FB

FB


Ads

Selasa, 17 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 055

“Ayahmu bohong! Andaikata ayahmu memiliki ilmu silat nomor satu di dunia, tetap saja dia tidak dapat membikin kau menjadi ahli nomor satu kelak, karena kalau kau bertemu dengan ahli racun nomor satu di dunia, kau akan celaka. Kau baru benar-benar bisa menjadi orang paling pandai kalau selain mewarisi ilmu silat ayahmu engkau juga mewarisi ilmu tentang racun dariku!”

Anak itu mengerutkan alisnya dan mengangguk,
“Omonganmu benar juga, Enci.”

“Tentu saja benar. Kalau kau mau menjadi muridku kelak untuk mempelajari ilmu tentang racun, kau akan menjadi ahli racun nomor satu di dunia, tidak ada yang melawan lagi.”

“Sebabnya?”

“Karena aku adalah murid dan pewaris ilmu-ilmu dari datuk ahli racun Ban-tok Mo-li....”

“Aihhhh....! Ayahku sudah lama menyebut-nyebut nama ini, mengatakan sayang bahwa wanita ahli racun nomor satu di dunia itu lenyap.”

“Memang lenyap bagi dunia umum, akan tetapi tidak bagiku. Aku menjadi muridnya dan pewaris ilmu-ilmunya dan karena sekarang dia telah meninggal dunia, aku adalah ahli nomor satu di dunia, dan kelak engkau yang akan mewarisi kalau engkau suka menjadi muridku.”

“Tentu saja aku suka sekali!” jawab Hwee Li dengan wajah girang.

“Kalau begitu, kau kuterima sebagai murid dan kelak setelah kau tamat belajar ilmu silat dari ayahmu, aku akan mulai mengajarmu tentang ilmu racun. Tapi lebih dulu harus bebaskan aku agar aku dapat menerima penghormatan sebagai muridku.”

Hwee Li memang cerdik sekali. Dia memandang ragu.
“Akan tetapi, bagaimana kalau kelak kau melanggar janji dan kau pergunakan janji ini hanya untuk menipu aku agar kau dapat bebas?”

Ceng Ceng memaki di dalam hatinya akan kecerdikan anak ini.
“Bodoh!” bentaknya. “Apakah ayahmu sebagai ahli nomor satu dalam ilmu silat juga suka membohongi orang dan melanggar janji?”

“Tentu saja tidak.”

“Nah, akupun sebagai ahli racun nomor satu, mana sudi melanggar janji? Hayo cepat kau bebaskan aku, apakah kau bisa menotok?”

“Aku sudah belajar ilmu menotok dari Ayah, akan tetapi aku tidak tahu bagaimana harus membebaskan totokan Ayah pada tubuhmu.”

“Mudah saja, asal engkau sudah dapat menggunakan jari tanganmu untuk menotok. Kau totoklah jalan darah di bawah tengkukku, dengan dua jari.”

Hwee Li mendorong tubuh Ceng Ceng menjadi miring, kemudian dia menotok tempat itu.

“Dukk!”

Ceng Ceng menyeringai kesakitan.
“Kurang ke atas sedikit....” keluhnya.

Hwee Li kembali menotok, agak ke atas. Akan tetapi mula-mula totokannya tidak berhasil membebaskan Ceng Ceng, malah mendatangkan rasa nyeri. Akan tetapi setelah diulang-ulang sampai lima kali, akhirnya totokan itu ada hasilnya dan kedua lengan Ceng Ceng dapat digerakkan sedikit akan tetapi jalan darahnya belum mengalir dengan sempurna.

Dia lalu mengerahkan sin-kangnya mendorong dari dalam dan berhasillah dia. Setelah kedua lengannya bebas, dia mengumpulkan tenaga lalu menotok bawah punggungnya sendiri untuk membebaskan kedua kakinya.

“Aihhh....!” Dia bangkit duduk sambil mengelus-elus tempat yang ditotok Hwee Li tadi.

“Sekarang aku menjadi muridmu, Enci.”

“Ya, kau lakukanlah upacara pengangkatan guru, berlutut dan memberi hormat delapan kali!”

Hwee Li lalu menjatuhkan diri berlutut didepan Ceng Ceng yang sudah bangkit berdiri, memberi hormat sampai delapan kali sambil menyebut,

“Subo....!”

Begitu selesai memberi hormat, anak itu cepat meloncat bangun dan berkata,
“Subo, sekarang tiba giliranmu untuk mengucapkan janji kepadaku!”

Ceng Ceng tersenyum. Memang dia sudah merasa suka. kepada anak kecil ini dan andaikata kelak mereka dapat saling jumpa kembali, agaknya dia tidak akan keberatan untuk menurunkan ilmu kepada anak yang cerdas ini. Maka tanpa ragu-ragu lagi diapun berkata,
“Aku berjanji....”

“Nama Subo siapa, harap sebutkan agar aku tidak lupa.”

Ceng Ceng tersenyum dan memandang kagum. Anak ini kelak akan menjadi seorang yang hebat, pikirnya.

“Aku Lu Ceng, berjanji bahwa kelak, kalau Kim Hwee Li telah mempelajari ilmu silat dari ayahnya, aku akan mengajarkan ilmu tentang racun kepadanya sebagai muridku yang baik.”






Hwee Li tertawa girang.
“Subo, mari sekarang kita pergi ke tempat yang dijadikan benteng ayahku dan para anak buah Pulau Neraka. Aku tanggung tidak akan ada yang berani mengganggumu setelah mereka tahu bahwa engkau adalah guruku.”

“Tidak, Hwee Li. Aku harus pergi dulu, kelak kita akan bertemu kembali.”

Anak itu menghela napas.
“Akan tetapi ingatlah Subo. Kalau aku sudah tamat belajar dari Ayah dan Subo tidak datang mencariku, aku yang akan pergi mencarimu.”

Ceng Ceng tersenyum, memegang dagu yang manis itu.
“Engkau muridku yang baik, tentu kelak kita akan saling berjumpa. Percayalah. Nah, selamat tinggal, Hwee Li!”

Ceng Ceng lalu cepat meloncat jauh dan berlari pergi dari situ, menuju ke selatan. Dia harus cepat pergi karena kalau sampai ayah anak itu datang kembali, belum tentu dia akan dapat menghindarkan diri dengan mudah dari kekuasaan kakek yang sakti itu.

Biarpun dia melakukan perjalanan cepat, namun Ceng Ceng selalu bersikap hati-hati sekali karena dia maklum bahwa dia makin mendekati daerah berbahaya, yaitu Lembah Bunga Hitam.

Jalan mulai mendaki dan tidak tampak lagi ada dusun. Keadaan amat sunyi melengang, sunyi yang menegangkan karena di dalam kesunyian ini seolah-olah maut mengintai di mana-mana, dibalik batu, diatas pohon, didalam jurang. Dan memang maut mengintai di mana-mana berupa binatang berbisa, racun-racun yang tersebar dan tercecer di mana-mana, jebakan-jebakan yang berisi ular, paku-paku berkarat dan beracun yang dipasang orang di mana-mana di tempat yang tak tersangka-sangka.

Akan tetapi tentu saja Ceng Ceng dapat terhindar dari semua itu dan akhirnya tibalah dia diluar pintu gerbang sebuah dusun yang kelihatan amat sunyi melengang, dimana pohon-pohonnya banyak yang rontok dan mengering, rumah-rumah tembok kokoh kuat tanpa penghuni. Dia memasuki pintu gerbang itu dan jantungnya berdebar tegang.

Memang menyeramkan sekali keadaan di dusun itu. Inilah agaknya Lembah Bunga Hitam, karena mulai tampak olehnya rumpun tetanaman yang kembangnya hitam kecil-kecil yang mengeluarkan bau yang jelas mengandung racun yang amat berbahaya!

Dengan hati-hati Ceng Ceng berjalan terus dan tiba-tiba dia meloncat, menyelinap di balik semak-semak karena dia melihat ada beberapa orang di depan. Dari tempat sembunyiannya dia mengintai dan betapa herannya melihat sebuah kerangkeng di mana terdapat seorang laki-laki yang kepalanya tersembul di luar kerangkeng, kaki tangannya terbelenggu dan laki-laki itu mukanya merah sekali.

Kerangkeng itu bentuknya seperti kerangkeng yang biasa dipakai untuk mengangkut seorang tawanan. Ada empat orang yang menjaga di dekat kerangkeng, seorang lagi berdiri agak jauh, mungkin orang ke lima ini menjaga kalau-kalau ada musuh yang muncul dari arah selatan.

Ceng Ceng merasa tertarik sekali, lalu dia menyelinap dibalik pohon dan semak-semak, mendekati. Tak jauh dari tempat itu dia melihat sebuah sumur tua, dan tiba-tiba sekali, hampir tidak tampak olehnya kalau saja dia tidak sedang memperhatikan sumur itu, dia melihat bayangan berkelebat cepat sekali memasuki sumur itu!

Keheranan dan kecurigaannya timbul. Mungkin dia salah lihat, pikirnya, akan tetapi sumur itu merupakan tempat yang tepat untuk mengintai dan bersembunyi, dan tidak ada jeleknya untuk memeriksa apakah benar bayangan tadi memasuki sumur. Dia menyelinap makin dekat dan akhirnya dia meloncat ke dalam sumur tua, berpegang pada bibir sumur yang terbuat dari batu-batu besar. Mudah saja baginya untuk bersembunyi di situ, karena dari jauh tadipun sudah tampak betapa dinding sumur besar itu terbuat dari tumpukan batu-batu yang tidak rata.

Ketika dia menjenguk ke bawah, tiba-tiba bulu tengkuknya berdiri karena kembali dia melihat bayangan orang berkelebat, sekarang didasar sumur itu dan lenyap. Benarkah ada orangnya di bawah sana yang gelap dan hitam itu? Ataukah dia sudah salah lihat? Agaknya tidak mungkin ada orang di dalam sumur ini, pikirnya dan perhatiannya segera ditujukan lagi keluar sumur, kearah kerangkeng di mana seorang laki-laki terbelenggu itu.

Kini nampak jelas wajah laki-laki yang tertawan itu. Wajah yang gagah bukan main, dan masih muda, akan tetapi kulit muka itu merah seperti terbakar dan matanya menyorotkan sesuatu yang amat aneh.

Tiba-tiba Ceng Ceng merasa jantungnya berdebar tegang. Pemuda tampan itu seperti pernah dijumpainya! Tampan dan gagah! Tak salah, pernah dia berjumpa dengan pemuda yang berada di dalam kerangkeng itu. Kalau tak salah...., ya, di dalam pasar kuda!

Ketika dia menjual-belikan kuda, bersama Panglima Souw Kwee It, di dalam pasar itu terdapat dua orang pemuda yang menarik perhatiannya. Dua orang pemuda tampan. Tentu seorang diantara mereka itulah yang kini berada di dalam kerangkeng ini. Teringat akan sikap dua orang pemuda itu, yang memandang kagum kepadanya ketika di pasar dahulu, timbul keinginan hati Ceng Ceng untuk menolong pemuda didalam kerangkeng ini.

Empat orang penjaga yang dekat dengan kereta itu bertubuh biasa saja, akan tetapi sinar mata mereka seram, membayangkan kekejaman hebat. Juga sikap mereka aneh, yang seorang malah tidak bersepatu, dan kadang-kadang mereka itu sama sekali tidak bergerak seperti arca.

Tiga orang duduk diatas tanah, seorang berdiri dan seorang lagi berdiri jauh dari kerangkeng. Kalau aku serang mereka dan terjadi pertempuran, tentu kawan-kawan mereka akan berdatangan dan kalau banyak orang datang mengeroyok, akan gagallah usahaku menolong. Lebih baik dengan mendadak kubebaskan dia, agar dapat melarikan diri, pikir Ceng Ceng.

Ceng Ceng lalu bergerak naik dan meloncat keluar dari dalam sumur dengan hati-hati sekali, lalu dia mengeluarkan gin-kangnya berloncatan kearah kerangkeng itu. Dia terkejut karena melihat betapa lima orang penjaga itu sama sekali tidak bergerak, seolah-olah mereka itu benar-benar telah berubah menjadi arca betul! Akan tetapi dia tidak mau peduli lagi, cepat menghampiri kerangkeng.

“Eh.... oh.... mau apa kau....?” Pemuda didalam kerangkeng melihat Ceng Ceng menghampirinya.

Mendongkol juga hati Ceng Ceng mendengar pertanyaan ini.
“Tidak apa-apa,” jawabnya dingin. “Hanya ingin membebaskan kau dari dalam kerangkeng ini, yaitu kalau kau mau.”

“Tidak....! Tidak....! Jangan lakukan itu, lekas kau lari dari sini kalau kau sayang jiwamu!”

Ceng Ceng menjadi makin mendongkol lagi. Wataknya memang keras dan suka melawan, makin dikerasi dia makin berani dan nekat.

“Manusia tak mengenal budi! Aku nekat hendak menolong kau malah menolak. Aku tetap hendak menolongmu, hendak kulihat kau mau bisa menolak atau tidak!”

Dia sudah menggerakkan tangan hendak membongkar kerangkeng itu, akan tetapi tiba-tiba terdengar seruan keras dan lima orang penjaga itu sudah datang berlari-lari lalu menyerangnya kalang kabut!

“Nona, siapapun adanya engkau, lekas larilah!”

Kembali pemuda di dalam kerangkeng berteriak keras. Akan tetapi, andaikata tadinya Ceng Ceng berniat untuk lari, mendengar kata-kata ini saja sudah cukup baginya untuk merobah niatnya itu. Dia menghunus pedang Ban-tok-kiam, memutar pedang itu dan menangkis serangan lima orang yang menggunakan senjata golok dan pedang. Terdengar suara nyaring dan lima orang itu meloncat ke belakang, seorang diantara mereka terus roboh terkena hawa beracun dari Ban-tok-kiam.

“Pedang hebat....!”

Empat orang yang lain memuji karena sebagai anggauta Lembah Bunga Hitam tentu saja mereka mengenal senjata beracun yang amat berbahaya itu.

“Baik, kalau kalian sudah mengenal pedangku agar tidak mati penasaran. Majulah!”

Ceng Ceng memegang sambil mengerling kearah pemuda dalam kerangkeng dengan senyum mengejek dan menantang. Kerling dan senyumnya seperti berkata,

“Aku tetap hendak melawan, kau mau apa!”

Akan tetapi mendadak Ceng Ceng melongo karena dia melihat empat orang lawannya itu sama sekali tidak bergerak lagi, seperti tadi, seolah-olah berubah menjadi patung! Melihat ini, dia tidak membuang waktu lagi, cepat dia menghampiri kerangkeng untuk membebaskan pemuda itu.

“Jangan, Nona. Lekas kau pergi. Mereka itu terkena hawa beracun yang membuat mereka sebentar sadar sebentar tidak seperti itu. Lekas pergi, kalau sampai ketahuan ketua lembah, laripun akan terlambat bagimu!”

Ceng Ceng memandang dengan cemberut.
“Kau ini cerewet benar, sih! Kau tidak ingin keluar dari kerangkeng, akan tetapi aku justeru ingin membebaskanmu!”

“Jangan.... jangan.... aku.... aku keracunan.... pergilah saja, Nona!” pemuda itu kembali berkata, wajahnya makin merah dan matanya bersinar-sinar seperti mengeluarkan api.

“Uh, cerewet! Tranggg....!”

Ceng Ceng terhuyung ke belakang dan memandang dengan mata terbelalak. Dia tadi menggunakan pedangnya membacok pinggiran kerangkeng, akan tetapi kerangkeng itu tiba-tiba miring dan pedangnya bertemu dengan bagian yang dilapis baja. Pemuda di dalam kerangkeng itu ternyata telah menggerakkan dirinya sehingga kerangkeng itu miring dan selain pinggiran baja, juga dia telah menangkis pedang itu dengan belenggu!

“Manusia tak mengenal budi! Kau bersikap hendak mempertahankan diri supaya tidak bisa bebas, ya? Dan akupun berkeras hendak menghancurkan kerangkeng ini!” Dia mendesak lagi.

“Trang-trang-trakk....!”

Ceng Ceng kaget. Pedangnya menembus bagian kayu dari kerangkeng itu, akan tetapi selalu bertemu dengan belenggu baja. Pemuda ini ternyata berkepandaian tinggi, kalau tidak, mana mungkin dalam keadaan terbelenggu, didalam kerangkeng pula, dapat menangkis pedangnya? Pula, pedangnya adalah pedang Ban-tok-kiam, bagaimana pemuda itu mampu menangkis begitu saja dan setiap tangkisan membuat lengan kanannya tergetar hebat? Akan tetapi, hal ini malah menambah kemarahannya!

Tiba-tiba empat orang itu bergerak lagi dan berseru keras menerjang. Akan tetapi, tiba-tiba secara beruntun mereka roboh terjengkang dan tidak bergerak lagi, entah mengapa.

“Nona, lekas pergi... ketua lembah datang....!”

Pemuda didalam kerangkeng itu berseru, Ceng Ceng memandang dan melihat gerombolan orang yang jumlahnya paling sedikit ada dua puluh orang berlari-lari datang. Dia tidak takut, akan tetapi maklum bahwa dia tidak akan menang menghadapi begitu banyak orang, yang membuat dia mendongkol adalah bahwa kekalahannya itu membuat dia tidak akan berhasil membebaskan Si Pemuda!

Memang terjadi perubahan aneh di dalam watak Ceng Ceng setelah dia menjadi murid Ban-tok Mo-li dan setelah kini tubuhnya mengandung racun! Perubahan yang membuat dia keras hati, keras kepala, dan aneh tidak lumrah. Dia bukan takut kalau dia kalah dan terluka atau tewas, melainkan khawatir kalau-kalau tidak berhasil membebaskan pemuda itu yang makin diinginkannya begitu pemuda itu menolaknya.

“Kau pergi bersamaku!” katanya dan dia lalu mendorong kerangkeng yang beroda itu secepatnya pergi dari tempat itu!

“Wah-wah-wah.... mana bisa melarikan diri kalau mendorong kereta? Kau bocah bandel, keras kepala! Lepaskan kerangkeng, dan larilah!” pemuda itu meronta-ronta sehingga terasa berat sekali kerangkeng itu.

Namun, makin dimarahi, makin marah pulalah hati Ceng Ceng dan dia makin nekat mendorong kereta itu keluar dari dusun itu.

Ceng Ceng mendengar pemuda itu mengomel akan tetapi tidak meronta-ronta lagi. Dan diapun merasa heran mengapa dua puluh lebih orang tadi tidak juga dapat menyusulnya padahal larinya dengan cara mendorong kerangkeng itu tidak dapat dikatakan cepat? Huh, kalau begitu Ketua Lembah Bunga Hitam hanya mempunyai nama kosong belaka, pikirnya.

Akan tetapi dia mempercepat larinya, lalu membelokkan kerangkeng, memasuki daerah dimana pegunungan itu mempunyai banyak batu-batu besar dan banyak guha-guha. Akhirnya dia mendorong kerangkeng memasuki sebuah diantara guha-guha itu.

“Hemm, hendak kulihat siapa diantara kita yang menang. Aku yang akan membuka kerangkeng atau engkau yang hendak mempertahankan diri di dalam kerangkeng seperti binatang!” kata Ceng Ceng dan mulailah dia menggunakan pedangnya untuk membacok-bacok kerangkeng.

Pemuda itu kini mukanya makin merah, matanya melotot ketakutan, akan tetapi tidak mengeluarkan kata-kata lagi, hanya sering kali dia mendengus dan mengeluh seolah-olah menderita sakit hebat.

Ceng Ceng pun tahu bahwa pemuda ini keracunan, dan justeru karena itulah dia ingin membebaskannya, agar dia dapat memeriksanya dan memberinya obat. Sambil mendengus dan berusaha mengelakkan kerangkengnya dari sabetan pedang, pemuda itu memandang Ceng Ceng dengan mata berapi penuh kemarahan, kadang-kadang menggerakkan belenggunya untuk menangkis. Bahkan satu kali pemuda itu dapat menggerakkan kerangkengnya secara keras sekali sehingga tubuh Ceng Ceng terdorong dan roboh telentang!

Tentu saja dara itu menjadi makin marah, menyimpan pedangnya, menubruk kerangkeng yang sudah patah-patah itu dan akhirnya dia berhasil merenggut dan kerangkeng itu cerai-berai, pemuda itu terguling ke luar dan bebas dari kerangkeng, akan tetapi dengan kaki tangan terbelenggu yang disambung rantai panjang.

“Oughhhh....!”

Pemuda itu mendengus keras, tubuhnya mencelat dan dengan gerakan luar biasa sekali dia telah meloncat bangun. Ceng Ceng memandang bengong dan penuh takjub dan kagum. Pemuda itu memiliki tubuh seperti seekor singa jantan yang amat kokoh kuat dan tegap, tinggi besar dan pakaiannya yang compang-camping itu memperlihatkan sebagian kulit tubuh yang putih dengan otot-otot yang kekar. Seorang jantan yang memiliki tubuh kuat dan mengagumkan. Belum pernah selama hidupnya Ceng Ceng melihat seorang pria seperti ini, maka dia terlongong kagum.

Dan sekarang jelas baginya bahwa pemuda ini sama sekali bukan seorang diantara dua orang pemuda yang pernah dijumpainya di pasar kuda. Bukan, pemuda ini jauh lebih tua dari mereka. Pemuda ini tentu sudah lewat dua puluh tahun usianya, dan pada wajahnya nampak garis-garis tanda bahwa semasa mudanya pemuda ini mengalami banyak kesukaran hidup. Wajah yang tampan dan gagah namun tertutup oleh warna merah mengerikan dan sepasang matanya mengeluarkan sinar berapi dan kini memandang kepada Ceng Ceng dengan aneh.
“Oughhhh....!”

Kembali dia mengeluh, tubuhnya gemetar, matanya dipaksa-paksa untuk dipejamkan, kedua tangan mengepal tinju dan belenggu di kaki tangannya berbunyi berkerincingan. Agaknya pemuda itu sedang menderita hebat, bahkan seperti terjadi pergulatan hebat di sebelah dalam dirinya.

Ceng Ceng yang sudah meloncat bangun dan memandang penuh perhatian itu, memandang penuh selidik dan biarpun dia belum memeriksa langsung, memandang keadaan pemuda itu dia sudah dapat menduga dan berseru,

“Kau keracunan, racun yang membuat darahmu menjadi panas dan.... ehh.... haili....!” Ceng Ceng berteriak kaget karena tiba-tiba pemuda itu menubruknya!

“Gila kau....!”

Ceng Ceng membentak sambil mengelak ke kiri. Akan tetapi begitu tubrukannya luput, pemuda itu sudah dapat membalik dan menubruk lagi dengan gerakan yang bukan main cepatnya. Ceng Ceng kembali mengelak, akan tetapi dia kalah cepat maka dia membarengi dengan tangkisannya pada kedua lengan tangan yang hendak menangkapnya itu.

“Dukkk.... ihhhh....!”

Ceng Ceng terhuyung dan menjadi marah sekali. Dia telah mengerahkan sin-kangnya ketika menangkis tadi, namun dia masih saja terhuyung tanda bahwa pemuda itu selain memiliki gerakan cepat, juga memilik tenaga yang amat kuat!

“Keparat!”

Dia memaki, marah sekali. Orang yang telah ditolongnya dan dibebaskannya itu membalas dengan serangan. Dengan kemarahan memuncak, kini Ceng Ceng membalas dengan pukulan keras dan beruntun, cepat sekali kedua tangannya menyambar kearah pelipis dan menurun ke lambung dari kanan kiri, dan selain cepat dan kuat, dia juga mengerahkan tenaga yang mengandung racun.

“Ouhhhh....!”

Kembali laki-laki itu mengeluarkan suara keluhan dalam, akan tetapi dengan sigapnya, biarpun kaki tangannya dibelenggu, dia dapat mengelak dan menangkis semua pukulan serangan Ceng Ceng.

Dara itu makin terkejut karena dia memperoleh kenyataan bahwa ilmu silat pemuda ini hebat bukan main, biarpun dibelenggu kaki tangannya namun agaknya tidak kalah oleh Hek-tiauw Lo-mo! Ketika dia menerjang lagi dan kedua tangannya memukul dada dan perut, pemuda itu tidak mengelak sama sekali.

“Dukkk! Desss!”

Dada dan perut pemuda itu terkena pukulannya yang mengandung racun, akan tetapi ada hawa sin-kang kuat yang membuat kedua tangannya terpental kembali dan kedua lengannya seperti lumpuh seketika. Dan sebelum dia sempat bergerak lagi, tahu-tahu kaki pemuda itu telah menyambar kakinya sendiri dan sekali lagi Ceng Ceng roboh terguling!

“Keparat, kau sudah bosan hidup!” bentaknya sambil meloncat bangun dan dengan pedang Ban-tok-kiam di tangan dia menyerang lagi.

Akan tetapi sebelum dia sempat menusuk, tiba-tiba pemuda itu sudah mendahuluinya, dengan gerakan aneh sekali kedua lengannya bergerak, rantai belenggu mengeluarkan bunyi berdencing nyaring menulikan telinga, lenyap bentuk rantainya dan berubah menjadi sinar hitam yang menyambar dahsyat didahului oleh angin pukulan yang amat kuat kearah kepala Ceng Ceng.

Tentu saja Ceng Ceng menjadi terkejut sekali melihat serangan maut yang amat dahsyat ini, secepatnya dia mengelak ke samping akan tetapi tiba-tiba lengan tangannya yang memegang pedang menjadi lemas, pedangnya terlepas dan jatuh ke lantai guha karena entah bagaimana caranya, pergelangan tangannya telah kena ditotok oleh jari tangan pemuda itu.

“Aihhh....!”

Ceng Ceng menjerit akan tetapi kembali sinar hitam rantai belenggu menyambar ke bagian tubuhnya. Dia membuat gerakan mengelak ke belakang, namun tiba-tiba dia sudah roboh tertotok dalam keadaan lemas dan telentang di atas lantai. Dan pemuda itu dengan mata mengeluarkan sinar mengerikan lalu menubruknya, memeluk dan menciumi mukanya.

Dapat dibayangkan betapa ngeri dan takut rasa hati Ceng Ceng, bercampur dengan rasa malu yang membuat dia hampir pingsan. Dia tidak mampu melawan lagi, tubuhnya sudah lemas dan menjadi lebih lemas dan gemetar saking tegangnya ketika dia merasa betapa hidung dan bibir yang amat panas itu, yang mendengus-denguskan napas yang memburu, merayapi seluruh mukanya. Lehernya, telinganya, matanya, dahinya, hidungnya dan kemudian bibirnya diciumi oleh pemuda itu!

Jerit tertahan mencekik leher Ceng Ceng. Selama hidupnya, belum pernah dia dicium pria, apalagi dicium bibirnya seperti itu, ciuman penuh nafsu yang seolah-olah membetot semangat dari tubuhnya! Dalam keadaan setengah pingsan Ceng Ceng memejamkan matanya ketika bibir yang panas itu mencium mulutnya, kemudian mendadak muka orang itu terangkat dan menjauh.

Dia memaksa diri memicingkan mata dan melihat betapa pemuda itu berlutut, menutupi muka dan seperti orang menangis! Kemudian pemuda itu mendengus aneh dan meloncat berdiri, menurunkan kedua tangannya, memandang kepada Ceng Ceng dengan sinar mata penuh duka, lalu sekali meloncat dia lenyap berberkelebat keluar guha!

Ceng Ceng mengeluarkan keluhan panjang dan air matanya bergerak menuruni kedua pipinya. Hatinya lega bukan main. Nyaris dia mengalami hal yang amat mengerikan dan yang hanya dapat dia bayangkan di dalam mimpi buruk saja. Ngeri dia membayangkan hal itu, dan kegelapan hatinya untuk sementara menghapus bayangan pengalaman tadi ketika dia diciumi oleh pemuda itu.

Akan tetapi dia masih tidak berdaya, dia masih tidak mampu menggerakkan kaki tangannya. Dia tidak tahu apakah bahaya sudah tidak ada lagi. Baru saja dia terbebas dari bahaya yang lebih mengerikan daripada kematian, akan tetapi bagaimana kalau para pengejar, ketua lembah dan orang-orangnya secara tiba-tiba muncul di situ selagi dia masih belum mampu bergerak? Bagaimana kalau orang-orang lembah yang ganas dan kejam itu mengganggunya.

“Uhuuuhhh....”

Ceng Ceng terisak penuh rasa takut. Selama hidupnya baru tadi ketika dia dipeluk dan diciumi dia merasa ngeri dan ketakutan yang lebih hebat lagi. Sukar untuk membayangkan dia diganggu oleh orang-orang lembah. Lebih hebat daripada tadi.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar