FB

FB


Ads

Jumat, 03 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 038

“Ahhh, siapa kira akan terjadi peristiwa aneh ini? Tidak kelirukah kalian? Benarkah Jenderal Muda itu putera Naga Sakti Gurun Pasir?”

“Dia telah diperkenalkan pada saat terakhir. Maka, dapat kau bayangkan betapa kaget dan bingungku ketika anak kita memberitahukan hal itu. Aku hanya seorang wanita Nepal, mana mungkin membicarakan hal ini dengan keturunan Jenderal Kao Liang? Akan tetapi, mengingat bahwa orang tua jenderal itu adalah pendekar yang amat kenamaan, maka sebaiknya engkau yang menemuinya, Butaihiap, sebagai sesama pendekar kiranya akan lebih mudah membicarakan urusan jodoh itu.”

Bu Seng Kin mengangguk-angguk, akan tetapi alisnya masih berkerut.
“Akan tetapi aku tidak berani bertindak ceroboh. Siok Lan anakku, benarkah engkau dan putera Naga Sakti Gurun Pasir itu saling mencinta?”

Ditanya seperti itu, tentu saja jantung dara itu berdebar dan mukanya berubah merah sekali. Akan tetapi dia adalah keturunan orang gagah yang sejak kecil mengutamakan kegagahan, maka dia membuang rasa malu itu dan memandang wajah pria yang menjadi ayahnya itu dan menjawab,

“Aku tidak tahu bahwa dia adalah seorang jenderal muda, lebih tidak tahu lagi bahwa dia putera seorang pendekar sakti dan cucu seorang jenderal terkemuka. Ketika itu, aku hanya mengenalnya sebagai seorang pemburu muda,.... Ayah.”

“Tidak peduli tentang itu, yang penting, apakah benar bahwa kalian saling mencinta?”

“Aku.... aku cinta padanya.... Ayah.”

“Dan dia? Apakah dia juga cinta padamu?”

“Kukira begitulah.”

“Eh, bagaimana ini? Apakah engkau tidak yakin benar bahwa dia cinta padamu?”

“Aku yakin.”

“Lalu mengapa engkau mengira-ira saja? Apakah dia sudah menyatakan cintanya kepadamu dengan jelas, melalui kata-kata?”

Dara itu menggeleng.

“Habis bagaimana?”

“Ayah, perlukah kujelaskan hal ini? Seorang wanita akan dapat mengetahui apakah pria itu mencintanya ataukah tidak, melalui sinar matanya, melalui senyumnya, melalui suaranya, dan.... dan.... pendeknya aku yakin dia pun cinta padaku, Ayah.”

“Hemm.... kita tidak boleh ceroboh, Anakku. Sekalipun aku, Ayahmu ini, mengajukan perjodohan, haruslah diterima oleh fihak sana, karena kalau tidak, hal itu dapat menimbulkan kesan yang menghina, kecuali kalau fihak sana mengemukakan dua alasan, yaitu pertama, bahwa putera mereka tidak cinta atau jika dia sudah bertunangan dengan orang lain. Oleh karena itu, sebelum aku menemui Naga Sakti Gurun Pasir, hal yang selama hidupku belum pernah kuimpikan, aku harus yakin dulu bahwa fihak sana akan menerima.”

“Jadi engkau mau mengurus perjodohan anak kita?” tanya Nandini dengan girang.

“Tentu saja, itu sudah menjadi kewajibanku. Sejak Siok Lan kecil, aku tidak pernah memperlihatkan kasih sayang sebagai seorang ayah, maka sekarang aku berkesempatan membuktikan sayangku kepada anak.'“

“Lalu apa yang akan kau lakukan?”

“Kita bersama pergi ke kota raja! Ya, kita semua, aku, Siok Lan, dan kalian bertiga. Kalau memang kalian bertiga sudah bertekad untuk hidup bersamaku, suka duka ditanggung berempat, mari kalian ikut bersamaku ke kota raja. Di sana, biar Siok Lan bertemu dengan jenderal muda itu dan memperoleh ketegasan bahwa dia memang mencinta anak kita dan bahwa jenderal muda itu belum terikat jodoh dengan orang lain. Setelah ada ketentuan ini, barulah aku akan pergi menghadap pendekar sakti itu.”

“Baik, Ayah, aku setuju.” kata Siok Lan yang maklum akan maksud ayahnya itu.

“Hemm, belum mau turun jugakah kamu yang berada di atas sejak senja tadi?” tiba-tiba orang she Bu itu berseru sambil memandang ke atas.

Ci Sian mendengar semua urusan yang dibicarakan di bawah itu dan hatinya terasa semakin berduka. Sambil menahan isak dia hendak meloncat turun, maka ketika tiba-tiba dia mendengar suara pria yang sesungguhnya adalah ayah kandungnya sendiri itu, dia seperti didorong saja dan cepat dia melayang turun dari atas genteng.






“Ada orang! Dan kau sudah sejak tadi, mengapa dia tidak saja?” Tang Cun Ciu berteriak dan wanita ini sudah berkelebat keluar melalui jendela untuk melakukan pengejaran.

Khawatir kalau kekasihnya yang berhati keras dan berwatak ganas itu akan melakukan sesuatu yang lancang, Bu Seng Kin mengejar dan dua orang wanita lain bersama Siok Lan juga melakukan pengejaran.

Keadaan di luar malam itu ternyata cukup terang karena bulan tersenyum di atas, seolah-olah mentertawakan ulah manusia-manusia di dunia ini. Tidak ada segumpal pun awan menghalangi senyumnya sehingga keadaan cukup terang. Nampaklah bayangan Ci Sian berlari-lari meninggalkan puncak itu, dikejar oleh mereka semua.

Pengejar Ci Sian itu adalah orang-orang yang tinggi ilmunya, maka sebentar saja Ci Sian tersusul, apalagi karena memang dara ini tidak ingin berlumba lari. Dia terpaksa menghentikan larinya dan berdiri tegak menanti orang-orang yang mengejarnya itu.

Diam-diam dia lalu mengerahkan tenaga dan ilmunya, terdengar suara melengking tinggi dari mulutnya yang menggetarkan seluruh keadaan sekeliling tempat itu. Mendengar suara ini, Bu Seng Kin mengeluarkan seruan heran, demikian pula Tang Cun Ciu karena mereka berdua mengenal khi-kang yang tinggi dan aneh.

Dan ketika mereka semua tiba di depan dara yang berdiri tegak itu, mereka terbelalak kaget melihat betapa banyak ular berdatangan dari segenap penjuru dan kini mengelilingi tempat di mana dara itu berdiri, seolah-olah merupakan pasukan pengawal yang melindungi dara itu.

Sedikitnya ada seratus ekor ular besar kecil berada di situ dan dari jauh masih nampak beberapa ekor ular bergerak datang. Agaknya semua ular yang berada di puncak dan sekitarnya telah memenuhi panggilan dara pawang ular itu!

Tang Cun Ciu merasa seperti mengenal dara itu, akan tetapi begitu melihat Ci Sian, Nandini dan Siok Lan berseru heran.

“Ci Sian....!” Nandini berseru.

“Sian-moi, engkau di sini? Mengapa engkau di sini dan mengapa engkau melakukan pengintaian? Singkirkan ular-ularmu itu, Sian-moi, kita bukanlah musuh!”

Akan tetapi dengan sikap dingin Ci Sian berkata,
“Pergilah kalian semua, aku tidak butuh dengan kalian semua. Pergi!”

“Omitohud, bocah siluman ini berbahaya!” kata Gu Cui Bi yang merasa ngeri melihat begitu banyak ular yang seakan-akan melindungi dara itu.

“Hemm, tidak semudah itu, Nona!”

Bu Seng Kin membentak. Dia tidak ingin mengganggu nona muda itu, akan tetapi dia tahu bahwa nona muda inilah orang pertama yang mendatangi pondoknya dan sejak tadi mengintai.

“Dia ini yang siang tadi berkeliaran menanyakan tempat tinggalmu!”

Gu Cui Bi berseru dan Bu Seng Kin merasa makin curiga, lalu dia bergerak maju hendak menangkap dara itu. Akan tetapi Ci Sian mengeluarkan suara melengking nyaring dan ular-ularnya bergerak menyerang semua orang itu!

Terdengar jerit-jerit karena jijik, akan tetapi wanita-wanita yang lihai itu tentu saja tidak mudah menjadi korban ular dan mereka pun mengelak dan menendang atau menginjak ular-ular itu. Ci Sian sendiri mengamuk, menyerang orang yang berani mendekatinya dan karena yang berani menyerangnya adalah Tang Cun Ciu dan Bu Seng Kin, maka dia menerjang dua orang ini dengan kemarahan meluap-luap!

Dara ini mengeluarkan seluruh Ilmunya yang dipelajarinya dari See-thian Coa-ong. Akan tetapi dia berhadapan dengan Cui-beng Sian-li Tang Cu Ciu dan Bu-taihiap yang memiliki ilmu silat tinggi, maka tentu saja dia terdesak hebat dan ular-ularnya pun banyak yang mati. Bahkan kalau saja Bu Seng Kin menghendaki, tentu dalam waktu singkat dia yang dikeroyok dua itu akan roboh.

Akhirnya, semua ularnya mati dan Ci Sian yang melihat ini merasa begitu marah dan berduka sehingga dia menjerit dan tidak dapat mengelak ketika tangan Cui-beng Sian-li menampar ke arah lehernya. Melihat serangan dahsyat yang mengancam nyawa dara muda itu, Bu Seng Kin cepat menyentuh lengan kekasihnya itu sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak Ci Sian, namun cukup membuat Ci Sian roboh terguling dalam keadaan pingsan karena selain terkena tamparan itu, juga dara ini menderita tekanan batin yang hebat sejak dia tiba di pondok itu.

Tang Cun Ciu memiliki watak yang amat keras. Melihat betapa tamparannya disentuh oleh kekasihnya sehingga menyeleweng dan hanya mengenai pundak, hatinya tidak puas sekali.

“Budak siluman ini harus dibunuh!” Dan dia pun sudah mengirim pukulan lagi kearah tubuh yang sudah tidak bergerak itu.

“Cun Ciu, jangan....!”

Bu Seng Kin mencegah dan dia pun bergerak maju mengulur tangan untuk mendahului wanita itu, menyelamatkan nyawa dara itu.

“Dukkkk!”

Tiba-tiba ada sesosok bayangan berkelebat, sebuah lengan menangkis tangan Cun Ciu dan Bu Seng Kin sekaligus. Pendekar sakti dan kekasihnya yang juga berilmu tinggi itu terkejut bukan main karena tangkisan lengan itu membuat mereka terdorong kebelakang sampai terhuyung! Ketika mereka memandang ke depan, sudah tidak ada apa-apa lagi di situ kecuali bangkai seratus lebih ular-ular mati. Tubuh dara muda yang tadi menggeletak pingsan itu pun telah lenyap!

“Eh, ke mana dia....?” Bu Seng Kin berseru kaget.

“Aku hanya melihat bayangan berkelebat.” kata Gu Cui Bi, nikouw itu.

Nandini dan Siok Lan juga melihat berkelebatnya bayangan hitam dan mereka pun tidak melihat ke mana perginya Ci Sian yang tadi terpukul roboh.

“Ahh.... telah muncul seorang yang memiliki kepandaian luar biasa hebatnya!” seru Bu Seng Kin dengan nada suara penuh kagum dan juga khawatir. “Mudah-mudahan saja dia tidak salah paham, bukan maksud kita untuk mencelakai dara itu. Sungguh heran, siapakah dara itu, dan mengapa ia datang ke sini?”

“Ayah, dia bernama Ci Sian dan....”

“Ah, aku ingat sekarang! Dia adalah gadis murid See-thian Coa-ong itu! Ya benar, gadis yang.... ah, sekarang aku mengerti mengapa dia datang ke sini. Apakah engkau tidak melihat wajahnya, Kin-koko?” Tokoh wanita Lembah Suling Emas ini menyebut kekasihnya Kin-koko, sebutan yang mesra.

“Tidak, aku tidak begitu memperhatikan wajahnya.”

“Dia serupa benar dengan mendiang Sim Loan Ci, isterimu....!”

“Ahhh....! Benar, dia Anakku sendiri! Bu Ci Sian, aihh, kenapa aku bisa melupakan dia?”

Sekali berkelebat, tubuh pendekar ini sudah lenyap. Tiga orang kekasihnya hanya mengangkat pundak, maklum bahwa pendekar itu agaknya hendak melakukan pengejaran terhadap puterinya yang lenyap dibawa orang itu. Mereka lalu kembali ke dalam pondok.

Tak lama kemudian Bu Seng Kin memasuki pondok dengan wajah muram. Dia kelihatan kecewa dan menyesal sekali.

“Dia lenyap tak berbekas. Orang yang membawanya sungguh memiliki kepandaian yang amat luar biasa sekali. Mungkinkah gurunya, See-thian Coa-ong yang membawanya pergi?”

“Tidak mungkin. Aku pernah bertanding melawan kakek itu dan biarpun terus terang saja aku tidak mampu mengalahkan dia, akan tetapi sebaliknya dia pun tidak dapat mengalahkan aku. Sedangkan tangkisan tadi, bukan main kuatnya, jauh lebih kuat daripada tenaga Raja Ular itu.” kata Tang Cun Ciu.

Bu Seng Kin menjatuhkan diri duduk di atas bangku sambil menarik napas panjang, nampaknya dia menyesal bukan main.

“Dan dia sudah sejak tadi mengintai di atas, kudiamkan saja. Ah, dia telah mendengar semuanya, tahu akan kematian ibunya, tentu dia merasa berduka, kecewa dan menyesal sekali. Ah, mengapa tidak dari tadi kusuruh dia turun?”

“Hemm, sesal kemudian tiada gunanya? Semua adalah salahmu sendiri. Karena itu, Bu Seng Kin, kau bertobatlah dan mintalah ampun atas semua dosa-dosamu. Semua yang terjadi adalah karena kesalahanmu sendiri, maka sekarang engkau memetik buah dari pohon yang kau tanam sendiri. Omitohud....!”

Nikouw Gu Cui Bi berkata dengan nada menegur. Pendekar itu hanya menarik napas panjang. Kemudian Gu Cui Bi, nikouw itu, menggandeng tangan Nandini dan berkata,

“Marilah Nandini Cici, engkau dan puterimu sebaiknya ikut bersamaku, bermalam di kuilku yang cukup luas, tidak seperti gubuk ini yang terlalu sempit.”

Nandini mengangguk dan bersama Siok Lan dia lalu bangkit dan berjalan menuju kepintu bersama nikouw itu. Setibanya di pintu, nikouw itu berhenti dan menengok, memandang ke arah Bu Seng Kin yang nampak bingung dan kepada Tang Cun Ciu yang duduk tenang saja di atas bangku, lalu berkata kepada pendekar itu,

“Bu Seng Kin, kalau malam nanti engkau tidak datang ke kuil menengok Cici Nandini, berarti engkau seorang laki-laki yang selain tidak punya budi juga tidak adil sama sekali dan tidak pantas mempunyai tiga orang isteri.” Setelah berkata demikian, dia lalu pergi bersama Nandini dan Siok Lan.

“Hemm, jangan khawatir, aku tentu akan datang menengokmu, Cui Bi.”

“Bukan aku, melainkan Cici Nandini!” teriak nikouw itu dari luar akan tetapi yang terdengar hanya suara tawa pendekar itu disusul padamnya lampu di dalam pondok itu!

“Sialan, laki-laki mata keranjang!”

Cui Bi Nikouw Itu mengomel dan melanjutkan perjalanannya bersama Nandini dan puterinya. Dua orang ini segera dapat akur karena mereka berdua maklum bahwa di antara tiga orang kekasih Bu Seng Kin, kepandaian Tang Cun Ciu paling tinggi dan mereka berdua masing-masing bukanlah tandingan wanita tokoh Lembah Suling Emas itu. Oleh karena itu, mereka segera saling mendekati karena kalau mereka maju berdua, kiranya mereka akan mampu menandingi Cun Ciu! Pula, biar bagaimana rindu hati mereka terhadap Bu Seng Kin, kalau harus bermalam bersama-sama di pondok yang kecil itu, tentu saja mereka merasa malu, apalagi di situ terdapat Siok Lan.

Sementara itu, diam-diam Seng Kin menjadi bingung dan mengeluh sendiri karena dia tahu bahwa bagaimanapun juga, malam itu harus mengunjungi kuil di mana dia tidak tahu bagaimana dia harus melayani tiga orang wanita yang seperti tiga ekor harimau betina yang kelaparan itu!

**** 038 ****