FB

FB


Ads

Jumat, 13 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 042

Di pegunungan itu tinggal dua orang kakak dan adik seperguruan yang berkepandaian tinggi. Akan tetapi karena guru mereka menurunkan ilmu-ilmu kepada mereka disesuaikan dengan bakat masing-masing, timbullah rasa iri hati di dalam hati masing-masing, mengira bahwa guru mereka lebih sayang kepada saudara seperguruannya.

Perasaan iri hati dan bersaing ini terus tumbuh dengan subur dan setelah guru mereka meninggal dunia, kedua orang kakak beradik ini berpisah dan akhirnya si suheng (kakak seperguruan) tinggal di Hek-san (Gunung Hitam) sedangkan si sute (adik seperguruan) tinggal di Pek-san (Gunung Putih).

Hek-san dan Pek-san sebetulnya masih satu daerah pegunungan, hanya berbeda puncak yang berwarna hitam dan putih. Hek-san berwarna hitam karena batu karang hitam yang keras memenuhi puncak itu, sedangkan Pek-san berwarna putih karena puncaknya banyak mengandung batu kapur. Kedua orang lihai ini akhirnya menerima murid-murid dan berdirilah dua buah perkumpulan yang dinamakan menurut nama puncak masing-masing yaitu Hek-san-pai dan Pek-san-pai.

Persaingan atau permusuhan secara diam-diam itu berlangsung terus dan akhirnya meledak menjadi permusuhan terbuka karena mereka yang kini mempunyai banyak anggauta itu membutuhkan air untuk keperluan sehari-hari dan terutama sekali untuk keperluan sawah ladang mereka.

Padahal air yang amat dibutuhkan itu hanya terdapat di bawah Jembatan Angkasa yang merupakan sumber yang tak pernah kering. Terjadilah bentrokan-bentrokan kecil memperebutkan air, yang kemudian makin lama menjadi makin hebat sehingga kakak dan adik seperguruan itu sendiri turun tangan sendiri bertanding di atas jembatan gantung, disaksikan oleh para murid mereka!

Betapapun juga, kedua orang ini masih ingat akan sumpah mereka di depan mendiang guru mereka bahwa mereka dilarang keras untuk saling membunuh, maka dalam pertandingan ini mereka berdua menjaga agar jangan sampai lawan yang masih saudara seperguruan sendiri itu tewas! Akhirnya, sang sute kalah dan menderita luka-luka. Karena dia tidak dibunuh, maka dia menaruh dendam dan menantang untuk bertanding lagi setahun kemudian.

Demikianlah, permusuhan yang aneh ini berlangsung terus sampai dua tiga keturunan mereka. Setiap tahun diadakan pertandingan diantara mereka, jago melawan jago untuk menentukan siapa yang unggul. Mereka yang menang dianggap menguasai mata air di bawah Jembatan Angkasa dan menentukan pembagian air untuk keperluan mereka sampai ada keputusan tahun depan dalam pertandingan mendatang!

“Hari pertandingan tahun ini jatuh pada hari besok, Locianpwe,” si kumis tebal mengakhiri ceritanya. “Telah bertahun-tahun lamanya, karena ingin mencapai kemenangan, kedua pihak tidak puas dengan jago golongan sendiri dan mulailah mendatangkan jago dari luar kalangan sendiri. Tahun ini, pihak Hek-san-pai telah mendatangkan jago orang yang bertubuh kecil tadi, yang berjuluk Sin-kiam Lo-thong (Anak Tua Pedang Sakti). Baru menggunakan ranting saja, kami bertiga murid-murid kepala Pek-san-pai tidak dapat menandinginya, apalagi kalau dia menggunakan pedang!”

“Hemm, lalu mengapa kalian yang tidak mengenalku begitu berjumpa telah memberi hormat berlebihan?”

“Biarpun belum pernah bertemu, kami tahu bahwa Locianpwe tentulah Sin-ciang Yok-kwi (Setan Obat Tangan Sakti) dari puncak Ci-lan-kok (Lembah Bunga Cilan). Ketua atau guru kami telah mengundang Locianpwe, maka begitu Locianpwe muncul kami telah mengenal Locianpwe yang tahun ini diundang oleh suhu (guru) sebagai jagoan kami.”

Bun Beng tersenyum. Kiranya orang-orang ini telah salah menduganya sebagai seorang tokoh yang bernama Sin-ciang Yok-kwi dan yang dicalonkan sebagai jago pihak Pek-san-pai. Dia tidak ingin mencampuri urusan ini, akan tetapi karena melihat bahwa orang kecil tadi memang lihai dan tentu pihak Pek-san-pai akan kalah, dia ingin melihat perkembangan lebih jauh. Pula, timbul niat di hatinya untuk mengusahakan perdamaian diantara perkumpulan yang masih bersaudara itu.

“Aku bukan Sin-ciang Yok-kwi, akan tetapi aku kebetulan lewat dan biarlah aku akan menonton besok. Kalau Yok-kwi yang kalian tunggu itu tidak muncul, aku akan mengusahakan agar tidak ada pertumpahan darah.”

Tiga orang itu girang sekali. Biarpun mulut mereka tidak mengatakan sesuatu namun pandang mata mereka saling bertemu dan saling maklum. Bagi mereka, tidak salah lagi bahwa tentu orang sakti ini adalah Sin-ciang Yok-kwi! Ciri-cirinya sama! Biarpun mereka belum pernah jumpa dengan kakek setan obat itu, namun kabarnya Yok-kwi adalah seorang yang berpenyakitan dan yang sama sekali tidak pernah mau mengakui namanya sendiri, tidak mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi!

Tentu saja mereka tidak pernah dapat melihat Yok-kwi, karena kabarnya kakek yang tinggal sebagai pertapa di puncak Ci-lan-kok itu wataknya aneh luar biasa. Orang-orang sakit yang datang kepadanya, pasti sembuh. Akan tetapi orang waras yang berani datang, tentu akan dihajarnya sampai menjadi sakit! Karena itu tidak ada orang waras yang suka atau berani naik ke puncak Ci-lan-kok.

Bun Beng tak membantah ketika bersama Syanti Dewi dia diajak pergi ke puncak Pek-san-pai dimana dia disambut dengan segala kehormatan oleh ketua Pek-san-pai sendiri, seorang laki-laki berusia lima puluh tahun lebih yang bertubuh tinggi besar dan gagah.

Pada keesokan harinya, pagi-pagi sekali ketua Pek-san-pai mengajak rombongannya, juga Bun Beng dan Syanti Dewi, pergi ke Jembatan Angkasa. Empat orang anggauta Pek-san-pai memanggul alat penyeret bambu dimana Bun Beng rebah diikuti oleh Syanti Dewi.

Jembatan Angkasa itu adalah bangunan batu karang hitam kuat yang menyambung satu tepi jurang dengan tepi yang lain, bentuknya seperti jembatan gantung! Jembatan buatan alam ini memang ajaib dan patut dinamakan Jembatan Angkasa karena orang yang melalui jembatan ini berada di tempat tinggi seperti terbang saja melalui tangga awan.

Dan tepat di kolong jembatan batu ini terdapatlah sumber atau mata air yang dijadikan perebutan dan bahan pertentangan. Kini semua pihak telah berkumpul, pihak Hek-san-pai di ujung kiri Jembatan Angkasa dan pihak Pek-san-pai di ujung kanan.






Seperti biasa pada tiap pertemuan pertandingan itu, sebelum masing-masing jago kedua pihak maju bertanding, terlebih dahulu dua orang ketua masing-masing perkumpulan maju dan bertemu diatas jembatan.

Ketua Pek-san-pai sudah mendaki jembatan dan disambut oleh ketua pihak Hek-san-pai yang masih terhitung suhengnya sendiri. Keduanya bertemu, mengangkat tangan memberi hormat dan ketua Pek-san-pai berkata,

“Apakah tahun ini Suheng sebagai ketua Hek-san-pai tetap tidak mau mengalah dan hendak menguasai mata air?”

Ketua Hek-san-pai yang mukanya seperti seekor orang hutan dan hidungnya pesek, tersenyum mengejek.

“Tentu saja, Sute. Memang selamanya kami dari Hek-san-pai yang seharusnya menguasai mata air itu.”

“Hemm, kalau begitu, Suheng menantang untuk diadakan pertandingan?”

“Tentu saja! Kami sudah mempunyai jago kami, yaitu Sin-kiam Lo-thong!”

“Dan kami juga sudah mengundang jago kami, Sin-ciang Yok-kwi!”

Sin-kiam Lo-thong yang berdiri di ujung kiri jembatan sudah tertawa-tawa dan meraba-raba gagang pedangnya. Sementara itu, Syanti Dewi mendengarkan penjelasan seorang anggauta Pek-san-pai tentang sebab permusuhan itu, tentang sumber mata air dan tentang jalannya pertandingan yang ada pantangannya, yaitu tidak boleh membunuh lawan dan siapa yang roboh dianggap kalah dan kekalahan ini harus diterima oleh pihak partai yang menjagoi yang kalah itu.

“Pamanku bukan Sin-ciang Yok-kwi,”

Kata Syanti Dewi karena dia khawatir sekali melihat Bun Beng yang sedang sakit itu hendak disuruh bertanding.

Pemuda Pek-san-pai itu hanya tersenyum.
“Tentu saja bukan....” katanya karena diapun sudah mendengar bahwa Sin-ciang Yok-kwi tidak pernah mau mengaku sebagai Sin-ciang Yok-kwi. “Akan tetapi tanpa bantuan locianpwe itu, pihak kami tentu akan kalah lagi. Sudah lima tahun berturut-turut pihak kami kalah selalu karena Hek-san-pai pandai mencari jago-jago yang lihai. Bahkan tahun ini, jagonya yang berdiri disana itu amat lihai.”

Pemuda itu menuding ke arah Sin-kiam Lo-thong yang tampak dari situ seperti seorang anak kecil yang berdiri diatas batu. Karena merasa tidak ada gunanya bersikeras menyangkal, akhirnya Syanti Dewi bertanya,

“Di manakah tempat bertapa Sin-ciang Yok-kwi?”

Pemuda itu memandang kepadanya sambil tersenyum, seolah-olah dia menganggap dara ini main-main, akan tetapi dia tidak berani untuk tidak menjawab, maka dia lalu menunjuk ke arah sebuah puncak lain yang tidak berapa jauh dari Jembatan Angkasa itu.

“Di puncak sana itulah tempat pertapaan tabib dewa itu.”

“Benarkah bahwa dia pandai mengobati segala macam penyakit?”

Pemuda itu mengangguk.
“Sepanjang pendengaranku, belum pernah ada orang sakit yang tidak dapat disembuhkannya.”

Percakapan itu terpaksa berhenti karena Syanti Dewi melihat betapa Gak Bun Beng, dengan langkah-langkah lemah dan agak terhuyung, telah naik ke atas Jembatan Angkasa.

“Paman....!” Serunya lirih dan dia meninggalkan pemuda Pek-san-pai itu lari ke jembatan batu.

Gak Bun Beng berhenti, menengok dan memberi isyarat kepada Syanti Dewi agar tidak ikut naik. Dara itu tidak berani membantah, berdiri di kaki jembatan sambil memandang ke atas, mukanya pucat sekali dan pandang matanya penuh kekhawatiran.

Gak Bun Beng menghampiri dua orang ketua yang saling berdebat di atas Jembatan Angkasa itu. Melihat orang yang menderita sakit ini telah maju, Sin-kiam Lo-thong juga berlari-lari mendatangi dari ujung jembatan yang lain.

“Ha-ha-ha, engkau yang disebut Sin-ciang Yok-kwi? Majulah kalau memang engkau dijadikan jago oleh Pek-san-pai, melawan aku Sin-kiam Lo-thong jago Hek-san-pai!” Kakek bertubuh kanak-kanak itu menantang.

Bun Beng sudah tiba di atas jembatan, berdiri tegak dan mengatur pernapasannya, kemudian berkata dengan suara halus namun kata-katanya mengejutkan semua orang, terutama ketua Pek-san-pai,

“Cu-wi sekalian, memang aku datang dan melihat urusan ini timbul keinginan hatiku untuk mencampurinya. Akan tetapi, aku sama sekali tidak mewakili Pek-san-pai, tidak mewakili atau membantu kedua pihak, karena aku adalah pihak ketiga yang membutuhkan tempat dan sumber air ini!”

“Apa katamu....?” ketua Hek-san-pai membentak dengan mata melotot.

“Locianpwe.... apa.... apa artinya ini....?” Ketua Pek-san-pai juga bertanya heran.

“Keparat! Manusia berpenyakitan hampir mampus ini ternyata pengacau! Baik kubasmi dia!”

Sin-kiam Lo-thong berteriak marah dan untuk memperlihatkan kelihaiannya dan mencari jasa, dia sudah mencabut pedangnya dan menyerang Gak Bun Beng dengan tusukan kilat!

“Hemm....”

Pendekar ini menggeram. Biarpun tubuhnya lemah dan sebelah dalam dadanya nyeri, namun sekali ini dia mengerahkan sin-kang, dia dapat mengelak cepat dan tangan kirinya menampar ke arah sinar pedang yang berkelebat.

“Krekkkk! Aughhhh....!”

Pedang itu kena dihantam tangan miring Gak Bun Beng dan patah menjadi dua potong, bahkan sebuah tusukan jari tangan kanan yang cepat mengenai jalan darah di pundak Sin-kiam Lo-thong, membuat kakek bertubuh kecil itu terjengkang dan roboh tak dapat bangun kembali karena sudah tertotok lumpuh!

“Bawa dia pergi....!”

Bun Beng berseru kearah anak buah Hek-san-pai yang cepat berlari-lari datang dan dua orang itu lalu menggotong pergi Sin-kiam Lo-thong yang masih lumpuh kaki tangannya.

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian mereka menghadapi Gak Bun Beng dengan alis berkerut.

“Sebetulnya, apakah kehendakmu?” ketua Hek-san-pai yang melihat jagonya roboh itu bertanya.

“Locianpwe, bukankah Locianpwe mewakili kami sehingga kini fihak Pek-san-pai yang menang?” tanya ketua Pek-san-pai penuh harap.

Gak Bun Beng memandang mereka dengan mulut tersenyum mengejek.
“Aku tidak mewakili siapa-siapa. Sudah kukatakan bahwa aku mewakili diriku sendiri untuk memperebutkan tempat ini berikut sumber airnya.”

“Ahhh! Akan tetapi tempat ini adalah warisan dari nenek moyang kami kedua perkumpulan! Kami kakak beradik seperguruan saja yang berhak atas tempat ini!” bantah ketua Pek-san-pai yang merasa kecewa sekali.

Bun Beng memperlebar senyumnya.
“Kakak beradik seperguruan macam apa kalian ini? Kalau kalian sudah memperebutkan tempat ini dan setiap tahun bertanding, biarlah aku juga memperebutkannya. Akan tetapi alangkah curangnya kalau untuk kepentingan sendiri harus mengundang jagoan-jagoan bayaran. Hayo, kalian kakak beradik yang membutuhkan tempat ini majulah bersama melawan aku. Kalau kalian kalah, tempat ini menjadi milikku dan untuk keperluan air, kalian boleh membeli atau menyewa dariku. Kalau aku yang kalah, nah, tempat ini menjadi milik kalian berdua, keperluan air kedua pihak tentu dapat dicukupi tanpa adanya permusuhan dan perebutan.”

Dua orang saudara seperguruan yang sudah beberapa keturunan menjadi musuh karena air itu kini saling pandang. Mereka menjadi ragu-ragu dan penasaran. Urusan jembatan dan air adalah urusan dalam antara mereka sendiri, dan kini muncul orang luar yang hendak merampas tempat itu dan memaksakan diri masuk ke dalam perebutan turun-temurun itu!

“Apakah kalian ini telah menjadi orang-orang yang demikian pengecut, beraninya hanya ribut antara saudara sendiri dan takut untuk menentang orang luar?”

Bun Beng berkata lagi, nadanya amat menghina sehingga wajah kedua orang ketua itu menjadi merah.

“Siapa takut? Kami hanya menghormatimu karena nama besarmu sebagai Sin-ciang Yok-kwi....” kata ketua Peksan-pai.

“Aku bukan Yok-kwi (Setan Obat) atau setan apapun. Aku adalah Gak Bun Beng seorang perantau yang ingin memiliki jembatan dan sumber air ini. Kalau kalian takut, sudah saja kalian bayar sewa tahunan kepadaku untuk menggunakan air disini. Kalau berani, majulah!”

“Keparat, tempat ini akan kami pertahankan dengan nyawa!” bentak ketua Hek-san-pai.

“Bagus, kalau begitu majulah kamu berdua. Akan tetapi, kalian harus ingat akan pertaruhan dan janjinya. Kalau aku menang, kalian menjadi penyewa tempat ini dan membayar kepadaku. Kalau aku yang kalah, kalian harus berdamai dan tidak lagi memperebutkan tempat ini, memakainya sebagai milik bersama.”

Kedua orang ketua itu sudah menjadi marah sekali. Dari kanan kiri mereka maju menyerang Bun Beng. Pendekar ini diam-diam merasa gembira karena siasatnya berhasil baik. Maka dia juga bergerak dan menangkis tanpa mengerahkan tenaganya karena tadi begitu dia mengerahkan sin-kang ketika menghadapi Sin-kiam Lo-thong, dadanya terasa makin nyeri.

Biarpun kini dia tidak mengerahkan sin-kangnya, akan tetapi karena dia harus mengelak kesana kemari dan menangkisi pukulan-pukulan kedua orang ketua yang juga memiliki ilmu kepandaian cukup tinggi itu, Bun Beng merasa betapa kepalanya pening.

Akhirnya, pukulan ketua Hek-san-pai mengenai dadanya sedangkan pukulan ketua Pek-san-pai mengenai punggungnya. Bagi tubuh Bun Beng yang sudah memiliki daya tahan dan kekebalan luar biasa, pukulan-pukulan itu tidak berbahaya, namun cukup kuat untuk membuat kepalanya yang sudah pening menjadi makin pening, pandang matanya gelap dan robohlah dia dalam keadaan pingsan!

“Kalian manusia-manusia berhati kejam....!” Tiba-tiba Syanti Dewi berlari naik ke atas jembatan menudingkan telunjuknya ke arah muka kedua orang ketua itu dengan marah. “Butakah mata kalian?”

Kedua orang ketua itu terheran-heran. Tadinya mereka siap menghadapi dara ini karena mereka menyangka bahwa dara itu akan menuntut balas atas kekalahan Gak Bun Beng. Kini mereka saling pandang dan bingung.

“Sudah jelas bahwa paman Gak sengaja hendak memaksa kalian agar berdamai dan menghentikan permusuhan ini, permusuhan bersifat kanak-kanak yang memalukan! Paman Gak sengaja mengalah dan mengorbankan dirinya agar kalian menang dan berdamai. Kalau tidak, apakah kalian berdua akan dapat menang menghadapinya? Tidak kalian lihat tadi betapa dalam segebrakan saja dia mampu mengalahkan Sin-kiam Lo-thong? Buta! Kalian buta dan tidak mengenal budi!” Setelah berkata demikian, Syanti Dewi lalu berlutut dekat Gak Bun Beng.

Dua orang ketua itu terbelalak seperti disambar petir rasanya. Baru sekarang mereka mengerti. Mereka pun otomatis berlutut dekat tubuh Bun Beng yang masih pingsan.

“Maafkan kami, Nona. Biarlah kami menolong dan merawat locianpwe ini....” kata ketua Pek-san-pai.

“Kami memang bodoh dan locianpwe telah memberi pelajaran hebat kepada kami dengan mengorbankan diri. Maafkan kami, Nona. Kami akan berusaha merawat dan mengobatinya.”

Syanti Dewi bangkit berdiri.
“Apakah diantara kalian terdapat ahli pengobatan yang pandai?”

Dua orang ketua itu saling pandang, kemudian menggeleng kepala.

“Kalau begitu, tolong bawa paman Gak ke rumah, aku akan pergi menemui Sin-ciang Yok-kwi di Ci-lan-kok.”

Kembali kedua orang ketua itu tertegun.
“Jadi.... benarkah locianpwe ini bukan Sin-ciang Yok-kwi?”

“Kalian memang bodoh dan buta karena permusuhan picik ini. Dia adalah paman Gak Bun Beng yang sedang sakit dan kebetulan lewat di tempat ini. Aku mau pergi mencari Yok-kwi!”

Syanti Dewi sudah hendak lari ketika dua orang ketua itu berseru
“Tahan dulu, Nona!”

“Ada apalagi?”

“Sebaiknya kalau Gak-locianpwe dibawa saja ke puncak Ci-lan-kok menghadap dan mohon bantuan Sin-ciang Yok-kwi. Kalau Nona pergi kesana mengundangnya, tentu beliau tidak mau bahkan amat berbahaya bagi keselamatanmu.”

“Tidak! Paman Gak sedang menderita dan sakit berat, mana mungkin dibawa naik ke puncak? Aku akan mencarinya, menemuinya dan memintanya turun puncak mengobati paman Gak. Kalian rawat paman Gak baik-baik!”

Tanpa menanti jawaban lagi Syanti Dewi lari meninggalkan jembatan itu, tidak memperdulikan peringatan dan cegahan kedua orang ketua itu. Setelah mengadakan permufakatan, akhirnya Gak Bun Beng yang pingsan itu digotong ke tempat tinggal ketua Pek-san-pai dan selanjutnya kedua orang ketua yang masih terhitung kakak beradik seperguruan itu bersama-sama merawat Bun Beng dan nampak rukun sekali.

Melihat ini, otomatis para anak murid atau anak buah mereka menjadi girang dan tanpa diperintah mereka itupun menjadi rukun, berkelompok dan bercakap-cakap seperti sahabat-sahabat lama baru saling berjumpa lagi.

**** 042 ****





Tidak ada komentar:

Posting Komentar