FB

FB


Ads

Jumat, 03 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 037

“Turunanmu jangan dibawa-bawa dalam hukum akibat petualanganmu!” Nandini memotong.

“Teruskan ceritamu.” kata Gu Cui Bi, nikouw itu, dengan hati semakin iri dan cemburu.

“Setelah meninggalkan Nepal, tentu saja aku bertemu dengan banyak wanita cantik, diantaranya adalah puteri kepala suku Biauw yang manis, ada pula pendekar-pendekar wanita petualang kang-ouw, ada pula puteri-puteri datuk kaum sesat, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan-selingan saja dan tidaklah sungguh-sungguh seperti yang terjadi antara aku dan Nandini. Kemudian, kurang lebih setahun semenjak meninggalkan Nepal dan bertualang dengan belasan orang wanita secara selewat saja, aku bertemu dengan seorang pendekar wanita yang bernama Sim Loan Ci dan kami saling mencinta lalu kami menikah.”

Hampir saja Ci Sian mengeluarkan suara saking kagetnya, akan tetapi dia cepat-cepat menutup mulutnya dan mengerahkan tenaga untuk menekan batinnya yang terguncang ketika dia mendengar nama Ibunya disebut-sebut itu! Sim Loan Ci adalah ibunya, ibu kandungnya seperti yang pernah didengar dari kakeknya bahwa Ibunya she Sim dan ayahnya seorang pendekar besar yang tentu saja she Bu, sama dengan she kakaknya. Dia lalu mendengarkan lagi dengan penuh perhatian.

“Dialah isteriku pertama yang sah, walaupun wanita seperti Nandini ini juga kuanggap isteriku sendiri, dan juga engkau, Cui Bi.”

“Tak perlu merayu, lanjutkan ceritamu.” desak dua orang wanita itu.

“Setelah menikah setahun lamanya, kami mempunyai seorang anak perempuan. Akan tetapi, berbareng dengan kebahagiaan ini, datanglah malapetaka. Kiranya hubunganku dengan puteri-puteri datuk kaum sesat itu, yang kutinggalkan karena memang kuanggap hanya hubungan selewat dan merupakan hiburan belaka, mendatangkan akibat panjang! Aku dicari-cari oleh para datuk kaum sesat, bahkan di antaranya terdapat Im-kan Ngo-ok yang mencari-cariku, karena seorang puteri mereka telah membunuh diri setelah kutinggalkan sehingga kini Im-kan Ngo-ok mencariku untuk membunuhku!”

“Huh, sudah sepatutnya engkau dibunuh!” kata Nandini.

“Dasar mata keranjang!” Nikouw itu menyambung.

“Biar kulanjutkan ceritaku.” kata pendekar itu setelah menarik napas panjang. “Semenjak melahirkan, kesehatan Loan Ci amat buruk. Hal ini menggelisahkan hatiku, karena dalam keadaan seperti itu, mempunyai seorang bayi dan seorang isteri yang tidak sehat, tentu saja amat berbahaya menghadapi ancaman musuh-musuh seperti Im-kan Ngo-ok yang lihai itu. Maka terpaksa aku lalu membawa isteriku dan Anakku kepada Ayahku. Ayahku adalah seorang pendekar yang amat terkenal, yaitu Kiu-bwe Sin-eng Bu Thai Kun, seorang tokoh besar di dunia selatan. Ketika itu, aku agak takut-takut menghadap Ayah, karena aku pernah diusir oleh Ayah ketika di waktu muda aku bermain-main dengan seorang gadis dusun tempat kami.”

“Dasar hidung belang ceriwis!” Nandini kembali mencela.

“Mata keranjang tak tahu malu, kecil-kecil sudah gila perempuan sehingga diusir Ayah sendiri!” Gu Cui Bi menyambung.

“Wah, kalian ini terus menerus mencelaku.” Bu Seng Kin terkekeh. “Ayahku tidaklah segalak kalian. Dia memaafkan aku dan menerima kedatanganku dengan baik. Kemudian malah Ayah menganjurkan agar meninggalkan anak kami bersama Ayah, kemudian aku bersama isteriku pergi menjauhkan diri agar Im-kan Ngo-ok tidak mencelakai anak kami. Beberapa kali kami tersusul oleh mereka dan aku melakukan perlawanan mati-matian. Kalau saja isteriku tidak dalam keadaan sakit payah, kiranya kami berdua tidak akan takut menghadapi mereka. Akan tetapi karena isteriku sedang sakit, dan aku harus melindunginya, maka terpaksa aku melarikan diri bersama isteriku dan terus dikejar-kejar oleh Im-kan Ngo-ok. Akan tetapi akhirnya aku berhasil melepaskan diri dari mereka, bersembunyi di Pegunungan Go-bi-san dan di sanalah isteriku meninggal dunia....”

Pendekar itu diam dan di atas genteng, Ci Sian menangis. Air matanya berlinang-linang dan dia menahan isaknya. Jelaslah kini bahwa pria di bawah itu, pria yang mata keranjang itu, adalah ayah kandungnya, dan ibunya benar-benar telah meninggal dunia.

“Semenjak itu, kembali aku berkeliaran....”

“Dan main perempuan....!” Nandini mencela.

“Habis, mau apa lagi? Agaknya aku tidak boleh berjodoh lama-lama dengan wanita yang kucinta. Aku pindah dari pelukan satu ke lain wanita, akan tetapi semua itu hanya merupakan selingan hidup dan aku tidak pernah bersungguh-sungguh. Paling lama sebulan aku dapat bertahan dalam pelukan seorang wanita dan aku sudah pergi lagi....”

“Mencari yang lain! Phuihh!” Nandini mencela.

“Sampai engkau berjumpa denganku.” tiba-tiba nikouw itu berkata, suaranya mengandung kebanggaan.

Pendekar itu menarik napas panjang.
“Ya, sampai aku bertemu denganmu, Cui Bi. Sekarang biar Nandini mendengar cerita tentang kita. Setelah aku mulai bosan merantau, bosan bertualang, pada suatu malam bertemulah aku dengan seorang nikouw di sebuah kuil Kwan-im-bio, di sebelah lereng bukit. Nikouw itu cantik dan muda dan.... aku jatuh cinta.”

“Pada seorang nikouw? Dan engkau merayunya pula?” Nandini bertanya, alisnya berkerut.

“Ha, apa bedanya? Dia pun seorang wanita, bukan? Dia masuk menjadi nikouw karena patah hati, akan dikawinkan dengan seorang kakek kaya, dia tidak sudi dan melarikan diri setelah dipaksa menjadi isteri kakek itu selama sepekan. Lalu dia masuk menjadi nikouw dan bertemu dengan aku.”

“Engkau mahluk berdosa, Bu Seng Kin! Engkau merayu pinni dan menyeret pinni kedalam jalan sesat!” Tiba-tiba nikouw itu berkata dan suaranya mengandung isak penyesalan.

Bu Seng Kin cepat merangkul pundaknya.
“Aih, Cui Bi, hal itu telah lama berlalu, bukan? Kita sama-sama mencinta, dan kemudian engkau melarikan diri dari kuil bersamaku, memelihara rambut lagi dan menjadi wanita biasa, kita hidup sebagai suami isteri yang penuh kebahagiaan.”

“Ya, sampai aku tahu bahwa engkau adalah Si Petualang besar, bahkan engkaulah Si Perayu yang pernah membuat Bibiku tergila-gila dan diceraikan oleh Paman sehingga akhirnya Bibiku mati karena nelangsa. Kiranya engkaulah petualang yang telah menghancurkan hati banyak sekali kaum wanita itu. Aku menyesal dan aku lalu kembali menjadi nikouw, untuk minta ampun atas dosaku, juga untuk mintakan ampun atas dosanya. Dan engkau sudah berjanji akan bertapa di sini, untuk menebus dosa!”






Bu Seng Kin tersenyum lebar.
“Sudah kuusahakan hal itu, Cui Bi. Engkau tahu betapa bertahun-tahun aku menahan diri, aku hidup kesepian penuh kerinduan, terutama rindu sekali kepada orang-orang yang kucinta. Engkau menyiksaku, Cui Bi, maka sekarang, bertepatan dengan kedatangan Nandini, kita berkumpul di sini bertiga. Marilah kita hidup bersama, menikmati kehidupan kita yang tinggal tidak lama lagi ini, menikmati kebahagiaan hidup kita bertiga di hari tua bersama. Aku cinta kalian....!” Dia lalu merangkul keduanya.

“Bu-taihiap, demi Tuhan, bersumpahlah bahwa engkau tidak akan mengganggu dan menghinaku!” Nandini berseru.

“Orang she Bu, jangan engkau mengotori diriku; telah dua tahun aku menyucikan diri!” Nikouw itu pun berkata.

“Aku bersumpah takkan mengganggu dan menghina kalian berdua, aku cinta pada kalian, tidak mungkin aku mau menyusahkan kalian.” kata pendekar itu dan tiba-tiba dia menarik leher Nandini dan.... mencium mulut wanita itu dengan penuh kemesraan.

Nandini terkejut sekali, tak mampu bergerak, bahkan tubuhnya menggigil dan naik sedu sedan dari dadanya, setelah pria itu melepaskan ciumannya, dia memandang dengan mata terbelalak dan muka pucat sekali.

“Kau.... kau.... manusia busuk.... kau melanggar sumpahmu....!”

“Ha-ha, siapa melanggar sumpah, Nandini yang manis? Aku bersumpah tidak akan mengganggu dan menghina kalian. Engkau adalah isteriku yang kucinta, kalau seorang suami mencium isterinya, apakah itu mengganggu atau menghina namanya?

“Aku.... aku bukan isterimu, engkau bukan suamiku!”

“Mungkin menurut umum, akan tetapi bukankah kita sudah menjadi suami isteri, bukankah engkau pertama kali menyerahkan diri kepadaku, dan bukankah kita saling mencinta, Nandini? Apa salahnya orang yang saling mencinta berciuman?”

“Laki-laki busuk, mata keranjang, hidung belang.... tak tahu malu!”

Cui Bi memaki-maki dengan marah, akan tetapi tiba-tiba dia harus menghentikan maki-makinya karena mulutnya sudah dicium pula oleh pria itu, dengan sama mesranya seperti ketika dia mencium Nandini tadi! Nikouw itu gelagapan tak mampu bersuara, dan hanya memejamkan mata dan tanpa disadarinya, kedua lengannya merangkul leher pendekar itu!

“Kau memang tak tahu malu!”

Nandini membentak penuh cemburu dan tangannya bergerak menampar, akan tetapi tamparan yang sama sekali tidak bertenaga.

Bu Seng Kin lalu membujuk rayu keduanya dengan kata-kata manis.
“Maafkanlah aku, Nandini dan Cui Bi, aku cinta kalian, tidak kasihankah kalian kepadaku? Aku hanya ingin menikmati kehidupan di dunia ini bersama kalian orang-orang yang kucinta sepenuh jiwa ragaku.”

Pendekar itu bahkan berlutut di depan mereka, memohon-mohon dan akhirnya kembali dia merangkul mereka dan sekali ini, ketika dia mencium mereka, dua orang wanita itu hanya dapat memejamkan mata dengan muka berobah merah sekali.

Mereka lupa segala! Ternyata pria ini masih hebat kemampuannya untuk merayu dan menundukkan wanita-wanita, dan terutama sekali karena memang dua orang wanita itu tak pernah mampu melupakannya dan masih mencintanya.

Ci Sian yang melihat tontonan ini, disamping merasa heran dan juga malu, terutama sekali dia merasa berduka, teringat akan ibu kandungnya yang telah meninggal dunia, maka dia menghapus air matanya dan mengambil keputusan untuk pergi saja lagi dari situ. Untuk apa menemui seorang ayah kandung seperti itu? Seorang petualang asmara yang memalukan. Seorang laki-laki hidung belang, mata keranjang yang gila perempuan!

“Brukkkk....!”

Tiba-tiba saja pintu depan dari pondok itu runtuh ke dalam, tertendang orang dari luar dan muncullah seorang wanita cantik yang kelihatan galak. Seorang wanita yang selain cantik juga berpakaian mewah, dan melihat wanita ini, kembali Ci Sian terkejut bukan main dan dia tidak jadi meninggalkan tempat itu, melainkan mengintai penuh perhatian dengan hati tertarik dan amat tegang karena dia mengenal wanita itu yang bukan lain adalah Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu, wanita tokoh Lembah Suling Emas, musuh dari gurunya See-thian Coa-ong itu!

Teringatlah dia akan cerita Tang Cun Ciu. Wanita ini pernah bercerita bahwa dia memiliki wajah seperti isteri Bu-taihiap, dan bahwa berjina dengan Bu-taihiap ketika pendekar itu bersama isterinya berkunjung ke Lembah Suling Emas! Mengertilah dia sekarang! Tentu wanita isteri Bu-taihiap yang datang bersama pendekar itu ke Lembah Suling Emas adalah ibu kandungnya!

Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu yang sudah marah sekali melihat bekas kekasihnya itu berkasih-kasihan dengan dua orang wanita, kini sudah melangkah masuk dan seketika dia menuding ke arah muka pria itu.

“Sungguh sampai sekarang engkau masih mata keranjang dan gila perempuan! Dan engkau mudah melupakan yang lama berganti yang baru Laki-laki tak punya jantung!”

“Eh-eh.... lihat siapa yang datang ini! Bidadari dari Lembah Suling Emas! Cun Ciu, kekasihku yang manis. Mari, mari sayang, mari duduk bersama Kakanda....”

“Keparat, engkau sudah main gila dengan wanita asing ini dan dengan seorang nikouw malah, tak tahu malu! Dan engkau masih berani bersikap manis kepadaku! Selayaknya kalau kubunuh engkau, Bu Seng Kin!”

Pada saat itu, sungguh aneh sekali, Nandini dan Gu Cui Bi sudah meloncat dengan sigapnya dari atas bangku mereka dan berdiri di kanan kiri Bu Seng Kin dengan pandang mata dan sikap marah!

Diam-diam Ci Sian dan Siok Lan merasa heran sekali. Bukankah dua orang wanita itu seperti tertotok dan kehilangan tenaga, akan tetapi mengapa kini tiba-tiba saja mampu bergerak selincah itu? Hal ini tidaklah aneh dan merupakan sebab pula mengapa Bu Seng Kin begitu yakin akan dirinya sendiri dalam merayu dua orang wanita itu. Dia hanya menotok dua orang wanita itu untuk membuat mereka kehilangan tenaga sementara saja, sebentar saja.

Akan tetapi, melihat dua orang itu tidak pulih-pulih tenaganya, tahulah dia bahwa mereka itu sengaja berpura-pura masih belum bebas dari totokan, tentu hanya dengan maksud agar mereka berdua dapat mendekatinya tanpa harus merasa malu, karena berada dalam keadaan “tertotok”.

Mengetahui rahasia mereka ini maka tadi Bu Seng Kin berani melanjutkan rayuannya, maklum bahwa dua orang wanita itu ternyata menyambut rayuannya dan ternyata bahkan mengharapkan rayuannya. Kini, melihat betapa ada seorang wanita lain mengancam kekasih mereka, dua orang wanita itu tanpa mereka sadari sudah meloncat dan hendak menghadapi wanita itu.

Cun Ciu adalah seorang wanita yang berwatak keras dan juga memiliki ilmu kepandaian yang tinggi. Dia masih marah sekali oleh cemburu ketika tadi melihat bekas kekasihnya itu bermesraan dengan dua orang wanita itu, yang dilihatnya sama sekali bukanlah isteri kekasihnya itu. Maka sambil berseru nyaring dia sudah menerjang maju, mengirim pukulan ke arah Bu Seng Kin.

“Ah, jangan marah dong, sayang!”

Bu Seng Kin cepat mengelak dan menangkis karena dia tahu betul bahwa wanita ini sama sekali tidak boleh dipandang ringan, merupakan seorang di antara tokoh-tokoh Lembah Suling Emas yang merupakan keluarga sakti.

“Dukkk!!”

Dua buah lengan bertemu dan akibatnya, baik Bu Seng Kin yang tentu saja tidak mengerahkan seluruh tenaga itu, maupun Cun Ciu terdorong mundur ke belakang. Diam-diam Bu Seng Kin kagum dan terkejut karena dari pertemuan lengan itu saja maklumlah dia bahwa wanita ini telah memperoleh kemajuan hebat semenjak berpisah darinya belasan tahun yang lalu!

“Cun Ciu Moi-moi, engkau sungguh lihai!” dia memuji, akan tetapi wanita itu sudah menyerangnya lagi kalang kabut.

Dan memang wanita ini memiliki ilmu kepandaian hebat, maka terjadilah pertandingan yang amat hebat dan membingungkan Bu Seng Kin.

“Ah, mengapa kau marah-marah, Ciu-moi? Apakah kau datang menemui aku yang rindu kepadamu ini hanya untuk menyerang dan hendak membunuhku?”

“Tutup mulut dan jaga serangan ini!” bentak Cun Ciu yang menyerang terus.

Tingkat kepandaian Bu Seng Kin sudah amat tinggi dan kalau dia bersungguh-sungguh, biar Cun Ciu sendiri pun takkan mampu mengalahkannya. Akan tetapi tentu saja dia tidak mau bersungguh-sungguh melawan wanita cantik ini, maka dia kelihatan terdesak hebat.

Melihat ini, Nandini membentak,
“Darimana datangnya perempuan liar?” Dan dia pun maju membantu kekasihnya.

“Pinni juga tidak mungkin diam saja melihat perempuan ganas hendak membunuh orang!”

Dan Gu Cui Bi juga sudah meloncat ke depan dan mengeroyok. Dua orang wanita ini tentu saja bukan wanita sembarangan, melainkan wanita-wanita lihai yang sudah memiliki tingkat tinggi, maka begitu dikeroyok tiga, Cui-beng Sian-li Tang Cun Ciu menjadi kewalahan dan terdesak juga. Melihat ini, Bu Seng Kin khawatir kalau-kalau dua orang kekasihnya itu akan melukai Tang Cun Ciu, maka dia lalu membentak keras,

“Tahan....!”

Tang Cun Ciu yang memang sudah terdesak itu lalu melompat ke belakang dan memandang dengan mata marah.

“Mau apa kau menghentikan pertempuran?” bentaknya.

Nandini dan Gu Cui Bi memandang dengan kagum karena mereka berdua tahu bahwa wanita yang baru datang ini memiliki kepandaian yang lebih tinggi daripada tingkat kepandaian mereka sendiri.

“Cun Ciu, mengingat akan hubungan antara kita dahulu, tidak maukah engkau bicara baik-baik daripada menyerang dan marah-marah seperti itu?”

“Siapa tidak marah? Aku jauh-jauh meninggalkan lembah, hanya karena tidak betah lagi disana dan aku rela meninggalkan keluarga di sana untuk mencarimu dan apa yang kudapatkan? Bukan engkau hidup bersama isterimu, melainkan dengan dua orang wanita asing....“

“Ah, engkau salah paham, manis. Ketahuilah, dia ini bernama Nandini dari Nepal dan dia merupakan isteriku yang pertama! Dan ini adalah Gu Cui Bi, dia ini adalah isteriku yang terakhir.”

“Hemm.... begitukah....?” Tang Cun Ciu memandang ragu. “Dan di mana isterimu yang dahulu bersamamu mengunjungi lembah?”

“Dia sudah meninggal dunia. Mari, kau duduklah, Cun Ciu dan kita bicara baik-baik. Sungguh mati, aku akan sedih sekali kalau engkau memusuhiku, aku.... aku cinta padamu, Cun Ciu, dan engkau tentu tahu akan hal ini.”

Dirayu seperti itu, hati Tang Cun Ciu mulai menjadi dingin, kemarahannya mereda dan dia pun duduk menghadapi meja bersama pendekar itu dan dua orang wanita saingannya.

“Bu Seng Kin, kau bilang hanya ada kami berdua, sekarang muncul seorang lagi!” Gu Cui Bi menegur.

“Dia.... dia ini bernama Tang Cun Ciu, ketika aku datang ke Lembah Suling Emas, aku dan dia.... eh, kami saling jatuh cinta. Dan sampai sekarang.... ah, aku masih cinta kepadanya.... apalagi setelah dia menyusulku ke sini, rela meninggalkan suaminya....”

“Suamiku sudah lama meninggal dunia!” kata Cun Ciu. “Belum ada setahun semenjak engkau pergi, suamiku meninggal dan aku tinggal menjanda sampai sekarang. Kutunggu-tunggu beritamu akan tetapi engkau tak kunjung datang atau memberi kabar, sungguh engkau kejam sekali!”

“Ah, siapa tahu bahwa engkau sudah menjadi janda, kekasihku? Kalau aku tahu.... hemm, mungkinkah aku membiarkan engkau kesepian sendiri?” kata Bu Seng Kin sambil memegang tangan yang halus itu di atas meja.

Cun Ciu cepat menarik tangannya karena dia merasa malu, melihat tangannya dipegang-pegang di depan dua orang wanita lain.

“Cun Ciu, kalian bertiga ini adalah wanita-wanita yang kucinta sepenuh hatiku. Engkau tinggallah bersamaku di sini, kita hidup bersama, berempat, sampai akhir hayat....“

“Hemm, dan esok atau lusa bermunculan lagi wanita-wanita lain bekas kekasihmu yang tak dapat dihitung banyaknya!” Nandini menegur ketus.

“Aih, Nandini manis. Aku memang belum menceritakan tentang Cun Ciu karena mengira dia masih menjadi isteri orang. Tak baik menceritakan isteri orang, bukan? Berbeda lagi kalau dia sudah menjanda. Dia memang bekas kekasihku, kami saling mencinta....”

“Kalau ada wanita lain lagi yang muncul, bagaimana?” tanya Cun Ciu.

“Aku bersumpah, hanya tiga orang kalian ini saja, tidak ada yang lain!” kata Bu Seng Kin.

“Laki-laki macam engkau ini mana bisa dipercaya?” kata Gu Cui Bi.

“Sungguh mati....”

“Begini saja,” kata Cun Ciu, “aku memang meninggalkan lembah untuk tinggal bersama dia. Dan mengingat bahwa kalian berdua sudah datang lebih dulu, aku pun mau menerima hidup di sini bersama kalian, asal dia tidak pilih kasih! Dan kalau ada datang wanita lain, kita bertiga maju membunuh wanita itu! Dan kalau perlu, membunuh juga dia ini!”

“Cun Ciu benar, memang dia seorang belum tentu dapat mengalahkan aku, akan tetapi kalau kalian bertiga maju bersama, mana aku bisa menang?” kata Bu Seng Kin sambil tertawa.

“Nah, isteri-isteriku yang terkasih, mari kita rayakan pertemuan ini dengan minum arak. Cun Ciu, aku sungguh rindu kepadamu!”

Dan tanpa malu-malu dia merangkul wanita ini dan menciuminya, di depan Nandini dan Cui Bi yang memandang sambil tersenyum masam tentunya! Cun Ciu meronta lemah akan tetapi seperti dua orang wanita terdahulu, dia pun tidak mampu melawan rayuan maut dari pria itu dan akhirnya mereka berempat duduk dengan mesra, bercakap-cakap dan sambil makan minum mereka menceritakan riwayat dan pengalaman masing-masing.

Kalau Ci Sian terkejut dan kemudian merasa semakin penasaran dan muak melihat semua yang terjadi itu, adalah Siok Lan yang merasa khawatir ketika melihat ibunya ikut bertempur tadi. Akan tetapi karena dia sudah menerima pesan ibunya agar tidak ikut campur, maka dia hanya menahan diri dan seperti juga Ci Sian, dia merasa kecewa menyaksikan tabiat ayah kandungnya yang demikian mata keranjang dan tukang merayu wanita. Hatinya sendiri penasaran, akan tetapi melihat betapa ibunya sudah mau berbaik dengan pria itu bahkan dengan dua orang madunya, dia pun tidak dapat berkata apa-apa.

Akan tetapi Siok Lan tidak dapat berdiam diri lagi dan meloncatlah dia dari luar jendela, memasuki pondok itu. Semua orang, kecuali Nandini dan Bu Seng Kin, memandang dengan kaget. Kiranya Bu Seng Kin sudah tahu bahwa di balik jendela itu ada orang yang mengintai, bahkan dia sudah tahu sejak tadi bahwa di atas genteng juga ada yang mengintai, akan tetapi dia pura-pura tidak tahu dan memandang rendah. Kini, melihat bahwa yang mengintai dari balik jendela adalah seorang dara yang cantik, wajah pendekar ini berseri gembira.

“Ah, seorang dara cantik seperti bidadari! Apakah kedatanganmu juga mencari aku, Anak manis?”

“Laki-laki gila, sudah butakah engkau dan hendak merayu anak sendiri?” Nandini marah.

“Eh, anak sendiri?”

“Dia itu anakmu, anak kita. Lupakah engkau betapa ketika kita hidup bersama selama sebulan itu mengakibatkan aku mengandung? Dan lupakah engkau bahwa ketika aku menyatakan kekhawatiranku itu, engkau meninggalkan dua nama untuk seorang anak laki-laki dan seorang anak perempuan, yaitu kalau-kalau kekhawatiranku terbukti? Anak ini namanya Bu Siok Lan, nama yang telah kau tinggalkan itu.”

“Ahhh....!” Bu Seng Kin memandang dengan mata terbelalak kepada Siok Lan.

“Anakku.... anakku....!”

“Siok Lan, inilah macamnya ayah kandungmu!” kata Nandini kepada puterinya.

Biarpun hatinya kurang senang dan meragu, namun Siok Lan lalu melangkah maju dan berlutut di depan kaki pria itu sambil menyebut,

“Ayah....”

“Anakku yang baik.... kau maafkan Ayahmu yang berkelakar tadi.” kata Bu Seng Kin dan mendengar kesungguhan dalam suara pria itu, diam-diam Siok Lan merasa terharu juga.

Agaknya sikap ayahnya yang mudah merayu wanita itu seolah-olah terlalu dibuat-buat! Beginikah sesungguhnya watak dasar dari pria ini? Dia masih meragu.

“Bu-taihiap,” kata Nandini yang tidak bisa mengubah sebutan Bu-taihiap itu kepada pria yang menjadi ayah kandung puterinya itu, “sesungguhnya, kedatanganku bersama anakmu Siok Lan ini adalah untuk keperluan anak kita itu.”

“Tentu saja,” jawab Bu Seng Kin. “Dia berhak untuk bertemu dengan Ayahnya. Kau duduklah, Siok Lan.” kata Bu Seng Kin sambil menarik bangun puterinya. Dara itupun lalu duduk di atas sebuah bangku, di dekat ibunya.

“Bukan begitu maksudku. Ketahuilah bahwa seperti yang telah kuceritakan tadi, aku baru saja mengalami kekalahan dalam memimpin pasukanku, kalah melawan pasukan Kerajaan Ceng sehingga terpaksa aku melepaskan Lhagat dan pergi ke sini. Nah, didalam peristiwa itu, terjadi hal yang menimpa anak kita, yang membuat aku bingung sekali dan terpaksa kami datang untuk minta bantuanmu.”

“Tentu saja aku siap membantu anakku. Urusan apakah itu?”

Nandini lalu dengan singkat menceritakan betapa ketika dia masih memimpin pasukan menduduki Lhagat, di situ muncul seorang jenderal muda yang menyelinap dan menyamar, dan jenderal muda itu akhirnya telah berhasil mengalahkannya dalam perang.

“Ketika Jenderal muda itu menyamar dan menyusup ke Lhagat, dia menjadi seorang pemburu muda dan dengan pandainya dia berhasil menjadi tamu kami karena dia pernah menyelamatkan nyawa Siok Lan. Kemudian.... mereka berdua, Jenderal Muda itu dan Siok Lan, saling jatuh cinta....“

“Bagus sekali! Anakku pantas menjadi isteri Jenderal Muda!” pendekar itu berkata sambil tertawa girang.

“Enak saja kau bicara! Tidak begitu mudah!”

“Apa? Apa kau sendiri tidak setuju? Karena Jenderal itu adalah Jenderal yang pernah menjadi musuhmu?”

“Bukan begitu. Kekalahan itu membuat aku enggan pulang ke Nepal dan memang.... kami hendak mencarimu. Akan tetapi, engkau tidak tahu siapa Jenderal itu.”

“Siapa dia? Seorang jenderal muda, apa sih artinya? Tidak terlalu tinggi untuk puteriku, bahkan andaikata dia Pangeran pun tidak akan terlalu tinggi!”

“Engkau tidak tahu siapa dia. Jenderal Muda Itu bernama Kao Cin Liong, dan dia adalah putera dari Si Naga Sakti Gurun Pasir, cucu mendiang Jenderal Kao Liang!”

“Ahhh....!”

Yang mengeluarkan suara itu adalah Bu Seng Kin, Gu Cui Bi dan juga Tang Cun Ciu karena mereka terkejut bukan main mendengar nama-nama yang amat terkenal itu. Bahkan pendekar she Bu itu sendiri mengerutkan alisnya yang tebal, termangu-mangu. Kemudian dia memandang kepada puterinya dengan penuh perhatian. Dipandang seperti itu, Siok Lan menundukkan mukanya. Pendekar itu menggeleng kepala dan menarik napas panjang berkali-kali.

“Naga Sakti Gurun Pasir.... bukan main.!”

“Apakah kau hendak mengatakan bahwa dia tidak terlalu tinggi? Apakah kau masih berani memandang rendah?” Nandini bertanya dan yang ditanya seperti orang kehabisan akal karena terkejutnya.