FB

FB


Ads

Jumat, 27 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 094

“Sute, biarkan dia. Ada apa-apa di balik semua ini.”

Bun Beng berkata dan sutenya duduk kembali, memandang dengan penuh kecemasan. Bun Beng melihat bahwa Ceng Ceng tidak bicara seperti seorang yang hilang atau berubah ingatan, melainkan dengan sungguh-sungguh.

“Nona Lu Ceng,” katanya tenang sambil memandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. “Engkau adalah adik angkat Puteri Syanti Dewi dan diberi nama Candra Dewi, bukan?”

Ceng Ceng mengangguk, matanya masih memandang Gak Bun Beng dengan penasaran karena mengira bahwa orang ini berani sekali memalsukan nama ayahnya yang sudah meninggal dunia.

“Syanti Dewi sudah banyak bercerita tentang dirimu.”

“Kak Syanti....? Engkau mengenalnya? Di mana dia?”

“Tentu saja aku mengenalnya. Aku menyelamatkannya dari air sungai....”

“Ah, sukurlah....”

“Dan dia sekarang pun telah diselamatkan dari tangan pemberontak. Nona Lu, sepanjang pendengaranku dari cerita Syanti Dewi, engkau sejak kecil tinggal di Bhutan. Benarkah demikian?”

Ceng Ceng mengangguk lagi. Terlalu banyak hal-hal aneh terdengar olehnya sehingga sukar baginya untuk membuka suara.

“Jika sejak kecil engkau berada di Bhutan, bagaimana engkau dapat mengenal nama Gak Bun Beng yang kau katakan sebagai ayah kandungmu?”

“Memang dia ayah kandungku! Kong-kong yang bercerita kepadaku,” katanya kemudian.

“Pernahkah engkau bertemu dengan ayah kandungmu itu?”

Ceng Ceng menggeleng kepala.

“Siapakah nama kakekmu?”

“Kakek adalah Lu Kiong.”

“Yang menurut cerita Syanti Dewi tewas ketika melindungi engkau dan Syanti Dewi?” Bun Beng menyambung.

“Benar.”

“Dan nama ibumu?”

“Ibuku bernama Lu Kim Bwee....” Ceng Ceng kini terkejut memandang Bun Beng yang meloncat berdiri dari bangkunya.

“Lu Kim Bwee....? Di mana dia sekarang?” tanyanya penuh semangat.

“Ibuku? Dia.... dia sudah mati....”

Ceng Ceng berkata dan dia memejamkan matanya. Teringat bahwa ayah bundanya sudah mati, juga kong-kongnya, dan dia sendiri tertimpa malapetaka hebat, dia merasa betapa sengsara hidupnya!

“Ahhh....!” Bun Beng berseru kembali dan duduk di atas bangkunya, menghela napas panjang. “Nona Lu, harap kau suka menceritakan kepadaku, apa saja yang diceritakan oleh kong-kongmu itu kepadamu, tentang orang bernama Gak Bun Beng itu.”

Hati Ceng Ceng merasa tegang. Sikap dua orang itu, yang dia tahu adalah orang-orang yang berilmu tinggi, menimbulkan dugaan di hatinya bahwa memang ada sesuatu yang aneh, suatu rahasia mengenai keadaan dirinya. Kakeknya jelas adalah seorang Han, bahkan menurut pengakuan kakeknya, dahulu kakeknya adalah seorang pengawal Kaisar yang setia, maka kakeknya selalu menanamkan kesetiaan dan kepahlawanan padanya.

Akan tetapi mengapa kakeknya dan ibunya meninggalkan tanah air dan berada di Bhutan yang begitu jauh? Tentu ada rahasia di balik itu semua, dan dia merasa bahwa saat terbukanya rahasianya itu hampir tiba. Maka dengan singkat namun jelas dia pun menuturkan keadaan dirinya dan kakeknya.

“Kong-kong adalah seorang bekas pengawal Kaisar yang mengundurkan diri dan tinggal bersamaku di Bhutan,” dia bercerita sambil menatap wajah Bun Beng dan pura-pura tidak melihat betapa sepasang mata Kian Lee seperti melekat dan bergantung kepada bibirnya, mata yang sinarnya penuh kemesraan dan kasih sayang! “Kong-kong bernama Lu Kiong dan ibu sudah tidak ada. Menurut penuturan Kong-kong, ayah kandungku bernama Gak Bun Beng dan ibuku yang bernama Lu Kim Bwee telah meninggal dunia karena merana dan berduka ditinggal pergi oleh ayah kandungku itu.”

“Ahh.... sungguh kasihan engkau, Kim Bwee....” Bun Beng mengeluh.

Jantunq Ceng Ceng makin berdebar tegang. Orang ini jelas mengenal ibuku, pikirnya! Akan tetapi dia melanjutkan.

“Mendengar penuturan Kong-kong, aku lalu menyatakan hendak mencari dan menegur Ayah atas perbuatannya terhadap Ibu, akan tetapi.... Kong-kong bilang bahwa ayahku yang bernama Gak Bun Beng, murid Pendekar Super Sakti dari Pulau Es itu telah mati. Nah, begitulah cerita Kong-kong kepadaku.”






“Tidak, Nona Lu Ceng. Orang yang bernama Gak Bun Beng itu belum mati. Kakekmu dan ibumu salah sangka.... akulah orang yang mereka maksudkan itu....”

Ceng Ceng mengeluarkan jerit tertahan dan mukanya pucat, matanya terbelalak memandang kepada Gak Bun Beng.

“Kalau.... kalau begitu.... engkau.... Ayaaahh....!” Ceng Ceng sudah menubruk ke depan, merangkul pinggang pendekar itu dan menangis tersedu-sedu.

Bun Beng membiarkan gadis itu menangis di dadanya, kemudian baru dia berkata dengan halus,
“Nona, tenanglah Nona, dan duduklah baik-baik untuk mendengarkan penuturanku....”

“Suheng! Jadi dia.... dia ini.... puterimu....?” Kian Lee juga bertanya.

“Tenang, Sute. Dan engkau pun boleh mendengarkan penuturan ini karena.... ahhh, Tuhan saja yang Maha Tahu dan mengatur segala sesuatu di dunia ini sehingga terjadi hal seperti yang kuhadapi ini, karena engkau pun.... agaknya ada kepentingan dalam hal ini. Semoga Tuhan memberi kekuatan kepada kita bertiga. Duduklah, Nona Ceng....”

Ceng Ceng melepaskan pelukannya, melangkah mundur dan duduk kembali ke atas pembaringan, wajahnya pucat dan matanya memandang penuh kekagetan dan keraguan kepada Bun Beng.

“Engkau.... engkau ayah kandungku, mengapa....”

Dia tidak melanjutkan ketika melihat sinar mata penuh iba terpancar dari mata pendekar itu, dan keheranannya bertambah. Tadi mendengar ayah kandungnya masih menyebutnya nona, dia sudah terkejut dan terheran sekali.

“Sayang sekali, Nona Ceng, sungguh sayang sekali bahwa terpaksa aku mengaku bahwa aku bukan ayah kandungmu. Ah, aku akan bersukur kepada Tuhan andaikata benar aku adalah ayah kandungmu. Aku akan merasa bahagia dan bangga mempunyai seorang anak seperti engkau....”

Makin terbelalak mata Ceng Ceng dan jelas bahwa kata-kata dari Bun Beng itu merupakan tikaman hebat yang membuyarkan semua harapan dan kebahagiaannya tadi. Mukanya seperti muka mayat hidup yang berwarna kehijauan.

“Ah, Nona.... tabahkanlah hatimu....”

Kian Lee berkata dan tanpa terasa lagi, tidak malu-malu lagi kepada suhengnya karena dia seolah-olah tidak sadar apa vang dilakukannya, dia memegang tangan Ceng Ceng. Gadis itu terisak, memejamkan matanya, membiarkan air matanya bertitikan jatuh ke atas kedua pipinya dan dia menggenggam erat-erat tangan pemuda itu, seolah-olah dia minta bantuan dan kekuatan dari Kian Lee.

Bun Beng melihat ini semua dan hatinya tertusuk.
“Kalian berdua tenanglah dan beri kesempatan kepadaku untuk bercerita dengan tenang.”

Ceng Ceng sadar kembali, menarik tangannya, memandang kepada Kian Lee dengan mata basah dan bersinarkan terima kasih, kemudian menghapus air matanya, menarik napas panjang.

“Hidupku selalu dirundung kemalangan dan kekecewaan demi kekecewaan menimpa diriku. Mengapa perjumpaan kembali dengan ayah kandung pun direnggut dari harapanku! Gak Bun Beng, kalau benar engkau bukan ayah kandungku, setelah tadi kau menghidupkan kembali ayah kandungku yang telah mati.... kau jelaskanlah ini semua. Demi Tuhan, kau beri penjelasan akan semua ini!” Suaranya setengah menjerit.

Bun Beng menarik napas panjang.
“Aku makin kagum padamu, Nona. Engkau menghadapi pukulan batin yang hebat itu dengan tabah. Kian Lee-sute, kuharap engkau pun dapat mencontoh kegagahan dan ketabahan hati Nona ini.”

Kian Lee memandang kepada suhengnya dengan heran, akan tetapi dia mengangguk. Dua orang muda kini menanti dengan penuh perhatian dan suasana menjadi sunyi dan hening sekali sebelum Bun Beng mulai bercerita.

“Dahulu di waktu aku masih muda, belasan tahun, hampir dua puluh tahun yang lalu, terdapat seorang pemuda sesat yang melakukan banyak sekali perbuatan jahat, di antaranya memperkosa wanita, akan tetapi ilmu kepandaiannya tinggi sekali....”

“Pemuda macam itu harus dibunuh!” Ceng Ceng berseru, marah karena dia teringat akan pemuda yang memperkosa dirinya.

Bun Beng tersenyum. Dara ini mengingatkan dia akan watak Giam Kwi Hong, murid dan keponakan Pendekar Super Sakti (baca cerita Sepasang Pedang Iblis). Lalu dia melanjutkan.

“Pemuda sesat itu bermusuhan dengan aku, maka dia selalu menggunakan namaku dalam melakukan perbuatannya yang sesat itu. Pada suatu hari, aku mengejar pemuda itu dan tiba di tepi telaga, di mana terdapat sebuah pondok tempat peristirahatan seorang gagah bernama Lu Kiong....”

“Kakekku....”

“Dan seorang gadis cantik bernama Lu Kim Bwee....”

“Ibuku....”

“Ya, akan tetapi Lu Kim Bwee itu sesungguhnya bukan anak kakek itu, melainkan cucunya!”

“Ahhh....!” Ceng Ceng terheran-heran dan dia mendengarkan dengan penuh perhatian.

“Lu Kiong adalah seorang bun-bu-cwan-jai (ahli surat dan ahli silat), bekas pengawal yang setia. Ketika mendengar bahwa pemuda sesat yang kucari-cari berada di sekitar telaga, Kakek Lu Kiong lalu membantuku untuk mencari dan mengejar pemuda itu. Akan tetapi ketika malam itu dia dan aku pergi berpencar melalui kanan dan kiri telaga, mengelilingi telaga mencari pemuda sesat itu, ternyata orang jahat itu diam-diam memasuki pondok dan memperkosa Lu Kim Bwee.”

“Ahhh....!” Ceng Ceng meloncat ke atas dan mengepal tinjunya, penuh kemarahan. “Katakan, siapa penjahat laknat itu?”

“Dia sekarang sudah tidak ada lagi, Nona.” Bun Beng berkata.

Ceng Ceng menjadi lemas kembali, duduk dan dua titik air matanya meloncat keluar, teringat betapa sama nasib ibunya dan dia!

“Celakanya, penjahat itu melakukan perbuatan biadab itu di dalam kegelapan dan dia memang sengaja melakukan hal itu dengan memakai namaku, sehingga Kakek Lu dan Kim Bwee menuduhku! Kakek Lu menuntut agar aku mengawini Kim Bwee. Karena aku tidak merasa melakukan perbuatan biadab itu, aku menolak dan mereka lalu memusuhi aku. Bahkan kemudian, bekerja sama dengan wanita-wanita lain yang telah dibuat sakit hati oleh penjahat itu yang mengaku namaku, Lu Kim Bwee dan beberapa orang lain itu mengeroyok aku dan aku terjatuh ke dalam jurang.

Mereka tentu mengira bahwa aku telah mati, Padahal sebenarnya tidaklah demikian kenyataannya. Aku masih hidup dan semenjak itu aku tidak lagi bertemu dengan Lu Kim Bwee. Demikianlah, Nona. Agaknya ibumu itu, Lu Kim Bwee, bersama kakeknya, Lu Kiong, lalu pindah ke Bhutan, mungkin untuk menghindarkan aib karena agaknya ibumu telah mengandung sebagai akibat perbuatan pemuda sesat itu. Engkau terlahir dan tentu saja kakekmu masih menganggap bahwa Gak Bun Beng yang memperkosa ibumu, maka dengan sendirinya kakekmu menceritakan bahwa ayah kandungmu adalah Gak Bun Beng. Padahal tidaklah demikian kenyataannya.”

“Penjahat terkutuk!” Kian Lee memaki marah. “Siapakah manusia jahat itu, Suheng?”

“Jangan kau memaki dia, Sute. Dia sudah meninggal dunia dan tentu dia pun menyesalkan semua perbuatannya. Dia itu bukan orang lain....”

“Siapa dia?” Ceng Ceng mendesak ketika melihat Bun Beng meragu. “Siapa penjahat yang memperkosa ibuku dan menjadi ayah kandungku itu?”

“Namanya adalah Wan Keng In....”

“Ya Tuhan....!” Kian Lee menjerit, mukanya pucat.

“Eh, mengapa engkau.?”

Ceng Ceng terkejut melihat Kian Lee yang kini menundukkan muka yang disembunyikan di balik kedua tangannya.

Melihat keadaan Kian Lee, Bun Beng menghela napas panjang. Betapa kejam nasib mempermainkan mereka bertiga! Dia dapat merasakan kehancuran hati Ceng Ceng tadi, dan kini kehancuran hati Kian Lee, yang melihat kenyataan bahwa dara yang dicintanya itu ternyata adalah keponakannya sendiri, karena Wan Keng In adalah putera ibunya dari lain ayah. Bun Beng bangkit berdiri meninggalkan kamar itu menuju ke kamarnya sendiri, membiarkan dua orang muda itu menghadapi kenyataan itu berdua saja.

“Saudara Kian Lee, kau kenapakah....?” Kini Ceng Ceng memegang lengan Kian Lee dan mengguncangnya.

Kian Lee menahan napas, mengerahkan kekuatan batinnya untuk mengatasi pukulan hebat itu, kemudian menurunkan tangan. Ceng Ceng terkejut melihat wajah yang kini menjadi pucat, mata yang sayu dan agak cekung itu karena memang Kian Lee menjadi agak kurus dan lemas.

“Ceng-ji, (Anak Ceng), engkau she Wan, dan jangan menyebut aku saudara karena aku adalah pamanmu!”

“Ehhh....?”

“Ketahuilah bahwa Wan Keng In itu adalah putera ibu kandungku, dari lain ayah. Ibuku sebelum menjadi isteri ayahku, Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, menjadi isteri orang lain she Wan dan mempunyai anak Wan Keng In itu. Kau.... kau maafkan aku.... Wan Ceng.... bahwa aku.... sebagai pamanmu, telah.... pernah.... jatuh cinta padamu. Nah, sudah kuakui sekarang, agak lega hatiku. Namun.... tentu saja hal itu tak mungkin lagi.... aku adalah siok-hu-mu (pamanmu) dan engkau keponakanku....”

“Paman....!” Ceng Ceng menubruk dan mereka berpelukan.

Ceng Ceng merasa suka dan berhutang budi kepada pemuda yang halus ini dan biarpun tahu betapa akan mudah bagi dia untuk jatuh cinta kepada seorang pemuda seperti ini, di samping pemuda seperti Pangeran Yung Hwa. Akan tetapi jangankan terdapat kenyataan bahwa pemuda ini adalah pamannya sendiri, andaikata tidak demikian pun, mana mungkin dia berani membalas cinta seorang seperti Suma Kian Lee ini? Apalagi setelah diketahuinya bahwa pemuda itu adalah putera dari Pendekar Super Sakti Majikan Pulau Es! Dia sudah tidak berharga lagi!

“Paman, maafkanlah saya....!”

Hatinya seperti diremas mengingat betapa dia tanpa disengaja telah menghancurkan hati pamannya yang baik ini, mematahkan cinta kasih yang bersemi di hati pemuda ini.

“Sudahlah, Ceng Ceng, sudahlah. Tuhan menghendaki demikian dan memang sebaiknya begini daripada menghadapi kenyataan bahwa cintaku hanya sepihak. Bagiku sama saja, Ceng Ceng, engkau tetap seorang keluarga dekat dan aku akan berusaha sekuat tenaga untuk mengusahakan pengobatan bagimu. Engkau masih dalam cengkeraman bahaya maut....” Tiba-tiba Kian Lee berhenti dan kaget karena tanpa disengaja dia telah membuka rahasia itu.

“Jangan ragu-ragu, Siok-siok (Paman). Dalam keadaan setengah sadar aku pun samar-samar mendengar dari kakek tukang obat ini bahwa aku hanya dapat bertahan hidup sampai sebulan saja, bukan?”

Kian Lee mengangguk.
“Akan tetapi, dia sedang berusaha untuk mencarikan obat bagimu, Ceng Ceng. Dan aku akan pergi mencari Ayah, karena menurut Yok-kwi, yang dapat mengobatimu hanyalah Ayah, atau Ban-tok Mo-li....”

“Ban-tok Mo-li sudah mati.”

“Bagaimana engkau bisa tahu?”

“Karena aku muridnya.”

“Ahhh!” Kian Lee terkejut dan sekarang mengertilah dia mengapa gadis ini berubah menjadi dingin dan aneh. Kiranya telah menjadi murid nenek iblis itu. “Kata Yok-kwi, tubuhmu mengandung racun sehingga dia tidak mampu menyembuhkanmu. Kalau engkau murid Ban-tok Mo-li, tentu kau dapat mengobati sendiri.”

“Tidak bisa, Siok-siok. Ilmuku belum sedemikian tingginya dan pukulan Hek-tiauw Lo-mo amat hebat. Akan tetapi, biarlah.... aku tidak takut menghadapi kematian.... dan pula, hidup lebih lama lagi untuk apakah?”

“Ceng Ceng....!”

“Benar, Paman. Hidupku penuh dengan kesengsaraan dan malapetaka selalu datang menimpa diriku....”

“Ceng Ceng, jangan putus harapan,”

Kian Lee berkata, hatinya sendiri seperti ditusuk pisau dan dia maklum bahwa tidak akan mudah baginya untuk menyembuhkan “lukanya” sendiri ini.

Tiba-tiba seorang perajurit penjaga muncul dan berkata bahwa di luar ada seorang tamu yang mengaku bernama Topeng Setan dan hendak bertemu dengan Nona Lu Ceng.

“Topeng Setan?” Kian Lee berseru kaget.

Akan tetapi Ceng Ceng tersenyum.
“Dia pembantuku, Paman.”

Dari luar terdengar suara memanggil,
“Lu-bengcu....!”

“Eh, siapakah yang berteriak itu?”

“Itulah Topeng Setan, pembantuku. Siok-siok, ketahuilah bahwa keponakanmu yang sesat ini telah menjadi seorang beng-cu kaum sesat di dekat kota raja dan Topeng Setan adalah pembantuku.”

Ceng Ceng lalu keluar dari kamar itu diikuti oleh Kian Lee yang masih bengong saking herannya. Bun Beng juga keluar dari kamarnya dan mereka bertiga lalu keluar dari gedung itu.

Topeng Setan telah berdiri di depan gedung, dan dia menjura ketika melihat Ceng Ceng.
“Harap Beng-cu maafkan saya yang terlambat menghadap karena saya tidak tahu bahwa Beng-cu berada di sini.”

“Tidak apa. Aku telah bertemu dengan musuh-musuh berat, terkena pukulan-pukulan dari Tambolon dan kemudian terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo sehingga keracunan hebat. Topeng Setan, aku telah ditolong oleh mereka ini. Kau harus memberi hormat, pemuda ini adalah siok-hu Suma Kian Lee dan ini adalah....”

Dia meragu ketika memandang kepada Gak Bun Beng karena tidak tahu harus menyebut apa kepada orang yang tadinya dianggap sebagai ayahnya itu.

“Menurut hubungan keluarga, sebut saja aku supek-hu (uwak seperguruan).” Bun Beng membantunya sambil tersenyum.

“Dia ini supek-hu Gak Bun Beng,” Ceng Ceng melanjutkan.

Topeng Setan menjura kepada Kian Lee dan Bun Beng.
“Terima kasih kepada Ji-wi Taihiap (Dua Pendekar Besar) yang telah menyelamatkan Beng-cu kami.” Kemudian Topeng Setan berkata lagi kepada Ceng Ceng, “Karena Beng-cu menderita luka parah, marilah kita pergi mencari obatnya.”

Ceng Ceng mengangguk.
“Supek, dan Siok-hu, aku akan pergi bersama Topeng Setan....”

“Eh, Ceng Ceng, engkau masih sakit. Kita sedang menanti kembalinya Yok-kwi yang mencarikan obat untukmu,” Gak Bun Beng berkata.

“Ceng Ceng, kau harap menanti di sini. Aku akan mengusahakan sekuat tenagaku untuk mencarikan obat bagimu. Aku akan ke Pulau Es....” kata Kian Lee.

“Tidak perlu, Supek dan Siok-siok, terima kasih atas kebaikan kalian. Akan tetapi, kurasa lebih baik kalau aku pergi saja dan tidak merepotkan kalian lagi.... aku.... aku.... ah, aku lebih senang merantau....!”

Ceng Ceng mengangguk kemudian pergi dari situ tanpa menoleh lagi. Topeng Setan menjura dengan hormat kepada Bun Beng dan Kian Lee.

“Harap Ji-wi tidak khawatir, saya akan mengusahakan sampai Beng-cu kami sembuh kembali,” katanya perlahan, kemudian dia pergi menyusul Ceng Ceng.

Kian Lee hendak mencegah, akan tetapi Bun Beng memegang tangannya.
“Sebaiknya begitu, Sute. Dan kulihat Topeng Setan itu bukan orang sembarangan. Mungkin saja dia dapat mengusahakan kesembuhannya.”

Mereka berpandangan dan Kian Lee menunduk, tidak menjawab, hanya mengangguk. Hatinya terasa kosong, seolah-olah semangatnya ikut pergi terbawa oleh Ceng Ceng, gadis yang menjadi cinta pertamanya akan tetapi yang ternyata adalah keponakannya sendiri itu.

“Kita harus menyusul ke Teng-bun, melihat keadaan di sana dan menemui Syanti Dewi dan Kian Bu sute. Kabarnya Syanti Dewi telah diselamatkan di sana.” Bun Beng berkata lagi dan Kian Lee hanya mengangguk sunyi.

**** 094 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar