FB

FB


Ads

Kamis, 08 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 036

Setelah Bun Beng melakukan perintah ini, Kwi-bun Lo-mo lalu membisikkan pelajaran sedikit demi sedikit caranya menggerakkan tenaga pada kaki dan tangan, mengatur bobot, memindah-mindahkan tenaga dalam untuk mengimbangi serangan angin yang amat dahsyat. Bun Beng mendengarkan dengan penuh perhatian, kemudian sekalian mempraktekkan pelajaran itu mencontoh gerakan kakek aneh dan membantunya mengemudikan layang-layang.

Dia sama sekali tidak tahu bahwa dalam keadaan berbahaya itu dia telah menerima pelajaran ilmu rahasia yang amat hebat, yaitu Ilmu Hoan-sin-kang (Memindahkan Tenaga Sakti) yang tidak hanya dapat dipergunakan untuk mengemudikan layang-layang melawan serangan angin taufan yang maha dahsyat, akan tetapi juga merupakan ilmu yang dapat dipergunakan untuk menghadapi lawan berat yang memiliki sin-kang amat kuat!

Ilmu ini merupakan ilmu tingkat tinggi yang dimiliki Ketua atau Majikan Pulau Neraka, dan selain Si Ketua sendiri, hanya kakek inilah orang ke dua yang memilikinya, maka dia berani main-main dengan maut di tempat berbahaya itu, yaitu bermain dan mengemudikan layang-layang.

Mati-matian kedua orang itu bertempur dengan angin taufan, bersama-sama mengemudikan layang-layang yang mereka paksa untuk menuruti kehendak mereka, melawan kehendak angin. Sampai setengah hari lamanya angin taufan mengamuk dan selama setengah hari itu merupakan latihan yang amat hebat bagi Bun Beng, latihan terberat yang pernah ia alami selama hidupnya, akan tetapi karena keadaan yang memaksa, demi menolong nyawa, dalam ilmu sependek itu dia telah berhasil memetik inti dari ilmu ini!

Menjelang senja, barulah angin taufan itu mereda, hujan pun berhenti. Dengan pakaian basah kuyup, kedua orang itu terengah-engah berdiri di atas tali dan berpegang pada tali layang-layang yang juga basah semua dan luntur gambarnya. Mereka kehabisan tenaga dan kini hanya mengandalkan kaki tangan yang sudah gemetar karena penat, tubuh menggigil kedinginan dan kehabisan tenaga. Akan tetapi kakek itu menyeringai tersenyum lebar memandang Bun Beng.

“Engkau hebat, orang muda. Ha-ha-ha, tidak percuma engkau menjadi putera Gak Liat, heh-heh-heh!”

Melihat betapa kakek itu bicara sebenarnya, tidak mengolok-olok dan memaki-maki lagi, Bun Beng berkata sungguh-sungguh.

“Locianpwe yang hebat dan aku kagum sekali. Sebetulnya, macam apakah mendiang Ayah itu?”

“Gak Liat? Ya begitulah, seorang manusia seperti aku dan engkau ini,” jawab kakek itu seenaknya.

“Tapi, banyak orang menyebutnya seorang jahat. Dan Locianpwe sendiri tadi mengatakan dia seorang yang licik dan curang.”

“Memang dia licik dan curang, nomor satu di dunia mengenai kelicikannya. Akan tetapi kalau tidak licik, mana mungkin dia menjadi datuk kaum sesat? Tanpa kelicikan, mana mungkin dapat menonjol di dunia hitam?”

Biarpun kakek itu mulai memuji ayahnya, namun pujian ini mendatangkan rasa tak puas di hati Bun Beng. Bagaimana hatinya akan senang dan puas kalau ayahnya dipuji sebagai seorang yang paling licik di dunia, sebagai seorang tokoh, bahkan datuk kaum sesat?

“Sudahlah, Locianpwe. Terima kasih atas pertolonganmu, aku hendak turun sekarang.”

Setelah berkata demikian, Bun Beng merosot turun dan biarpun kedua telapak tangannya menjadi panas karena tenaganya sudah hambir habis, namun rasa nyeri itu bukan apa-apa kalau dibandingkan dengan kesengsaraan selama setengah hari tadi dan ia merosot terus.

“He, tunggu! Apa kau kira aku selamanya akan tinggal di sini? Aku pun mau turun!”

Kakek itu bergegas turun pula dari tali layang-layang yang kini terbang dengan anteng dibawa angin semilir halus. Keduanya lalu merosot turun melalui tali layang-layang yang amat tinggi itu. Demikian tingginya layang-layang itu sehingga Bun Beng melihat pohon-pohon amat kecil di bawah, seperti rumput saja. Ia bergidik.

Bukan main kakek bermuka kuning itu, main-main dengan maut seperti itu. Apa sih senangnya bermain-main dengan layang-layang yang begitu tinggi? Memang menegangkan, seperti seekor burung garuda terbang di angkasa, akan tetapi bagaimana kalau tali layang-layang putus? Bagaimana kalau kehabisan angin dan layang-layang itu melayang turun? Benar-benar permainan yang berbahaya dan gila!

“Ha, Bun Beng, aku girang sekali dapat bertemu denganmu. Aku akan dapat memenuhi permintaan mendiang Ayahmu. Ikutlah bersamaku dan engkau akan memperoleh kepandaian hebat, apalagi kalau Pangcu kami bersedia membimbingmu. Ketua kami adalah seorang yang memiliki kepandaian seperti....”

“Iblis!” Bun Beng menyambung. “Ketua Pulau Neraka tentu seorang iblis.”

“Ha-ha! Engkau seperti Ayahmu. Memang benar kepandaiannya hebat seperti iblis sendiri.”

Bun Beng tidak menjawab dan mencari akal bagaimana dia akan dapat membebaskan diri dari kakek yang melorot turun di atasnya itu. Dia tidak sudi menjadi anggauta Pulau Neraka seperti dia tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang. Biar dia dijanjikan diberi pelajaran ilmu yang tinggi, yang tidak diragukannya lagi, akan tetapi satu-satunya yang ia mau menjadi gurunya hanyalah Pendekar Siluman!

Kalau Pendekar Siluman yang mengajaknya ke Pulau Es, tentu dia tidak akan menolak, bahkan akan menjadi girang sekali. Kini dia mencari akal bagaimana dapat melarikan diri dari kakek itu. Dia mempercepat gerakan kaki tangannya melorot turun, akan tetapi kakek itu tetap berada dekat di atas kepalanya!

Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil menggerak-gerakkan tangan ke bawah.
“Heiii....! Bangkotan busuk, pengecut laknat, jangan curang kau! Tunggu sampai aku turun dan kita boleh bertanding sampai selaksa jurus!”

Bun Beng cepat memandang ke bawah dan ia juga terkejut sekali. Di bawah sana, ia melihat bahwa tali layang-layang itu oleh Si Kakek aneh diikatkan pada sebatang pohon besar dan ujung tali malah dikaitkan kuat-kuat pada sebuah batu karang yang kokoh.

Kiranya setelah kakek itu berhasil menaikkan layang-layangnya sampai tinggi sekali, ia mengikat tali itu disana kemudian agaknya kakek itu lalu memanjat ke atas melalui tali layang-layang untuk kemudian bermain-main di atas!

Dan kini di dekat pohon itu tampak seorang kakek bersorban dengan tubuh dibelit-belit kain kuning seperti mendiang Kakek Naya-kavhira pembuat pedang yang dahulu datang menunggang gajah dan juga pernah bertanding dengan kakek muka kuning ini!

Di belakang kakek ini tampak seorang laki-laki tampan dan yang membuat Bun Beng merasa terkejut adalah ketika melihat betapa kakek bersorban itu menghampiri tali layang-layang dan agaknya hendak memutus tali itu!

“Ha-ha-ha!”

Kakek itu tertawa bergelak dan agaknya Kwi-bun Lo-mo baru tahu bahwa kakek bersorban itu bukanlah kakek India penunggang gajah yang dulu pernah bertempur dengannya. Tentu saja Bun Beng mengerti bahwa kakek di bawah itu bukan Nayakavhira karena biarpun hampir sama, kakek di bawah itu lebih tinggi dan kurus, juga kulitnya lebih hitam.






“Setan India! Jangan curang, tunggu aku turun kalau berani!”

Kembali Kwi-bun Lo-mo berteriak sambil melorot makin cepat mengikuti Bun Beng, akan tetapi jarak antara mereka dengan tanah masih terlampau tinggi sehingga kalau sekarang tali itu diputus, mereka akan celaka!

“Bun Beng, kau melorot sambil bergantung. Jangan menghalangi aku. Kalau dia berani memutus tali, akan kuarahkan jatuhku ke tubuh si keparat itu!”

Kwi-bun Lo-mo berseru dan Bun Beng melanjutkan gerakannya merosot sambil bergantung ke bawah.

“Ha-ha-ha, kalian berdua bermain-main dengan maut. Nah, mampuslah!”

Orang India yang tertawa-tawa itu meloncat dekat dan menggerakkan tangan hendak memutus tali layang-layang. Bun Beng sudah merasa ngeri, apalagi setelah kini mengenal kakek India itu sebagai kakek sakti yang pernah bertanding melawan Pendekar Siluman, pertadingan yang amat luar biasa dimana kedua orang sakti itu mempergunakan ilmu sihir sehingga yang bertanding adalah bayangan atau semangat mereka! Celaka, pikirnya, andaikata mereka dapat turun juga, ia merasa ragu-ragu apakah Kwi-bun Lo-mo mampu menandingi kakek yang memiliki ilmu sihir itu!

Dan laki-laki yang berada di belakang kakek bersorban itupun dia kenal, karena laki-laki itulah yang dahulu pernah menculik Kwi Hong, laki-laki berpakaian sasterawan yang setengah gila dan yang mencuri pedang pusaka buatan Kakek Nayakavhira!

Tiba-tiba berkelebat bayangan yang gesit sekali dibarengi bentakan halus,
“Iblis tua keparat!”

Muncullah seorang dara yang gerakannya gesit sekali. Bayangannya didahului sinar dari pedangnya yang ia pergunakan untuk menerjang kakek bersorban dengan gerakan luar biasa, pedangnya membentuk lingkaran pada ujungnya seolah-olah hendak mengguratkan lingkaran pada dada kakek bersorban.

Menghadapi serangan hebat ini, kakek ini berseru kaget dan cepat meloncat mundur, tidak mendapat kesempatan untuk memutus tali layang-layang. Namun dara itu terus menyerangnya dengan gerakan luar biasa, pedangnya lenyap menjadi sinar bergulung-gulung yang seolah-olah merupakan awan atau kabut menggulung tubuh kakek bersorban!

“Hayo cepat turun!”

Kwi-bun Lo-mo berseru. Tanpa diperintahpun Bun Beng sudah mempercepat gerakannya merosot turun dan bukan main lega hatinya setelah kedua kakinya merasai tanah yang teguh dan kuat. Hampir saja ia terhuyung karena setelah kini menginjak tanah, tubuhnya masih terasa ringan seolah-olah tak berobah, seperti orang mabok arak.

Akan tetapi semenjak tadi pandang matanya tidak terlepas dari dara yang masih menyerang kakek bersorban. Bukan main hebatnya terjangan gadis itu dan jantung Bun Beng berdebar tegang. Ketika ia mengenal dara itu. Biarpun kini telah menjadi seorang gadis dewasa yang amat cantik, namun tidak salah lagi, dia itu adalah Giam Kwi Hong, murid atau juga keponakan Pendekar Siluman! Kakek bersorban itu, Bun Beng tahu amat sakti, sampai terdesak mundur, repot mengelak dari sambaran pedang di tangan Kwi Hong.

“Ha-ha-ha-ha, kiranya engkau bukan tua bangka penunggang gajah!”

Kwi-bun Lo-mo tertawa dan pada saat Maharya, kakek India itu mencelat ke kanan untuk menjauhi sinar pedang Kwi Hong dan berada dekat dengannya, Kwi-bun Lo-mo cepat menghantamnya dengan kedua lengan didorongkan ke depan. Terdengar bunyi bersuit dan angin menyambar ke arah kakek bersorban yang cepat mendorongkan pula kedua tangannya menangkis.

“Dessss!” Dua tenaga sin-kang raksasa bertemu dan kedua orang kakek itu terpental ke belakang.

“Wah-wah, kau hebat juga....!” Kwi-bun Lo-mo berseru kaget.

“Mundur kalian bertiga....!”

Tiba-tiba Maharya membentak, suaranya menggeledek penuh wibawa yang aneh dan bagaikan menanti perintah yang tak dapat dibantah lagi karena segala kemauan hati mereka dikuasai perintah ini, Kwi-bun Lo-mo, Kwi Hong dan Bun Beng otomatis meloncat mundur sampai lima meter!

“Locianpwe, Nona Kwi Hong, awas dia mempunyai ilmu sihir! Jangan memandang matanya dan jangan mendengar suaranya!”

Bun Beng cepat berteriak, kemudian ia mendahului menerjang laki-laki yang sejak tadi hanya menonton Maharya bertanding dengan Kwi Hong. Laki-laki ini bukan lain adalah Tan Ki atau Tan-siucai yang tadi bengong memandang Kwi Hong dengan penuh gairah. Dia tadi tidak membantu karena tentu saja ia percaya penuh akan kesaktian gurunya.

Akan tetapi melihat betapa dua orang yang secara aneh turun dari tali layang-layang itu bukan orang sembarangan pula, apalagi kini Bun Beng meloncat maju dan menyerangnya dengan gerakan dahsyat, dia terkekeh, memandang rendah pemuda itu dan mengelak sambil balas menyerang.

Bun Beng menjadi heran melihat gerakan lawan yang luar biasa, kedua kaki lawan tidak meninggalkan tanah, akan tetapi tubuhnya bisa meliuk-liuk dengan lemas, seperti sebatang pohon cemara pecut tertiup angin. Tubuh atas itu meliuk ke kiri, kemudian membalik sambil balas menyerang dengan tangan kanan menghantam perutnya.

Ketika ia menangkis dan menggeser kaki kanan, tahu-tahu tangan kiri lawan sudah mencengkeram kepalanya, hal yang luar biasa sekali mengingat bahwa tangan kiri lawannya itu berada dalam posisi jauh. Tangan kiri itu tiba-tiba memanjang, seperti karet yang dapat mulur dan tahu-tahu jari-jarinya telah dekat dengan kepalanya.

“Eh....!”

Ia berseru dan cepat meloncat mundur sambil melepas tendangan ke arah lengan yang sudah ditarik kembali oleh Tan-siucai sambil terkekeh-kekeh.

Sementara itu Kwi Hong yang terheran-heran mendengar pemuda tampan itu menyebut namanya, teringat bahwa Maharya memang pandai ilmu sihir, maka otomatis iapun mentaati peringatan pemuda itu, tidak mau memandang mata kakek bersorban dan dengan kekuatan batinnya ia “menulikan” telinga agar jangan mendengar bentakan Si Kakek tukang sihir yang mengandung penuh daya melumpuhkan itu. Ia sudah menerjang maju lagi dengan tusukan pedangnya, disusul serangkaian serangan hebat yang membuat Maharya kembali terdesak.

Kwi-bun Lo-mo yang kini sudah dapat menguasai dirinya kembali setelah tadi terpengaruh sihir Maharya, merasa kagum kepada Bun Beng yang semuda itu sudah tahu akan ilmu kakek bersorban. Diapun maklum bahwa ilmu sihir semacam I-hun-to-hoat untuk mempengaruhi pikiran orang mengandalkan kekuatan pandang mata dan getaran suara yang mengandung sin-kang kuat sekali, maka apabila dapat mengelakkan pandang mata dan suara itu tentu sihir itu tidak akan mempunyai daya kekuatan. Maka iapun menutup pendengaran dan menghindarkan pertemuan pandang mata, lalu tertawa mengejek.

“Heh-heh-heh, kau dukun dari Himalaya yang busuk, tanpa sebab kau hendak memutus tali layang-layangku. Sekarang kau kena kutuk para dewamu, bertemu dengan seorang pemuda yang cerdik, seorang dara yang lihai sekali, dan aku yang akan mengirim nyawamu kembali ke puncak Himalaya!”

Sambil mengejek demikian, Kwi-bun Lo-mo maju pula menerjang, membantu Kwi Hong. Karena tokoh Pulau Neraka inipun maklum bahwa Maharya bukanlah seorang lemah, bukan hanya mengandalkan ilmu sihirnya melainkan memiliki ilmu kepandaian hebat pula dan bertenaga sin-kang kuat sekali, maka begitu menyerang iapun mengerahkan tenaga dan menggunakan jurus khas dari Pulau Neraka, kedua tangannya tiba-tiba berubah menjadi lunak seperti kapas, namun di balik telapak tangan yang menjadi lunak ini tersembunyi kekuatan dahsyat yang akan merusak sebelah dalam tubuh lawan jika bertemu dengan tangan lunak ini.

Sesuai dengan namanya yaitu Toat-beng-bian-kun (Tangan Lemas Mencabut Nyawa), ilmu ini adalah ilmu baru yang diterimanya dari Ketua Pulau Neraka. Karena ilmu pukulan tangan kosong ini telah digabung dengan ilmu khas keturunan Pulau Neraka, yaitu hawa dan tenaga beracun yang membuat warna kulit mereka berubah, maka tentu saja pukulan-pukulan tangan yang kelihatannya lemas tak bertenaga dan lunak itu mengandung bahaya mengerikan dan setiap gerakan merupakan maut bagi lawan!

Maharya yang biasanya memandang rendah setiap lawan, kini terkejut sekali. Biarpun tadi ia kelihatan terdesak oleh gulungan sinar pedang Kwi Hong yang seperti kilat menyambar-nyambar, namun dia tidak gentar dan menghadapi dengan tangan kosong saja.

Akan tetapi, setelah sekali menangkis dan lengannya tersentuh tangan Kwi-bun Lo-mo yang mengandunng Ilmu Toat-beng-bian-kun dan membuat lengannya panas dan gatal, ia terkejut bukan main, berteriak keras dan melompat mundur sambil menggerakkan kedua tangannya ke sebelah dalam pakaiannya.

Kini ia telah memegang sepasang senjata yang amat aneh. Tangan kirinya kini telah memakai sarung tangan yang berkilauan seperti emas, sedangkan tangan kanannya memegang seekor ular putih yang kecil dan panjangnya hanya dua kaki, akan tetapi ular putih itu masih hidup!

“Ha-ha-ha, dukun hitam, apa engkau mau main sulap mencari uang kecil? Bukan disini tempatnya, melainkan di pasar! Aku tidak mempunyai uang kecil sepeserpun, apalagi yang besar!”

Sambil tertawa mengejek, Kwi-bun Lo-mo menerjang lagi dengan tangannya yang beracun, maklum bahwa pertemuan yang satu kali tadi, biarpun tentu saja tidak akan melukai lawan yang begitu pandai akan tetapi sedikitnya membuat hati lawan gentar.

Kwi Hong yang tidak banyak bicara sudah menusukkan lagi pedangnya. Kini Maharya tidak mengelak, melainkan menggerakkan tangan kiri yang bersarung tangan emas itu menangkap pedang. Bukan main kagetnya Kwi Hong karena merasa pedangnya tergetar. Ia menarik kembali pedangnya dan pada saat itu Maharya melepas pedang sambil menggunakan tenaga sin-kang mendorong.

“Aihhh!”

Hanya dengan melempar tubuh ke belakang dan berjungkir balik di udara sampai lima kali Kwi Hong dapat menghindarkan diri dari tolakan tenaga sin-kang yang dapat melukai isi dadanya itu! Ia terkejut dan maklum bahwa selain sarung tangan yang dipakai kakek India itu tidak mempan senjata, juga bahwa tenaga kakek itu masih jauh melampaui tenaganya sendiri!

Kini Kwi-bun Lo-mo sudah menerjang maju menggunakan tangan kanan memukul dengan tangan lunaknya yang beracun untuk memberi kesempatan gadis berpedang itu memulihkan kedudukannya. Maharya mengangkat tangan kiri, menangkis pukulan itu dan tangan kanannya digerakkan.

“Plakkk!”

Kedua tangan bertemu dan Kakek Kwi-bun Lo-mo terkejut karena tangan bersarung emas itu kiranya sanggup menerima pukulan Toat-beng-bian-kun, dan kini secara tiba-tiba ular yang dipegang ekornya itu melayang dan menyambar lehernya dengan mulut terbuka lebar, mendesis dan menggigit! Ia cepat miringkan kepalanya akan tetapi tetap saja ular itu dapat menggigit pundaknya.

“Mampus kau!” Maharya berseru girang.

“Ha-ha-ha, gigitan cacing itu enak sekali rasanya, menambah vitamin di tubuhku. Suruh dia gigit lagi, dukun India! Ha-ha-ha!”

Biarpun pundaknya mengeluarkan sedikit darah, akan tetapi Kwi-bun Lo-mo masih tertawa-tawa. Di dalam tubuhnya yang berkulit kuning itu telah mengalir darah yang penuh racun, mana dia takut akan segala gigitan ular beracun?

Kakek India itu kaget dan dengan marah ia lalu menyerang kedua orang pengeroyoknya, bukan hanya ularnya yang terayun-ayun mengancam lawan dengan gigitan beracun, juga tangan kirinya yang tidak takut menghadapi senjata tajam atau pukulan beracun itu merupakan tangan maut yang setiap saat menyambar hendak mencabut nyawa lawan.

Tan-siucai yang tadinya memandang rendah Bun Beng, menjadi terkejut bukan main ketika mendapat kenyataan bahwa pemuda itu benar-benar lihai sekali ilmu silatnya. Tadinya ia menganggap bahwa seorang muda seperti itu akan mudah ia robohkan dengan ilmunya “tangan panjang,” yaitu lengan yang dapat ia ulur sampai hampir dua kali panjang normal.

Banyak sudah lawan yang roboh oleh ilmunya ini karena tidak menyangka-nyangka bahwa tangan itu dapat mulur seperti karet. Akan tetapi, pemuda itu hanya sebentar saja terkejut, kemudian sudah dapat menjaga diri dan mengirim serangan dengan jurus-jurus yang dahsyat, yang mendatangkan angin keras dan membuat Tan-siucai bingung.

Maklum bahwa ia berhadapan dengan murid orang pandai, Tan-siucai berteriak keras dan tampaklah sinar hitam ketika ia mencabut pedangnya, sebatang pedang hitam yang mengeluarkan bau amis seperti telur itik membusuk. Dengan pedangnya ini ia menerjang dan mengobat-abitkan pedang, merupakan sinar yang menyambar-nyambar ke arah tubuh Bun Beng.

Bun Beng memang tadinya terkejut menyaksikan lengan yang bisa mulur panjang. Akan tetapi kemudian ia mendapat kenyataan bahwa lawannya itu biarpun bertenaga kuat dan memiliki ilmu aneh tidaklah seberat yang ia kira dan tidak memiliki dasar ilmu silat yang tangguh. Maka ia sudah mendesak dengan jurus-jurus Siauw-lim-pai yang kuat sehingga dua kali memukul bahu kanan dan menendang paha kiri lawan.

Biarpun pukulan dan tendangan ini meleset dan tubuh lawan memiliki kekebalan setidaknya lawannya menjadi panik sehingga mencabut pedang hitam! Bun Beng tidak menjadi jerih, bahkan ia makin lega hatinya. Gerakan pedang itu lebih didorong rasa marah daripada gerakan ilmu pedang yang tinggi nilainya, maka baginya, pedang hitam itu tidaklah sebahaya tangan kosong yang dapat mulur mungkret tadi. Biarpun lengan itu masih dapat mulur, akan tetapi karena disambung pedang, lebih mudah dapat dilihat arah gerakannya, tidak seperti kalau tangan kosong dapat mencengkeram, menangkap, mendorong atau memukul, sukar sekali diduga.

Namun, harus ia akui bahwa lawannya mainkan pedang secara aneh dan istimewa, dengan ilmu pedang yang tidak dikenalnya sama sekali. Pedang itu selalu datang menyerangnya dengan tiupan angin, dan bukan hanya pedang yang menyerangnya melainkan selalu dibarengi dengan pukulan atau tendangan, seolah-olah seluruh daya serang lawan dikumpulkan untuk menghantamnya,

Bun Beng harus mengandalkan kelincahan tubuhnya yang segera pulih kembali begitu ia menghadapi bahaya. Kalau begini terus, bagaimana aku bisa menang, pikirnya. Serangan lawan ini mengingatkan ia akan serangan angin taufan ketika ia berada di atas layang-layang bersama Kwi-bun Lo-mo. Serangan angin taufan!

Tiba-tiba ia teringat akan pelajaran kakek Pulau Neraka itu untuk menghadapi serangan angin taufan. Perhatikan dari mana angin menyerang, jangan menentang, ikuti tiupannya akan tetapi harus dapat kau kendalikan sehingga mudah untuk menyimpang. Pindahkan hawa dan tenaga sakti sesuai dengan serangan angin, jangan biarkan kita terseret akan tetapi berusaha selalu berada di atasnya, menunggang angin.

Demikianlah antara lain inti pelajaran yang ia terima di atas layang-layang sambil mencontoh gerakan kakek Pulau Neraka. Kini, serangan-serangan lawannya dengan pedang hitam itu seperti angin, mengapa tidak ia coba mengatasinya dengan pelajaran baru di atas laying-layang?

“Wuuuutttt!”

Tan-siucai kembali menyerang dengan hebat, dengan semangat menyala dan keyakinan bahwa dia tentu akan dapat membunuh pemuda yang sudah tak mampu balas menyerang itu. Pedang hitamnya menusuk dada, tangan kirinya mendorong dengan pukulan ke arah pusar, dan kaki kanannya sudah siap menyusulkan tendangan!

Bun Beng tidak menggunakan cara mengelak seperti tadi. Dengan ilmu baru menundukkan angin taufan, tubuhnya yang tadinya miring, dengan kaki kanan di depan itu, ia pindahkan kaki dan tenaga pada kaki kiri, lalu kedua tangannya diangkat ke atas seolah-olah ia memegangi tali-temali layang-layang dan tubuhnya meloncat ke atas tinggi sekali sehingga pukulan dan tusukan lewat di bawah kakinya yang ditekuk ke dada.

Tendangan lawan menyusul, ia terima dengan kedua kakinya, menginjak kaki lawan yang menendang dan meminjam tenaga ini ia ayun tubuhnya ke atas dan meluncur ke depan melalui atas kepala lawan, kemudian membalik dan memindahkan tenaga lagi ke kaki kiri yang turun menginjak lawan.

“Plakk! Augg....!”

Pundak kanan Tan-siucai terkena injakan kaki Bun Beng, lumpuh rasa seluruh lengan kanannya dan pedang hitam itu terlepas. Bun Beng cepat turun menyambar dan pedang hitam telah berada di tangannya!

Tan-siucai membalik dan matanya merah saking marahnya memandang Bun Beng yang kini tersenyum-senyum memegang pedang hitam! Ia girang sekali karena dengan ilmu barunya itu ia berhasil! Pemuda ini memang cerdik sekali sehingga dia dapat menggunakan ilmu baru yang bagi orang lain tentu hanya dapat dipergunakan untuk mengendalikan layang-layang melawan angin taufan itu untuk melawan musuh yang lihai.

Sambil tersenyum, ia lalu menubruk maju dan menyerang Tan-siucai dengan pedang hitam. Tan-siucai memekik, tangan kirinya bergerak dan sinar putih yang amat terang menyilaukan mata berkelebat menangkis pedang.

“Cringggg!” kini Bun Beng yang kaget bukan main karena pedang hitam rampasan itu telah patah menjadi dua!

“Hok-mo-kiam....!”

Ia berseru keras dan cepat menjatuhkan diri bergulingan karena pedang putih yang kini berada di tangan lawan itu, setelah membabat patah pedangnya, sinarnya masih terus menerjangnya! Ia meloncat bangun dan memandang dengan mata terbelalak. Tak salah lagi, tentu itulah Hok-mo-kiam, pedang yang dibuat oleh Kakek Nayaka-vhira dan yang dicuri oleh pemuda sinting ini bersama gurunya, Kakek Maharya!

Gentar juga hati Bun Beng menyaksikan pedang bersinar putih yang mengandung penuh wibawa mujijat itu, dan ia siap siaga berkelahi mati-matian, mengandalkan kelincahannya karena apa artinya pedang buntung yang toh patah lagi kalau bertemu dengan Hok-mo-kiam?

Ia tahu bahwa Pendekar Siluman dan mendiang Kakek Nayakavhira memberi nama Hok-mo-kiam (Pedang Penakluk Iblis) pada pedang itu, yang khusus dibuat untuk menundukkan Siang-mo-kiam (Sepasang Pedang Iblis). Teringatlah ia akan sepasang pedang bersinar kilat yang ia simpan di dalam guha rahasia di tempat tinggal para pemuja Sun-go-kong.

“Kembalikan pedang itu!”

Tiba-tiba tampak bayangan berkelebat dan Kwi Hong telah meninggalkan Kakek Maharya, menyerang Tan-siucai dengan pedang di tangannya. Serangan yang hebat sekali, dilakukan dengan tubuh masih melayang di udara, dengan kecepatan seperti kilat menyambar didorong oleh tenaga sin-kang yang kuat sekali.

Biarpun otaknya sinting, Tan-siucai mengenal serangan maut, dia lalu menggeser kaki ke kiri, menggerakkan pedangnya menangkis sambil mendorongkan tangan kirinya untuk mencegah dara perkasa itu memukulnya.

“Tranggg!”

Tampak bunga api muncrat dan Tan-siucai memekik kaget, pedangnya terlepas akan tetapi cepat-cepat ia sambar kembali karena gadis itu tidak sempat menyerangnya lagi. Ternyata bahwa kini Kwi Hong juga hanya memegang sebatang pedang buntung, persis seperti yang dialami Bun Beng.

Dengan mata terbelalak, Kwi Hong memandang pedangnya dan diam-diam ia merasa amat kagum akan keampuhan Hok-mo-kiam yang dibuat oleh Kakek Nayaka-vhira itu. Pedangnya adalah pemberian pamannya, sebatang pedang pusaka yang cukup ampuh, namun sekali bertemu dengan Hok-mo-kiam menjadi patah!

Padahal sudah jelas bahwa dia menang tenaga dan pedang di tangan Tan-siucai itu sampai terlepas. Ia makin marah dan penasaran, bertekad untuk merampas kembali pedang yang dahulu dicuri oleh orang itu, tubuhnya menerjang maju dengan pukulan-pukulan kilat yang biarpun Tan-siucai memegang sebatang pedang pusaka, akan berbahaya sekali bagi sasterawan sinting itu.

“Plakkk!”

Pukulan Kwi Hong tertangkis oleh tangan Maharya yang bersarung tangan. Kiranya kakek ini sudah meloncat meninggalkan Kwi-bun Lo-mo untuk melindungi muridnya, terutama menjaga agar pedang pusaka itu tidak terampas lawan.

“Ho-ho, kau hendak lari kemana, dukun keparat?” \

Kwi-bun Lo-mo tertawa dan melompat pula mengejar. Kini pertandingan menjadi kacau-balau dan akhirnya kini Bun Beng dan Kwi-bun Lo-mo mengeroyok Maharya, sedangkan Kwi Hong masih bertanding melawan Tan-siucai.

Karena maklum bahwa gadis itu berbahaya sekali, Tan-siucai memutar pedangnya dan berlindung di balik gulungan sinar pedang. Benar saja, sinar pedang itu demikian hebat dan mengandung wibawa yang amat kuat sehingga biar Kwi Hong lihai, gadis ini tidak berani sembrono mendesak maju, melainkan berusaha mencari lowongan tanpa terancam sinar pedang yang ia tahu amat ampuh.

“Nona yang perkasa! Bun Beng, mundur!”

Tiba-tiba Kwi-bun Lo-mo berteriak keras dan terdengarlah ledakan disusul membubungnya asap hitam yang tebal, menggelapkan keadaan disitu. Ternyata kakek Pulau Neraka ini telah melempar sebuah senjata rahasia khas Pulau Neraka, senjata peledak yang mengeluarkan asap hitam beracun.

Kwi Hong dan Bun Beng melompat mundur, melihat betapa di tempat berdirinya dua orang lawan itu kini tertutup oleh asap hitam. Ketika asap membuyar tertiup angin dan mereka memandang, ternyata Tan-siucai dan Maharya telah lenyap dari tempat itu, tanpa meninggalkan bekas.

Kwi-bun Lo-mo mengerutkan alisnya, mengomel.
“Sialan! Mereka benar-benar amat lihai dapat menyelamatkan diri dari asap beracun. Dukun India itu benar-benar merupakan lawan yang lebih tangguh daripada dukun penunggang gajah. Hayaa....!”

Kwi Hong melangkah maju dan menudingkan telunjuk kirinya ke arah muka kakek itu.
“Tua bangka lancang! Kenapa kau melenyapkan mereka?”

Tanpa menanti jawaban, dengan pedang buntungnya ia menyerang Kwi-bun Lo-mo. Serangannya hebat sekali dan pedang buntungnya itu masih amat berbahaya, membabat ke arah perut kakek itu yang tentu akan tersayat robek kalau sampai terkena.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar