FB

FB


Ads

Jumat, 03 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 031

Tentu saja empat belas orang penjaga itu menjadi ketakutan, akan tetapi mereka tidak berani membangkang. Lima orang pengawal lalu membuka baju mereka dan tak lama kemudian terdengarlah bunyi cambuk meledak-ledak ketika lima orang pengawal itu menjatuhkan hukuman itu di tempat terbuka dan terlihat oleh semua orang. Darah mengalir dari kulit-kulit punggung yang pecah-pecah dan terdengar rintihan-rintihan kesakitan. Setelah hukuman itu dijalankan, Siok Lan berkata kepada Ci Sian.

“Adik Sian, kau lepaskan jahanam itu.”

Ci Sian melepaskan injakan kakinya dan Su Khi merangkak bangun dengan mulut merah karena dia tadi sampai muntah darah.

“Sekarang kuserahkan jahanam itu kepada kalian dan boleh kalian perbuat sesuka hati kalian terhadap dia. Awas, sekali lagi kalian makan suapan, aku akan minta kepada Ibu agar kalian dihukum penggal kepala!” kata Siok Lan.

Empat belas penjaga itu menghaturkan terima kasih, kemudian seperti serigala-serigala kelaparan mereka lalu menangkap Su Khi.

“Tidak.... tidak.... jangan.... ampunkan aku....!”

Orang itu berteriak-teriak dan meronta-ronta, namun empat belas orang yang telah menerima hukuman yang amat nyeri itu kini menimpakan semua dendam mereka kepada Su Khi. Tak lama kemudian, di luar kota, Su Khi ditelanjangi dan dicambuki oleh empat belas orang itu sampai kulit tubuhnya pecah-pecah dan dia tewas dalam keadaan mengerikan!

Semenjak terjadi peristiwa itu, nama Ci Sian dikenal. Baru sekarang mereka tahu bahwa gadis bangsa Han itu menjadi sahabat baik dari puteri panglima dan bahwa dara cantik itu ternyata memiliki ilmu kepandaian yang amat hebat! Akan tetapi, para pendekar merasa bersyukur juga bahwa dara itu ternyata berani membela penduduk, bahkan puteri panglima itu pun telah memperlihatkan keadilan di depan rakyat.

Menurut pendapat Siok Lan dan ibunya, Su Khi malah dianggap sebagai kaki tangan mata-mata yang sengaja menimbulkan kekeruhan di Lhagat! Memang, semenjak terjadinya pencurian di dalam kamar kerja panglima oleh seorang maling yang berilmu tinggi itu, setiap orang dicurigai dan setiap hari para pengawal menangkapi orang-orang yang dicurigai sehingga penjara menjadi penuh menampung orang-orang tangkapan baru ini.

Puteri Nandini sebagai panglima yang paling merasa terpukul dengan adanya pencurian benda-benda penting dari kamar kerjanya, bertindak keras, bahkan setiap kali ada orang tangkapan baru, dia sendiri datang untuk memeriksa. Ingin sekali dia dapat menemukan maling yang telah memasuki kamar kerjanya itu.

Ketika pada suatu pagi ada laporan bahwa tertangkap pula seorang pemuda yang amat mencurigakan karena malam-malam pemuda itu berkeliaran di dekat bukit tempat tentara musuh terkurung, cepat panglima itu berpakaian, naik kuda dan datang sendiri ke tempat penangkapan itu. Begitu panglima itu tiba di tempat penjagaan, para penjaga mendorong seorang pemuda yang kedua kakinya dibelenggu, demikian pula kedua lengannya.

Seorang pemuda yang tampan dan berpakaian sederhana, berwajah terang dan sama sekali tidak menunjukkan wajah seorang jahat. Akan tetapi justeru wajah demikian ini yang menimbulkan kecurigaan, karena bukankah yang dikirim oleh pihak musuh adalah orang-orang pandai dan mungkin saja orang-orang yang memiliki kedudukan tinggi?

Dari atas kudanya, panglima wanita itu mengamati pemuda tawanan itu dengan penuh perhatian. Pemuda seperti ini memang pantas menjadi seorang utusan, karena biarpun nampaknya seorang yang lemah, namun sinar matanya berkilat membayangkan kekuatan dan kecerdasan.

Komandan jaga maju memberi hormat kepada panglima wanita itu lalu melaporkan bahwa pemuda itu pagi-pagi sekali tadi ditangkap ketika sedang menyusup-nyusup seorang diri di dekat perkemahan para penjaga yang sedang bertugas mengurung bukit di mana pihak musuh terjebak itu.

“Alasannya adalah mencari jejak binatang buruan dan setelah kami menggeledahnya, kami tidak menemukan senjata pada dirinya, melainkan kalung ini.”

Komandan jaga menutup laporannya sambil menyerahkan seuntai kalung kepada panglimanya. Puteri Nandini menerima kalung itu dan menyembunyikan kagetnya ketika dia mengenal kalung itu. Sebuah kalung dengan hiasan berbentuk sebatang bunga teratai emas terhias permata. Tentu saja dia mengenalnya karena kalungnya itu adalah kalungnya sendiri diwaktu muda dan yang sudah diberikannya kepada puterinya, Siok Lan!

Diam-diam dia terkejut dan marah, dan hampir saja dia berteriak membentak pemuda itu untuk bertanya dari mana pemuda itu memperoleh kalung puterinya. Akan tetapi dia masih sempat menahan diri dan tidak mau membuka rahasia puterinya sehingga kalau terdengar oleh para penjaga bahwa kalung puterinya berada pada pemuda ini, tentu akan menimbulkan prasangka yang buruk.

“Kau seorang pemburu?” panglima itu bertanya tanpa turun dari atas punggung kudanya.

Pemuda itu mengangguk.
“Benar, Li-ciangkun. Saya adalah seorang di antara para pemburu di bukit sebelah sana itu.”

“Kenapa kau berkeliaran di sini?”

“Semalam kawan-kawan saya mengepung seekor harimau yang amat buas dan yang sudah lama kami coba untuk menangkapnya. Akan tetapi harimau itu dapat lolos dan saya mengikuti jejaknya sampai ke sini, tahu-tahu saya ditangkap....”

“Hemm, mengikuti jejak harimau dengan pakaian seperti itu? Pakaianmu bukan seperti pakaian pemburu!”

“Maaf, karena semalam saya memang sudah hendak tidur, sudah terlalu lelah memburu pada siang harinya. Akan tetapi mendengar suara ribut-ribut para kawan, saya terbangun dan ikut mengejar harimau yang lolos....”

Panglima wanita itu lalu memerintahkan untuk menahan pemuda itu di dalam kamar tahanan di tempat penjagaan itu.

“Aku hendak memeriksanya sendiri,” katanya dan dia pun meloncat turun dari atas kudanya, mengikuti para penjaga yang mendorong pemuda tawanan itu memasuki rumah penjagaan.

Setelah menyuruh semua penjaga pergi, Puteri Nandini memandang kepada pemuda yang disuruh duduk di depannya itu dengan sinar mata penuh selidik. Kemudian dia mengeluarkan kalung dari saku bajunya dan memperlihatkannya kepada pemuda itu.

“Darimana engkau memperoleh kalung itu?” tanyanya halus, akan tetapi pandang matanya seperti hendak menembus dada menjenguk isi hati.






Pemuda itu nampak tenang-tenang saja, hanya agak kemalu-maluan mendengar pertanyaan ini.
“Dari.... dari seorang dara....” jawabnya.

“Hemm, mengapa dia memberikan kalung ini kepadamu?”

Pemuda itu kelihatan semakin malu.
“Sebetulnya.... hanya kebetulan saja, Li-ciangkun. Ketika itu.... saya melihat seorang gadis menunggang kuda dan kudanya itu terkejut karena bertemu harimau, harimau keparat yang kami kejar-kejar itulah! Dan kudanya terpeleset ke dalam jurang. Kebetulan saya berada di dekat situ dan saya memang sudah siap dengan lasso untuk menangkap harimau, maka saya berhasil mencegah dia terbawa jatuh ke dalam jurang dengan lasso saya....“

Puteri Nandini tidak terkejut karena memang dia tadi sudah menduga demikian. Oleh karena dia menduga bahwa pemuda ini adalah penyelamat puterinya itulah maka dia tadi memerintahkan penjaga membawa pemuda itu ke sini untuk diajak bicara. Akan tetapi sekarang pun dia tidak memperlihatkan perasaan apa-apa pada wajahnya yang nampak bengis namun masih tetap cantik itu. Tadi sebelum memasuki tempat ini dia sudah diam-diam menyuruh pengawalnya untuk cepat-cepat memanggil Siok Lan ke tempat ini.

Puteri Nandini menyuruh pemuda itu menceritakan riwayatnya dan mengapa jauh-jauh ketempat ini untuk berburu. Pemuda itu bercerita dengan singkat bahwa dia dan rombongannya adalah pemburu-pemburu yang selain memiliki pekerjaan memburu dan hidup dari hasil buruan, juga suka dengan pekerjaan ini.

“Kami sudah banyak menjelajahi daerah-daerah yang terkenal memiliki binatang-binatang aneh dan buas. Kami sebetulnya tiba di sini karena tertarik oleh berita tentang binatang atau mahluk aneh yang dinamakan Yeti atau dikabarkan sebagai manusia salju di daerah Himalaya. Akan tetapi ternyata kami tidak berhasil menjumpai mahluk itu maka kami memburu harimau dan lain-lain binatang buas di bukit itu.”

Demikian antara lain pemuda itu bercerita. Dia mengaku she Liong bernama Cin dan sebagai seorang pemburu yang banyak bertualang ke tempat-tempat jauh, dia menguasai bahasa Tibet, bahkan sedikit dia dapat berbahasa Nepal.

Selagi mereka bicara, terdengar suara derap kaki dua ekor kuda di luar rumah penjagaan itu dan tak lama kemudian masuklah dua orang dara ke dalam ruangan itu. Mereka ini bukan lain adalah Siok Lan dan Ci Sian. Siok Lan datang dengan cepat setelah menerima panggilan ibunya dan dia mengajak Ci Sian, apalagi ketika mendengar dari pengawal itu bahwa para penjaga menangkap seorang pemuda yang mengaku sebagai seorang pemburu dan kini sedang diperiksa oleh panglima. Begitu mereka masuk dan melihat Liong Cin, Siok Lan segera berkata kepada Ci Sian,

“Benar, dia!” Lalu dia menghampiri ibunya. “Ah, Ibu, mereka salah tangkap! Dia ini adalah pemburu yang pernah meyelamatkan aku dulu!”

Puteri Nandini mengangguk.
“Aku sudah menduganya, hanya menanti kedatanganmu untuk kepastiannya.” lalu Sang Puteri ini memandang kepada pemuda itu, tersenyum dan berkata. “Orang muda, kau maafkan kesalahan para penjaga kami. Akan tetapi engkau juga bersalah mengapa mengejar buruan sampai dekat dengan perkemahan kami. Harap beritahu kawan-kawanmu agar jangan mendekati tempat ini.”

Liong Cin menggeleng kepalanya dengan sedih.
“Tidak mungkin mereka berani mendekat kesini, Li-ciangkun. Setelah mendengar atau melihat saya ditangkap, saya berani memastikan bahwa mereka tentu sudah lari ketakutan dan tidak akan kembali lagi ke tempat ini.”

Panglima itu mengerutkan alisnya dan memandang tajam.
“Kalau begitu engkau ditinggalkan oleh teman-temanmu?”

Liong Cin mengangguk.
“Selama ini kami memang sudah khawatir melihat betapa tempat buruan kami dekat dengan medan perang dan sudah sering kali kami berunding untuk pergi saja. Akan tetapi harimau itu....”

”Sudahlah, orang muda. Aku menyesal bahwa engkau terpaksa ditinggalkan teman-temanmu. Sekarang engkau boleh bebas. Engkau adalah seorang yang memiliki kepandaian tinggi, harap kau suka melepaskan belenggu tangan dan kakimu sendiri.” Panglima itu mencoba memancing.

Akan tetapi pemuda itu menggeleng kepala dan mukanya menjadi merah.
“Harap Li-ciangkun tidak main-main. Mana mungkin saya dapat melepaskan diri dari belenggu yang sekuat ini?”

“Tapi engkau telah mampu menyelamatkan puteriku.”

“Itu lain lagi, Li-ciangkun. Saya memang mempelajari ilmu mempergunakan tali lasso, akan tetapi untuk mematahkan belenggu-belenggu ini sungguh saya tidak sanggup melakukannya.”

Panglima itu tersenyum. Senyumnya hanya sebentar saja, seperti kilatan cahaya di hari mendung. Lalu dihampirinya pemuda itu dan dengan kedua tangannya panglima wanita itu mematah-matahkan belenggu kaki tangan itu sedemikian mudahnya, seperti mematahkan ranting-ranting kecil saja!

Pemuda itu terbelalak penuh kaget dan kagum menyaksikan kehebatan tenaga panglima wanita ini. Dan memang itulah yang dikehendaki oleh Puteri Nandini, agar pemuda ini terkejut dan jerih sehingga tidak akan berani melakukan hal-hal yang dapat merugikan pasukan Nepal. Biarpun dia percaya kepada pemuda ini, akan tetapi pemuda ini adalah bangsa Han, maka sudah tentu saja sedikit banyak dia masih bersikap hati-hati dan curiga.

Siok Lan menghampiri pemuda itu dan berkata dengan suara menyesal.
“Harap kau suka memaafkan, Liong Cin. Karena ingin berhati-hati, para pasukan penjaga telah salah tangkap, engkau yang menjadi penolongku malah disangka mata-mata musuh.”

Liong Cin juga tersenyum dan menjura.
“Tidak mengapa, Nona. Ini malah merupakan penambahan pengalamanku, hanya sayang.... sahabat-sahabatku telah pergi meninggalkan aku di sini”.

“Kalau begitu, mari ikut bersama kami ke Lhagat.” Siok Lan mengajak dan sebelum pemuda itu menjawab, dara ini sudah berpaling kepada ibunya. “Ibu, harap Ibu perkenankan Liong Cin untuk ikut bersama kita ke Lhagat, sekedar untuk membalas budinya dan untuk minta maaf kepadanya atas perlakuan kita yang tidak semestinya terhadap seorang penolong.”

Siok Lan memang pandai bicara dan ibunya tidak dapat menolak, tidak enak untuk menolak setelah puterinya mengeluarkan kata-kata seperti itu. Biarpun, di dalam hatinya dia tidak setuju karena hal itu memungkinkan adanya bahaya kalau-kalau pemuda ini benar-benar kaki tangan musuh, namun mana mungkin dia menolak dengan adanya kenyataan bahwa pemuda ini telah menyelamatkan puterinya, kemudian malah ditangkap karena disangka mata-mata? Menolaknya sama dengan menampar muka sendiri!

Siok Lan sudah meneriaki pengawal minta seekor kuda untuk Liong Cin dan tak lama kemudian, Siok Lan, Ci Sian, dan Liong Cin sudah membalapkan kuda mereka menuju ke Lhagat. Di sepanjang perjalanan, Ci Sian tidak pernah bicara kepada Liong Cin, akan tetapi diam-diam dia amat memperhatikan pemuda itu dan dia pun melihat betapa terjadi perubahan besar pada diri Siok Lan. Dara ini kelihatan amat gembira sekali, sikapnya menjadi semakin lincah dan jenaka!

Mulai saat itu, Liong Cin diterima sebagai seorang tamu terhormat, atau juga seorang sahabat baik dari Siok Lan, dan diberi sebuah kamar tersendiri di dalam gedung tempat tinggal panglima itu.

Puteri Nandini sendiri yang mengusulkan hal ini, pada lahirnya dia hendak bersikap baik terhadap pemuda yang pernah menyelamatkan nyawa puterinya itu, akan tetapi di dalam hatinya dia menghendaki agar pemuda itu tinggal di gedung karena dengan demikian akan lebih mudah baginya untuk mengawasi gerak-geriknya.

Juga dia melihat betapa agaknya puterinya tertarik kepada pemuda itu, dan mengingat bahwa pemuda itu, biarpun harus diakuinya bahwa pemuda itu tampan dan gagah, hanya seorang pemburu biasa saja, maka sudah tentu hatinya tidak rela dan dia pun ingin mengamat-amati hubungan antara puterinya dan pemuda itu.

Mula-mula Liong Cin menolak halus dan menyatakan bahwa dia tidak ingin mengganggu keluarga panglima itu, akan tetapi Siok Lan cepat mendesaknya.

“Saudara Liong Cin, sudah jelas kini dari pelaporan para penyelidik bahwa benar seperti dugaanmu, semua kawanmu, rombongan pemburu yang tadinya berkemah di bukit itu telah melarikan diri semua, entah ke mana. Oleh karena itu, tidak baik kalau engkau pergi mencari mereka, dalam keadaan gawat dan dalam ancaman perang ini. Sebaiknya engkau beristirahat dulu di sini bersama kami, kelak kalau keadaan sudah aman barulah engkau pergi mencari kawan-kawanmu. Setidaknya, berilah kesempatan kepadaku untuk menyatakan terima kasih dan membalas budimu.”

Meghadapi ucapan Siok Lan ini, Liong Cin tidak dapat membantah dan demikianlah, mulai hari itu dia tinggal di gedung panglima dan diperlakukan sebagai seorang tamu terhormat dan memperoleh kebebasan. Dia bergaul dengan akrab sekali dengan Siok Lan, dan tentu saja Ci Sian juga sering menemani mereka bercakap-cakap, akan tetapi agaknya diantara dua orang muda ini, keduanya merupakan tamu dan sahabat Siok Lan, terdapat sesuatu yang membuat mereka agak renggang. Ada celah di antara keduanya, dan kadang-kadang mereka saling pandang dengan sinar mata membayangkan kecurigaan dan keraguan.

Memang sesungguhnyalah, Ci Sian menaruh rasa curiga kepada pemuda itu, rasa curiga yang sama sekali bukan tanpa alasan. Semenjak pemuda itu datang, dia selalu mengamati gerak-geriknya dan biarpun dia melakukan hal ini secara diam-diam, agaknya terasa juga oleh Liong Cin sehingga pemuda ini pun merasa tidak enak terhadap Ci Sian. Bahkan semenjak Liong Cin berada di gedung itu, setiap malam Ci Sian kurang dapat tidur nyenyak karena pikirannya selalu membayangkan pemuda itu dengan penuh curiga, dan sering kali dia bahkan diam-diam keluar dari dalam kamarnya untuk bersembunyi dan melakukan pengintaian!

Dan beberapa hari kemudian, pada suatu malam kecurigaannya ini memperoleh bukti. Dia melihat bayangan berkelebat cepat dan dia dapat mengenal Liong Cin yang bergerak cepat melakukan penyelidikan di dalam gedung dan keluar dari gedung itu menuju ketaman bunga dengan sikap yang mencurigakan sekali.

Akan tetapi, pemuda itu ternyata lihai bukan main. Biarpun Ci Sian sudah membayangi dengan amat hati-hati, mengerahkan ginkangnya sehingga tubuhnya bergerak cepat dan ringan tanpa menimbulkan suara berisik, agaknya pemuda itu telah tahu bahwa ada orang yang membayanginya dan tiba-tiba pemuda itu berhenti dan menoleh ke belakang, tahu-tahu telah berhadapan dengan Ci Sian yang bersembunyi di balik pohon dan semak-semak!

Keduanya terkejut ketika saling berhadapan itu. Sejenak mereka hanya saling pandang dengan alis berkerut tanpa dapat mengeluarkan kata-kata. Akhirnya Ci Sian tersenyum berkata.

“Terkejut? Aku tahu siapa engkau, Liong Cin!”

Pemuda itu memandang dengan sinar mata penuh selidik.
“Apa maksudmu? Tentu saja engkau mengenalku. Aku sedang jalan-jalan dan kau mengejutkan aku, Nona....“

“Hemm, tak perlu engkau berpura-pura sebagai pemburu yang tolol! Engkaulah Si Pengail yang kami tanya tentang perajurit itu, dan engkau pula perajurit yang membunuh perwira yang hendak memperkosa wanita itu, engkau mata-mata....“

Cepat seperti kilat tangan pemuda itu sudah menangkap pundak Ci Sian dan jari-jari tangan kirinya sudah menempel di ubun-ubun kepala dara itu, ancaman maut mengerikan karena sekali jari-jari tangan itu bergerak, dara itu pasti akan tewas seketika!

Ci Sian sendiri terkejut bukan main karena biarpun dia sudah waspada, ternyata dia sama sekali tidak mampu mengelak atau menangkis, dan tahu-tahu dia sudah “ditodong” seperti itu, sama sekali tidak berdaya! Akan tetapi dia tersenyum, sedikit pun tidak menjadi gentar sehingga berbalik pemuda itulah yang terheran-heran. Dan apa yang keluar dari mulut Ci Sian membuat dia semakin heran dan sedemikian kaget sehingga pegangannya pada pundak dara itu terlepas.

“Jenderal, engkau salah tangkap!”

Wajah pemuda itu berobah pucat, matanya terbelalak dan dia bertanya dengan suara tegas,
“Siapa engkau?”

Ci Sian tersenyum.
“Aku? Aku bernama Ci Sian dan menjadi sahabat Siok Lan seperti yang kau ketahui.”

“Tidak! Kalau demikian keadaanmu, tentu engkau sudah membuka rahasiaku. Ci Sian, jangan main-main, katakan siapa engkau, jangan sampai aku kesalahan tangan.”

Ucapan itu mengandung kesungguhan yang membuat bulu tengkuk Ci Sian meremang. Tahulah dia bahwa kalau dia main-main dan salah bicara, tentu bagi orang ini tidak akan ragu-ragu lagi untuk turun tangan membunuhnya karena dia tentu dianggap berbahaya telah mengetahui rahasia orang itu.

“Aku bukan kaki tangan orang Nepal! Aku ke sini juga hendak mencari seseorang yang ditahan, seorang piauwsu bernama Lauw Sek. Harap kau jangan curigai aku.”

Pemuda itu kelihatan lega hatinya dan dia menarik napas panjang.
“Katakan, bagaimana engkau dapat mengetahui keadaanku?”

“Dari sinar matamu.” jawab Ci Sian. “Engkau boleh menyamar, merobah bentuk muka dan berganti pakaian, berganti suara, akan tetapi engkau tak mungkin menyembunyikan sinar matamu.”

“Sinar mataku....? Mengapa dengan sinar mataku?”

“Sinar matamu mencorong seperti sinar mata seseorang yang tak pernah dapat kulupakan. Sinar matamu persis seperti sinar mata Pendekar Suling Emas.”

“Pendekar Suling Emas? Siapa itu?”

“Dia she Kam, bernama Hong.”

Pemuda itu menggeleng kepala.
“Aku tidak mengenalnya. Ternyata pandang matamu tajam betul, Ci Sian. Sekarang katakan, bagaimana engkau dapat tahu bahwa aku seorang jenderal....?”

Ci Sian tersenyum.
“Hanya orang tolol saja yang tidak dapat menduga. Begitu mudah seperti dua tambah dua sama dengan empat. Desas-desusnya sudah santer dikabarkan orang bahwa akan ada seorang jenderal sakti dari Kerajaan Ceng yang datang menyelidik kesini untuk membebaskan pasukan yang terkepung. Kini, melihat keadaanmu, melihat kelihaianmu, siapa lagl engkau kalau bukan Si Jenderal yang didesas-desuskan orang itu?”

“Engkau luar biasal” pemuda itu berseru dan berbisik. “Mari kau ikut aku. Tidak leluasa bicara di sini!”

Setelah berkata demikian, tubuhnya melesat dengan cepat sekali dari taman itu. Ci Sian terpaksa harus mengerahkan seluruh gin-kangnya untuk mengejar, akan tetapi betapa pun dia mengerahkan tenaga, tetap saja dia tertinggal jauh dan kadang-kadang pemuda itu terpaksa harus menunggunya dan akhirnya mereka tiba di sebuah tanah kuburan di pinggir kota yang amat sunyi.

Sunyi dan menyeramkan, membuat Ci Sian bergidik. Biarpun ia seorang dara perkasa yang dapat dibilang tidak takut menghadapi lawan yang bagaimanapun juga, akan tetapi pada malam hari gelap itu berada di dalam tanah kuburan, benar-benar merupakan pengalaman yang belum pernah dihadapinya.

Malam itu bulan sepotong menyinari permukaan tanah kuburan, menambah seramnya pemandangan. Gundukan-gundukan tanah itu seolah-olah dalam cuaca remang-remang merupakan tubuh-tubuh manusia raksasa yang telentang, dengan perut besar dan seperti bergerak dan bernapas.

Hembusan angin pada daun-daun pohon yang tumbuh di tanah kuburan itu seperti bisikan-bisikan, agaknya dalam keadaan mati pun manusia masih tidak dapat melepaskan kebiasaannya yang lama yaitu mengoceh dan membicarakan keadaan orang-orang lain, terutama tentang kesalahan-kesalahan orang lain.

Ci Sian merasa seolah-olah dialah yang kini menjadi bahan pergunjingan dalam bisikan-bisikan itu dan dia menggigil.

“Nah, kau mau bicara apa?” katanya dan suaranya agak gemetar menahan rasa ngeri.

Pemuda itu tersenyum di bawah sinar bulan yang pucat, membuat wajahnya yang tampan nampak pucat juga.

“Kau takut dan seram juga? Ah, tempat ini merupakan tempat paling aman bagi kami....“

“Kau dan anak buahmu?”

Pemuda itu mengangguk.
“Engkau memang luar biasa dan aku kagum padamu, Nona Ci Sian, atau.... namamu itu juga nama palsu?

“Namaku tidak palsu, perlu apa aku harus memakai narna palsu seperti engkau, Jenderal?”

“Hemm, engkau sudah menduga sedemikian jauh sehingga tahu akan nama yang kupakai?”

“Engkau seorang yang amat penting dan ternama tentu saja, maka akan bodohlah kalau engkau menggunakan nama sendiri selagi melakukan tugas mata-mata.”

“Kau memang cerdik luar biasa dan aku percaya padamu, Nona. Ketahuilah, aku memang utusan kaisar untuk menolong pasukan kami yang terkurung. Dan di sana aku memang menjadi jenderal. Biarpun nama yang kupakai palsu, akan tetapi tidak banyak selisihnya dengan namaku yang tulen, hanya di balik. Namaku adalah Cin Liong, Kao Cin Liong.”

Semenjak kecil Ci Sian sudah banyak bertemu orang pandai, akan tetapi belum pernah dia mendengar nama ini. Kalau dia tahu siapa pemuda ini, tentu dia akan terkejut setengah mati. Pemuda ini sesungguhnya bukan orang biasa, melainkan keturunan suami isteri pendekar yang pernah menggegerkan kolong langit dengan ilmu kepandaian mereka yang amat tinggi.

Para pembaca cerita SEPASANG RAJAWALI dan JODOH SEPASANG RAJAWALI tentu dapat mengingat atau menduga siapa adanya pemuda she Kao ini. Kao Cin Liong ini adalah cucu Jenderal Kao Liang yang sangat terkenal, seorang jenderal yang gagah perkasa dan yang membiarkan dirinya tewas terbakar demi setianya terhadap kerajaan dan demi menjaga nama baik keluarga Kao (baca KISAH JODOH SEPASANG RAJAWALI ).

Ayah dari Kao Cin Liong bukan lain adalah Si Naga Sakti Gurun Pasir yang bernama Kao Kok Cu, seorang pendekar yang memiliki kepandaian luar biasa dan terkenal sebagai seorang pendekar sakti yang ditakuti lawan disegani kawan. Ibunya yang bernama Wan Ceng atau Candra Dewi adalah saudara angkat dari Puteri Bhutan Syanti Dewi, dan juga ibunya memiliki ilmu kepandaian yang hebat. Suami isteri ini tinggal di dalam Istana Gurun Pasir dan merupakan tokoh-tokoh besar dalam dunia persilatan yang disegani.

Agaknya darah kakeknya mengalir dalam diri Cin Liong karena semenjak kecil, selain suka akan ilmu silat dan sastra, anak ini juga tertarik sekali akan sejarah para pahlawan.

Apalagi riwayat kakeknya seperti yang dia dengar dari ayahnya amat menarik hatinya dan sejak kecil dia pun bercita-cita untuk menjadi seperti kakeknya, menjadi seorang pahlawan dan panglima di kerajaan!

Melihat bakat dan semangat puteranya, setelah puteranya itu memperoleh pendidikan Ilmu silat yang cukup tinggi darinya, Kao Kok Cu dengan persetujuan isterinya lalu membawa Kao Cin Liong ke kota raja dan dengan perantaraan adiknya, yaitu Kao Kok Han yang telah menjadi seorang perwira tinggi, Cin Liong lalu memasuki ketentaraan.

Karena kepandaian silatnya memang hebat sekali, dan kaisar amat kagum kepadanya, apalagi mengingat bahwa pemuda itu adalah cucu mendiang Jenderal Kao Liang yang gagah perkasa, maka dalam waktu pendek saja pemuda perkasa ini telah memperoleh kedudukan tinggi. Apalagi ketika beberapa kali dia berhasil memimpin pasukan menindas pemberontakan-pemberontakan di sepanjang pantai Po-hai dan di utara, bahkan melakukan pembersihan terhadap para bajak laut, dia berjasa besar dan dalam usia yang masih amat muda dia sudah berpangkat jenderal!

Tercapailah cita-citanya untuk hidup seperti mendiang kakeknya yang amat dikaguminya. Dan dalam melaksanakan tugasnya, pemuda ini memang hebat dan tegas, persis seperti kakeknya dahulu.

Ketika Kaisar mendengar pelaporan bahwa pasukan Nepal mengganggu perbatasan Tibet dan memukul mundur pasukan Tibet yang melakukan penjagaan di tapal batas, bahkan telah menduduki Lhagat, dia lalu memerintahkan untuk menggempur pasukan Tibet yang telah menjadi daerah taklukan itu.

Lima ribu orang pasukan dikirim ke barat, dipimpin oleh panglima yang amat gagah perkasa karena panglima ini bukan lain adalah Kao Kok Han. Akan tetapi, karena kelihaian panglima Nepal, pasukan ini terjebak dan terkurung di lembah bukit sehingga tidak mampu lagi untuk membobolkan kepungan.

Mendengar ini, Kaisar menjadi marah dan hendak mengirim pasukan lebih besar. Akan tetapi Jenderal Muda Kao Cin Liong lalu menghadap Kaisar dan kepada panglima besar dia pun minta ijin untuk diperkenankan melakukan penyelidikan ke barat karena dia merasa yakin bahwa dengan bantuan orang-orang Tibet dia akan dapat menyelamatkan pasukan yang terkepung itu!

Tentu saja dalam hal ini, Cin Liong bukan hanya ingin menyelamatkan pasukan itu, melainkan juga untuk menyelamatkan pamannya, yaitu Kao Kok Han pemimpin pasukan yang terkepung itu. Dia telah ditangisi oleh keluarga pamannya itu untuk menyelamatkan pamannya dan anak buahnya.