FB

FB


Ads

Jumat, 03 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 035

“Siok Lan, diamlah jangan menangis lagi!”

Nandini membentak dengan marah. Di sepanjang perjalanan puterinya hanya menangis saja, menangis demikian sedihnya. Semenjak kecil, puterinya itu adalah seorang anak yang tabah dan tidak cengeng, bahkan belum pernah dia melihat Siok Lan menangis seperti sekarang ini, menangis demikian sedihnya! Dikiranya bahwa anaknya itu menangis karena kekalahannya yang dideritanya.

“Di dalam perang, kalah menang adalah hal yang lumrah, seperti juga dalam pertempuran dunia persilatan. Harus kita akui bahwa fihak musuh mempunyai seorang ahli yang amat lihai dan siasatnya itu sama sekali tidak pernah kusangka dan kuperhitungkan. Kita sudah kalah, mengapa harus ditangisi? Biasanya engkau bukanlah seorang anak cengeng!”

Siok Lan tidak menjawab akan tetapi tangisnya semakin sedih.
“Semula memang aku sudah menduga bahwa tidak mungkin bala tentara Nepal akan mampu mengalahkan bala tentara Kerajaan Ceng-tiauw yang amat kuat. Semua adalah kesalahan koksu jahat itu yang membikin Nepal bermusuhan dengan Kerajaan Ceng. Dan kekalahanku ini membuat aku tidak ada muka untuk kembali ke Nepal....! Ah, kita hanya hidup berdua, Anakku, kita tidak mempunyai apa-apa di Nepal, maka jangan kau terlalu menyusahkan kekalahan ini.”

“Bukan.... bukan itu, Ibu,” kata Siok Lan yang berhenti berjalan dan dara ini duduk di tepi jalan, di antara sebuah batu besar dan kembali air matanya jatuh berderai.

Nandini terkejut dan memandang penuh selidik.
“Kalau bukan karena kekalahan itu, habis mengapa kau menangis dan begini berduka?”

“Ibu.... dia jenderal musuh.... hu-hu-huuuuhhh....“ dan kini Siok Lan menangis sesenggukan dan menubruk kaki ibunya, berlutut sambil menangis.

Nandini terkejut dan sejenak dia termenung, menunduk dan memandang kepala anaknya yang menangis di depan kakinya. Lalu dia mengangkat bangun anaknya itu setengah paksa, merangkul dan membawanya duduk kembali di atas batu, membiarkan anaknya itu menangis di atas dadanya. Puteri itu memejamkan matanya dan terbayanglah semua pengalamannya di waktu dahulu, di waktu dia masih muda, masih sebaya dengan puterinya ini.

Nandini adalah puteri seorang pendeta bangsa Nepal yang hidup di atas puncak sebuah bukit yang sunyi. Ayahnya adalah seorang pertapa yang sakti dan oleh ayahnya dia digembleng dengan ilmu-ilmu ketangkasan dan ilmu silat.

Pada suatu hari, ketika Nandini sedang memburu binatang dalam sebuah hutan, dia melihat perampok-perampok sedang merampok seorang Pangeran Nepal, Nandini menggunakan kepandaiannya menolong pangeran itu, dan Sang Pangeran amat berterima kasih dan sekaligus jatuh cinta kepadanya, lalu melamar Nandini dari tangan ayahnya.

Sang pendeta tentu saja merasa terhormat dan menerima lamaran itu dengan girang. Akan tetapi Nandini sendiri merasa berduka karena dia tidak suka kepada pangeran itu. Biarpun kedudukannya tinggi, sebagai seorang pangeran yang tentu saja terhormat, mulia dan kaya raya, namun pangeran itu sudah berusia kurang lebih empat puluh tahun, berwajah kasar buruk dan kabarnya telah memiliki selir belasan orang banyaknya! Biarpun dia akan diambil sebagai isteri, bukan selir, namun hatinya tidak senang. Akan tetapi sebagai seorang wanita, tentu saja dia tidak berani menolak kehendak ayahnya dan demikianlah, dia menjadi tunangan pangeran tua itu!

Dan pada suatu hari, beberapa bulan sebelum dia menikah, bertemulah dia dengan pendekar itu di dalam hutan! Seorang pendekar bangsa Han yang masih muda, tampan, sakti sekali, dan di samping itu, pandai merayu hatinya sehingga jatuhlah hati Nandini!

Apalagi kalau dia membandingkan pendekar muda ini dengan calon suaminya, membuat Nandini kehilangan kesadarannya dan dia menyerahkan dirinya kepada pendekar itu yang memang merayunya. Terjadilah hubungan di antara mereka di dalam hutan, hubungan mesra yang kini terbayang oleh sepasang mata yang dipejamkan itu.






Akan tetapi hubungan antara mereka itu akhirnya ketahuan! Ayahnya menjadi marah dan menyerang pendekar itu, akan tetapi ayahnya sama sekali bukan tandingan pendekar itu dan ayahnya malah tewas dalam penyerangan itu, bukan tewas oleh tangan Si Pendekar, melainkan tewas karena serangan jantung, karena kemarahannya yang meluap-luap.

Kemudian terjadilah hal yang amat menyakitkan hatinya. Pendekar itu lalu meninggalkannya! Meninggalkannya begitu saja, padahal dia sudah mengandung! Hasil dari pada pencurahan kasih dan nafsu berahi antara mereka selama hampir satu bulan di dalam hutan!

Namun, pangeran tua itu ternyata amat mencintainya dan bahkan mau memaafkan semua hubungannya dengan Si Pendekar. Pangeran itu tetap saja mengawininya, dan tidak mau menjamahnya sampai dia melahirkan seorang anak perempuan, yaitu Siok Lan!

Melihat kebaikan pangeran itu, sungguhpun sebagian dari penyebabnya adalah karena pangeran itu ingin menutupi aib yang akan mencemarkan namanya sendiri, akhirnya Nandini menerima nasib dan mau melayani pangeran itu sebagai suaminya. Kemudian, berkat ilmu kepandaiannya, suaminya memberi jalan kepada Nandini sehingga dia dapat bertugas di dalam ketentaraan dengan pangkat lumayan. Dan ketika pangeran itu meninggal dunia karena penyakit, Nandini terus menanjak dalam kedudukannya sampai akhirnya dia mendapat kedudukan tinggi sebagai seorang panglima perang!

Dan akhirnya kedudukannya itu berakhir dengan kekalahan yang amat memalukan! Dia tidak berani kembali lagi ke Nepal. Kemudian, mendengar tangis puterinya, teringatlah dia akan semua pengalamannya itu, terbayanglah wajah tampan pendekar itu!

“Siok Lan, apa yang terjadi antara engkau dan Jenderal muda itu?”

Akhirnya dia bertanya, setengah mengkhawatirkan bahwa peristiwa yang dialaminya dahulu itu terulang lagi pada puterinya! Siok Lan memandang ibunya dan melihat sinar mata ibunya tajam penuh selidik, dia pun membalas dengan pandang mata bersih dan tenang.

“Tidak ada terjadi apa-apa kalau itu yang kau maksudkan, Ibu. Akan tetapi kami.... kami telah saling jatuh cinta.... akan tetapi.... tentu saja kusangka bahwa dia seorang pemburu muda biasa, bukan seorang jenderal besar.... hu-huuuhh, apalagi jenderal musuh....”

Nandini mengelus rambut kepala puterinya.
“Aku girang bahwa tidak terjadi apa-apa antara engkau dan dia.... dia memang seorang pemuda yang patut mendapat cintamu, Anakku, akan tetapi.... dia jenderal musuh! Mana mungkin dia mau menikah atau berjodoh dengan seorang seperti engkau....”

“Tapi, kami sudah saling mencinta, Ibu!”

Hemm.... dia seorang ahli siasat perang! Siapa tahu bahwa cintanya kepadamu itupun hanya merupakan siasatnya belaka....“

“Ibu....! Jangan begitu kejam.... ah, tidak mungkin itu! Ibu, aku mau susul dia, akan kutanyakan hal itu. Kalau.... kalau benar cintanya itu hanya siasat, aku.... aku akan....”

“Kau mau apa?”

“Aku akan membunuhnya!”

Nandini tersenyum sedih. Dia pun dahulu ingin membunuh pendekar tampan itu, akan tetapi dia tahu bahwa biarpun dia belajar sampai sepuluh tahun lagi, tak mungkin dia dapat menandingi pendekar itu. Dan puterinya ini, biar belajar puluhan tahun lagi mana mungkin dapat menandingi putera Naga Sakti Gurun Pasir dan cucu mendiang Jenderal Kao Liang?

“Kau takkan menang Anakku.”

“Tidak peduli! Kalau dia menipuku, hanya bersiasat dalam cintanya, biar dia atau aku yang mati!”

“Hemm, itu tidak bijaksana, Siok Lan. Ingat, engkau adalah puteri panglima musuh, selain perbuatanmu menyusul jenderal musuh itu amat memalukan, juga begitu muncul engkau tentu akan dianggap musuh dan dikeroyok para anak buah pasukan....“

“Aku tidak takut!” kata Siok Lan yang nampak penasaran mengingat betapa cinta pemuda itu mungkin hanya siasat perang saja! “Lebih baik aku mati dikeroyok daripada tidak ada harapan berjodoh dengan dia!”

Siok Lan sudah nekat. Memang benar bahwa pemuda itu dan dia masing-masing belum pernah menyatakan cinta dengan kata-kata melalui mulut, akan tetapi dia merasa benar ketika mereka saling pandang, saling senyum dan saling bergandeng tangan. Dia dapat merasakan cinta kasih itu melalui sinar mata, melalui seri senyum, melalui getaran dalam sentuhan jari-jari tangan antara mereka.

“Siok Lan, jangan terburu nafsu. Aku sebagai ibumu dapat memaklumi perasaanmu dan aku setuju sepenuhnya andaikata engkau dapat berjodoh dengan Jenderal muda itu. Dia itu adalah cucu Jenderal Kao Liang, ini saja sudah merupakan suatu jaminan. Apalagi diingat bahwa dia putera Naga Sakti Gurun Pasir, itu lebih lagi. Pula, kita sudah melihat betapa lihainya dia mengatur siasat perang, dan aku yakin bahwa ilmu silatnya pun amat tinggi. Maka, mana mungkin engkau, hanya anak seorang Panglima Nepal yang telah kalah....“

“Ibu, bukankah Ibu pernah mengatakan bahwa aku juga seorang anak kandung dari pendekar yang sakti?”

“Ayahmu....?”

Wajah wanita yang masih cantik itu berubah merah, kemudian menjadi pucat kembali. Dia memejamkan matanya dan terbayanglah dia ketika dia belum berangkat memimpin pasukan, pernah ada seorang pengembara datang membawa surat dari pendekar bekas kekasihnya itu, ayah kandung Siok Lan.

Surat itu seperti juga watak orangnya, penuh rayuan dan ternyata pendekar itu sudah mendengar bahwa dia telah menjadi seorang janda dan pendekar itu merayunya dalam surat, menyatakan rindunya, menyatakan bahwa pendekar itu kini hidup seorang diri, kesepian dan menanggung rindu, dan membujuknya agar suka datang ke tempatnya, menikmati hidup bersama! Surat itu telah dirobek-robeknya dan dia berangkat memimpin pasukan menyerbu ke Tibet. Akan tetapi kini, ketika puterinya merengek, teringatlah dia akan isi surat.

“Hemm, memang hanya ada satu jalan. Dan Ayah kandungmu itu, yang selama hidupnya belum pernah menderita jerih payah merawat dan mendidikmu, sekarang dia harus bertanggung jawab! Ya, dia harus membuktikan bahwa dia seorang ayah yang patut dan yang sudah sepantasnya kalau menjodohkan puterinya! Mari kita pergi kepadanya, Siok Lan, dan kita serahkan urusan jodoh ini kepadanya!”

Siok Lan merasa girang sekali dan kedukaannya segera terhapus dari wajahnya dan pada wajah yang cantik itu terbayang penuh harapan ketika dia pun lari mengikuti ibunya.

**** 035 ****