FB

FB


Ads

Senin, 23 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 078

Tek Hoat yang tidak dapat menemukan musuh-musuhnya, dua orang pemuda lihai yang telah menghilang, apalagi karena tidak dapat menemukan kembali Syanti Dewi, menjadi jengkel dan marah sekali. Dia menghubungi Panglima Kim Bouw Sin yang telah mengadakan perundingan dengan Raja Tambolon dan melaporkan bahwa di kota itu penuh dengan mata-mata musuh.

Atas usulnya, pintu kota benteng itu ditutup dan pasukan-pasukan dikerahkan untuk mengadakan penggeledahan dan perondaan untuk menangkapi mata-mata musuh, terutama sekali tentu saja penggeledahan dari rumah ke rumah ini oleh Tek Hoat ditujukan untuk menemukan kembali Syanti Dewi!

Pasukan Tambolon mulai bergerak di bawah pimpinan Raja Tambolon itu sendiri, telah bersepakat dengan pihak pemberontak untuk membantu pemberontak, dan diberi ijin untuk menyerbu dusun Ang-kiok-teng di mana terdapat pasukan yang dipimpin oleh Thio-ciangkun, bahkan Kim Bouw Sin menyerahkan dusun itu untuk menjadi markas dari Raja Tambolon dan pasukannya. Tentu saja pasukan liar itu menjadi girang karena penyerbuan itu berarti perang, kemenangan, harta, makan minum berlimpah dan terutama sekali banyak perempuan tawanan!

Pangeran Tua Liong Khi Ong juga sudah meninggalkan kota itu untuk memasuki kota benteng Teng-bun bersama Pangeran Kim Bouw Sin yang menyerahkan penjagaan dan pembersihan kota Koan-bun itu kepada seorang panglima yang mewakilinya setelah Koan-bun direbut. Juga Tek Hoat diharuskan mengawal Pangeran Liong ke depan benteng Teng-bun, pusat pemberontakan itu.

Biarpun hatinya menyesal sekali karena dia tidak berhasil menemukan Syanti Dewi, namun Tek Hoat tidak berani membantah, apalagi saat itu memang merupakan saat yang penting di mana pihak pemberontak sudah siap mengerahkan kekuatan untuk sewaktu-waktu menyerbu ke selatan, yang diawali oleh penyerbuan pasukan liar Raja Tambolon ke dusun Ang-kiok-teng itu.

Para penduduk di kota Koan-bun kembali menjadi panik setelah pada hari-hari kemarin dibikin geger oleh berita munculnya pasukan liar dari Raja Tambolon. Kini mereka menjadi panik karena setiap rumah di dalam kota itu digeledah oleh perajurit-perajurit yang dipimpin oleh perwira-perwira yang kasar.

Perang memang merupakan puncak kekejaman dari manusia yang mengumbar hawa nafsunya yang tanpa batas itu. Setiap kesempatan di dalam keadaan kacau oleh perang selalu dipergunakan oleh manusia untuk memuaskan hawa nafsunya.

Di dalam penggeledahan dari rumah ke rumah ini pun, biar dalihnya adalah untuk pembersihan dan menangkapi mata-mata musuh, akan tetapi pelaksanaannya banyak diselewengkan oleh dorongan hawa nafsu sehingga terjadilah hal-hal yang amat aneh dan keji.

Kesempatan ini dipergunakan oleh mereka yang berkuasa, dalam hal penggeledahan ini tentu saja para perwira yang memimpin pasukan penggeledahan bersama anak buahnya, untuk memeras dan menindas rakyat. Yang termasuk hartawan tentu tidak luput dari pemerasan uang. Penyogokan atau sumbangan paksaan setengah merampok, pengambilan benda-benda berharga yang kecil-kecil secara begitu saja.

Yang tidak mampu menyogok, ada yang dipaksa menyogok dengan menyerahkan anak gadisnya untuk sekedar “menghibur” Sang Perwira di dalam kamar selagi anak buahnya menggeledah ke seluruh rumah, dan tidak jarang peristiwa menyedihkan yang hanya berlangsung beberapa lama di dalam kamar itu disusul oleh peristiwa bunuh diri oleh Si Gadis yang dipaksa melayani Sang Perwira atau beberapa orang anggauta tentara. Banyak pula orang yang ditangkap, dengan tuduhan mata-mata dengan fitnah bermacam-macam hanya untuk melampiaskan kemarahan dan dendam pribadi!

Para pembantu, penyelidik dan mata-mata yang disebar oleh Puteri Milana dan Jenderal Kao juga para anggauta Tiat-ciang-pang yang menganggap diri sendiri sebagai pejuang-pejuang, menjadi repot juga ketika melihat betapa banyak teman mereka telah tertawan dan pembersihan masih terus dilakukan.

Setelah main kucing-kucingan di dalam kota, menghindarkan diri dari pengejaran para pasukan pemberontak sampai senja, akhirnya Si Gendut anak buah Tiat-ciang-pang bersama belasan orang temannya tiba di dekat dinding benteng yang amat tinggi, bingung karena mereka tidak memperoleh jalan keluar setelah benteng ditutup dan dijaga dengan ketat oleh pasukan pemberontak.

Cuaca senja remang-remang dan mereka berkelompok di dekat dinding yang sunyi itu, mencari akal bagaimana mereka akan dapat keluar dari tempat itu.

“Kita bongkar tembok saja.”

“Ah, akan makan waktu terlalu lama.”

“Selain itu juga berisik dan tentu ketahuan penjaga.”

“Temboknya tebal sekali, tidak mudah membongkarnya tanpa alat lengkap.”

Selagi mereka bercakap-cakap mencari akal, karena untuk meloncat ke atas tembok yang tinggi sekali itu adalah hal yang tidak mungkin, tiba-tiba seorang di antara mereka memberi isyarat,

“Sssttt.... ada orang....!”

Bagaikan segerombolan tikus melihat ada kucing datang, belasan orang ini menyelinap ke sana-sini dan sebentar saja mereka sudah lenyap bersembunyi!

Si Gendut yang memimpin rombongan itu bersembunyi bersama seorang temannya yang masih muda dan tampan bernama A Ciang. Sambil bersembunyi mereka mengintai dan legalah hati Si Gendut ketika melihat bahwa yang datang dari jauh itu bukanlah seorang penjaga, bahkan bukan pula seorang pria, melainkan seorang wanita yang dari jauh kelihatan betapa pinggangnya ramping dan lengannya lemah gemulai menggairahkan.

“Ssst, A Ciang, dia itu wanita, tentu akan tertarik dan suka menolongmu. Kau mintalah tolong kepadanya agar dia suka mencarikan sehelai tali yang kuat untuk kita pakai melarikan diri. Kalau kita memasang kaitan dan melontarkan tali yang panjang ke atas dinding, kita tentu dapat memanjat naik dan keluar dari sini,” berkata Si Gendut kepada temannya.






A Ciang mengangguk dan dia membereskan pakaiannya, lalu keluar dari tempat persembunyiannya menanti datangnya wanita dari depan itu. Setelah wanita itu datang dekat, A Ciang hanya melongo dan tidak bisa bicara! Dia terpesona menyaksikan wanita itu karena setelah dekat tampaklah seorang wanita yang sukar ditaksir berapa usianya, akan tetapi kelihatan masih muda sekali, cantik jelita luar biasa, dengan wajah manis yang mengandung tantangan pada sinar mata dan senyumnya, tubuhnya padat dan ramping penuh gerak hidup, lemas dan bajunya pada bagian dada demikian ketat menempel dadanya sehingga membayanglah sepasang buah dadanya yang menonjol. Pendeknya, selama hidupnya belum pernah A Ciang melihat seorang wanita secantik ini!

Ketika wanita itu melihat ada seorang laki-laki menghadangnya, dia memandang tajam dengan sepasang matanya yang indah, kemudian tersenyum mengejek, akan tetapi pandang matanya penuh selidik menatap wajah yang cukup bersih dan tampan dari A Ciang yang usianya baru dua puluh lima tahun itu.

“Engkau mau apa menghadang perjalananku?”

Suara ini halus dan agak serak, seperti bisikan merayu, mulut dan bibir merah itu bergerak genit ketika bicara.

A Ciang menelan ludahnya sebelum menjawab.
“Maaf.... Nona, saya.... saya eh, ingin minta tolong kepada Nona....”

“Minta tolong apa? Dan mengapa banyak teman-temanmu bersembunyi dan mengintai? Apakah kalian perampok?”

Mendengar ini, A Ciang terkejut bukan main. Wanita ini tahu bahwa banyak temannya bersembunyi di sekitar tempat itu! Juga Si Gendut mendengar kata-kata ini maka dia lalu keluar, tubuhnya gendut seperti seekor katak besar keluar dari sarangnya, lalu dia memberi isyarat kepada kawan-kawannya untuk keluar karena percuma saja bersembunyi setelah wanita itu mengetahui akan keadaan mereka. Pula, seorang wanita tentu saja tidak akan membahayakan keadaan mereka.

“Mereka adalah kawan-kawanku....” A Ciang berkata.

Akan tetapi Si Gendut sudah maju dan menjura kepada wanita itu.
“Kouw-nio (Nona), harap suka menolong kami. Kami harus dapat keluar dari dinding ini, kalau tidak kami akan dibunuh oleh srigala-srigala itu. Tolonglah kami, Kouw-nio, dengan mencarikan sehelai tali yang panjang dan kuat. Percayalah bahwa kami bukanlah orang-orang jahat, melainkan pejuang-pejuang yang rela mempertaruhkan nyawa dan badan demi negara....”

Wanita itu menggerakkan kedua alisnya. Manis sekali gerakan ini, apalagi karena dia memang memiliki sepasang mata yang amat bagus.

“Jadi kalian ini mata-mata kerajaan?”

“Bukan, kami adalah orang-orang kang-ouw yang membantu pemerintah untuk menghadapi pemberontak hina. Harap Nona suka membantu kami.”

“Keluar dari tempat ini apa sih sukarnya? Mengapa harus menggunakan tali?”

“Ah, Kouw-nio, kalau tidak menggunakan tali lalu bagaimana? Apakah Kouw-nio mengetahui jalan keluar secara lain yang lebih aman?” Si Gendut bertanya.

Wanita itu menggelengkan kepala.
“Aku tadi masuk ke sini juga melalui dinding ini, tapi tanpa tali.”

Semua orang yang mendengar ini terkejut sekali dan memandang dengan mata terbelalak.
“Tanpa tali....?” Si Gendut bertanya.

“Nona yang baik, harap Nona suka mengajari saya agar dapat keluar dari sini sebaiknya,” kata A Ciang.

Wanita itu memandang kepada A Ciang, wajahnya berseri dan sepasang matanya mengeluarkan sinar aneh, lalu dia tersenyum.

“Kalau kalian membutuhkan tali, tunggulah sebentar, aku akan mengambilkan untuk kalian.”

Setelah berkata demikian, wanita itu berjalan pergi dengan lenggang yang mempesonakan semua orang, akan tetapi dapat dibayangkan betapa kaget dan khawatir hati mereka ketika melihat wanita itu berjalan menuju ke pos penjagaan yang kelihatan agak jauh dari tempat itu.

“Mampus! Dia melapor kepada penjaga!”

“Wah, dia siluman, kita akan celaka!”

“Hushhh, harap tenang, kawan-kawan. Aku tidak percaya orang seperti dia akan mengkhianati kita, lihat dia sudah kembali!” kata A Ciang kepada teman-temannya dan benar saja, tampak wanita itu datang dan membawa segulung tali!

“Terima kasih atas kepercayaanmu kepadaku,” kata wanita itu kepada A Ciang sambil melempar kerling dan senyum manis, membuat jantung pemuda itu seperti hampir copot rasanya. “Nah, ini tambangnya, bagaimana kalian akan naik?” tanya wanita itu sambil tersenyum mengejek, agaknya merasa geli menyaksikan tingkah delapan orang ini.

Si Gendut yang paling lihai di antara mereka, mengikatkan sepotong batu di ujung tali, kemudian dia melemparkan tali yang mengikat batu itu sambil memegangi ujung yang lain lagi. Batu meluncur tinggi dan melewati tembok sehingga tali itu tertarik dan menegang.

Akan tetapi jangankan dipanjati orang, baru ditarik saja, batu itu sudah jatuh lagi melewati tembok yang tinggi sehingga terpaksa mereka menyingkir agar kepala mereka tidak kejatuhan batu. Berkali-kali Si Gendut mencoba namun selalu batu itu tidak dapat menyangkut sesuatu sehingga setiap kali ditarik tentu akan jatuh kembali.

“Sayang tidak ada besi pengait....” Si Gendut akhirnya berkata jengkel.

“Berikan padaku tali itu, biar aku yang membawanya ke atas,” tiba-tiba wanita itu berkata.

Si Gendut meragu, akan tetapi A Ciang mengambil tali itu dari tangan Si Gendut dan menyerahkannya kepada wanita cantik itu. Tanpa diketahui orang lain, ketika menyerahkan tali, jari mereka bersentuhan dan A Ciang hampir berseru kaget karena tangannya terasa tergetar dan ada hawa hangat sekali memasuki tubuhnya melalui jari tangan yang bersentuhan.

Mukanya menjadi merah dan dia memandang kepada wanita aneh itu yang sudah melangkah dengan lenggang yang membuat buah pinggulnya menari-nari, menghampiri tembok benteng, kemudian mengalungkan tali di pinggangnya, menekankan telapak kedua tangannya pada tembok itu, lalu menoleh, tersenyum manis kepada mereka semua lalu.... mulailah dia mendaki tembok itu dengan enak, mudah dan cepat seperti gerakan seekor cecak merayap tembok! Karena merayap naik itu, pinggangnya bergerak-gerak, membuat kedua buah pinggulnya dari bawah tampak melenggang-lenggok.

“Aihhh.... dia lihai sekali....!”

“Dan cantik bukan main....”

“Seperti bukan manusia....!”

“Dia seperti Kwan Im Pouwsat (Dewi Welas Asih) saja....!”

“Wanita hebat!”

“Betapa bahagianya pria yang memiliki dia!”

Demikian seruan-seruan belasan orang yang semua berdongak ke atas memandang setiap gerakan wanita itu tanpa berkedip. Dengan amat cepatnya, tahu-tahu wanita itu telah berada di atas tembok, berdiri sambil bertolak pinggang. Mantelnya yang berwarna merah tertiup angin berkibar seperti bendera dan kalau saja tidak ingat bahwa mereka adalah pelarian-pelarian yang dikejar-kejar, tentu mereka telah bertepuk tangan dan memuji.

Wanita itu lalu melepas gulungan tali dan memegang ujungnya dengan tangan kiri.
“Panjatlah!” perintahnya.

Tentu saja semua orang merasa ragu-ragu. Gila, pikir mereka. Masa disuruh memanjat tali yang hanya dipegang oleh tangan wanita itu? Mana kuat?

“Talikan ujungnya....!”

Kata Si Gendut dengan bisikan dari bawah. Tentu saja wanita itu tidak dapat mendengarrnya, demikian pikir teman-teman yang lain.

“Biar aku yang memanjat lebih dulu. Dia lihai, tentu dia kuat menahan dengan tangannya,”

Kata A Ciang dan dia segera memegang ujung tali dan mulai merayap naik menggunakan kedua tangan dan kakinya.

Benar saja. Tali itu tetap menegang, sedikit pun tidak tampak wanita itu mendapat kesulitan mempertahankan tali yang diganduli tubuh A Ciang! Melihat ini bergegas mereka mulai memanjat naik, dan biarpun pada tali itu kini bergantungan belasan orang, tetap saja wanita itu hanya menggunakan sebuah tangan untuk menahan sampai semua orang berada di atas tembok!

Setelah belasan orang itu berada di atas tembok, wanita cantik itu mengikatkan ujung tali di atas tembok dan melempar tali ke luar sehingga tergantung di luar tembok.

“Nah, turunlah!” katanya halus sedangkan dia sendiri lalu meloncat ke bawah!

“Bukan main....!”

“Hebat sekali dia....!”

Semua orang memandang terbelalak melihat betapa wanita cantik itu terjun ke bawah dari tempat yang demikian tingginya, melayang seperti seekor burung saja karena dia mengembangkan kedua lengannya dan karena sebelumnya dia menalikan kedua ujung mantelnya pada pergelangan tangan, maka kini mantel merah itu berkembang dan melembung seperti sayap yang menahan tenaga luncuran tubuhnya!

Dengan ringan sekali wanita itu hinggap di atas tanah, berjungkir balik tiga kali untuk mematahkan tenaga luncuran tubuhnya yang melayang tadi. Sejenak semua orang memandang bengong, kemudian Si Gendut mendahului teman-temannya memegang tali dan merosot turun melalui tali itu, diikuti teman-temannya yang kini tergesa-gesa karena khawatir ketahuan oleh para penjaga. Setelah semua orang turun, wanita itu sekali tarik saja berhasil membikin putus ujung tali di atas tembok dan melemparkan tali itu ke atas tanah.

Pada saat itu terdengar bentakan-bentakan dan terdengar derap kaki para penjaga yang melihat bayangan belasan orang yang sedang melarikan diri ini.

“Lari....! Kita berpencar....!” Si Gendut memberi komando dan mereka lari berserabutan ke pelbagai jurusan.

“Kau lari bersamaku, A Ciang!” tiba-tiba wanita itu berkata dan memegang tangan A Ciang.

Dia mengenal nama pemuda tampan itu ketika mendengar seorang di antara mereka tadi menyebut namanya ketika mereka berbisik-bisik ketika merosot turun melalui tali.

A Ciang tidak menjawab, bahkan tidak mungkin bisa membantah lagi karena tiba-tiba dia merasa tubuhnya “diterbangkan” oleh wanita itu. Teman-temannya juga tidak ada yang memperhatikan karena mereka sedang sibuk mencari keselamatan masing-masing.

Mereka bukanlah orang-orang penakut yang melihat pasukan lalu lari, akan tetapi mereka adalah orang-orang yang cerdik, maklum bahwa kalau menghadapi pasukan di dekat tembok benteng itu, tentu akan memancing datangnya semua pasukan dan belasan orang seperti mereka itu mana mampu menghadapi pasukan besar? Si Gendut memerintahkan agar mereka berpencar sehingga andaikata ada yang tertangkap atau terbunuh, tidak semua menjadi korban seperti kalau nekat melawan di tempat berbahaya itu.

Komandan pasukan menjadi marah melihat bahwa belasan orang itu melarikan diri. Tahulah dia bahwa tentu mereka itu adalah mata-mata musuh yang banyak terdapat di dalam benteng dan baru saja melarikan diri. Dia lalu mendatangkan bala bantuan dan dengan lima puluh orang perajurit dia melakukan pengejaran. Komandan pasukan itu seorang perwira muda yang tinggi besar dan gagah, memegang pedang dan menunggang seekor kuda putih.

Para anggauta Tiat-ciang-pang makin panik melihat bahwa mereka dikejar pasukan dan cepat mereka melarikan diri di sebuah ladang yang penuh alang-alang liar. Juga wanita itu tadi bahkan telah mendahului mereka, telah membawa A Ciang menyusup ke dalam alang-alang yang tingginya sama dengan manusia.

Dia menggandeng tangan A Ciang dan terus menyusup sampai ke tengah-tengah ladang itu dan mereka seolah-olah tenggelam di dunia tersendiri yang sunyi dan yang terdengar hanya berkelisiknya alang-alang tertiup angin sehingga permukaannya berombak seperti air laut. Tidak tampak dari luar mereka itu, dan hanya kalau ada yang dekat dengan tempat itu saja mungkin dapat mendengarkan percakapan mereka yang aneh.

“Ahhh, Kouw-nio....!” Terdengar suara A Ciang gagap.

“Hemm, kenapa? Apakah kau tidak suka padaku? Lihatlah aku ini... tidak sukakah engkau.... hem....?” Suara bisik-bisik serak ini diakhiri dengan suara aneh seperti seekor kucing.

“....Koauw-nio.... kau cantik sekali....”

“Kau suka? Aku suka kepadamu, A Ciang, dan kalau kau pun suka.... hemm....”

“Kouw-nio.... hemmm....!”

Tidak terdengar lagi mereka bercakap-cakap, yang terdengar hanya berkereseknya daun alang-alang kering yang tertindas tubuh mereka, dan tak lama kemudian terdengarlah suara aneh, suara rintihan seperti seekor kucing, berngeong-ngeong tinggi rendah, kadang-kadang suara itu terdengar ganas seperti marah, kadang-kadang halus lembut seperti mengerang dan merintih. Suara ini terdengar terus-menerus sampai lama di tengah ladang ilalang itu sehingga kalau ada orang mendengarnya, tentu mereka akan menjadi serem.

Dan memang ada yang mendengar suara kucing mengeong dan merintih ini, yaitu Si Gendut dan kawan-kawannya yang hampir semua menyusup ke dalam ilalang akan tetapi berpencar. Mereka mendengar suara kucing ini. Bahkan seorang di antara mereka berbisik kepada teman yang kebetulan bersembunyi di dekatnya,

“Keparat, di tempat begini ada kucing kawin!”

“Ihh, bagaimana kau tahu suara itu suara kucing kawin?”

“Coba dengarkan baik-baik dan ingat kalau malam-malam di atas genteng ada suara kucing indehoi, bukankah sama benar suaranya?”

Mereka berdua kini diam, mendengarkan dan bergidik. Memang tidak salah lagi, itulah suara kucing, suara kucing betina yang kadang-kadang bersuara ganas seperti sedang marah, kadang-kadang halus manja seperti merengek, kadang-kadang merintih. Menyeramkan!

Sementara itu, pasukan yang dipimpin perwira berpedang itu telah tiba di tepi ladang ilalang yang luas itu. Kuda yang mereka tunggangi meringkik-ringkik, dan perwira itu memandang dengan penasaran.

“Serbu ke dalam ladang!” perintahnya kepada pasukan yang tidak berkuda.

Belasan golok perajurit yang memegang perisai dan golok menyerbu ke dalam ladang itu. Yang tampak hanya ujung topi besi mereka, ujung golok mereka bergerak-gerak maju ke tengah. Akan tetapi tiba-tiba terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan berturut-turut robohlah enam orang perajurit, yang lain segera mundur kembali.

Mereka diserang dari bawah oleh para pelarian yang mendekam di bawah ilalang, dan tentu saja sukar bagi mereka untuk mempertahankan diri. Para pelarian itu mendekam dan tidak bergerak, sukar diketahui di mana tempatnya, sedangkan para perajurit pemberontak yang mencari itu berjalan dan bergerak, tentu saja mudah sekali diserang secara tiba-tiba.

Perwira itu agaknya mengerti akan hal ini, maka dia pun memberi aba-aba agar sisa anak buahnya mundur dan keluar dari ilalang itu. Sejenak dia berpikir, kemudian tiba-tiba dia mengeluarkan aba-aba,

“Bakar....!”

Ladang ilalang itu pun dibakarlah! Sebentar saja api melahap ilalang kering dan makin lama makin menjalar ke tengah. Si Gendut dan teman-temannya tentu saja terkejut sekali dan cepat mereka melarikan diri, menyusup-nyusup ilalang menjauhi api yang mengancam mereka. Sementara itu, suara kucing tadi masih terus terdengar seolah-olah tidak peduli akan ancaman api yang makin ke tengah.

Tiba-tiba terdengar lengking tinggi mengerikan dan tampaklah tubuh wanita cantik tadi meloncat ke atas dalam keadaan hampir tidak berpakaian. Dia kini sibuk membereskan pakaiannya dan berloncatan, tidak menjauhi pasukan mengejar seperti para pelarian yang lain, melainkan mendekati dengan jalan memutari api. Kemudian kedua tangannya bergerak bergantian dan terdengar ledakan-ledakan dahsyat, tanah dan batu muncrat tinggi dan disusul asap hitam mengepul. Beberapa orang terlempar ke kanan kiri dan tidak dapat bangkit kembali, luka-luka parah oleh pecahan ledakan dahsyat tadi.

Wanita itu dengan marahnya masih terus melempar benda bulat dan ledakan-ledakan terus terdengar susul-menyusul. Perwira muda itu terkejut bukan main, maklum bahwa wanita itu menggunakan senjata peledak yang berbahaya, maka tanpa ragu-ragu lagi dia memerintahkan pasukannya untuk mundur dan berlindung. Pasukan itu mundur dan meninggalkan dua puluh lebih perajurit yang tewas menjadi korban senjata-senjata peledak.

Si Gendut dan teman-temannya cepat berlari ke luar ladang ilalang, akan tetapi ketika dia berlari sampai di tengah ladang, hampir saja dia menginjak tubuh seorang laki-laki yang roboh telentang dalam keadaan telanjang bulat dan sudah mati. Ketika dia dan beberapa orang teman memeriksanya, kiranya itu adalah A Ciang yang sudah menjadi mayat. Anehnya, pemuda itu tewas dalam keadaan seperti orang tidur yang sedang mimpi indah saja, karena wajahnya berseri dan mulutnya tersenyum!

Beramai-ramai mereka menggotong mayat ini setelah tergesa-gesa mengenakan kembali pakaian A Ciang yang berada di dekat pintu, membawanya pergi melarikan diri dari ladang ilalang, kemudian memasuki daerah pegunungan yang penuh dengan batu-batu gunung kapur yang bentuknya aneh-aneh tanpa ada sebatang pohon pun yang dapat tumbuh di situ. Tempat ini merupakan tempat persembunyian yang amat baik.

Dengan sedih juga terheran-heran akan kematian A Ciang, Si Gendut dan kawan-kawannya lalu mengubur mayat itu dengan menggali pasir gunung dan mereka pun tidak melihat lagi wanita cantik yang tadi telah menyelamatkan mereka dengan menyerang pasukan secara hebat menggunakan senjata-senjata mujijat yang dapat meledak.

“Mengapa A Ciang mati?”

Pertanyaan ini berkali-kali terdengar dan masih menggema di hati semua orang. Mereka menduga-duga dan merasa heran sekali. Juga mereka makin kagum kepada wanita cantik itu yang ternyata amat lihai, juga berterima kasih karena tanpa wanita itu, tentu mereka tidak dapat keluar dari benteng dan tadi pun tanpa bantuannya, mereka tentu akan tertumpas di ladang ilalang! Akan tetapi kini wanita cantik itu tidak kelihatan lagi.

Siapakah sesungguhnya wanita yang penuh rahasia itu? Tentu pembaca sudah dapat menduganya kalau mengingat cerita Kim Hwee Li kepada Kian Lee. Wanita cantik ini adalah sukouwnya yang ke dua, sumoi dari ayahnya yang berjuluk Mauw Siauw Mo-li Si Kucing Liar atau Siluman Kucing!

Seperti telah diceritakan di bagian depan, Hek-tiauw Lo-mo Si Raksasa Bertaring yang merampas kedudukan menjadi Ketua Pulau Neraka adalah seorang pelarian dari Korea. Sebelum menjadi ketua Pulau Neraka, dia telah memiliki kepandaian tinggi sekali dan kelihatannya bertambah ketika dia berhasil mencuri setengah dari kitab tentang racun dari Istana Padang Pasir milik Si Dewa Bongkok bersama-sama dengan Hek-hwa Lo-kwi Thio Sek, bekas pelayan Si Dewa Bongkok yang kini menjadi Ketua Lembah Hitam.

Hek-tiauw Lo-mo ini mempunyai dua orang sumoi. Yang pertama adalah Hek-wan Kui-bo (Nenek Iblis Lutung Hitam) yang telah muncul membantu pemberontak dan melukai Kian Lee dengan senjata peledaknya, seorang nenek yang amat lihai. Adapun yang ke dua adalah Mauw Siauw Mo-li itulah!

Tidak ada orang mengenal nama aslinya, dia hanya dikenal di daerah utara, di antara orang-orang Mongol dan Mancu, sebagai Siluman Kucing atau Si Kucing Liar. Mendengar nama Kucing Liar ini, orang-orang di daerah utara, betapapun gagahnya dia, akan merasa seram dan ketakutan. Melihat orangnya, Si Kucing Liar ini memang sama sekali tidak menyeramkan, sebaliknya malah, setiap orang laki-laki, tua maupun muda, kalau dia waras otaknya dan tidak buta, sudah tentu akan mengakui akan kecantikan Mauw Siauw Mo-li.

Cantik jelita dan manis sekali dia, wajahnya bulat telur dengan dagu kecil meruncing, tulang pipinya sedikit menonjol sehingga membuat lekuk yang manis, dahinya melengkung halus dan putih, dihias anak rambut tipis halus di bawah rambut hitam yang disisir ke belakang, lalu rambut yang hitam subur dan amat panjang itu digelung dengan model indah sekali di atas kepala, seperti gelung kaum puteri istana, merupakan hiasan kepala yang aneh akan tetapi menarik, rambutnya dihias pula dengan kembang-kembang terbuat dari emas dan batu kemala hijau.





1 komentar:

  1. dear Admin,...ada tulisan yang loncat atau hilang ya!? saya bingung, di kisah sepasang rajawali jilid 78 ini paragraf 7 dan 8 seterusnya ceritanya seperti putus dan gak nyambung, ada kekeliruankah?...terima kasih. :)

    BalasHapus