FB

FB


Ads

Jumat, 13 Februari 2015

Kisah Sepasang Rajawali Jilid 041

Sambil tertawa-tawa jenderal itu memutar-mutar pedangnya dengan dahsyat, sedangkan Ceng Ceng yang sudah lelah sekali itupun menggerakkan kedua pisaunya untuk melindungi tubuhnya dan untuk mencari sasaran pada tubuh para pengeroyoknya yang masih bersisa tiga puluh orang lebih.

Ternyata bahwa dalam perang kecil yang tidak seimbang ini, Jenderal Kao, Ceng Ceng, dan tiga belas orang pengawalnya telah berhasil merobohkan tujuh puluh orang lebih!
Namun, kedua orang tua dan muda yang gagah perkasa itu sudah terlalu lelah dan terlalu banyak kehilangan darah yang keluar dari luka-luka mereka.

Biarpun jenderal itu masih tertawa-tawa membesarkan hati Ceng Ceng, namun gerakannya sudah lemah dan serbuan hebat dari kakek tua yang melawan Ceng Ceng tadi, dibantu oleh empat orang yang cukup lihai, membuat tangkisan pedang Jenderal Kao kurang kuat dan pedangnya terpental, terlepas dari tangannya.

Pada saat itu terdengarlah suara melengking panjang dan nyaring sekali, seperti suara burung rajawali atau garuda yang sedang marah datangnya dari arah selatan. Namun, Ceng Ceng tidak sempat memperhatikan suara melengking nyaring itu karena dia terkejut bukan main melihat Jenderal Kao terguling roboh di dekat Sumur Maut.

Sebelum jenderal itu dapat bangkit kembali, dua orang menubruknya dan mengangkat tubuh jenderal itu, kemudian dilemparkan ke arah Sumur Maut yang siap untuk mencaplok apa saja yang memasukinya!

“Heiiiiittt....!”

Ceng Ceng menyambitkan dua batang pisaunya dan tepat sekali dua batang pisau itu menancap ke dalam lambung dua orang yang mengangkat tubuh Jenderal Kao, mereka roboh, akan tetapi tubuh jenderal itu sudah terlempar kearah sumur!

Ceng Ceng berteriak keras, tubuhnya mencelat ke depan mendahului tubuh Jenderal Kao, kakinya menendang dan tubuh jenderal yang tinggi besar itu berhasil dapat ditendangnya, terpental keluar dari mulut Sumur.

Akan tetapi, hasil yang menyelamatkan nyawa Jenderal Kao ini ditebus dengan pengorbanan diri Ceng Ceng sendiri. Karena menendang tubuh berat dalam keadaan masih meloncat, tubuh dara perkasa itu terjengkang dan tepat terjatuh masuk ke dalam mulut Sumur Maut yang terbuka lebar, gelap dan mengerikan!

“Nona Ceng Ceng....!”

Jenderal Kao menjerit. Akan tetapi sia-sia saja, tubuh dara itu telah lenyap dan tidak terdengar apa-apa lagi dari dalam sumur.

“Keparat, kalian membunuhnya! Jahanam busuk, kalian harus mampus semua!”

Jenderal itu dengan suara serak karena menahan keperihan dan keharuan hatinya melihat Ceng Ceng yang menolongnya menjadi korban terjeblos ke dalam Sumur Maut, berteriak seperti seekor singa terluka kemudian dengan kedua tangan kosong dia mengamuk seperti seekor naga marah. Hatinya terasa sakit bukan main. Dia merasa amat kagum melihat kegagahan Ceng Ceng, kekaguman yang menimbulkan rasa sayang kepada dara remaja itu.

Tidak ada yang dapat menimbulkan kekaguman pada hati jenderal yang keras ini kecuali kegagahan, dan apa yang diperlihatkan oleh Ceng Ceng benar-benar menimbulkan kesan mendalam di hati jenderal ini. Sekarang, dia melihat dara itu tewas, terjeblos ke dalam Sumur Maut dan hal ini terjadi karena gadis itu menyelamatkannya. Tentu saja hal ini selain mendatangkan keharuan, juga membuat dia merasa sakit hati sekali, maka mengamuklah dia dengan nekat tanpa memperdulikan keselamatan dirinya sendiri!

Pada saat itu, Kao Liang bukan lagi seorang jenderal yang selalu mempergunakan siasat dalam perang, melainkan seorang pria yang sakit hati melihat orang yang dikagumi dan disayangnya seperti anak sendiri, tewas di depan matanya!

Biarpun tubuhnya sudah luka-luka, namun dengan kedua tangan kosong jenderal ini mengamuk dan robohlah berturut-turut enam orang pengeroyok terdekat. Akan tetapi, kini kakek lihai dan beberapa orang temannya yang juga memiliki kepandaian tinggi mengurungnya dan mendesaknya dengan serangan senjata mereka secara bertubi-tubi sehingga Jenderal Kao terdesak hebat.

Dalam belasan jurus saja panglima yang perkasa ini telah menderita luka-luka baru lagi. Dia sedikitpun tidak mengeluh, bahkan berteriak-teriak penuh kemarahan dan siap untuk mengadu nyawa.

Suara melengking nyaring terdengar dan keadaan menjadi kacau ketika tiba-tiba semua orang yang mengepung dan mendesak Jenderal Kao terlempar ke kanan kiri seperti disambar petir. Para pengeroyok terkejut melihat munculnya seorang pria setengah tua yang bercaping lebar, menggunakan capingnya itu untuk mengamuk dan siapapun yang terdekat pasti roboh oleh tamparan capingnya itu! Senjata-senjata tajam beterbangan terlepas dari pegangan pemiliknya disusul robohnya para pengeroyok.

Melihat munculnya orang yang demikian lihainya, maklumlah para kaki tangan pembecontak bahwa usaha mereka membunuh Jenderal Kao telah gagal. Timbul rasa gentar di hati mereka dan tanpa dikomando lagi, larilah sisa pemberontak itu meninggalkan gelanggang dimana berserakan teman-teman mereka yang menjadi korban pengamukan Ceng Ceng, Jenderal Kao dan tiga belas orang pengawalnya, dan yang terakhir laki-laki bercaping lebar itu.

Orang itu bukan lain adalah Gak Bun Beng, pendekar yang sakti. Bersama Puteri Syanti Dewi, Gak Bun Beng tiba di tempat itu dan segera turun tangan menolong ketika melihat Jenderal Kao dikeroyok banyak orang dalam keadaan terluka.

Tak lama kemudian, Syanti Dewi muncul pula dan wajah puteri itu membayangkan kengerian menyaksikan banyak orang yang tewas dan terluka. Tempat itu bergelimang darah dan peuh dengan suara rintihan mereka yang terluka dan belum tewas.

Ketika Jenderal Kao melihat siapa yang telah menolongnya, dia menjadi girang dan cepat menghampiri Gak Bu Beng.

“Aha, kiranya kalian pula yang muncul dan menyelamatkan aku dari ancaman maut! Bukankah engkau ini sahabat Gak Bun Beng yang pernah kujumpai di barat?”

Gak Bun Beng menjura dan berkata,
“Benar, Kao-taigoanswe, saya adalah Gak Bun Beng yang datang bersama anak saya dan kebetulan dapat membantu goanswe menghadapi para pemberontak itu.”

“Terima kasih.... terima kasih, engkau memang gagah perkasa....”

Tiba-tiba jenderal itu menghentikan kata-katanya, mendekati sumur dan melongok-longok ke dalam sumur, menarik napas panjang dan menggeleng-geleng kepala.

“Aihhhh.... sungguh kasihan.... menyesal bahwa engkau tidak datang lebih pagi, Gak-enghiong (orang gagah she Gak). Sayang dia, seorang gadis yang luar biasa, gagah perkasa dan berbudi, penuh keberanian, muda, cantik dan pandai, terpaksa harus mengalami nasib begini mengerikan....” Dengan kepalan tangannya, jenderal itu mengusap dua butir air mata dari bawah matanya!






Bun Beng mengerutkan alisnya.
“Apakah maksudmu, Taigoanswe? Siapakah yang kau bicarakan itu?”

“Engkau tidak tahu dan tentu tidak mengenalnya. Dia seorang dara perkasa dari barat, dari Bhutan....”

Tiba-tiba Syanti Dewi meloncat ke depan jenderal itu dan dengan suara penuh wibawa dia bertanya,

“Siapa dia? Siapa dara itu? Cepat katakan padaku!”

Jenderal Kao memandang heran. Sejak pertemuan pertama dahulu dia sudah merasa heran mengapa anak dari orang she Gak ini demikian cantik dan halus, demikian agung sikapnya, dan jelas pula bukan orang Han. Kini, menyaksikan sikapnya ketika bertanya, mengingatkan dia akan sikap puteri-puteri istana saja! Namun, karena tidak enak terhadap Gak Bun Beng, dia menjawab juga.

“Nona itu bernama Lu Ceng....”

Syanti Dewi menjerit, matanya terbelalak memandang ke Sumur Maut itu.
“Lu Ceng....? Candra Dewi....? Dan.... dia.... dia.... di manakah dia....?”

Jenderal Kao makin kaget. Dengan mata masih menatap wajah Syanti Dewi penuh selidik, dia menjawab,

“Untuk menolongku, dia telah mengorbankan dirinya dan terjatuh ke dalam sumur maut ini.”

Kembali Syanti Dewi menjerit dan sekali ini dia menjatuhkan diri berlutut di dekat sumur maut sambil menangis tersedu-sedu, Bun Beng juga terkejut karena dia sudah mengenal nama Lu Ceng atau Candra Dewi dari Puteri Bhutan ini. Akan tetapi Jenderal Kao yang menjadi terkejut dan terheran-heran. Sambil menghadapi Bun Beng dia bertanya,

“Gak-enghiong, apakah artinya ini?”

“Nona Lu Ceng adalah saudara angkat dari Puteri Syanti Dewi, dan terus terang saja, Tai-goanswe, yang menyamar sebagai anakku ini adalah Sang Puteri Syanti Dewi dari Bhutan yang dikejar-kejar pemberontak.”

“Ahhh....!”

Jenderal Kao terkejut bukan main. Tentu saja dia sudah mendengar pula akan nama Syanti Dewi, puteri raja Bhutan yang akan dijodohkan dengan Pangeran Liong Khi Ong dan yang hilang di dalam perjalanan ketika diboyong. Kiranya puteri ini masih selamat, tertolong oleh pendekar yang bernama Gak Bun Beng ini.

“Kao-goanswe, sudah lamakah nona itu terjerumus ke dalam sumur?” Gak Bun Beng bertanya setelah sejenak memandang kearah sumur itu.

“Baru saja,”

Jawab jenderal itu dengan suara serak karena dia menjadi makin terharu setelah melihat Puteri Bhutan itu menangisi kematian Ceng Ceng.

“Kalau begitu, biar saya mencoba untuk mencarinya!”

Gak Bun Beng cepat lari mencari tali yang banyak terdapat diantara para korban suku Bangsa Mongol karena mereka itu sudah biasa membawa tali untuk keperluan di dalam perantauan mereka, lalu menyambung-nyambung tali itu dan kembali ke dekat sumur dimana Jenderal Kao menantinya dengan heran.

“Gak-enghiong, apa yang akan kau lakukan?” tanyanya.

“Saya hendak mencarinya di dalam sumur, harap Goanswe suka memegangi tambang ini agar dapat menolong saya kalau di bawah sana terdapat bahaya.”

“Aihh, harap Gak-enghiong jangan melakukan ini!” Jenderal itu berseru kaget. “Sumur ini terkenal sebagai sumur maut dan siapa saja, apa saja yang masuk ke dalamnya, tidak pernah keluar lagi.”

“Betapapun berbahayanya, saya akan mencoba untuk mencarinya dan setidaknya memeriksa disebelah dalam. Siapa tahu kalau-kalau nona Lu masih dapat ditolong.”

“Paman.... Paman Gak.... benarkah saudaraku Candra Dewi masih dapat ditolong?”

“Mudah-mudahan saja.”

“Tapi.... tapi Paman sendiri? Jangan-jangan akan terancam bahaya di bawah sana....” puteri itu bergidik ngeri. “Kalau berbahaya.... harap jangan turun kesana....” Dia bangkit, menghampiri Gak Bun Beng dan memegang tangan pendekar itu.

Gak Bun Beng tersenyum.
“Tenangkanlah hatimu, Dewi. Disini terdapat Kao-goanswe yang akan memegangi ujung tali. Andaikata aku terancam bahaya, masih dapat ditolong.”

Akhirnya jenderal itu dan Syanti Dewi tidak membantah lagi, melainkan memandang dengan mata terbelalak dan jantung berdebar penuh ketegangan ketika mereka melihat betapa Gak Bun Beng mulai menuruni sumur yang kelihatan menganga hitam dan tidak dapat dilihat dasarnya itu.

Jenderal Kao memegangi ujung tali dengan kuat, mengulur tali sedikit demi sedikit ketika Bun Beng sudah mulai menuruni sumur. Sebentar saja, dua orang itu tidak lagi melihat bayangan Bun Beng yang lenyap ditelan kegelapan yang hitam pekat di dalam sumur itu.

Syanti Dewi berlutut di tepi mulut sumur sambil memandang dan kedua tangannya dirangkap di depan dada karena diam-diam dia berdoa demi keselamatan pendekar sakti itu dan demi tertolongnya Ceng Ceng.

“Aahhhhh....!”

Tiba-tiba Jenderal Kao berseru kaget, wajahnya berubah dan cepat-cepat dia menarik tambang itu dengan kedua tangannya secepatnya. Tadi, ketika dia mengulur tambang sampai hampir habis, tiba-tiba saja tambang itu menegang dan terasa berat, tidak bergerak lagi! Syanti Dewi memandang terbelalak dan pucat mukanya.

Biarpun dia sudah terluka, jenderal itu masih kuat sekali sehingga sebentar saja dia sudah dapat menarik keluar tubuh Gak Bun Beng dari dalam sumur. Tubuh yang tergantung pada ujung tambang yang mengikat pinggangnya dan ternyata pendekar itu telah pingsan dengan muka pucat dan kulit muka serta leher dan kedua tangannya agak kehitaman!

“Paman....!”

Syanti Dewi hendak menubruk tubuh pingsan yang kini direbahkan di atas tanah itu, akan tetapi Jenderal Kao cepat mencegahnya.

“Harap paduka mundur, dia keracunan, biar kucoba menyadarkannya!”

Mendengar ini, Syanti Dewi yang gelisah sekali itu hanya dapat memandang dengan air mata bercucuran, sedangkan Jenderal Kao yang berpengalaman itu lalu menempelkan kedua telapak tangan di dada dan perut Gak Bun Beng, mengerahkan sin-kangnya membantu pendekar itu untuk dapat bernapas lagi dan mengusir hawa beracun dari dalam dadanya.

Akhirnya Bun Beng dapat bernapas kembali dan mengeluh, lalu bangkit dan duduk, memegangi kepalanya yang terasa pening. Ketika dia membuka mata dan melihat Syanti Dewi menangis, dia berkata,

“Tenanglah, Dewi. Aku tidak apa-apa.”

Kemudian kepada Jenderal Kao dia berkata,
“Di bawah sana gelap sama sekali, dan dalamnya sukar diukur. Selagi aku masih tergantung, tiba-tiba ada tercium bau yang aneh dan napasku menjadi sesak, lalu tidak ingat apa-apa lagi.”

Jenderal itu mengangguk-angguk.
“Itu tentulah gas yang keluar dari dalam bumi. Sudah jelaslah nasib nona Lu.... kasihan dia....”

“Dia.... dia.... telah mati....”

Syanti Dewi menangis lalu berlutut di tepi sumur. Sejenak mereka bertiga memandang ke dalam sumur dan seperti mengheningkan cipta. Barulah mereka sadar ketika terdengar derap kaki kuda dan muncullah pasukan dari benteng di bawah pimpinan seorang perwira yang setia terhadap Jedecal Kao.

Perwira itu bernapas lega melihat atasannya selamat, kemudian menceritakan betapa wakil Panglima Kim telah melarikan diri begitu mendengar akan kegagalan rencananya. Juga dia melaporkan bahwa Pengawal Souw Kee It yang datang bersama Ceng Ceng ternyata telah dibunuh oleh Panglima Kim sendiri yang memimpin pemberontakan.

Jenderal Kao mengepal tinjunya.
“Tak kusangka! Akan tetapi, aku bersumpah untuk menangkap dan menghukum jahanam she Kim itu!”

Dia mendendam hebat karena menganggap bahwa kematian Ceng Ceng adalah gara-gara pengkhianatan Kim Bouw Sin. Bahaya yang mengancam dirinya sendiri, yang hampir menewaskannya, tidak teringat lagi olehnya karena sebagai seorang panglima yang telah puluhan tahun berkecimpung di dalam ketenteraan, ancaman maut baginya merupakan hal yang biasa saja. Akan tetapi kematian Ceng Ceng, hal itu sukar untuk dapat dilupakan oleh jenderal perkasa ini.

Jenderal Kao lalu mengajak Gak Bun Beng dan Puteri Syanti Dewi yang diliputi kedukaan itu ke bentengnya untuk diajak berunding. Bagaimanakah Gak Bun Beng dan Syanti Dewi dapat datang di sumur maut dan berhasil menyelamatkan Jenderal Kao sungguhpun mereka agak terlambat sehingga tidak dapat menyelamatkan Ceng Ceng? Untuk mengetahui hal ini, sebaiknya kita mundur dulu untuk mengikuti perjalanan dan pengalaman mereka yang hebat-hebat sampai mereka tiba di sumur maut itu.

Seperti kita ketahui, Gak Bun Beng melakukan perjalanan dengan susah payah bersama Syanti Dewi, meninggalkan kota raja menuju ke timur karena pendekar sakti itu jatuh sakit keras setelah jantungnya terguncang hebat dalam perjumpaannya dengan kekasihnya, yaitu Puteri Milana yang kini telah menjadi isteri orang lain.

Perjalanan ke utara itu bukan main sukarnya bagi Syanti Dewi. Gak Bun Beng benar-benar terserang penyakit yang payah. Sakit luar dalam! Sakit badan karena dia mengalami pukulan-pukulan dahsyat dari Siang Lo-mo, iblis kembar yang amat lihai itu. Sakit hatinya karena perjumpaannya dengan Milana membuat hati yang terluka itu pecah kembali!

Semua ini masih ditambah lagi oleh keharuan dan kegelisahan hatinya menyaksikan sikap Syanti Dewi kepadanya. Sikap seorang wanita muda yang membuat dia amat khawatir karena melihat gejala-gejala yang mencemaskan hatinya bahwa Puteri Bhutan itu telah jatuh cinta kepadanya! Hal ini membuat penyakit dalam di hatinya makin parah dan otomatis membuat dia makin berhutang budi kepada puteri itu karena makin parah sakitnya, makin tekun dan penuh ketelitian lagi sang puteri merawat dan menjaganya.

Luka yang diderita Bun Beng cukup parah, dan selama ini tidak diobati sama sekali, maka tentu saja keadaannya menjadi bertambah parah dan lemah. Andaikata hatinya tidak terluka sehebat itu, tentu dengan kepandaiannya yang tinggi, pendekar ini mampu mengobati luka dalam akibat pukulan sepasang iblis itu.

Akan tetapi, keadaan hatinya membuat dia seolah-olah tidak perduli lagi akan penderitaan tubuhnya. Andaikata tidak ada Syanti Dewi, tentu dia tidak mau melanjutkan perjalanan, dan akan menyerah kepada nasib dan bersembunyi di dalam hutan.

“Dewi, kau banyak mengalami kesengsaraan.... aku membuat kau menjadi sengsara saja....”

“Paman, jangan berkata demikian.”

“Betapapun juga, aku harus dapat membawamu menghadap Jenderal Kao Liang, baru akan tenang rasa hatiku akan tetapi.... ah, kesehatanku makin memburuk, padahal perjalanan ini tidak boleh ditunda-tunda....”

“Jangan khawatir, Paman. Aku akan merawatmu....”

Akan tetapi keadaan Bun Beng makin memburuk sehingga pada suatu hari dia tidak kuat berjalan lagi! Pendekar ini maklum bahwa kalau sampai dia mati sebelum bertemu dengan Jenderal Kao Liang, Syanti Dewi akan hidup tanpa pengawal dan keselamatannya terancam.

“Dewi, kau buatlah alat penyeret dari bambu.... kita harus melanjutkan perjalanan....”

“Aduh, Paman.... sakitmu bertambah parah, bagaimana kita dapat melanjutkan perjalanan? Marilah kita beristirahat dulu di hutan ini, biar aku yang merawat sampai Paman sembuh baru kita melanjutkan perjalanan ini.”

“Tidak! Harus dilanjutkan sampai tiba di benteng Jenderal Kao! Setelah tiba disana, tentu aku akan mendapat perawatan dan pengobatan. Sebelum tiba disana, bagaimana hatiku dapat tenteram?”

Sesungguhnya, Bun Beng ingin segera tiba di benteng Jenderal Kao adalah karena dia mengkhawatirkan keadaan Syanti Dewi, sama sekali bukan karena dia ingin memperoleh pengobatan.

Terpaksa Syanti Dewi tidak berani membantah dan gadis ini lalu membuat alat penyeret dan melanjutkan perjalanan sambil menyeret tubuh pendekar itu yang rebah telentang di atas anyaman bambu yang menjadi alat penyeret itu.

Dapat dibayangkan betapa sukarnya dara itu melakukan perjalanan seperti ini. Padahal mereka melalui gunung-gunung dan daerah-daerah tandus, melalui jalan yang amat sukar. Seorang puteri raja yang biasanya hidup mewah dan segala dilayani, segala tersedia, kini harus melakukan perjalanan sambil menyeret orang sakit seperti itu, mencari makan di tengah jalan yang tandus dan merawat orang sakit, dapat dibayangkan betapa hebat penderitaannya.

Namun, Syanti Dewi tidak pernah mengeluh dan selalu mendahulukan kepentingan Bun Beng daripada kebutuhan dirinya sendiri. Dia kurang makan, kurang tidur, kelelahan sampai tubuhnya menjadi kurus dan wajahnya agak pucat, kedua telapak tangannya yang memegang bambu seretan menjadi tebal dan kulit mata kakinya lecet-lecet!

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali Syanti Dewi sudah menyeret tubuh Bun Beng keluar dari sebuah hutan dimana semalam mereka bermalam di bawah pohon besar, dan kini dara itu mendaki daerah pegunungan yang penuh batu karang sehingga pagi-pagi sudah berpeluh.

Tanah pegunungan penuh batu itu kelihatan tandus, pohon dan tetumbuhan tidak dapat hidup subur, apalagi pada waktu itu telah tiba musim kering sehingga rumput-rumputpun menguning kering dan kehausan.

Ketika Syanti Dewi menuruni sebuah puncak batu karang dan tiba pada sebuah tikungan, tampaklah olehnya di depan, sebuah dataran dan dari jauh kelihatan gerakan beberapa orang yang sedang bertempur.

“Paman Gak, ada orang bertempur di depan sana!” dara itu berkata sambil berhenti.

“Hadapkan aku kesana, Dewi.” Bun Beng berkata lirih.

Syanti Dewi memutar alat penyeret itu sehingga Bun Beng dapat melihat ke depan. Setelah memandang sebentar, pendekar sakti yang sedang sakit itu berkata,

“Jalan saja terus dan jangan pedulikan mereka, Dewi. Biarpun si kecil itu dikeroyok tiga, dia tidak akan kalah.”

Syanti Dewi melanjutkan perjalanannya, matanya memandang ke arah orang-orang yang bertempur dan merasa heran sekali. Yang bertanding adalah empat orang dan merupakan pertempuran berat sebelah dan tidak adil karena seorang diantara mereka, seorang kanak-kanak, dikeroyok oleh tiga orang dewasa!

Panas juga hati Syanti Dewi menyaksikan betapa seorang anak kecil yang melihat tingginya tentu tidak akan lebih dari dua belas tahun usianya, yang hanya membawa sebatang ranting, dikeroyok oleh tiga orang tua yang gerakannya lihai bukan main.

Akan tetapi anehnya, anak kecil itu sama sekali tidak kewalahan, bahkan dengan gerakan rantingnya yang amat cepat, yang dimainkan seperti sebatang pedang, anak itu berhasil mendesak tiga orang pengeroyoknya!

Karena Gak Bun Beng sudah menyuruhnya agar tidak memperdulikan mereka, maka ketika tiba di dataran itu, Syanti Dewi terus berjalan sambil menyeret tubuh pendekar yang sedang sakit itu, sama sekali tidak mengeluarkan suara dan bahkan tidak menengok kearah empat orang yang bertempur itu.

Akan tetapi, ketika tiga orang lihai yang sedang mengeroyok anak kecil itu melihat Bun Beng dan Syanti Dewi, mereka mengeluarkan seruan girang, meloncat ke belakang menjauhi anak kecil yang mereka keroyok, lalu lari menghampiri Syanti Dewi dan menjatuhkan diri berlutut di depan dara itu sambil mengangkat kedua tangan memberi hormat. Tentu saja Syanti Dewi menjadi terkejut dan heran melihat ini, bingung karena tidak tahu apa artinya semua itu. Otomatis dia berhenti.

“Dewi, hadapkan aku kepada mereka.”

Bun Beng berkata lirih dan Syanti Dewi lalu memutar bambu penyeretnya sehingga pendekar itu rebah terlentang menghadapi tiga orang yang masih berlutut.

“Harap Lociapwe (orang tua yang gagah) sudi memaafkan kami bertiga yang tidak mengadakan penyambutan karena tidak tahu akan keadaan Locianpwe.”

Seorang diantara mereka, yang berkumis tebal, berkata dehgan sikap dan suara amat menghormat. Bun Beng mengerutkan alisnya. Dia mengerti bahwa orang-orang ini tentulah “salah alamat” dan mengira dia seorang lain.

Akan tetapi sebelum dia menjawab, dengan sekali gerakan kaki saja “anak kecil” itu sudah meloncat dekat dan sekarang tampaklah oleh Syanti Dewi kenyataan yang sudah dilihat oleh Bun Beng dari jauh tadi bahwa “anak kecil” itu sebetulnya bukanlah anak-anak lagi, melainkan seorang tua yang bertubuh kecil dan wajahnya kekanak-kanakan pula!

“Hei, kalian tiga orang Pek-san-pai (Perkumpulan Pegunungan Putih) yang pengecut! Hayo lanjutkan pertandingan kita, ataukah kalian hendak mengajukan orang mau mampus ini sebagai jago? Kalau benar demikian, hayo cepat maju dan lawanlah aku!”

Melihat orang tua bertubuh kanak-kanak ini yang bersifat sombong, Bun Beng mengurungkan niatnya untuk mengaku bahwa tiga orang itu salah mengenai orang. Dia kini diam saja dan mendengarkan sambil melihat keadaan. Tiga orang itu cepat menoleh dan berkata kapada si kecil,

“Engkau orang tua adalah jago undangan Hek-san-pai (Perkumpulan Pegunugan Hitam), akan tetapi hari ini bukanlah saatnya kita bertanding. Engkau mendesak kami, sungguh ini melanggar peraturan! Saat hari pertandingan adalah besok, di Jembatan Angkasa, akan tetapi mengapa kau mendesak kami?”

“Ha-ha-ha, katakan saja bahwa kalian takut! Pertandingan diadakan sekarang atau besok apa bedanya? Kalau kalian takut, lekas suruh ketua kalian maju, boleh juga kalau mengeroyok aku!”

Tiga orang itu kelihatan marah, akan tetapi juga tampak bahwa mereka itu memang merasa jerih menghadapi si kecil yang amat lihai itu, maka mereka kini memandang kepada Bun Beng dengan sinar mata penuh harapan. Melihat ini, Bun Beng dengan susah payah bangkit duduk diatas anyaman bambu itu, memandang kepada si kecil dan berkata,

“Kalau aku boleh bertanya, benarkah sudah dijanjikan bahwa saat pertandingan adalah besok pagi di Jembatan Angkasa?”

Melihat sinar mata Bun Beng yang amat tajam dan suaranya yang penuh wibawa, si kecil itu kelihatan ragu-ragu dan menjawab,

“Benar, memang saatnya besok di Jembatan Angkasa, akan tetapi kalau sama beraninya, sekarangpun, di tempat inipun kita dapat mengadu ilmu, mengukur kegagahan!”

Sambil berkata demikian, orang tua yang seperti anak-anak itu memutar ranting diantara jari-jari tangannya sehingga lenyaplah ranting itu, berubah menjadi segulungan sinar hijau.

“Sobat,” Gak Bun Beng berkata dengan suara halus namun sikapnya serius dan pandang matanya berwibawa, “seorang yang gagah perkasa tidak akan memamerkan kegagahannya, seorang yang mengerti tidak menonjolkan pengertiannya. Akan tetapi engkau terlalu mengandalkan kepandaianmu sehingga tidak lagi memandang kepada orang lain. Seorang yang jantan akan selalu memegang janji yang dihargainya lebih dari nyawa, akan tetapi engkau agaknya lebih suka melanggar janji antara dua partai.

Kegagahan seseorang bukanlah diukur dari keberaniannya berkelahi, karena sesungguhnya keberanian berkelahi yang nekat dan konyol hanyalah membuktikan bahwa dia dihantui rasa takut dan khawatir. Takut kalah, khawatir dianggap tidak gagah, khawatir tidak akan dipuji, khawatir tidak akan memperoleh nama besar, dan sebagainya lagi. Sobat yang baik, apakah engkau yang menurut percakapan tadi adalah seorang jago undangan dari Hek-san-pai, ingin disebut seorang yang nekat dan hanya berani karena merasa lebih kuat, dan seorang yang suka melanggar janji?”

Wajah si kecil itu sebentar pucat sebentar merah. Ranting di tangan kanannya menggigil, tangan kirinya yang kecil dikepal-kepal, matanya berapi dan dia sesungguhnya marah sekali. Akan tetapi karena apa yang diucapkan orang sakit itu tak dapat dibantah kebenarannya, sampai lama dia tidak mampu menjawab. Akhirnya dia membanting ranting di atas tanah, diinjaknya dan dia meludah di tanah, lalu berkata,

“Orang berpenyakitan! Aku menunggu kedatanganmu di atas Jembatan Angkasa besok. Hendak kulihat apakah kepandaianmu selihai mulutmu. Huhh!”

Dia membalikkan tubuhnya dan dengan beberapa kali loncatan saja si kecil itu sudah lenyap dari tempat itu.

Gak Bun Beng menarik napas panjang dan diam-diam merasa menyesal sekali karena kata-katanya yang dimaksudkan untuk menyadarkan orang bertubuh kecil itu, ternyata hanya mampu mengurungkan niat orang kecil itu untuk memaksa tiga orang lawannya berkelahi, akan tetapi bahkan mendatangkan rasa dendam di hati si orang kecil. Dia memandang kepada tiga orang yang masih berlutut di depannya, lalu bertanya,

“Harap sam-wi (saudara bertiga) sudi menjelaskan apakah sebenarnya yang telah terjadi disini?”

Syanti Dewi merasa lega juga melihat bahwa pamannya berhasil mengusir orang kecil tadi tanpa pertandingan, maka diapun lalu duduk diatas tanah dekat pamannya, mendengarkan penuturan orang berkumis tebal yang ternyata adalah suheng (kakak seperguruan) dari dua orang lainnya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar