FB

FB


Ads

Jumat, 27 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 092

“Aiihhh....!”

Syanti Dewi menjerit dan cepat meloncat turun lagi keluar kereta. Dalam keadaan terkejut setengah mati itu, otomatis kepandaian silat yang pernah dipelajarinya keluar, bahkan kecepatan gerakannya bertambah!

Siapa yang tidak kaget setengah mati? Ketika dia masuk kereta tadi, tanpa disengaja kakinya menyentuh kaki mayat Pangeran Liong Khi Ong yang mati sambil duduk di kereta dan ketika kakinya tersentuh, tubuhnya terguling sehingga bagi Syanti Dewi yang lupa akan pangeran ini dia melihat mayat itu hidup kembali dan menubruknya!

Dengan seluruh tubuh gemetar, Syanti Dewi memberanikan diri menyingkap tirai, memperingatkan diri sendiri bahwa Pangeran itu tadi telah mati! Ketika dia menyingkap tirai, dia melihat Pangeran itu menelungkup di lantai kereta, sama sekali tidak bergerak.

Syanti Dewi bergidik, lalu dengan hati-hati dia naik ke dalam kereta, melangkahi mayat Pangeran itu dan cepat mulai mencari-cari di bagian belakang kereta itu. Di dalam kereta itu tidak begitu gelap seperti di luar karena lentera kereta masih menyala. Setelah dia menemukan guci arak, dia melompat turun dan cepat berlari menghampiri tubuh Tek Hoat yang kini sudah rebah terlentang akan tetapi agaknya masih belum siuman dari pingsannya.

Syanti Dewi menggunakan saputangannya yang dibasahi dengan arak untuk menekan-nekan luka-luka di tubuh Tek Hoat, selain membersihkan luka juga agar darah yang keluar dapat berhenti.

Hatinya lega ketika melihat bahwa luka-luka itu tidak dalam, hanya kulit yang robek berikut sedikit daging di bawahnya. Akan tetapi luka di sekeliling leher itu amat mengerikan, seolah-olah leher itu dikerat pisau hendak disembelih. Luka ini terjadi ketika lehernya dijerat oleh cambuk besi tadi dan darah yang mengucur dari luka ini yang paling banyak sehingga sebentar saja saputangan Syanti Dewi menjadi merah oleh darah.

Setelah matahari mulai bersinar, Syanti Dewi bangkit berdiri, lalu pergi dari situ mencari-cari air. Untung tak jauh dari situ dia menemukan sebatang anak sungai kecil yang airnya jernih sekali. Cepat dia mengambil air, menggunakan guci arak yang sudah kosong dan kini dia dapat mencuci luka-luka di tubuh Tek Hoat dengan jelas. Setelah dia membalut leher yang terluka itu dengan saputangan, dia lalu menggunakan air untuk membasahi muka dan kepala pemuda yang masih juga belum siuman itu.

Tek Hoat mengeluh lirih, lalu gelagapan.
“Hepp.... haeppp.... haeppp...!” Dia gelagapan seperti orang tenggelam di air!

“Eh, kenapa....? Kau kenapa....? Apanya yang sakit....?”

Syanti Dewi mengguncang pundak Tek Hoat ketika melihat pemuda itu gelagapan dengan mulut megap-megap. Tanpa disengaja, Syanti Dewi mengguncang pundak yang terluka berat karena tadi ditimpa tongkat Hek-wan Kui-bo. Tentu saja diguncang seperti itu menjadi nyeri bukan main, pemuda yang sudah siuman dan dapat merasakan itu berteriak mengaduh, kiut-miut rasa pundaknya.

“Add.... duuuhh-duh duhhh.... pundakku....!”

Karena masih setengah pingsan, maka Tek Hoat berteriak-teriak dan bersambat. Kalau dia sudah sadar betul, tentu saja pemuda yang keras hati ini tidak akan sudi bersambat, apalagi di depan gadis itu.

“Ohhh....!”

Syanti Dewi cepat menarik kembali tangannya dan melihat pundak itu. Baju di pundak juga robek dan baru sekarang dia melihat betapa pundak itu kulitnya biru menghitam.

“Maafkan aku....!”

“Maaf....? Sudah menghantam pundak masih minta maaf? Nenek keparat....!” Tek Hoat memaki dan membuka matanya.

“Ouhhhh....!” Syanti Dewi menutup mulutnya.

“Aahhh....!” Tek Hoat membelalakkan matanya ketika melihat siapa yang berlutut di dekatnya.

Tek Hoat cepat teringat akan keadaannya. Segera dia bangkit duduk dan menggigit bibir karena begitu dia bangkit, dunia di sekelilingnya seperti berpusingan dan seluruh tubuhnya sakit-sakit, berdenyut-denyut dan menusuk-nusuk. Akan tetapi dia mempertahankan rasa nyeri itu, memandang ke sekeliling dan baru lega hatinya ketika dia melihat mayat Hek-wan Kui-bo, Pak-thian Lo-mo dan Lam-thian Lo-mo berserakan tidak jauh dari situ. Barulah dia memperhatikan dirinya sendiri, meraba lehernya yang terasa panas dan mendapat kenyataan bahwa lehernya telah terbalut, mukanya basah kuyup dan air masih menetes-netes dari rambutnya ke atas muka.

Jantungnya berdebar penuh kebingungan dan hampir dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dengan gagap dia bertanya suaranya berbisik,

“Kau.... kau.... yang merawatku....?”

Syanti Dewi yang masih memandang kepadanya dengan terbelalak, takut kalau-kalau pemuda ini sudah berubah ingatannya, juga takut kalau pemuda ini menjadi liar dan ganas seperti yang pernah disangkanya, bergerak mundur menjauhi, tangan kanannya meraba gagang pisau yang terselip di pinggangnya dan dia mengangguk, tangan kirinya masih memegang kain basah yang tadi dipergunakan untuk membasahi muka dan kepala pemuda itu. Dia hanya menjawab pertanyaan itu dengan anggukan kepalanya.

Kenyataan ini merupakan pukulan hebat bagi Tek Hoat. Gadis itu, Puteri Bhutan itu, yang membuat dia tergila-gila, yang ingin dirampasnya dan dipaksanya menjadi isterinya, ketika dia pingsan dan tidak berdaya, ternyata tidak membunuhnya. Padahal, alangkah mudahnya bagi puteri itu untuk membunuhnya. Sekali tikam saja dengan pisau di pinggang itu, dia akan tewas dan karena semua pengawal pangeran sudah tewas, hal itu berarti kebebasan sepenuhnya bagi Syanti Dewi. Akan tetapi tidak! Puteri itu, wanita bangsawan tinggi itu, malah merawat luka-lukanya! Kenyataan ini membuat Tek Hoat tertawa sendiri, suara ketawa yang aneh.






Syanti Dewi mernandang dengan sinar mata tajam penuh selidik. Wajah itu, suara ketawa itu. Dia pernah rasanya mengenal pemuda ini! Bukan, bukan sejak menawannya dan membawanya kepada Pangeran Liong Khi Ong, akan tetapi jauh sebelum itu, dan dalam keadaan yang lebih baik. Akan tetapi dia lupa lagi kapan dan di mana.

Dipandang seperti itu, Tek Hoat menghentikan suara ketawanya yang tadi keluar di luar kehendaknya, dengan gugup dia berkata,

“Aku.... aku.... bermimpi.... tenggelam ke dalam sungai.... kiranya engkau membasahi mukaku....”

“Aihh....!”

Syanti Dewi meloncat berdiri, ucapan itu mengingatkan dia.
“Engkau adalah tukang perahu itu! Ya, engkau tukang perahu dahulu itu!” Dia mengingat-ingat, lalu berkata lagi. “Aku mengerti sekarang! Engkau dahulu menyamar sebagai tukang perahu, pantas ada yang menyebutmu Si Jari Maut!”

Tek Hoat berusaha untuk tersenyum, akan tetapi mana bisa dia tersenyum kalau seluruh tubuhnya terasa sakit, dan lebih lagi dari itu, kalau seluruh hati dan pikirannya terasa sakit? Dia begitu jahat, dan puteri itu begitu baik! Seperti si binatang liar dan si Dewi Kahyangan! Dia menghela napas dan memejamkan matanya.

“Puteri Syanti Dewi, kau pergilah....! Pergilah sebelum terlambat....!”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya.
“Akan tetapi engkau.... engkau terluka parah....”

“Biarkan aku mampus, dunia takkan rugi karenanya!” Katanya dengan hati sebal dan dia melemparkan tubuh ke belakang.

“Dukkk!”

Kepalanya menimpa akar pohon dan dia mengerang lirih, menjadi setengah pingsan lagi karena benturan kepalanya dengan akar yang dalam keadaan biasa tentu tidak akan terasa olehnya itu, kini terasa seolah-olah kepalanya dihantam palu godam sebesar kerbau!

“Aihhh, kasihan engkau.... pemuda yang malang....!”

Syanti Dewi sudah berlutut lagi di dekatnya dan menggunakan kain basah itu untuk menghapus darah yang kembali mengalir di leher dan pipi, karena benturan tadi membuat kepala yang luka oleh lecutan cambuk berdarah lagi.

“Kasihan? Engkau.... kasihan kepadaku?”

Tek Hoat bangkit duduk, tidak peduli betapa pandang matanya sendiri berkunang dan kepalanya menjadi pening sekali.

“Puteri Syanti Dewi kasihan kepadaku? Ha-ha-ha! Semestinya engkau kasihan kepada dirimu sendiri yang sudah begitu percaya kepada orang lain, kepada tukang perahu jahanam itu!”

Syanti Dewi mengerutkan alisnya, memandang khawatir. Tak salah lagi, pemuda ini menjadi miring otaknya karena pukulan-pukulan yang diterimanya ketika bertanding tadi!

“Mengapa? Tukang perahu itu telah menolong aku dan Adik Candra Dewi,” bantahnya.

“Ha-ha-ha! Betapa bodohnya! Tukang perahu itu adalah mata-mata Pangeran Liong yang sengaja diutus untuk menyelidik dan untuk menawan Puteri Syanti Dewi! Dan puteri itu malah percaya kepada seorang pembantu dan tangan kanan pemberontak Liong Khi Ong!”

“Akan tetapi, engkau telah menyelamatkan aku dari mereka, engkau malah telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang kaki tangannya!”

Tek Hoat memandang puteri itu dengan mata merah, tertawa dan menudingkan telunjuknya seperti orang gila.

“Ha-ha-ha, engkau puteri bodoh! Patut dikasihani! Engkau terlalu baik hati, engkau terlalu percaya orang. Aku membunuh mereka karena ingin memperebutkan engkau! Aku orang jahat, dan engkau.... engkau malah merawatku! Ha-ha, belum pernah aku melihat yang segila ini. Pergilah kau.... pergi....! Sebelum aku lupa diri....!”

Kembali Tek Hoat merebahkan dirinya dan memejamkan mata, menggunakan jari-jari tangannya menjambak rambutnya sendiri.

“Aku keracunan.... terluka parah, tentu akan mati.... kau pergilah, kau menjauhlah, jangan dekat-dekat.... aku kotor sekali, aku perampok, pembunuh, tukang perkosa.... aku tidak berharga.... ahh, Ibu....!”

Ucapan Tek Hoat sudah kacau tidak karuan. Memang pemuda ini selain menderita luka-luka, juga telah terkena racun yang hebat, racun yang berada di cambuk Siang Lo-mo. Seperti telah diketahui, sejak Siang Lo-mo merampas kitab cacatan tentang racun dari Ban-tok Mo-li, mereka telah menggunakan ilmu tentang racun itu untuk membuat cambuk mereka menjadi senjata yang mengandung racun amat berbahaya.

Kini, terluka berkali-kali oleh cambuk-cambuk beracun itu, tentu saja Tek Hoat terpengaruh dan luka-luka itu mulai membengkak dan membiru, bahkan lehernya telah menjadi matang biru dan mengerikan sekali.

“Ah, kasihan engkau, orang muda yang malang....!”

Syanti Dewi adalah seorang wanita yang berwatak lembut. Melihat kesengsaraan dan penderitaan pemuda ini, hatinya menjadi tidak tega, penuh dengan perasaan iba, maka dia tidak mempedulikan sikap pemuda itu, bahkan tanpa takut-takut lagi dia lari mendekat, berlutut dan membasahi dahi pemuda itu dengan air karena dahi itu amat panas sampai mengepulkan uap!

Tek Hoat merintih-rintih dan mengeluh, menyebut-nyebut ibunya karena dia seolah-olah melihat ibunya yang marah-marah dan memaki-makinya, kemudian melihat wajah Kam Siok, pemilik restoran di Shen-yang yang dibunuhnya, wajah Kam Siu Li, puteri Kam Siok yang telah dikawinkan kepadanya kemudian dibunuhnya pula, wajah Liok Si, janda Kam Siok yang genit itu, dan wajah orang-orang yang pernah dibunuhnya, semua datang dan mengejar-ngejarnya hendak membalas dendam!

Dia lari ketakutan, kemudian dia melihat Syanti Dewi yang melayang turun dari angkasa seperti Dewi Kwan Im Pouwsat, cantik jelita dan agung, lemah-lembut dan ramah, mengulurkan tangan kepadanya.

“Lindungi aku.... ohh, lindungi aku....”

“Tenanglah, Tek Hoat, tenanglah....”

Dewi itu berkata halus dan menaruh tangannya ke atas dahinya. Tangan yang lembut dan halus, sejuk dan mengusir nyeri.

“Ampunkan aku yang penuh dosa....” Dia berbisik, meraba dan menangkap tangan halus lembut itu dan mencium tangan itu.

Syanti Dewi menarik tangannya dengan halus. Hatinya terharu. Boleh jadi orang ini telah melakukan penyelewengan-penyelewengan hebat, pikirnya, dan penyesalan telah menggerogoti perasaannya sendiri. Penyesalan akan perbuatan yang berdosa merupakan hukuman yang amat berat bagi orang itu.

“Ang Tek Hoat, engkau tadi begitu gagah kenapa sekarang menjadi begini lemah?”

Suara Syanti Dewi ini merupakan air dingin yang mengguyur kepala Tek Hoat. Seketika dia berhenti mengeluh, membuka mata dan pandang matanya kembali menjadi dingin, biarpun mukanya kini merah sekali seperti dibakar. Dia bangkit duduk, menggoyang-goyang kepala sebentar seperti hendak mengusir kepeningannya. Kemudian dia berkata,

“Puteri Syanti Dewi, terima kasih atas kebaikanmu. Engkau mulia seperti dewi, dan aku jahat seperti iblis. Engkau pergilah dari sini, kau cari Jenderal Kao. Dia seorang gagah yang akan menolongmu....”

Tiba-tiba mata pemuda itu kelihatan beringas memandang ke kanan. Syanti Dewi bangkit berdiri, juga menoleh dengan ketakutan, mengira bahwa ada musuh-musuh baru yang datang.

Tampak datang beberapa orang berlarian cepat sekali gerakan mereka, seperti sekumpulan binatang rusa yang lari sambil berlompatan menuju ke tempat itu. Sukar bagi Syanti Dewi untuk mengenal bayangan orang-orang yang berlari secepat itu dan kini mereka yang terdiri dari tiga orang itu telah berdiri di situ, memandangi kereta dan mayat-mayat yang berserakan, kemudian memandang kepada Tek Hoat dan Syanti Dewi.

“Bu-koko....!”

Syanti Dewi berseru dengan lega dan girang ketika melihat mereka dan di antara mereka itu terdapat Jenderal Kao Liang dan Suma Kian Bu! Terutama sekali melihat Kian Bu hatinya begitu lega sehingga tak terasa lagi dia berlari ke arah pemuda ini yang juga berlari menghampirinya.

“Adik Syanti Dewi....!”

Dan tanpa dapat dicegah lagi, lupa akan keadaan saking lega dan girangnya hati, Syanti Dewi membiarkan dirinya dipeluk oleh Suma Kian Bu! Dia menangis dengan penuh keharuan dan kelegaan hati.

Yang datang adalah Jenderal Kao Liang, Kian Bu, dan Puteri Milana. Malam tadi menjelang pagi, ketika barisan yang dipimpin Puteri Milana tiba di depan Teng-bun untuk membantu Jenderal Kao, jenderal ini segera mengerahkan barisan untuk menyerbu Teng-bun dengan kekuatan yang jauh lebih besar setelah ada bantuan itu.

Perang hebat terjadi akan tetapi sekali ini, Kim Bouw Sin tidak lagi dapat bertahan. Apalagi karena dia sudah kehilangan para pembantunya yang lihai. Tek Hoat tidak kelihatan mata hidungnya, Siang Lo-mo dan Hek-wan Kui-bo sudah pergi mengawal Pangeran Liong Khi Ong, sedangkan Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li juga tidak kelihatan lagi.

Maka setelah matahari terbit, pasukan-pasukan pemerintah berhasil membobolkan pintu-pintu gerbang dan menyerbu masuk seperti banjir. Teng-bun tak dapat dipertahankan lagi dan Kim Bouw Sin sendiri tewas dalam perang itu.

Tentu saja Jenderal Kao dan Milana, diikuti oleh Kian Bu, pertama-tama menyerbu gedung tempat tinggal Pangeran Liong Khi Ong untuk menangkap pangeran pemberontak itu. Akan tetapi ternyata Pangeran itu telah melarikan diri semalam. Ketika mendengar dari para pelayan bahwa Pangeran itu pergi membawa Puteri Bhutan, Kian Bu dan Jenderal Kao terkejut sekali. Bersama Puteri Milana, mereka lalu secepatnya melakukan pengejaran melalui pintu rahasia yang tentu saja dikenal oleh Jenderal Kao dan mereka terus mengejar ke dalam hutan.

Tek Hoat membuka mata dan mengejap-ngejapkan matanya, sejenak memandang ke arah Syanti Dewi yang menangis dalam dekapan seorang pemuda tampan yang dia kenal sebagal seorang di antara dua orang pemuda kakak beradik yang pernah berlawan dengannya. Dia melihat pula Jenderal Kao dan seorang wanita cantik sekali yang amat gagah perkasa. Dia pernah melihat wanita ini dan samar-samar teringatlah dia kepada wanita yang dulu dijumpainya di dalam hutan ketika wanita yang amat lihai ini membunuh seekor harimau besar.

Akan tetapi dia tidak mempedulikan itu semua, matanya kini menatap Syanti Dewi, yang dipeluk oleh pemuda itu. Hatinya menjadi panas sekali dan tanpa mempedulikan apa-apa lagi Tek Hoat melompat dan menerjang ke arah Suma Kian Bu!

“Plakkk!”

Tek Hoat terpelanting ketika dari samping ada lengan halus yang mendorongnya dengan kekuatan yang amat dahsyat. Kiranya wanita itu dengan sikap gagah dan pandang mata tajam menusuk menegurnya,

“Engkau mau apa?”

Tek Hoat menjadi marah sekali. Dia tidak peduli siapa adanya wanita gagah itu, akan tetapi yang ada di dalam hatinya hanyalah kemarahan yang amat hebat. Kemarahan yang timbul seketika pada saat dia melihat Syanti Dewi dalam pelukan pemuda tampan itu.

“Aku mau membunuh!”

Bentaknya dan kemarahan membuat dia lupa akan segala kenyerian yang menusuk-nusuk seluruh tubuh, dari kepala sampai kaki dan dengan ganas dia sudah menerjang lagi, otomatis dia menggunakan jurus Pat-mo Sin-kun (Ilmu Silat Sakti Delapan Iblis) yang menjadi ilmu silat tinggi pertama kali yang dilatihnya.

Gerakan ilmu silat ini memang hebat dan ganas sekali, dan sin-kang yang mendorong gerakan ilmu ini adalah sin-kang yang mengeluarkan hawa panas.

“Aihhh....!”

Puteri Milana terkejut dan terheran-heran bukan main, cepat menggerakkan kaki tangannya dengan ilmu silat yang sama pula. Tentu saja dia merasa heran karena gerakan pemuda ini adalah gerakan ilmu silat rahasia dari perkumpulan Thian-liong-pang, yaitu perkumpulan yang dahulu diketuai oleh ibunya, Puteri Nirahai (baca cerita Sepasang Pedang Iblis).

Dan ilmu silat ini adalah ciptaan ibunya itu, yang mengambil gerakan-gerakan dari Ilmu Silat Pat-mo Kiam-sut digabung dengan Ilmu Silat Pat-sian Kiam-sut (Ilmu Pedang Delapan Dewa) sehingga terciptalah Ilmu Silat Tangan Kosong Pat-mo Sin-kun itu. Akan tetapi ilmu itu hanya dikenal oleh ibunya, dia sendiri dan para bekas tokoh Thian-liong-pang saja. Bagaimana sekarang bisa dimainkan oleh pemuda ini secara demikian baiknya?

“Hai, dari mana engkau mempelajari Pat-mo Sin-kun?”

Puteri Milana berseru makin heran karena mendapat kenyataan betapa pemuda ini memiliki tenaga yang amat kuat, sungguhpun jelas bahwa pemuda ini sudah menderita luka-luka parah dan keracunan.

Tek Hoat juga terkejut ketika melihat wanita menghadapinya dengan Pat-mo Sin-kun yang demikian baik gerakannya, jauh lebih baik daripada gerakannya sendiri. Maka tanpa menjawab dia lalu mengerahkan tenaga Inti Bumi dan mendorong.

“Bress.... ihhh....!” Milana terdorong dan terhuyung, bukan main kagetnya.

“Keparat, engkau pemberontak keji!”

Kian Bu sudah melepaskan Syanti Dewi dan melihat kakaknya terdorong itu, dia lalu menerjang ke depan dan memukul dengan pengerahan tenaga Swat-im Sin-ciang.

Tek Hoat yang marah dan benci kepada pemuda yang memeluk Syanti Dewi ini, membalikkan tubuh mengerahkan tenaga sin-kangnya dan menangkis. Keduanya mengeluarkan tenaga sekuatnya, akan tetapi Kian Bu sama sekali tidak tahu bahwa lawannya itu telah terluka parah.

“Desss....!”

Tubuh Tek Hoat terlempar, membentur batang pohon dan roboh tergelimpang, tidak bergerak lagi! Ternyata ketika Tek Hoat mengadu tenaga dengan Puteri Milana tadi, dia telah mengerahkan tenaga Inti Bumi dan hal ini membuat luka-lukanya di sebelah dalam tubuhnya menjadi lebih parah lagi. Maka begitu dia bertemu dengan Kian Bu yang memiliki sin-kang murni dari Pulau Es, tentu saja dia tidak mampu menandinginya dan dia terbanting dengan keras sampai pingsan.

“Ah, Bu-ko, kau membunuhnya....?”

Syanti Dewi berlari menghampiri tubuh Tek Hoat, berlutut dan memandang penuh kekhawatiran.

“Adik Syanti Dewi, dia kaki tangan pemberontak, dia jahat....!”

Kian Bu berkata dengan heran dan penasaran melihat dara itu membela lawannya. Juga Puteri Milana memandang dengan heran dan diam-diam dia kagum akan kecantikan Puteri Bhutan ini. Pantas saja adik kandungnya tertarik kepada puteri ini dan sikap mereka ketika bertemu tadi menimbulkan dugaannya bahwa adiknya itu jatuh hati kepada Syanti Dewi. Maka kini sikap Syanti Dewi yang berlutut di dekat kaki tangan pemberontak itu mengherankan hatinya.

“Apa artinya ini?” Dia bertanya.

“Adik Syanti, pemberontak ini dibunuh pun sudah sepatutnya.” Kian Bu berkata lagi.

“Tidak.... tidak....! Bu-koko, engkau tidak tahu. Dialah yang telah menolongku. Dia yang telah membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya. Lihat itu, mayat mereka masih berada di sana. Kalau tidak ada Tek Hoat ini, aku tentu telah menjadi mayat sekarang.”

Syanti Dewi berkata sambil menunjuk ke arah mayat-mayat yang bergelimpangan dan dia membayangkan betapa dia sekarang tentu telah membunuh dirinya karena hendak diperkosa oleh Pangeran Liong Khi Ong kalau saja tidak ditolong oleh Tek Hoat.

“Ehh....?” Kian Bu tertegun heran.

“Dia adalah tangan kanan Pangeran Liong Khi Ong yang terkenal sekali. Dialah yang berjuluk Si Jari Maut dan yang mempergunakan nama Gak Bun Beng Taihiap! Dia jahat dan keji, juga menjadi kaki tangan pemberontak. Syanti, minggirlah, orang ini harus ditangkap atau dibunuh.”

Jenderal Kao Liang juga berkata sambil melangkah maju menghampiri Puteri Bhutan yang sudah dianggap seperti anaknya sendiri itu.

“Gi-hu (Ayah Angkat)....!” Syanti Dewi bangkit dan memegang lengan jenderal tinggi besar itu. “Harap jangan bunuh dia. Dia terluka dan menderita seperti itu karena menolong saya. Andaikata dia tidak menolong saya, tentu dia sudah dapat melarikan diri jauh dari sini dan kalian tidak dapat menangkapnya. Dia menolong saya dan karenanya dia terluka dan tidak dapat lari. Kalau kalian membunuhnya, sama artinya dengan saya yang membunuhnya. Gi-hu, apakah engkau ingin mempunyai seorang anak angkat yang berwatak palsu tidak mengenal budi orang?”

Puteri Milana sudah melangkah maju dan berkata kepada adiknya,
“Bu-te (Adik Bu), dia betul. Kita harus merawatnya, dan aku melihat keanehan pada dirinya. Dia mengenal ilmu rahasia Thian-liong-pang! Mungkin pemuda ini menyimpan rahasia.”

Kian Bu masih ragu-ragu.
“Akan tetapi, Enci, menurut Kao-goanswe dia telah mempergunakan nama Gak-suheng dan merusak namanya!”

“Hal itu pun ada rahasianya. Kita rawat dan menahan dia sebagai seorang tawanan yang terawat baik. Betapapun juga, dia telah berjasa dengan membunuh Pangeran Liong Khi Ong dan tiga orang pengawalnya yang lihai ini.”

Kian Bu tidak berani membantah lagi dan dia lalu memanggul tubuh Tek Hoat yang lunglai dan pingsan. Kemudian mereka kembali ke Teng-bun yang sudah diduduki oleh pasukan pemerintah. Pukulan hebat yang dilakukan oleh pasukan di bawah pimpinan Jenderal Kao Liang dan Puteri Milana itu sekaligus menghancurkan kekuatan pemberontak, apalagi kematian Panglima Kim Bouw Sin dan kematian Pangeran Liong Khi Ong melemahkan semangat perlawanan para anak buah pasukan sehingga sebagian besar di antara mereka segera takluk dan menyerah dan hanya sedikit saja yang melarikan diri secara liar karena takut akan hukuman yang pasti dijatuhkan kepada mereka.

**** 092 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar