia mampu memutuskan benda-benda keras seperti disabet dengan pedang atau golok saja! Di samping ilmu Kiam-to Sin-ciang ini, dia pun terkenal pandai melakukan penyamarannya, dan pandai pula dalam ilmu mencuri atau mencopet, kepandaian khas dari Hek-sim Touw-ong! .

Seperti telah kita ketahui dari cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI, hati gadis ini merasa kecewa bukan main. Sebagai seorang dara jelita, dia pernah jatuh cinta. Dia jatuh hati kepada seorang pendekar sakti, yaitu Pendekar Siluman Kecil, atau Suma Kian Bu putera dari Pendekar Super Sakti majikan Pulau Es! Akan tetapi cintanya bertepuk tangan sebelah, pendekar yang dicintanya itu ternyata mencinta dara lain sehingga hati gadis ini menjadi hancur dan patah-patah.

Kemudian, Yu Hwi mendengar tentang rahasia dirinya, bahwa dia adalah cucu dari Sai-cu Kai-ong Yu Kong Tek dan bahwa semenjak kecil dia diculik oleh gurunya Si Raja Maling. Hal ini tidak menyusahkan hatinya, akan tetapi betapa kaget hatinya ketika dia mendengar bahwa dia sejak kecil telah ditunangkan dengan seorang anak laki-laki yang bukan lain adalah Siauw Hong atau Kam Hong, pemuda yang sudah dikenalnya, bahkan pemuda yang tanpa disengaja pernah membuka rahasia penyamarannya sebagai seorang pemuda (baca cerita JODOH SEPASANG RAJAWALI).

Maka, karena malu terhadap Kam Hong, juga karena berduka mengingat bahwa hatinya telah jatuh cinta kepada Siluman Kecil, Yu Hwi lalu melarikan diri, meninggalkan kakeknya, dan mengambil keputusan tidak mau kembali lagi. Dia telah gagal cintanya dengan Siluman Kecil, dan dia tidak sudi dikawinkan dengan orang lain, apalagi yang bukan pilihannya sendiri, sungguhpun harus diakuinya bahwa tunangannya itu adalah seorang pemuda yang hebat pula. Dia sudah terlanjur malu dan tidak mau kembali lagi.

Dan di dalam perjalanannya itulah dia bertemu dengan Cui-beng Sian-Ii Tang Cun Ciu dan diambil sebagai murid. Hatinya girang sekali, apalagi ketika dia diperkenalkan dengan keluarga sakti yang menjadi penghuni Lembah Suling Emas. Hatinya kagum bukan main, terutama sekali kepada seorang di antara para tokoh lembah itu, yang masih terhitung susioknya (paman seperguruannya), yaitu yang bernama Cu Kang Bu, pemuda sakti tinggi besar dan gagah itu. Dia merasa kagum bukan main terhadap keluarga yang amat sakti itu, terutama para paman gurunya yang menurut subonya bahkan lebih lihai daripada subonya sendiri yang sudah amat dikaguminya itu!

Selama beberapa hari ini, subonya nampak murung saja, akan tetapi hatinya girang karena subonya mengatakan bahwa pelajarannya telah tamat, dan bahwa waktu yang lima tahun itu sudah hampir tiba dan dia akan harus berhadapan dengan murid See-thian Coa-ong untuk memenuhi janji dua orang yang bermusuhan secara aneh itu, untuk menentukan siapa yang lebih unggul.

Dahulu, dalam pertempuran mati-matian, antara Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu dan See-thian Coa-ong, tidak ada yang kalah atau menang, kepandaian mereka seimbang. Maka kini, murid-murid mereka yang akan menentukan siapa yang lebih unggul di antara mereka.

Yu Hwi merasa girang, bukan hanya karena dia akan bertanding mewakili subonya, melainkan karena dia telah bebas dan setelah melakukan pertandingan itu, dia boleh turun gunung atau pergi dari tempat itu, melanjutkan perjalanan atau perantauannya. Dan dia sudah merasa rindu untuk kembali ke timur, ke dunia ramai.

Akan tetapi, harus diakui bahwa ada sesuatu yang membuat dia merasa berat meninggalkan Lembah Suling Emas, dan selama berbulan ini wajah yang gagah dari susioknya sering muncul di alam mimpi, menggerakkan gairah dalam hatinya yang sudah lebih dari dewasa, bahkan yang sudah agak lambat itu, mengingat usianya sudah dua puluh delapan tahun!

Pagi hari itu, dalam cuaca cerah dari hari yang indah itu, Yu Hwi bersilat dengan tangan kosong, berlatih sebaik-baiknya dan dia merasa girang karena dia dapat bergerak dengan lancar sekali dan merasa yakin bahwa dalam mewakili subonya, dia tentu akan dapat mengalahkan anak perempuan murid See-thian Coa-ong yang bicara lancang tentang Kam Hong itu!

Setelah dia berhenti bersilat dan menghapus keringat di lehernya, tiba-tiba terdengar tepuk tangan. Yu Hwi terkejut bukan main. Kalau ada orang mampu datang ke tempat itu tanpa diketahuinya, tentu ilmu kepandaian orang itu tinggi bukan main. Akan tetapi ketika dia menoleh dengan kaget dan melihat siapa yang bertepuk tangan itu, wajahnya berseri dan kedua pipinya berobah kemerahan.

“Aihh.... kiranya Sam-susiok (Paman Guru ke Tiga).... ah, gerakanku amat buruk, harap Susiok jangan mentertawakan.” katanya dengan sikap agak genit, tersenyum manis dan mengerling tajam.

Pria yang tinggi besar dan berusia sekitar tiga puluh lima tahun itu, tersenyum dan meloncat turun dari atas sebuah batu besar di mana dia tadi berdiri, menghampiri gadis itu dengan pandang mata penuh kagum.

“Sungguh mati, Yu Hwi, aku tidak mentertawakan. Gerakan-gerakanmu tadi lincah dan hebat, dan amat manis sekali, sungguhpun aku melihat adanya beberapa kelemahan yang agaknya tidak nampak oleh Subomu.”

“Ah, betulkah Sam-susiok? Harap Susiok sudi memberi petunjuk kepadaku. Harap Susiok ingat bahwa beberapa hari lagi aku harus menghadapi murid See-thian Coa-ong mewakili Subo untuk mengadu kepandaian seperti janji mereka lima tahun yang lalu.”

Pria itu menarik napas panjang.
“Ahhh Toaso, Subomu itu, selalu menuruti hati panas sehingga suka berjanji untuk mengadu ilmu. Mempelajari Ilmu silat bukan untuk diadu seperti ayam jago atau jangkerik.”






Yu Hwi tersenyum.
“Betapa pun, janji tetap janji dan apa jadinya kalau Subo melanggar janjinya? Sam-susiok, berlakulah baik untuk memberi petunjuk agar aku dapat memperbaiki kekurangan atau kesalahan itu. Susiok tidak ingin melihat aku kalah dalam pertandingan itu, bukan?”
“Tentu saja tidak. Nah, dalam jurus ke sebelas dan dua belas, juga jurus ke sembilan belas dan ke dua puluh, engkau terlalu menekankan kepada penyerangan, terlalu bernafsu sehingga engkau melalaikan pertahananmu sehingga pada bagian-bagian itu pertahananmu amat lemah dan mudah sekali dimasuki lawan.”

“Ah, begitukah, Susiok? Akan tetapi menurut Subo, permainanku sudah sempurna.” kata Yu Hwi dengan kaget.

“Mari kita coba. Kau seranglah aku dengan jurus ke sebelas itu.”

Karena maklum betapa lihainya susioknya yang ganteng dan gagah ini, yang menurut subonya memiliki tingkat kepandaian lebih tinggi dari subonya, dan karena dia akan memperoleh petunjuk, maka Yu Hwi menjadi girang dan tanpa ragu-ragu dia lalu mengerahkan tenaganya dan menyerang sambil berseru,

“Awas Susiok!”

Jurus ke sebelas ini disebut Lam-hong Tong-te (Angin Selatan Getarkan Bumi), dilakukan dengan pukulan tangan kiri yang disambung dengan langkah kaki kanan ke depan kemudian kaki kiri menyambar dari samping dengan jalan memutar. Amat cepat dan tidak tersangka lawan, berbahaya sekali.

“Pinggang kananmu terbuka!”

Kata Kang Bu dan dengan memutar tubuh, setelah mengelak dan menepuk kaki yang menendang, tahu-tahu tangannya sudah mencengkeram ke arah pinggang kanan Yu Hwi. Tentu, saja tidak dia lanjutkan, hanya jari-jari tangannya menyentuh pinggang itu, menimbulkan rasa geli.

“Seharusnya tangan kananmu merapat ke pinggang, seperti ini!”

Dengan jelas Kang Bu lalu memberi contoh dan memegang tangan kanan Yu Hwi, merapatkan di pinggang.

“Mengertikah engkau? Setiap serangan sudah tentu membuka sebagian dari tubuh kita, dan hal itu akan dipergunakan oleh lawan yang tangguh untuk mencari titik kelemahan kita, oleh karena itu di samping penyerangan, kita harus mengenal titik kelemahan sendiri sewaktu menyerang dan sedapat mungkin melindungi kelemahan itu”.

Yu Hwi mengerti dan mengulang jurus itu sampai beberapa kali dan Kang Bu mengangguk-angguk puas.

“Nah, sekarang coba serang aku dengan jurus ke dua belas.” katanya pula.

“Baik, nah, awas Susiok! Haittt....!”

Jurus ke dua belas ini memang seharusnya dilakukan dengan bentakan nyaring. Jurus ini disebut Sia-hong-khai-bun (Angin Bawah Membuka Pintu). Serangan ini lebih hebat daripada tadi karena tiba-tiba dara itu merendahkan tubuhnya dengan menekuk kedua lututnya dan kedua tangannya mendorong dari bawah ke atas dengan kekuatan hebat karena didasari tenaga sin-kang yang amat kuat sehingga angin pukulannya menyambar dahsyat.

Namun tiba-tiba tubuh Kang Bu meloncat ke atas, berjungkir balik dan kedua tangannya dari atas melakukan dua pukulan, yang kiri menusuk ke arah mata Yu Hwi sedangkan yang kanan mencengkeram ke arah ubun-ubun!

“Aihhh....!”

Yu Hwi terkejut sekali dan cepat dia membuang tubuh ke belakang dan bergulingan, mukanya berobah pucat.

Kang Bu sudah berdiri di depannya sambil tersenyum.
“Bagus sekali cara engkau menyelamatkan diri. Akan tetapi hal itu tidak perlu karena apa kau kira aku hendak mencelakakan engkau dengan sungguh-sungguh?”

“Aku.... aku kaget, Susiok....“ kata Yu Hwi dan dia pun tersenyum malu-malu ketika Kang Bu membantunya membersihkan pakaiannya yang terkena tanah ketika dia bergulingan tadi.

“Nah, engkau lihat betapa berbahayanya kalau engkau mencurahkan seluruh tenaga dan perhatianmu untuk jurus ke dua belas itu. Memang jurus ini merupakan jurus berbahaya bagi lawan, akan tetapi kalau lawanmu memiliki ginkang yang tinggi dan melihat keterbukaan bagian kepalamu, engkau sebaliknya akan terancam bahaya. Oleh karena itu, pada saat memukul, perhatikan gerakan musuh, kalau dia membalikkan keadaan dengan meloncat dan mengancam kepalamu, kau tinggal melanjutkan pukulan itu ke atas, mendahuluinya, dan menghantamnya dari bawah. Mengertikah engkau?”

“Baik, aku mengerti dan terima kasih, Sam-susiok. Memang engkau benar sekali, Susiok.”

“Sekarang jurus ke sembilan belas dan dua puluh. Kedua jurus itu merupakan jurus yang bergandengan, yaitu See-hong-coan-in (Angin Barat Menerjang Awan) yang disambung dengan Pak-hong-sang-thian (Angin Utara Naik Langit) merupakan dua jurus terampuh darl Ilmu Silat Pat-hong Sin-kun (Ilmu Silat Delapan Penjuru Angin) itu. Coba kau serang aku dengan dua jurus yang bersambungan itu.”

“Baik, Susiok.”

Yu Hwi lalu menyerang, gerakannya cepat bukan main, kedua tangan bergantian melakukan pukulan sambil meloncat, kemudian dengan kedua kaki ditekuk dua tangannya menyambar ke depan ke arah leher dan pusar lawan.

“Lihat dadamu terbuka!”

Terdengar susioknya itu berkata dan kedua tangannya telah terpentang oleh tangkisan dan tangan susioknya yag besar dan kuat itu sudah mencengkeram ke arah dadanya, hampir saja menyentuh buah dadanya, akan tetapi Kang Bu sudah cepat menarik kembali tangannya.

Kemudian Yu Hwi melanjutkan gerakannya, tubuhnya meloncaat ke atas dan kedua kakinya menyerang dengan totokan dari atas kearah pundak dan ubun-ubun kepala lawan. Gerakannya memang cepat bukan main sehingga dalam pertandingan yang sungguh-sungguh, fihak lawan akan terancam bahaya.

“Bagian belakangmu kosong!”

Teriak pula Kang Bu dan dia sudah menggeser kaki sehingga dua tendangan itu luput dan tahu-tahu tubuhnya telah berada di sebelah belakang Yu Hwi dan sekali tangannya menyambar, sepatu kiri Yu Hwi telah copot!

“Ihhh....!”

Yu Hwi terkejut dan melayang turun dengan muka merah, memandang ke arah kakinya yang hanya tinggal berkaus saja sedangkan sepatu kaki kirinya telah berada ditangan susioknya.

“Maaf, ini hanya untuk membuktikan betapa bahayanya jurus-jurus itu kalau engkau tidak hati-hati. Jadi ingat baik-baik, jurus ke sembilan belas jaga baik-baik dadamu dan jurus ke dua puluh memiliki kelemahan di bagian belakang tubuhmu ketika engkau meloncat.”

Yu Hwi tidak dapat berkata-kata, mukanya merah sekali dan jantungnya berdebar-debar, ketika dia melihat betapa paman gurunya itu berjongkok dan memasangkan sepatu kirinya. Lebih berdebar lagi rasa jantungnya ketika dia melihat betapa jari-jari tangan yang kokoh kuat dari pendekar yang lihai itu gemetar tidak karuan ketika membantunya memakai kembali sepatunya!

Mereka lalu duduk berhadapan di atas rumput hijau, bercakap-cakap dengan mesranya. Seperti biasa, dalam pertemuan dan percakapan ini, Cu Kang Bu memberi petunjuk-petunjuk dalam hal ilmu silat kepada Yu Hwi, sikapnya amat ramah dan juga mesra, jelas sekali nampak betapa pria muda itu “ada hati” terhadap murid keponakan yang manis itu!

Dan diam-diam Yu Hwi juga harus mengakui bahwa dia amat tertarik kepada pemuda ini, seorang pria yang jantan, matang, pendiam, jujur dan tidak pernah berpura-pura, sikapnya terbuka dan Ilmu kepandaiannya amat luar biasa. Pria seperti ini dapat dibandingkan dengan Pendekar Siluman Kecil sekalipun!

Tanpa mereka sadari, dari tempat yang agak jauh, sepasang mata yang bening memandang ke arah mereka, dan kemudian sepasang mata itu nampak tidak senang, kemudian lenyap. Tiba-tiba Yu Hwi berkata, suaranya halus dan lembut, agak mengandung kemanjaan seorang wanita yang yakin bahwa dirinya dicinta.

“Sam-Susiok....”

“Eh, mengapa? Mengapa tidak kau lanjutkan bicaramu?”

Kang Bu bertanya sambil memandang heran, melihat betapa dara itu memanggilnya kemudian menunduk, dan kelihatannya seperti ragu-ragu dan bimbang.

“Aku hendak bertanya sesuatu, akan tetapi takut Susiok marah.”

Kang Bu tertawa, ketawanya bebas lepas.
“Ha-ha-ha-ha, engkau aneh sekali, Yu Hwi. Pernahkah aku marah kepadamu? Dan pula, kenapa aku harus marah?”

Yu Hwi mengingat-ingat dan memang belum pernah susioknya ini marah. Semenjak dia diperkenalkan kepada para penghui Lembah Suling Emas, dia merasa amat takut kepada toa-susioknya, yaitu Cu Han Bu, yang sikapnya pendiam, serius dan kelihatan galak. Juga dia tidak pernah bicara dengan ji-susioknya, yaitu Cu Seng Bu yang juga pendiam.

Hanya kepada sam-susiok ini saja dia merasa suka dan cocok, dan susioknya ini selain amat ramah dan baik, juga usianya tidak banyak selisihnya dengan dia. Susioknya ini paling banyak berusia tiga puluh empat tahun. Apalagi semenjak diperkenalkan, dari sinar mata sam-susioknya ini dia tahu bahwa pendekar gagah ini tertarik dan sayang kepadanya. Naluri kewanitaannya amat tajam dan tentu saja dia dapat menangkap hal ini.

“Tapi aku khawatir kalau-kalau engkau marah mendengar pertanyaanku ini, Sam-susiok.”

“Ha-ha, kalau aku marah, biarlah engkau hitung-hitung mengalami satu kali mendapat marah dariku!” Pendekar itu lalu memandang dengan matanya yang lebar dan mencorong. “Yu Hwi, katakanlah, apa yang akan kau tanyakan kepadaku?”

“Sam-susiok.... aku ingin sekali tahu lebih banyak tentang keluargamu, keluarga Suling Emas yang amat sakti itu. Kulihat Toa-susiok sudah menduda, padahal dia belum tua benar, dan Pek In semenjak kecil tidak beribu. Kenapa Toa-susiok tidak pernah menikah lagi, Susiok? Dan juga Ji-susiok tidak pernah menikah....”

“Ah, engkau tidak tahu, Yu Hwi. Twako kematian isterinya yang sangat dicintainya dan dia tidak berani menikah lagi, tidak melihat adanya wanita yang dapat menggantikan isterinya, apalagi setelah melihat betapa mendiang Twako Cu San Bu suami Subomu itu menderita karena ulah isterinya. Maka dia tidak percaya lagi kepada wanita dan memilih tidak kawin lagi selamanya. Adapun Ji-ko Cu Seng Bu, dia.... dia itu mempunyai penyakit sejak kecil, penyakit yang tidak dapat disembuhkan dan kalau dia menikah, maka penyakit itu akan membahayakan nyawanya. Selain itu, dia melihat kehidupan yang sengsara dari mendiang Twako Cu San Bu dan Cu Han Bu sehingga dia merasa ngeri untuk menikah.”

“Akan tetapi, keluarga Cu belum memiliki keturunan seorang laki-laki “

Cu Kang Bu menghela napas panjang.
“Memang hal itu kadang-kadang menggelisahkan kami. Akan tetapi semenjak datang Sim Hong Bu, hati kami terhibur. Anak itu baik sekali, dan memiliki bakat yang amat besar. Dia telah dipilih oleh mendiang Toapek, dan ternyata dia dapat mewarisi ilmu kami dengan baik. Biarlah dia yang menjadi murid dan juga keturunan kami, siapa tahu dia kelak akan dapat menjadi suami Pek In seperti yang telah direncanakan dan diharapkan oleh Twako Han Bu....“

“Ah, apakah di antara Sumoi dan Sute itu ada pertalian cinta....?”

Yang ditanya menggeleng kepala.
“Mereka itu masih terlalu muda kiraku untuk itu, akan tetapi hubungan di antara mereka cukup baik. Kau tahu, murid kami Hong Bu itu memang hebat sekali. Dia bahkan sudah berhasil, atau hampir berhasil melatih ilmu yang ditinggalkan oleh Ouwyang-toapek, ilmu yang amat sukar dan mujijat itu....“

“Koai-liong Kiam-sut?”

Yang ditanya mengangguk dan sejenak mereka diam.

“Sam-susiok “

“Ya....?”

“Bagaimana dengan kau sendiri?”

“Aku mengapa?”

“Maksudku.... eh, apakah engkau juga seperti Ji-susiok yang merasa ngeri menghadapi pernikahan dan menganggap tidak ada wanita yang patut menjadi.... eh, jodohmu?”

Pertanyaan itu membuat wajah pendekar tinggi besar itu menjadi merah.
“Aku.... eh, aku tidak pernah.... aku belum memikirkan soal jodoh....“ jawabnya gagap.

Pendekar sakti yang menghadapi ancaman maut apapun juga akan bersikap tenang ini, menghadapi pertanyaan tentang jodoh itu menjadi gugup. Sungguh hebat!

“Ah, Sam-susiok, kenapa?”

“Aku.... eh, kurasa belum waktunya bagiku untuk memikirkan jodoh.

“Belum waktunya? Menurut dugaanku, Sam-susiok tentu sudah berusia tidak kurang dari tiga puluh tiga tahun sekarang....”

“Sudah tiga puluh lima.”

“Nah, kenapa masih belum waktunya? Apakah engkau tidak hendak menikah kalau sudah berusia setengah abad?”

“Ha, bukan begitu, Yu Hwi, akan tetapi.... selama ini memang belum ada seorang gadis yang cocok untukku.... dan sekarang.... setelah ada yang cocok, hemm.... aku mungkin sudah terlalu tua untuknya.”

Yu Hwi adalah seorang dara yang sudah matang, maka tentu saja dia dapat menduga kemana tujuan percakapan itu dan siapa yang dikatakannya tidak cocok itu. Dengan sikap tidak tahu dan manja dia bertanya.

“Siapakah dara itu, Susiok? Mengapa mengatakan terlalu tua! Aihh, coba dengar ini kakek-kakek yang berusia seabad mengeluh....“ Dia menggoda.

Kang Bu tidak pandai bicara, akan tetapi sekali ini dia bercakap-cakap sampai sedemikian banyaknya dengan Yu Hwi, sungguh membuat dia sendiri merasa terheran. Mendengar godaan itu dia tersenyum, akan tetapi segera memandang tajam kepada Yu Hwi dan memegang tangan dara itu.

Sekali ini Yu Hwi terkejut, tidak dibuat-buat karena tak disangka-sangkanya bahwa pemuda itu akan memegang tangannya dan dia merasa betapa jari-jari tangan yang amat kuat itu menggenggam tangannya dan ada terasa getaran olehnya, getaran hangat dan mesra yang membuat jantungnya berdebar tidak karuan.

“Yu Hwi, katakanlah, engkau pun seorang dara yang usianya sudah cukup dewasa, kenapa sampai sekarang engkau belum juga menikah?”

“Aku.... aku sudah ditunangkan dengan orang, Susiok!”

“Ah....!”

Tiba-tiba Kang Bu menarik kembali tangannya seolah-olah dia telah memegang bara api, wajahnya pucat dan matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu.

“Maafkan aku.... ah, mafkan aku....“ katanya gagap. “Sungguh aku lancang.... nah, habislah harapan Cu Kang Bu!”

“Susiok, aku.... aku ditunangkan di luar kehendakku, di waktu aku masih kecil, dan karena itulah aku pergi minggat dari rumah Kakekku, tidak mau kembali lagi ke sana. Aku tidak sudi dipaksa berjodoh dengan orang bukan pilihanku sendiri. Aku telah membebaskan diri, yang menyatakan pertunangan itu adalah orang-orang tua, sedangkan aku tidak merasa terikat jodoh dengan siapapun juga!”

Kata-kata yang tegas ini seolah-olah mengembalikan darah ke muka Kang Bu. Dia memandang dengan sinar mata mencorong, kemudian dia memegang lagi tangan Yu Hwi, harapannya pulih kembali.

“Benarkah itu, Yu Hwi?”

“Aku bersumpah bahwa apa yang kukatakan itu setulusnya dari hatiku, Susiok.”

“Kalau begitu biarlah aku berterus terang. Aku.... aku telah menemukan wanita yang cocok dengan hatiku itu, Yu Hwi, dan wanita itu adalah engkau. Aku cinta padamu!”

Bukan main bahagia rasa hati Yu Hwi. Dia balas memegang tangan pemuda itu dan memandang dengan wajah berseri, dan senyum malu-malu. Dari pandangan matanya saja, sudah jelas terlukislah bahwa dia menerima cinta kasih pemuda itu dan bahwa pemuda itu tidak bertepuk tangan sebelah.

“Yu Hwiii....!”

Tiba-tiba terdengar suara panggilan, subonya. Yu Hwi terkejut dan melepaskan tangannya.
“Sam-susiok, Subo memanggilku. Sampai jumpa nanti.... ah, aku bahagia sekali, Susiok!”

Dan dara itu lalu meloncat dan berlari-lari meninggalkan Kang Bu menuju ke pondok subonya, diikuti pandangan Kang Bu yang tersenyum dengan hati penuh kebahagiaan.

Ketika ia duduk berhadapan dengan subonya, Yu Hwi dapat menduga bahwa tentu telah terjadi sesuatu karena sikap subonya tidak seperti biasa. Subonya kelihatan berwajah muram, bahkan seperti orang marah ketika memandang wajahnya.

“Yu Hwi, engkau jangan main-main dengan keluarga Lembah Suling Emas.” begitu dia berhadapan dengan Subonya, dia mendengar kata-kata yang aneh-aneh dan mengejutkan ini.

“Subo, apa maksud Subo dengan kata-kata itu?” tanyanya sambil memandang wajah gurunya dengan heran dan penuh selidik.

Sepasang mata subonya yang biasanya jeli dan cemerlang itu kini nampak agak muram dan terbayang kemarahan.

“Engkau saling mencinta dengan Kang Bu, bukan?”

Yu Hwi tidak merasa terkejut karena dia tahu bahwa subonya adalah seorang yang berkepandaian tinggi, maka tentu sudah dapat menduga tentang hubungannya yang mesra dengan Kang Bu. Maka dia tidak mau banyak menyangkal, melainkan mengangguk.

“Hemm, apakah engkau akan mengulangi pengalamanku yang pahit? Engkau jatuh cinta, kemudian menjadi isteri Kang Bu, berarti menjadi keluarga Lembah Suling Emas dan hidup terkurung di situ, seperti seekor burung dalam sangkar, tidak boleh keluar, tidak boleh berhubungan dengan dunia luar sampai engkau tua dan mati di situ!”

“Eh, Subo! Apa artinya ini? Teecu tidak mengerti....”

“Tidak ingatkah engkau kepada apa yang kualami di lembah itu? Aku menjadi isteri mendiang Cu San Bu, kakak tertua mereka, dan aku hidup seperti boneka di dalam lembah itu, tidak pernah keluar, dan tidak diperbolehkan berhubungan dengan dunia luar. Siapa kuat? Siapa dapat bertahan? Maka ketika datang tamu yang menarik dan amat ramah, aku mudah tertarik, salah siapa? Dan kau ingat lagi Ibunya Pek In! Mana mungkin dia dapat tahan hidup seperti burung dalam sangkar? Keluarga Cu itu adalah keluarga iblis! Mereka mau hidup enak sendiri, mau merahasiakan tempat mereka dan segala sesuatu yang berhubungan dengan keluarga mereka. Mereka menganggap keluarga mereka sebagai keluarga langit, tidak boleh dikotori dengan hubungan bersama manusia lain di luar lembah. Dan engkau mau membiarkan dirimu tersesat ke dalam neraka itu?”

“Ahhh....!” Yu Hwi benar-benar terkejut bukan main mendengar ini.

“Aku sebagai Gurumu, aku sayang kepadamu, maka kuperingatkan engkau tentang hal ini, karena aku akan pergi meninggalkan tempat ini.”

“Subo mau pergi....?”

“Benar, sekarang juga. Karena itulah kau kupanggil, bukan hanya untuk memperingatkanmu tentang hal tadi, akan tetapi juga untuk memberi tahu bahwa hari ini kita saling berpisah. Engkau harus tidak mengecewakan aku. Kau wakililah aku, temui See-thian Coa-ong dan kau kalahkan muridnya agar hatiku puas.”

“Baik, Subo. Akan tetapi, Subo sendiri.... hendak pergi ke manakah?”