FB

FB


Ads

Sabtu, 03 Januari 2015

Sepasang Pedang Iblis Jilid 018

Ketika Suma Han meloncat turun dari burung garudanya di depan Istana Pulau Es, tiga orang pembantu utamanya yang menyambutnya memandang dengan penuh perhatian. Terutama sekali Phoa Ciok Lin yang menjadi kepala pengurus bagian dalam, seorang wanita muda yang cantik jelita, memandang wajah Suma Han dengan mengerutkan alisnya yang hitam kecil dan panjang. Dia melihat sesuatu pada wajah yang menjadi pujaan hatinya.

Dia tahu bahwa pendekar yang dikaguminya itu menderita tekanan batin yang hebat sekali. Biarpun pendekar itu dapat menutupinya dengan hati sehingga tidak tampak sedikitpun ketegangan urat syarafnya, namun wajah yang tampan itu terselubung kemurungan yang amat mendalam.

Yap Sun, wakil bagian luar Pulau Es yang bertubuh gemuk berusia lima puluh tahun itu pun mengerti bahwa majikan-nya sedang berduka, demikian pula Thung Sik Lun, sutenya yang kurus. Namun pandangan mereka tidak setajam Phoa Ciok Lin yang lebih menggunakan perasaan hatinya.

“Kami mohon maaf kepada To-cu bahwa kami tidak berhasil mencari Siocia. Apakah To-cu juga tidak berhasil?”

Yap Sun melapor dan sekaligus bertanya sungguhpun dia sudah menduga bahwa kemurungan wajah majikannya itu tentu karena Kwi Hong tak berhasil ditemukan.

Suma Han menggelengkan kepalanya dan diam-diam ia terkejut melihat pandang mata Phoa Ciok Lin yang tajam menyelidik. Tentu wajahnya telah membayangkan perasaan hatinya yang terhimpit, pikirnya.

“Bocah itu benar-benar membikin repot banyak orang. Aku tidak berhasil menemukannya, Paman Yap. Sampai jauh aku menjelajah tanpa hasil. Biarlah kita menunggu saja di pulau, kalau dia sudah bosan merantau tentu akan pulang juga.”

Sambil berkata demikian, Suma Han lalu melangkah masuk ke dalam Istana Pulau Es yang kuno namun kini bersih itu, diikuti oleh Phoa Ciok Lin yang sejak tadi hanya menyambut kedatangan Suma Han dengan pandang matanya yang bening.

“Kusediakan makan, Taihiap?”

Suma Han menggeleng.
“Aku tidak lapar.”

“Ingin beristirahat? Kamar Taihiap sudah kusuruh bersihkan setiap hari. Atau perlu disediakan minum? Minum apakah?”

“Tidak usah repot Ciok Lin dan terima kasih atas kebaikanmu. Aku hanya ingin.... menyendiri.” Suma Han menjatuh-kan diri di atas sebuah kursi dan menyandarkan tongkatnya di meja.

Ciok Lin tetap berdiri memandang, kedua tangan tergantung seperti orang lemas, wajahnya penuh kekhawatiran. Karena sampai lama wanita itu masih berdiri tanpa bergerak, Suma Han mengangkat muka memandang. Dua pasang mata bertemu dan Suma Han menunduk kembali.

“Ciok Lin, maaf. Kau tinggalkan aku, aku ingin menyendiri.” katanya.

Gadis yang usianya sebaya, hanya lebih muda setahun dari Majikan Pulau Es itu, menahan napas menekan hati yang perih.

“Baiklah, Taihiap.....” Ia membalikkan tubuh dan melangkah pergi dengan muka menunduk.

“Ciok Lin....”

Suma Han menyadari akan sikapnya. Dia tahu betapa pembantunya ini selain amat setia, juga memujanya seperti dewa, bahkan kadang-kadang ada sinar mata memancar keluar dari sepasang mata yang membuat dia khawatir karena sinar mata itu jelas membayangkan sinar kasih sayang amat mendalam! Ia menyesal telah bersikap sedingin itu setelah orang menyambutnya demikian ramah dan penuh perhatian.

Dengan gerakan cepat, gadis itu memutar tubuh.
“Ada apakah, Taihiap?”

Suma Han tersenyum minta maaf, dan mulutnya berkata.
“Aku memang tidak lapar, akan tetapi akan segarlah kalau kau suka mengambilkan secawan air dingin dari sumber.”

Wajah yang manis itu berseri gembira.
“Baik, Taihiap, segera kuambilkan!”

Dan kini tubuh gadis itu tidak melangkah perlahan dengan muka menunduk lagi, melainkan berkelebat dan lenyap laksana menghilang saja. Suma Han tersenyum seorang diri. Perempuan! Sungguh lebih mudah mengukur dalamnya lautan daripada mengukur dalamnya hati perempuan.

Semenjak kecil ia hidup bersama Lulu adiknya, mengira bahwa dia sudah mengenal adik angkatnya itu lahir batin. Siapa kira kenyataan menunjukkan bahwa dia sama sekali tidak mengenal isi hatinya sehingga segala jerih payah yang ia lakukan untuk adik angkatnya itu malah berakibat sebaliknya seperti yang ia harapkan.

Dia berhasil mengawinkan adiknya dengan Wan Sin Kiat, seorang pemuda pilihan, tampan dan gagah perkasa, berbudi mulia dan berjiwa pendekar. Akan tetapi, siapa kira, pernikahan itu malah merupakan kesengsaraan bagi Lulu yang kemudian nekat meninggalkan suaminya bersama anaknya sehingga Wan Sin Kiat membunuh diri dengan cara berjuang sampai mati! Semua itu karena Lulu mencinta dia? Benarkah seperti yang dikatakan Im-yang Seng-cu? Dan dia.... sudah lama namun dianggapnya terlambat ketika ia merasa yakin bahwa satu-satunya cinta kasih murni yang berada di hatinya adalah untuk Lulu seorang!

Semenjak pertemuannya dengan Im-yang Seng-cu dan mendengar berita tentang Lulu, Suma Han mengalami pukulan batin yang amat hebat, lebih hebat daripada kekhawatirannya tentang kepergian Kwi Hong. Semenjak itu, dia tidak pernah makan, minum atau tidur sehingga ketika ia tiba di istana Pulau Es, tubuhnya menjadi kurus, mukanya sayu dan agak pucat.

Kini menghadapi sikap Phoa Ciok Lin, pembantunya yang setia, hatinya terasa makin perih. Kalau mungkin, dia minta dijauhkan daripada kaitan kasih sayang dengan wanita! Betapa banyaknya penderitaan batin yang ia alami karena hubungan kasih sayang ini yang hanya tampaknya saja manis, namun sesungguhnya mengandung kepahitan yang sampai lama terasa di hati.

Berkelebatnya bayangan menyadarkan-nya dari lamunan dan Ciok Lin telah berdiri di depannya, membawa sebuah cawan kosong dan seguci air segar yang baru diambilnya dari sumber air di atas pegunungan pulau itu.






Diam-diam Suma Han memuji. Ilmu kepandaian Ciok Lin telah meningkat dengan hebat dan kini dapat dipercaya menjadi orang kedua di Pulau Es jauh melampaui kepandaian Yap Sun sendiri! Ia memandang wajah itu dan diam-diam tersenyum di hatinya. Gadis itu telah mengambil air dari gunung yang cukup jauh, bahkan telah mencuci muka, bersisir, dalam waktu yang amat cepat! Suma Han menerima air di cawan yang dituangkan oleh Ciok Lin, lalu meminumnya. Segar dingin terasa sampai ke perutnya.

“Terima kasih, Ciok Lin.”

“Tambah lagi, Taihiap?”

“Cukup, letakkan saja di meja, nanti kuambil sendiri.”

Sejenak Ciok Lin meragu, kemudian ia memberanikan diri, mengangkat muka memandang wajah yang bayangannya sudah terukir di hatinya itu.

“Taihiap, dalam kepergian Taihiap mencari Kwi Hong, apakah Taihiap berjumpa dengan kenalan lama?”

Suma Han membalas pandangan itu dengan sinar mata penuh selidik,
“Ciok Lin, mengapa kau menduga demikian?”

Ciok Lin menarik napas panjang lalu berkata,
“Semenjak saya berada di sini, saya melihat Taihiap hidup tenang dan tenteram seperti permukaan laut yang tidak tersentuh angin. Akan tetapi sekarang laut itu bergelombang dan digelapkan awan. Apalagi yang menimbulkan kecuali pertemuan dengan kenalan lama dan dipaksa mengenang peristiwa-peristiwa lalu?”

Suma Han menghela napas,
“Aihhh, dugaanmu memang benar, Ciok Lin. Sekali berkunjung ke dunia ramai, banyak persoalan tidak menyenangkan hati terdengar. Akan tetapi sudahlah, aku akan beristirahat dan akan mencoba melupakan semua itu. Yang terpenting adalah soal perginya Kwi Hong. Harap engkau suka meninggalkan aku sendiri.”

“Baiklah, Taihiap.”

Sekali ini Ciok Lin pergi dan Suma Han duduk termenung mengenangkan kata-katanya sendiri. Melupakan? Urusan dengan Im-yang Seng-cu, urusan dendam Tan-siucai bekas tunangan Lu Soan Li yang katanya mendendam kepadanya, urusan perebutan pusaka-pusaka yang lenyap.

Semua itu dapat dengan mudah ia lupakan karena memang tidak dipikirkannya lagi. Akan tetapi Lulu....! Dapatkah ia melupakan Lulu? Kalau adik angkatnya itu hidup bahagia di samping suami dan anaknya, tentu dia akan dapat melupakannya, atau bahkan ikut merasa berbahagia karena adik yang dicintanya itu hidup bahagia.

Akan tetapi sekarang? Kebahagiaan itu berantakan dan betapa mungkin ia dapat melupakannya? Apalagi karena perginya Lulu meninggalkan suaminya itu menimbulkan dugaan di hatinya bahwa tentu Lulu yang telah melakukan hal yang menghebohkan dan menggegerkan dunia kang-ouw. Siapa lagi yang dapat membongkar kuburan dan membawa pergi Sepasang Pedang Iblis? Hanya dia dan Lulu yang mengetahui di mana adanya sepasang pedang itu dikubur.

Di mana sekarang adanya Lulu dan anaknya? Jangan-jangan...., ah, dia teringat akan ketua Thian-liong-pang, wanita yang mukanya diselubungi kain itu. Bentuk tubuhnya, suaranya, dan sinar mata dari balik selubung itu! Mengapa dia begitu bodoh? Tentu Lulu orangnya!

Akan tetapi kalau benar Lulu, mengapa menantangnya? Dan ilmu kepandaiannya pun hebat sekali. Orang seperti Lulu memungkinkan terjadinya segala hal aneh. Dia tidak akan merasa heran kalau tiba-tiba Lulu memiliki ilmu kepandaian yang lebih tinggi daripadanya sendiri! Yang amat mengherankan hatinya, kalau benar ketua Thian-liong-pang itu Lulu adanya, mengapa menantang dia? Mengapa seperti hendak memusuhinya?

Sampai tiga hari lamanya pertanyaan ini mengganggu hati Suma Han. Ketika pada pagi hari itu ia mengambil keputusan untuk pergi lagi meninggalkan Pulau Es, pertama untuk mencari Kwi Hong lagi dan kedua untuk menyelidiki Thian-liong-pang karena ia merasa penasaran kalau belum membuka selubung muka Ketua itu untuk melihat apakah dugaannya tidak salah, tiba-tiba terdengar seruan-seruan di luar istana.

“Garuda betina datang....!”

“Nona Kwi Hong tidak bersama dia....!”

Seruan-seruan itu cukup menyatakan bahwa garuda betina pulang tanpa Kwi Hong, berarti bahwa telah terjadi sesuatu dengan diri murid atau keponakannya itu! Akan tetapi Suma Han tidak menjadi gugup.

Dengan tenang ia berloncatan keluar dan garuda betina sudah berada di pekarangan bersama garuda jantan yang agaknya sudah lebih dulu menyambut. Melihat Suma Han, garuda betina itu lalu mendekam dan mengeluarkan suara seperti rintihan, kemudian meloncat ke atas terbang dan turun lagi mendekam, terbang lagi dan mendekam lagi.

Suma Han menghampiri,
“Apakah Nona ditawan orang?”

Garuda itu mengeluarkan suara dan mengangguk-angguk, lalu terbang dan mendekam lagi. Suma Han menoleh kepada pembantu-pembantunya dan berkata,

“Agaknya Kwi Hong ditawan orang, biar aku sendiri yang menyusul dan menolongnya. Jaga pulau baik-baik, aku pergi takkan lama.”

Setelah berkata demikian ia menggapai dengan tangan kirinya. Garuda jantan meloncat datang dan sekali menggerakkan tubuhnya, Suma Han telah mencelat ke atas punggung garuda jantan yang terbang tinggi mengejar garuda betina yang telah mendahuluinya.

Garuda betina yang menjadi penunjuk jalan terbang tinggi di atas lautan kemudian mengelilingi sekumpulan pulau-pulau kecil. Di tengah kumpulan pulau itu tampak sebuah pulau hitam.

“Hemm, agaknya penghuni Pulau Neraka yang menawan Kwi Hong. Betapa lancang dan beraninya mereka!”

Suma Han menjadi gemas dan menyuruh garudanya menukik ke bawah. Adapun garuda betina yang kelihatannya jerih, hanya mengikuti dari belakang.

Suma Han adalah seorang pendekar yang selain sakti, juga amat cerdik. Kalau penghuni Pulau Neraka sudah berani menculik muridnya, tentu mereka itu kini telah siap untuk menyambut kedatangannya, karena sudah tentu mereka ini tahu bahwa dia akan menolong muridnya.

Kenyataan bahwa garuda betina pulang tanpa menderita luka merupakan bukti bahwa penghuni Pulau Neraka sengaja memancingnya datang dan harus berlaku hati-hati sekali. Dari atas dia melihat pulau yang belum pernah dikunjungi, hanya didengarnya saja dongengnya itu.

Pendaratan ke pulau itu hanya mungkin dilakukan dari angkasa, karena pulau itu dikurung lautan yang bergelombang dahsyat, yang akan menghempaskan setiap perahu yang mencoba untuk mendarat. Tentu kini penjagaan ketat dilakukan untuk menyambut kedatangannya lewat angkasa menunggang burung, pikirnya.

Justru tempat yang berbahaya, yang tidak mungkin didarati, yaitu melalui lautan, merupakan tempat yang terbebas daripada penjagaan. Karena pikiran ini, dia lalu menyuruh garudanya terbang rendah di atas laut dekat tebing karang yang airnya berombak besar.

Setelah burung itu terbang rendah, Suma Han meloncat dari atas punggung burung, melemparkan tongkatnya ke bawah. Tongkat kayu itu disambar ombak dan mengambang. Bagaikan seekor burung, tubuh Suma Han menyusul tongkatnya dan kaki tunggalnya sudah hinggap di atas tongkat yang terombang-ambing ombak. Dengan menekuk lutut ia menggunakan kedua tangannya sebagai dayung sehingga tongkatnya meluncur ke pinggir mendekat karang.

Pada saat itu, ombak dari belakangnya mendorong pula sehingga tubuhnya meluncur ke depan, ke arah tebing batu karang yang agaknya akan menerima dan menghancurkan tubuh Pendekar Super Sakti ini. Namun Suma Han telah memperhitungkan dan ia sudah mendahului meloncat dengan ilmunya Soan-hong-lui-kun sambil menyambar tongkatnya.

Ketika tubuhnya meluncur dekat tebing karang, tongkatnya menotok ke depan, ke arah batu karang dan menggunakan tenaganya untuk mencelat ke atas, menotok lagi dan meloncat lagi sehingga dengan lima kali loncatan ia telah dapat sampai di puncak tebing dengan selamat.

Ia menoleh dan melihat bahwa dua ekor burung garuda peliharaannya itu telah hinggap dengan selamat di sebuah batu karang yang menonjol, tidak tampak dari darat. Ia girang akan kecerdikan dua ekor burung itu yang mengerti akan siasatnya yang menyuruh mereka bersembunyi dan menanti isyaratnya.

Dari atas tebing yang tinggi ini, Pendekar Super Sakti memeriksa keadaan pulau. Hemm, benar-benar tempat yang berbahaya, pikirnya. Berbahaya dan teratur oleh tangan ahli karena keadaannya mencurigakan sekali. Dari tempat dia mendarat, kalau hendak memasuki pulau harus melalui hutan-hutan yang gelap dan pohon-pohonnya diatur mencurigakan, seperti lorong menyesatkan dan banyak bagian yang serupa sehingga memasuki hutan itu tentu akan membingungkan orang dan akan menyesatkan. Pula, mungkin di dalam hutan itu bersembunyi binatang-binatang jahat yang berbisa.

Dari sebelah kiri melewati daerah yang seperti rawa, amat luas dan penuh alang-alang tinggi. Daerah itu amat berbahaya karena melalui rawa yang tertutup oleh alang-alang orang tak mampu menjaga diri sebaiknya, apalagi kalau sampai terjeblos ke dalam lumpur dan diserang banyak binatang buas.

Dari sebelah kanan melalui pegunungan karang yang ditumbuhi tanaman-tanaman yang aneh bentuknya, kelihatan sunyi namun malah mencurigakan sekali karena biasanya, di tempat-tempat yang diatur orang-orang pandai seperti pulau itu, tempat yang kelihatan paling aman biasanya justru merupakan tempat yang paling berbahaya.

Adapun pendaratan dari seberang sana, berlawanan dengan tempat ia mendarat, orang harus melalui daerah yang penuh pasir, kelihatan bersih sunyi dan aman, namun ia merasa yakin bahwa tempat itu pun amat berbahaya karena selain pendatang tidak akan dapat bersembunyi dan nampak dari jauh, juga dia sudah mendengar tentang pasir bergerak yang dapat menyedot benda bergerak ke dalamnya. Dia mendarat tanpa perhitungan karena memang belum mengenal keadaan. Nasib saja yang menentukan dan setelah ia mendarat di situ, biarlah ia memasuki pulau itu dari situ pula, melalui hutan-hutan gelap yang kelihatan paling berbahaya itu.

Sampai beberapa lama dia memeriksa seluruh hutan itu dari atas, menghapal letak-letak kelompok pohon yang beraneka macam dan memperhatikan mata angin dengan melihat letak matahari. Melihat arah matahari, dia tahu bahwa dia telah mendarat di bagian selatan dan untuk menuju ke tengah hutan yang ia yakin tentu menjadi markas atau sarang penghuni Pulau Neraka, dia harus menuju ke utara.

Tiba-tiba Suma Han menggerakkan tubuh menyelinap ke balik batu karang menonjol, menyembunyikan diri dan mengintai. Tidak salah lagi, yang terbang di atas itu adalah seekor burung rajawali yang besarnya menandingi garudanya dan di punggung rajawali itu duduk seorang manusia.

Burung itu terbang berputaran di atas pulau, maka tahulah dia bahwa orang yang menunggang rajawali itu, yang terlalu jauh untuk dapat dilihat besar kecilnya atau laki-laki perempuannya, tentu sedang melakukan pengintaian atau pemeriksaan.

Setelah burung itu menukik turun dan lenyap di balik pohon-pohon, ia lalu keluar dari tempat sembunyinya. Sekali lagi ia memandang keadaan hutan yang akan dilaluinya, kemudian tubuhnya bergerak ke depan cepat sekali, dengan loncatan-loncatan jauh. Akan tetapi, dalam kecepatannya yang luar biasa, Suma Han selalu tetap waspada dan hati-hati karena dia maklum betapa berbahaya daerah yang tak dikenalnya itu.

Dia kini sudah memasuki hutan yang gelap. Bagian atas hutan itu tertutup rapat oleh daun-daun lebat sehingga sukar untuk melihat di mana adanya matahari. Namun, dari sinar matahari yang menerobos ke bawah ia dapat memperhitungkan dan dia terus maju menuju ke arah utara. Dia tidak mau membelok melainkan lurus bergerak ke depan. Kalau keadaan sedemikian gelapnya dan ia merasa kehilangan arah, Suma Han mencelat ke atas pohon besar dan melihat letak matahari, lalu turun lagi dan melanjutkan perjalanannya.

Tiba-tiba ia berhenti bergerak.
“Ular....” bisiknya dan ia sudah siap.

Penciumannya yang tajam dapat menangkap bau amis ular-ular itu, juga pendengarannya dapat menangkap suara mendesis-desis dari depan. Namun dia tidak gentar dan melanjutkan perjalanan ke depan. Hutan yang gelap dan mudah menyesatkan orang itu kini terganti dengan bagian yang terbuka, ada seratus meter luasnya dan di tempat inilah berkumpulnya ular-ular itu, kemudian di seberang sana disambung pula dengan hutan lain.

Suma Han berdiri dan memperhatikan ular-ular itu. Diam-diam ia kagum sekali. Dari mana saja penghuni pulau ini mengumpulkan ular-ular yang selain amat banyak jumlahnya, ada ribuan ekor, juga amat banyak macamnya, semua terdiri dari ular-ular berbisa! Dia mengenal beberapa ekor ular yang gigitannya amat berbahaya, sekali gigit tentu merenggut nyawa. Dan melihat ular-ular yang beraneka macam itu, dengan warna yang bermacam-macam pula, timbul rasa sayang di hati Suma Han.

Sayang kalau kumpulan ular berbisa yang begitu lengkap di bumi! Pula, dia tidak mempunyai niat sedikitpun juga untuk melakukan pembunuhan dan pengrusakan di pulau ini. Pertama, dia belum melihat bukti bahwa Kwi Hong di tahan di Pulau ini. Ke dua, andaikata benar demikian, penghuni Pulau Neraka hanya melakukan hal itu untuk memancing dia datang, tentu Kwi Hong tidak diganggu karena buktinya, burung garuda betina pun tidak dilukai. Kalau orang tidak berniat buruk, mengapa dia harus melakukan pembunuhan dan pengrusakan.

Kini ular-ular itu telah mengetahui kedatangannya, binatang-binatang ini mendesis-desis dan bergerak maju seperti barisan, siap untuk mengeroyok manusia yang berani datang ke tempat itu. Suma Han mengukur dengan pandang matanya. Kalau bukan dia yang datang ke tempat itu, agaknya sukar untuk melewati ular-ular yang memenuhi daerah sepanjang seratus meter itu, kecuali dengan membunuh mereka semua. Untuk meloncati jarak yang sekian jauhnya, biar dia seorang ahli ilmu Soan-hong-lui-kun sekalipun, tentu tidak mungkin. Akan tetapi dengan tongkatnya, ditambah ilmunya dia tidak merasa menghadapi kesukaran.

Dia tersenyum, dapat menduga bahwa tentu ada mata manusia yang mengintai gerak-geriknya dan ingin melihat bagaimana dia akan melalui barisan ular itu. Maka dia lalu meloncat ke depan beberapa meter jauhnya dan kalau dia tidak bertongkat, tentu terpaksa kakinya akan menyentuh tanah dan ada bahaya di sambar ular-ular itu. Akan tetapi dengan cekatan dan mudah ia menotolkan tongkatnya ke atas tanah diantara ular-ular yang menjadi kalang kabut berusaha menyerang tongkatnya.

Dengan kekuatan tangannya yang memegang tongkat, begitu tongkat menotol tanah, tubuhnya sudah mencelat lagi ke depan. Beberapa ekor ular yang mati-matian menggigit ujung tongkat itu terpelanting dan kembali Suma Han menggunakan tongkatnya menotol tanah dan tubuhnya mencelat lagi.

Demikianlah, dengan akal ini, dalam beberapa loncatan saja Suma Han telah tiba di seberang daerah ular dengan selamat tanpa membunuh seekor ular pun! Ia berdiri dan membalikkan tubuh sambil tersenyum memandangi ular-ular yang menjadi kacau dan membalik, mencari lawan.

“Begini sajakah halangan memasuki pulau?” kata Suma Han sambil melanjutkan perjalanan, ke utara menuju ke tengah pulau dan melalui hutan di depan yang tidak begitu gelap seperti hutan pertama.

Tiba-tiba seperti jawaban ucapannya tadi terdengar suara gerengan keras dan dari dalam semak-semak meloncat keluar puluhan anjing serigala yang mengeluarkan bau harum dan amis! Suma Han mengelak dengan loncatan cepat sambil memperhatikan.

Kembali ia merasa kagum. Srigala-srigala hitam ini benar-benar merupakan sekumpulan binatang yang aneh. Bulunya hitam mengkilap dan indah, moncongnva panjang dan mengingat akan bau yang keluar dari moncong mereka, menandakan bahwa binatang buas ini pun berbisa.

“Bukan main! Benar-benar segala macam binatang berbisa bersarang di pulau ini.” pikir Suma Han.

Melihat betapa kawanan srigala itu banyak sekali, gerakan mereka gesit, maka agaknya akan melelahkan kalau harus berlari-lari dan mengelak menghindari mereka yang tentu akan terus mengejar-ngejarnya. Dengan demikian maka perjalanannya akan kacau dan banyak bahayanya dia akan tersesat. Maka cepat ia mencelat ke atas pohon, berjongkok dengan kaki tunggalnya di atas dahan pohon, sejenak memandang srigala-srigala yang berusaha meloncat-loncat untuk mencapainya.

Pemandangan ini lucu bagi Suma Han, maka tanpa terasa lagi ia tertawa, kemudian melanjutkan perjalanannya melalui pohon-pohon. Karena pohon-pohon itu tumbuh berdekatan, amat mudah bagi seorang yang berilmu tinggi seperti dia untuk berloncatan dari dahan ke dahan dan dari pohon ke pohon, selalu mengambil arah ke utara atau menganankan matahari pagi.

Akan tetapi baru saja terbebas dari serangan gerombolan srigala hitam, datanglah serombongan lebah hitam yang terbang berbondong-bondong dan mengeroyoknya! Suma Han terkejut, dapat menduga bahwa sengatan lebah ini pun tentu berbisa. Dia memutar lengan kiri, sehingga timbul angin yang digerakkan hawa sin-kangnya sehingga lebah-lebah yang mendekatinya terbawa hanyut oleh angin itu.

Akan tetapi karena dahan-dahan, ranting-ranting dan daun-daun menghalanginya, dia tidak dapat bergerak dengan leluasa. Melawan gerombolan lebah di pohon amatlah berbahaya, kalau meloncat turun, gerombolan srigala hitam tentu akan menerkamnya. Maka Suma Han cepat meloncat dengan pengerahan ilmu Soan-hong-lui-kun.

Karena dia meloncat-loncat dengan selalu dikejar lebah-lebah yang terbang cepat, tentu saja dia tidak dapat memperhatikan arah lagi dan dia hanya berloncatan cepat dengan niat keluar dari hutan dan mencari tempat terbuka di mana dia akan dapat menghalau lebah-lebah itu dengan mudah.

Sambil berloncatan dan kadang-kadang memutar lengan kiri untuk meruntuhkan lebah-lebah itu, diam-diam ia memuji dan mulailah dia tidak berani memandang rendah para penghuni Pulau Neraka!

Akhirnya dia berhasil juga keluar dari hutan itu, di tempat terbuka dan dengan hati lega ia mendapat kenyataan bahwa gerombolan anjing srigala sudah tak tampak lagi, tentu tidak sanggup mengejar dia yang berloncatan dari pohon ke pohon sedemikian cepatnya dan kehilangan jejak penciuman.

Akan tetapi, kawanan lebah itu masih terus mengejarnya. Suma Han meloncat turun dari pohon terakhir dan sudah siap. Ketika lebah-lebah itu terbang datang, dia lalu menanggalkan jubahnya dan memutar jubah dengan tangan kanannya sedangkan tangan kiri tetap memegangi tongkatnya.

Kalau dengan tangan saja gerakan Suma Han sudah mampu mendatangkan angin yang menyambar dahsyat apalagi kini menggunakan jubah. Angin bertiup keras dan lebah-lebah itu terbawa angin yang digerakkan oleh jubah di tangan Suma Han, sama sekali tidak mampu mendekati pendekar itu, bahkan ketika Suma Han membuat gerakan memutar dengan tangannya, jubahnya menimbulkan angin berpusing yang membuat lebah-lebah itu terseret angin yang berputaran ke atas sampai tinggi!

Tiba-tiba terdengar bunyi lengking tinggi nyaring dan halus, bunyi suling ditiup secara istimewa dan menyusul suara ini, datanglah berbondong-bondong lebah-lebah hitam dari segenap penjuru mengeroyok dan mengurung Suma Han!

“Setan....!”

Suma Han mengomel, maklum bahwa suara suling itu dapat mengemudi perasaan lebah-lebah ini dan hal itu amat berbahaya karena kalau lebah-lebah itu datang makin banyak, mana mungkin dia dapat menghindarkan diri tanpa membasmi mereka, hal yang tak diinginkannya. Dengan hati mengkal Suma Han lalu mengerahkan khi-kangnya dan keluarlah lengkingan yang tinggi dan lebih nyaring daripada suara suling itu sambil jubah di tangannya masih terus diputarnya.

Usahanya berhasil baik sekali karena lebah-lebah itu menjadi kacau-balau. Makin nyaring lengking yang keluar dari dalam dada Suma Han, makin kacaulah mereka tidak tentu lagi arah terbangnya. Ada yang terbang ke atas, ada yang ke bawah, ke kanan kiri depan belakang, bahkan ada yang terbang membalik dari arah mereka datang!

Adapun lebah-lebah yang terlalu dekat dengan Suma Han, membubung tinggi dan menjadi pening sehingga lebah-lebah itu berjatuhan, bergerak-gerak dan merayap-rayap di atas tanah karena untuk sementara mereka tidak kuasa terbang, bahkan merayappun berputaran seperti anak-anak yang mabok setelah bermain putar-putaran!

Suara suling terhenti dan melihat bahwa lebah-lebah itu kini sudah pergi dalam keadaan kacau, Suma Han menghentikan lengkingannya dan putaran jubahnya, lalu tubuhnya mencelat lagi ke depan. Melihat hutan yang ditinggalkan dan letak matahari, hatinya mendongkol karena ternyata dalam melarikan diri tadi, dia tidak lari ke utara melainkan tersesat lari ke barat!

Karena tidak ingin tersesat lagi dan ingin melihat keadaan, ia melompat ke atas pohon di pinggir hutan yang baru ditinggalkan. Ketika ia memandang ke utara, hatinya girang karena dari tempat itu dia sudah dapat melihat sekelompok bangunan berwarna hitam. Akan tetapi, dari tempat itu menuju ke bangunan terdapat pasukan-pasukan menghadang jalan.

“Hemm, kini kalian tidak mengandalkan binatang-binatang lagi, melainkan maju sendiri menyambutku. Bagus!”

Dia lalu melayang turun dan mempergunakan ilmunya berloncatan cepat menuju ke utara. Ternyata di sepanjang jalan tidak ada lagi rintangan dan akhirnya ia tiba di lapangan luas dan berhadapan dengan dua puluh tujuh orang yang mukanya berwarna biru muda. Mereka berpakaian seragam dan membentuk barisan sembilan kali tiga, bersenjatakan tombak panjang yang ada rantainya di ujung.

Suma Han sudah mendengar bahwa kedudukan dan tingkat kepandaian para anak buah Pulau Neraka ditentukan oleh warna muka mereka, makin terang warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Kini menghadapi dua puluh tujuh orang bermuka biru muda, Suma Han mengomel di dalam hatinya.

“Orang-orang Pulau Neraka sungguh memandang rendah kepadaku!”

Sebagai To-cu dari Pulau Es, tentu saja dia merasa terhina kalau kedatangannya hanya disambut oleh pasukan bermuka biru muda, warna yang tentu hanya menduduki tingkat ke empat atau ke lima. Maka diapun tidak mau bicara melayani mereka, melainkan terus saja melangkah dengan kaki tunggalnya ke depan seolah-olah dua puluh tujuh orang itu hanya arca-arca yang tidak bernyawa dan tidak ada artinya!

Melihat sikap pendatang yang ditakuti ini, terdengar seorang di antara mereka berseru aneh memberi aba-aba dan tiga pasukan dari sembilan orang berjumlah dua puluh tujuh orang itu menggerakkan senjata, ada yang menyerang dengan tombak, ada pula yang membalikkan tombak dan menyabet dengan rantai baja di ujung gagang tombak.

Serangan mereka amat cepat dan kuat sehingga terdengar angin bersuitan menyambar ke arah Suma Han yang menjadi sasaran dari tombak-tombak runcing dan rantai-rantai berat itu.

Namun, Suma Han masih berloncatan terus ke depan seolah-olah tidak peduli akan serangan mereka, akan tetapi setelah senjata-senjata itu datang dekat, dia memutar tongkatnya. Terdengarlah suara hiruk pikuk ketika semua senjata itu bertemu tongkat, bertemu dan terus melekat, rantai membelit-belit tongkat dan ujung tombak tak dapat ditarik kembali, bahkan kini mereka berteriak kesakitan dan terpaksa melepaskan senjata karena telapak tangan mereka terasa dingin membeku.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar