FB

FB


Ads

Rabu, 25 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 089

“Dessss....!”

“Auggghhh....!”

Tambolon berteriak keras sekali dan dia masih sempat menangkis dorongan tangan orang yang tiba-tiba muncul di samping, dan ketika kedua lengan itu bertemu, Tambolon terpelanting dan hampir roboh. Dia cepat meloncat dan menghadapi laki-laki yang baru muncul itu. Laki-laki itu setengah tua, berpakaian sederhana dan sikapnya tenang, akan tetapi pandang matanya membuat Tambolon bergidik karena pandang mata itu tajam seolah-olah menembus jantungnya.

“Huh, banyak manusia lancang yang sudah bosan hidup!” Tambolon berteriak marah sekali.

“Suheng....!”

Kian Lee menjadi girang melihat bahwa yang muncul itu adalah Gak Bun Beng. Bun Beng hanya tersenyum kepadanya, akan tetapi dia tidak sempat bicara karena Tambolon yang marah karena kehendaknya selalu dirintangi orang itu sudah menerjangnya dengan dahsyat.

Raja liar itu memang hebat. Dia adalah keturunan seorang Panglima Mongol yang berilmu tinggi dan serangannya itu dibarengi dengan pekik dahsyat yang mengandung khi-kang kuat sekali sedangkan tangannya yang memukul ke arah Bun Beng juga mengandung pengerahan tenaga sin-kang yang amat besar.

Bun Beng sudah mendengar akan kehebatan Raja liar ini dan kini melihat gerakan pukulan itu yang didahului oleh suara angin pukulan bersiutan diam-diam dia menjadi kagum juga. Seorang manusia biadab yang hidupnya liar dapat memiliki tingkat kepandaian seperti ini, sungguh mengagumkan dan jarang ada. Maka dia pun cepat menggerakkan tangannya, didorong ke depan untuk menyambut hantaman lawan itu.

Melihat ini Tambolon menjadi girang. Selama ini, dia terkenal dengan pukulan mautnya dan belum pernah ada orang berani menerima pukulannya yang memiliki kekuatan ribuan kati. Batu karang pun pecah terkena pukulannya dan hawa pukulannya dapat membuat air di dalam sumur bergelombang! Kini lawannya yang sederhana ini berani menyambut pukulannya, dasar mencari jalan kematian yang cepat, pikirnya.

“Desss....!”

Dua telapak tangan bertemu di udara didahului oleh bertemunya hawa pukulan yang amat hebat dan akibatnya membuat Tambolon terhuyung ke belakang sampai tiga langkah! Hampir dia tidak dapat percaya akan kenyataan ini dan memandang dengan mata terbelalak. Orang ini sama sekali tidak bergoyang! Mana mungkin ini? Dia menjadi penasaran sekali, dan bagaikan seekor kerbau mengamuk, dia menyerbu lagi, kini menggunakan kedua tangannya untuk memukul.

“Plak! Desss....!”

Makin hebat pukulan Tambolon, makin hebat pula dia terguncang ketika ditangkis, sehingga kini dia terhuyung ke belakang sampai lima langkah!

“Darrr....! Darrr....!”

Dua buah benda meledak dan untung bahwa mereka semua yang berada di situ adalah orang-orang pandai sehingga dapat mengelak dan mengebut pecahan-pecahan yang menyambar ke arah mereka. Muncullah pasukan pemberontak yang dipimpin oleh Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li!

“Ah, badai besar! Berlindung....!”

Teriakan Tambolon ini merupakan isyarat kepada dua orang pembantunya bahwa bahaya yang tak terlawan datang dan mereka perlu melarikan diri. Liauw Kui dan Yu Ci Pok yang juga menghadapi lawan berat karena pemuda tampan itu ternyata mampu menghadapi senjata mereka dengan gerakan cepat, maklum akan teriakan pemimpin mereka dan cepat mereka meloncat ke dalam gelap, mengikuti perginya Raja Tambolon.

“Hi-hik, ini dia Si Perempuan Jalang!” Mauw Siauw Mo-li membentak ketika dia melihat Ceng Ceng.

“Ha-ha-ha, cantik.... cantik....!” Hek-tiauw Lo-mo terkekeh.

Ceng Ceng yang baru saja terlepas dari bahaya tadi berdiri dengan muka pucat memandang kepada dua orang yang datang menolongnya. Kini melihat munculnya Mauw Siauw Mo-li dengan pasukan pemberontak, juga munculnya Hek-tiauw Lo-mo yang sudah dia ketahui amat lihai, menjadi putus harapan.

“Hek-tiauw Lo-mo iblis busuk!”

Bentaknya sambil meloncat ke depan dan menghantam raksasa itu karena Hek-tiauw Lo-mo yang berada paling dekat dengannya.

“Ha-ha-ha, kiranya engkau ini?”

Hek-tiauw Lo-mo tertawa, dan karena dia maklum bahwa gadis ini memiliki ilmu tentang racun yang amat berbahaya, dia lalu mengerahkan tenaga beracun dan menangkis sambil terus menampar.

“Plakk! Bukk....!”






Tubuh Ceng Ceng terbanting karena selain pukulannya kena ditangkis, juga pundaknya terkena tamparan tangan beracun Ketua Pulau Neraka yang amat lihai itu.

“Hek-tiauw Lo-mo manusia keji!”

Kian Lee yang tadinya ingin mengejar Tambolon, melihat Ceng Ceng roboh terpukul, menjadi marah sekali dan dia sudah menerjang raksasa itu dengan pukulan tangannya.

“Duk-duk-desss!”

Tiga kali lengan pemuda itu beradu dengan Hek-tiauw Lomo dan melihat betapa kakek itu ternyata kuat sekali, Gak Bun Beng sudah meloncat maju menggantikan Kian Lee menerjang Hek-tiauw Lo-mo yang menjadi terkejut setengah mati ketika merasa betapa angin pukulan yang keluar dari kedua tangan Gak Bun Beng menimbulkan angin besar dan amat kuatnya.

“Sute, kau selamatkan dulu gadis itu dan tinggalkan tempat ini....!” Bun Beng berseru.

Kian Lee meloncat ke dekat Ceng Ceng yang masih rebah. Ketika dia mengangkat bangun gadis itu, Ceng Ceng mengeluh.

“Ah, engkau terluka, Nona. Mari kupondong keluar dari kepungan mereka....”

Akan tetapi Ceng Ceng menggeleng kepalanya.
“Tidak usah.... aku akan melawan mereka.... sampai napas terakhir....”

“Tidak, Nona. Suhengku mampu menahan mereka, marilah....”

Akan tetapi kembali Ceng Ceng menolak dan tiba-tiba terdengar suara ketawa mengejek.
“Hi-hik, percuma kau membujuk, orang muda yang tampan. Dia sudah keracunan dan akan mampus. Engkau sungguh hebat, muda, ganteng, dan lihai. Menyerahlah saja, dan engkau akan menikmati kesenangan bersama aku, hi-hik!” Dari dada wanita itu lalu terdengar suara mirip suara kucing.

Kian Lee terkejut, cepat dia meloncat berdiri melindungi di depan Ceng Ceng yang masih duduk di atas tanah sambil memegangi pundaknya yang tadi terpukul oleh Hek-tiauw Lo-mo.

“Hemm, kiranya engkau yang disebut Siluman Kucing itu?”

Dia teringat akan penuturan Kim Hwee Li puteri Ketua Pulau Neraka tentang bibi gurunya yang lihai ini, yang katanya malah lebih lihai daripara Hek-wan Kui-bo yang telah melukai pahanya dengan obat peledak. Mengertilah dia kini bahwa yang melepaskan senjata peledak sehingga menakutkan Tambolon tadi adalah wanita ini.

Mauw Siauw Mo-li tersenyum dan nampak deretan giginya yang putih rapi dan menarik sekali.
“He-hemm.... kiranya engkau sudah mengenal aku, pemuda ganteng? Kebetulan sekali kalau begitu....”

“Sumoi, apa perlunya mengobrol? Cepat tangkap atau bunuh mereka dan lekas kau membantuku!”

Tiba-tiba Hek-tiauw Lo-mo berteriak. Kiranya Ketua Pulau Neraka ini mulai terdesak oleh Gak Bun Beng! Makin lama Hek-tiauw Lo-mo menjadi makin kaget dan heran melihat betapa lawannya ini benar-benar amat hebat kepandaiannya sehingga semua ilmu pukulannya yang beracun mampu ditangkisnya tanpa melukainya, bahkan dia yang selalu tergetar dan terdorong oleh hawa pukulan yang kadang-kadang panas dan kadang-kadang dingin amat luar biasa.

Mauw Siauw Mo-li lalu memberi aba-aba dan para perajurit pemberontak serentak maju mengepung dan mengeroyok. Ceng Ceng yang masih menyeringai kesakitan, sudah melompat berdiri dan mengamuk dengan kaki tangannya, karena pedangnya Ban-tok-kiam telah dirampas oleh Tambolon.

Biarpun bertangan kosong, gadis ini masih hebat sekali karena dia menggunakan pukulan-pukulan beracun, sehingga setiap orang perajurit pemberontak yang terkena pukulannya tentu terjungkal dan tak dapat bangkit kembali. Akan tetapi setiap kali merobohkan lawan dengan pengerahan tenaga, dara ini mengeluh lirih dan makin lama gerakannya menjadi makin lemah.

Kian Lee yang mengamuk sambil melindungi Ceng Ceng sedapat mungkin, Karena sebagian besar perhatiannya dicurahkan untuk melindungi gadis itu dan dia telah berkali-kali menghalau bahaya yang mengancam Ceng Ceng dengan merobohkan penyerang gelap dari belakang gadis itu, maka dia masih belum mampu mengalahkan Mauw Siauw Mo-li yang memang amat lihai Itu.

Gerakan Siluman Kucing itu cepat sekali, gin-kangnya sudah mencapai tingkat tinggi sehingga karena dia tidak berani menjauhi Ceng Ceng, maka sukar baginya untuk dapat merobohkan wanita itu.

Sedangkan Gak Bun Beng yang mulai mendesak hebat kepada Hek-tiauw Lo-mo, juga terpaksa harus membagi tenaganya untuk menghadapi pengeroyokan perajurit-perajurit pemberontak yang makin banyak itu.

Tiba-tiba terdengar suara ledakan-ledakan agak jauh, disusul sorak-sorai dan pekik banyak sekali manusia yang agaknya datang dari luar tembok kota. Tak lama kemudian, terdengar teriakan-teriakan di antara perajurit pemberontak yang berlari-larian di dekat tempat itu.

“Celaka, barisan pemerintah menyerbu benteng!”

“Kita telah dikurung!”

“Kita terjebak....!”

“Mereka telah membobolkan pintu gerbang di tiga tempat!”

Teriakan-teriakan itu terdengar dengan jelas dan membikin panik para pengeroyok, termasuk Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li.

“Sumoi, apa artinya itu?”

Beberapa kali ketua Pulau Neraka itu berteriak sambil terus mundur dari desakan Bun Beng, mengandalkan pengeroyokan puluhan orang perajurit itu.

“Entah, Suheng....!”

Mauw Siauw Mo-li menjawab bingung dan dia pun tidak begitu mendesak lagi kepada Kian Lee sehingga pemuda ini dengan leluasa dapat membantu dan melindungi Ceng Ceng dari pengeroyokan puluhan orang perajurit pemberontak yang sudah menjadi gelisah itu.

Suara gemuruh itu makin lama makin dekat dan tak lama kemudian makin banyak perajurit pemberontak yang lari cerai-berai, agaknya ketakutan.

“Hai....! Tikus-tikus bernyali kecil, pengecut-pengecut tak tahu malu!” Hek-tiauw Lo-mo berteriak marah. “Kenapa kalian berlari-larian? Apa yang terjadi?”

Suaranya nyaring sekali mengatasi suara hiruk-pikuk dan dia telah meninggalkan Gak Bun Beng yang masih dikeroyok oleh puluhan orang perajurit pemberontak.

“Barisan pemerintah menyerbu ke dalam kota Koan-bun seperti banjir! Kita telah terjebak dan dikurung!” Seorang perwira pemberontak menjawab dengan muka pucat.

Hek-tiauw Lo-mo terkejut sekali. Dia dan sumoinya mencampuri urusan pemberontakan karena kebetulana saja melihat gerakan para pemberontak dan ingin “membonceng” agar dapat memperoleh kedudukan dan kemuliaan, maka mereka telah menawarkan diri membantu. Siapa tahu, belum apa-apa sudah nampak gejala kegagalan pemberontakan ini, bahkan kini mereka terhimpit di dalam kota Koan-bun.

“Sumoi, tidak lekas pergi mau tunggu apa lagi?” teriaknya, karena Ketua Pulau Neraka ini pun jerih menghadapi Gak Bun Beng yang memiliki kepandaian amat tinggi itu.

Akan tetapi tiba-tiba datang pasukan pemerintah di tempat itu dan seorang pemuda tinggi besar meloncat dengan gerakan kilat dan tahu-tahu telah berada di depan Hek-tiauw Lo-mo sambil membentak,

“Hek-tiauw Lo-mo pencuri rendah! Kiranya engkau berada di sini pula menjadi kaki tangan pemberontak. Hayo cepat kembalikan sebagian kitab yang kau curi dari Istana Gurun Pasir!”

“Orang muda lancang mulut! Siapa kau....?”

“Aku adalah murid majikan Istana Gurun Pasir yang diutus Suhu untuk merampas kembali kitab pusaka dan memberi hajaran kepada pencurinya.”

“Bocah sombong!”

Biarpun telah berkali-kali bertemu lawan tangguh, Hek-tiauw Lo-mo masih memandang rendah orang lain dan menghadapi pemuda tinggi besar itu dia pun memandang rendah, lalu menyerang dengan tiba-tiba.

“Desss....!”

Pukulan majikan Pulau Neraka itu ditangkis oleh pemuda itu dan kagetlah Hek-tiauw Lo-mo ketika tangkisan itu membuat dia terdesak ke belakang. Baru dia percaya bahwa murid Si Dewa Bongkok ini lihai sekali. Akan tetapi tentu saja untuk mengembalikan kitab yang hanya sebagian berada di tangannya itu dia merasa sayang. Dia masih belum berhasil merampas sebagian dari kitab yang berada di tangan Ketua Lembah Bunga Hitam, yaitu Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek sehingga dia belum dapat mempelajari isi kitab dengan sempurna.

“Kok Cu....! Jahanam engkau....!”

Tiba-tiba terdengar jerit melengking dan Ceng Ceng sudah lari menghampiri pemuda tinggi besar itu dan menyerang dengan pukulan ganas, mengerahkan seluruh tenaga saktinya. Kao Kok Cu, pemuda itu, terbelalak memandang Ceng Ceng yang menyerangnya, seperti orang terpesona, sama sekali tidak mengelak maupun menangkis.

“Bukkkk! Bukkk!”

“Nona Lu Ceng....!”

Kian Lee yang menjadi terkejut sekali sudah meninggalkan para pengeroyoknya dan berteriak memanggil sambil meloncat ketika dia melihat Lu Ceng seperti orang gila menyerang dan memukul Kok Cu.

Pada saat itu, Hek-tiauw Lo-mo sudah meloncat jauh dan melarikan diri bersama Mauw Siauw Mo-li, dan Kok Cu hanya berdiri bengong setelah dipukul dadanya dua kali oleh Ceng Ceng. Dara itu setelah memukul dua kali dengan pengerahan tenaga sekuatnya, mengeluh dan terguling roboh. Untung Kian Lee cepat menyambarnya sehingga dia tidak terbanting roboh dan pingsan di dalam pelukan Kian Lee.

Gak Bun Beng juga sudah meloncat dekat. Melihat wajah Ceng Ceng yang agak kehijauan itu, pendekar ini terkejut bukan main karena dia maklum bahwa dara itu telah menderita luka hebat akibat racun! Dia memandang Kok Cu dengan alis berkerut dan melihat pemuda tinggi besar itu pemimpin pasukan pemerintah dan agaknya kenal dengan Kian Lee, dia bertanya,

“Lee-sute, siapa dia ini?”

“Suheng dia adalah saudara Kao Kok Cu, putera Jenderal Kao.”

Bu Beng mengangguk.
“Ahh....!” Kemudian dia berkata, “Sute, cepat kau bawa pergi nona ini. Dia terluka dan keracunan hebat.”

Kok Cu yang masih berdiri bengong memandang Ceng Ceng yang pingsan di dalam pelukan Kian Lee berkata,

“Saudara Kian Lee, kau bawalah nona ini, ikutlah perwira ini agar mendapat perawatan sebaiknya.”

Dia memerintahkan seorang perwira yang segera mengajak Kian Lee yang memondong tubuh Ceng Ceng itu pergi meninggalkan tempat itu.

Kok Cu kini berhadapan dengan Gak Bun Beng, keduanya saling pandang penuh selidik karena masing-masing dapat menduga akan kelihaian mereka. Kok Cu yang mendengar Kian Lee menyebut suheng kepada laki-laki setengah tua ini, diam-diam terkejut. Dia sudah tahu sekarang bahwa Kian Lee dan Kian Bu adalah putera-putera Pendekar Super Sakti dari Pulau Es, tentu saja ilmu kepandaian mereka hebat sekali. Dan laki-laki setengah tua yang sederhana dan tenang ini adalah suheng mereka!

Sebenarnya dia ingin sekali berkenalan dengan orang yang berilmu tinggi ini, akan tetapi hatinya sudah dibuat gelisah bukan main oleh pertemuan dengan Ceng Ceng, gadis penolong ayahnya akan tetapi juga gadis yang mendendam sakit hati setinggi langit sedalam lautan kepadanya! Gadis yang diperkosanya sewaktu dia berada dalam keadaan tidak sadar karena pengaruh racun jahat.

Dan yang menjadi biang keladi peristiwa memalukan ini adalah Ketua Lembah Bunga Hitam dan Ketua Pulau Neraka, dua orang yang mencuri kitab suhunya. Merekalah yang membuat dia keracunan hebat itu sehingga dia melakukan perbuatan keji terhadap Lu Ceng!

“Kiranya engkau adalah putera Kao-goanswe? Sungguh menggembirakan sekali, bagaimana pasukan pemerintah bisa datang begini tepat? Di mana ayahmu?” Gak Bun Beng bertanya.

“Semua ini adalah jasa Nona Lu Ceng itu yang telah mengatur siasatnya....” Kok Cu berkata akan tetapi matanya memandang ke arah larinya Hek-tiauw Lo-mo.

“Ah...., maksudmu....?” Gak Bun Beng tercengang.

“Dia membujuk Tambolon menyerang Koan-bun dan selagi pemberontak dan pasukan Tambolon bertempur sendiri, barisan pemerintah bergerak, sebagian menyerbu Koan-bun, sebagian dipimpin Puteri Milana memotong jalan dan sebagian dipimpin Ayah menyerbu Teng-bun malam ini juga.”

“Ahhh.... sungguh hebat!” Bun Beng memuji.

“Maaf, saya harus mengejar Hek-tiauw Lo-mo!”

Kok Cu berkata dan cepat dia meninggalkan Bun Beng dan sekali berkelebat tubuhnya sudah lenyap dari situ, membuat Bun Beng mengikutiya dengan pandang mata kagum sekali. Pendekar ini terheran-heran dan masih tercengang dengan jalannya peristiwa yang begitu cepat dan tidak tersangka-sangka.

Dia tadi pun seperti juga Kian Lee, menonton dengan penuh keheranan betapa pasukan yang dipimpin oleh Tambolon menyerbu Koan-bun dan seperti juga sutenya itu, dia menolong banyak penduduk yang diganggu oleh tentara kedua pihak.

Terheran-heran hati pendekar ini melihat munculnya begitu banyak orang pandai. Mula-mula Tambolon dengan dua orang pembantunya yang lihai, kemudian Hek-tiauw Lo-mo dan Mauw Siauw Mo-li yang tidak kalah lihainya. Yang terakhir muncul pemuda putera Jenderal Kao itu! Pemuda itu pun amat lihai, akan tetapi anehnya, mengapa Nona Lu Ceng itu begitu melihatnya lalu menyerangnya dengan penuh kebencian?

Akan tetapi pendekar ini tidak mau memusingkan hal itu dan dia lalu membantu pasukan pemerintah yang telah melakukan perang mati-matian melawan pasukan pemberontak dan pertempuran terjadi di seluruh kota sampai keesokan harinya.

Kota Koan-bun mengalami perang yang luar biasa hebatnya, dimulai dari penyerbuan pasukan liar yang dipimpin oleh Tambolon lalu dilanjutkan oleh pasukan pemerintah yang menumpas pasukan pemberontak yang datang dari Teng-bun sebagai bala bantuan.

Kalau tadinya pasukan Tambolon membasmi pasukan yang bertahan di Koan-bun, kemudian tiba giliran pasukan liar itu yang dibasmi oleh pasukan besar pemberontak dari Teng-bun, kini pasukan pemerintah turun tangan melakukan pukulan terakhir kepada barisan pemberontak.

Yang patut dikasihani adalah penduduk kota Koan-bun. Sukar bagi mereka untuk mengatakan mana kawan mana lawan karena semua anak buah pasukan selalu mengganggu mereka. Kota mereka menjadi neraka yang penuh dengan mayat dan orang-orang luka, darah membanjir setiap tempat dan banyak rumah yang habis terbakar.

Pertempuran-pertempuran mengerikan itu berlangsung sampai dua hari lamanya, tentu saja menjatuhkan korban manusia di kedua pihak yang banyak sekali. Akan tetapi akhirnya Koan-bun jatuh ke tangan barisan pemerintah yang dipimpin oleh Panglima Thio Luk Cong dan Kao Kok Cu yang sudah tidak kelihatan lagi bayangannya sejak dia melakukan pengejaran terhadap Hek-tiauw Lo-mo untuk merampas kembali kitab suhunya yang dicuri oleh Ketua Pulau Neraka itu.

**** 089 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar