FB

FB


Ads

Rabu, 31 Desember 2014

Sepasang Pedang Iblis Jilid 009

“Crottt....!”

Tangan Bhe Ti Kong yang sudah biasa menggunakan tombak menusuki perut lawan dalam perang sehingga entah berapa ratus perut yang sudah menjadi korban tombak, kini secara otomatis mencokelkan tombaknya sehingga perut yang hanya diserempet itu robek kulitnya dan tampaklah usus panjang keputih-putihan mencuat keluar!

Si Muka Biru mengeluarkan gerengan keras, tangan kanannya cepat menyambar ususnya dan mengalungkan usus yang panjang itu ke lehernya, kemudian ia melanjutkan pertempuran melawan Bhe Ti Kong seolah-olah tak pernah terjadi apa-apa dengan dirinya!

Semua orang yang menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, terbelalak ngeri dan juga kagum, kecuali para anggauta Pulau Neraka sendiri tentunya. Mereka ini sejak tadi diam tak bergerak menonton pertandingan, wajah yang beraneka warna itu tidak menunjukkan sesuatu, dingin-dingin saja.

Memang aneh sekali orang-orang Pulau Neraka ini. Keadaan mereka merupakan rahasia, bahkan orang-orang kang-ouw yang terkenal dan banyak pengalaman sekali pun jarang ada yang tahu siapa gerangan orang-orang yang kulitnya berwarna aneh itu.

Thian Tok Lama dan Thai Li Lama adalah dua orang sakti yang amat terkenal, akan tetapi mereka berasal dari Tibet maka tentu saja tidak mengenal orang-orang Pulau Neraka. Menyaksikan keadaan Si Muka Biru itu, tak tertahan lagi mereka bertanya kepada Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang orang-orang Pulau Neraka.

Koksu Kerajaan Mancu itu mengelus jenggotnya, menarik napas panjang lalu menjawab tanpa mengalihkan pandang matanya dari pertandingan yang masih berlangsung hebat.

“Keadaan mereka penuh rahasia, aku sendiri pun hanya mendengar-dengar saja dari kabar angin. Kabarnya, di jaman dahulu, entah berapa ratus tahun yang lalu, terdapat kerajaan-kerajaan kecil di atas pulau-pulau yang banyak tersebar di lautan timur. Di antara raja-raja kecil itu terdapat keluarga raja yang amat sakti, kabarnya memiliki kesaktian seperti dewa-dewa, bahkan mereka menamakan dirinya keluarga dewa!”

“Aihhh, apa hubungannya dengan Bu Kek Siansu yang dikabarkan seperti manusia dewa dan katanya datang dari Pu-lau Es?”

Thai Li Lama bertanya, masih serem mengenangkan munculnya Pendekar Siluman, Majikan Pulau Es yang aneh tadi.

“Entahlah, aku tidak pernah mendengar tentang dia. Menurut kabar, kerajaan dewa itu memegang peraturan yang amat keras sehingga apabila ada rakyat yang melakukan pelanggaran, mereka ini dihukum buang ke atas sebuah pulau yang dinamakan Pulau Neraka.”

“Mengapa namanya begitu serem?” Thian Tok Lama bertanya.

“Entahlah, hanya kabarnya yang membocor ke dunia kang-ouw karena ada pelarian gila dari Pulau Neraka mengoceh, pulau itu lebih mengerikan dari neraka yang sering disebut dalam kitab-kitab. Pendeknya, tidak ada manusia yang dapat hidup di sana.”

“Hemm, aneh. Kalau tidak ada manusia dapat hidup di sana, mengapa sekarang muncul banyak tokoh-tokoh Pulau Neraka?” Thian Tok Lama mencela.

“Tidak ada seorang setan pun tahu apa yang terjadi,” kata koksu yang kini kembali mengalihkan perhatiannya ke arah pertandingan yang makin menghebat.

Si Muka Biru itu biarpun ususnya sudah keluar dan dikalungkan ke leher ternyata makin hebat saja gerakannya, seperti orang nekat sehingga kembali Bhe Ti Kong terdesak!

Pengetahuan Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun tentang Pulau Neraka seperti yang diceritakannya kepada dua orang Lama itu hanya tentang kulitnya saja. Satu-satunya yang tepat dalam keterangannya adalah bahwa memang tidak ada seorang pun yang tahu akan Pulau Neraka yang hanya dikenal orang dalam dongeng, dan yang setelah ratusan tahun tiada buktinya, baru kini muncul tokoh-tokohnya yang memiliki kepandaian luar biasa dan keadaan yang amat aneh.

Memang benarlah bahwa Pulau Neraka itu dahulu merupakan sebuah pulau tempat pembuangan orang-orang jahat, dan yang membuang penjahat-penjahat ke tempat itu adalah keluarga raja muda yang berkuasa di Pulau Es, yaitu kerajaan yang menjadi nenek moyang Bu Kek Siansu!

Pulau itu amat mengerikan keadaannya, tiada ubahnya seperti neraka. Air yang terdapat di pulau itu selain kotor juga mengandung racun begitu keluar dari sumbernya. Dan banyak di situ tumbuh pohon-pohon yang aneh dan beracun, pohon-pohon yang ranting-rantingnya dapat membelit, menangkap dan menghisap darah hewan atau manusia, pohon-pohon yang mempunyai daun-daun beracun sehingga begitu daunnya menguning dan rontok, menyiarkan bau yang dapat membuat manusia mati seketika.

Kadang-kadang timbul kabut dingin yang mematikan, dan pada bergantian musim, keluar uap-uap beracun dari dalam tanah, merupakan gas beracun yang amat jahat, apalagi sampai terhisap, baru mengenai kulit saja membuat kulit membusuk. Semua ini masih ditambah lagi dengan adanya binatang-binatang berbisa, ular-ular cobra dan ular belang, ular hijau, kalajengking, kelabang dan semua binatang merayap yang berbisa di samping binatang-binatang liar yang buas.

Betapapun tingginya kepandaian seorang hukuman yang dibuang dari Pulau Es, dia takkan dapat bertahan lama di tempat itu sehingga pulau itu dalam waktu puluhan tahun penuh dengan rangka-rangka manusia berserakan di mana-mana.

Akan tetapi pada jamannya raja muda yang menjadi Kakek Bu Kek Sian-su, yaitu yang bergelar Raja Han Gi Ong, terjadi perubahan. Raja Han Gi Ong ini masih memiliki sifat keras dan berdisiplin seperti nenek moyangnya, akan tetapi dia lebih lunak dan memiliki perasaan kasihan.

Dia maklum bahwa semua orang hukuman dari Pulau Es yang dibuang ke Pulau Neraka memiliki kepandaian tinggi namun tak dapat menahan kesengsaraan Pulau Neraka dan paling lama dapat hidup setahun. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari seorang pangeran melakukan dosa besar dan dibuang ke Pulau Neraka, Raja Han Gi Ong membekalinya kitab-kitab pusaka yang berisi pelajaran ilmu-ilmu yang amat tinggi.

Demikianlah, dengan bekal itu, Sang Pangeran akhirnya dapat bertahan karena telah mempelajari ilmu-ilmu yang tinggi. Bahkan dia dapat pula menyelamatkan para orang buangan yang lain, laki-laki dan wanita, sehingga setelah berlangsung puluhan tahun, di Pulau Neraka terdapat sekelompok keluarga yang hebat!

Ratusan tahun kemudian, sekeluarga besar penghuni pulau ini dan menjadi orang-orang pandai yang amat aneh akan tetapi tidak pernah turun ke dunia ramai. Kepandaian mereka turun-temurun ke anak cucu mereka dan semua kesukaran di pulau itu dapat mereka atasi, bahkan hal-hal mengerikan yang tadinya merupakan ancaman bagi kehidupan, kini dapat mereka kuasai dan dipergunakan demi keuntungan mereka!






Racun-racun dapat menjadi obat dan menjadi senjata, dan keadaan yang penuh tantangan itu membuat mereka makin ulet dan kuat. Namun, perasaan kasihan yang timbul di hati Raja Han Gi Ong, yang terjadi ratusan tahun yang lalu, di jaman Kerajaan Tang menguasai Tiongkok (618-905) ternyata mendatangkan bencana karena setelah keluarga Pulau Neraka menjadi kuat, mulailah mereka merongrong kewibawaan kerajaan kecil Pulau Es! Sering kali terjadi perang di antara mereka.

Demikianlah sekelumit riwayat Pulau Neraka yang penghuninya adalah orang-orang buangan dari Pulau Es yang ketika itu masih merupakan sebuah kerajaan kecil. Tentu saja hal ini tidak diketahui oleh Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun maka yang ia ceritakan kepada kedua orang Lama Tibet hanyalah kulitnya saja.

Kini perhatian mereka kembali teralih kepada jalannya pertandingan antara Bhe Ti Kong melawan seorang anak buah Pulau Neraka yang bermuka biru muda yang amat hebat kepandaiannya itu.

Sementara itu, Bun Beng yang tadi dilontarkan oleh pedang Si Muka Biru, terlempar dan terbanting jatuh ke atas tanah, namun karena tubuhnya terlatih, ia cepat menggelinding dan meloncat bangun. Tiba-tiba pundaknya dicengkeram orang dan ketika ia mengangkat muka, kiranya panglima gemuk tadi telah menangkapnya kembali.

“Hemm, bocah kurang ajar, sekarang kau takkan kulepaskan lagi!” Cengkeraman pada pundak Bun Beng kuat sekali membuat anak itu menyeringai kesakitan.

“Lepaskan aku!”

Bun Beng meronta, akan tetapi kini kedua lengannya malah dipegang oleh tangan kuat panglima gendut itu. Dia mencoba untuk menendang dan menggigit, akan tetapi sia-sia, panglima itu terlampau kuat baginya.

“Kalau engkau tidak mau diam, kutampar kepalamu!” Panglima itu menghardik. “Lihat ada pertandingan begitu menarik, kenapa kau ribut saja?”

Bun Beng seorang anak yang berani, akan tetapi juga cerdik. Dia maklum bahwa kalau dia menggunakan kekerasan memberontak, tidak mungkin ia dapat membebaskan diri. Maka ia berhenti meronta dan matanya menyapu ke depan.

Semua orang memperhatikan jalannya pertandingan, hanya ada seorang wanita yang memandang ke arahnya. Ia mengenal wanita itu sebagai wanita cantik yang tadi dipanggil Ketua Thian-liong-pang, seorang wanita cantik jelita yang bersikap gagah namun berwajah dingin seolah-olah pertandingan antara Panglima Mancu dan tokoh Pulau Neraka itu merupakan hal yang menjemukan. Ah, wanita itu betapapun juga tentu mempunyai perasaan yang lebih halus daripada orang-orang lain yang aneh ini, pikir Bun Beng.

Agaknya dia mau menolongku dari ancaman maut di tangan koksu. Akan tetapi dia harus dapat membebaskan diri lebih dulu. Berteriak-teriak minta tolong kepada wanita itu merupakan hal yang amat memalukan, juga mana mungkin wanita yang tak dikenalnya itu mau menolongnya? Dan selain wanita Thian-liong-pang itu, siapa lagi mau menolongnya? Mengharapkan pertolongan dari orang-orang Pulau Neraka sama dengan mengharapkan pertolongan sekumpulan setan. Tadinya ketika ia menyerang Panglima Bhe, yang sedikit banyak membantu orang Pulau Neraka muka biru, Si Muka Biru itu malah melemparkannya.

Pandang mata Bun Beng mencari-cari dan diam-diam dia mengeluh karena pulau kecil itu kini tidak seramai tadi. Orang yang dicari-carinya tidak ada. Dia mencari lima orang tokoh Siauw-lim-pai yang masih terhitung suheng-suhengnya, yaitu Siauw-lim Ngo-kiam yang tadi dikalahkan oleh Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu kalau saja tidak dibantu oleh gurunya yang kini telah tewas.

Tadi dia masih melihat lima orang Siauw-lim-pai itu, akan tetapi kini mereka telah pergi, seperti yang lain-lain karena banyak tokoh kang-ouw menjadi segan untuk berdiam lebih lama di situ setelah Koksu Negara bersama rombongannya mendarat di pulau.

Dan memang, lima orang tokoh Siauw-lim-pai itu telah pergi sehingga mereka tidak tahu bahwa supek mereka, Siauw Lam Hwesio, telah tewas di tangan koksu dan kawan-kawannya secara mengerikan sehingga jenazahnya pun lenyap tak meninggalkan bekas!

Biarpun mereka tadi belum kalah, akan tetapi sebagai orang-orang gagah, Siauw-lim Ngo-kiam sudah mengakui keunggulan Cui-siauw-kiam Hok Cin Cu, maka begitu mereka ditegur supek mereka yang menyelamatkan mereka, mereka diam-diam lalu pergi dari tempat itu.

Juga banyak tokoh-tokoh yang mewakili partai-partai besar meninggalkan tempat itu, selain segan berurusan dengan orang-orang aneh berkepandaian seperti orang-orang Pulau Neraka dan orang-orang Thian-liong-pang, juga terutama sekali mereka enggan untuk bentrok dengan orang-orang pemerintah.

Ketika Bun Beng mencari-cari dengan pandang matanya, dia hanya melihat rombongan Thian-liong-pang yang hanya terdiri lima orang dipimpin oleh wanita tadi, sepuluh orang anggauta Pulau Neraka, serta rombongan Koksu yang diikuti pasukan pengawal.

Adapun beberapa orang tokoh yang mewakili partai-partai persilatan, hanya masih ada beberapa orang yang belum pergi, namun mereka itu bersikap hati-hati dan hanya ingin menonton dari tempat agak jauh, agaknya jerih dan sungkan terlibat.

Dengan demikian, kini yang masih kelihatan bersikap tidak mau kalah hanya tinggal tiga rombongan, yaitu rombongan Thian-liong-pang yang belum turun tangan, rombongan Pulau Neraka yang seorang di antara tokohnya masih bertanding mati-matian dengan seorang panglima dari rombongan orang pemerintah.

Tidak ada harapan, pikir Bun Beng. Kecuali wanita Thian-liong-pang itu. Kalau saja ia dapat membebaskan diri. Ia mengangkat muka memandang. Panglima gendut itu menonton pertandingan dengan sinar mata amat tertarik, akan tetapi tangan kanan yang mencengkeram kedua pergelangan tangan Bun Beng dan tangan kiri yang mencengkeram pundak amat kuatnya, sedetik pun tidak pernah mengendur.

Agaknya pertandingan antara kawannya melawan orang Pulau Neraka yang sudah keluar ususnya itu amat menegangkan hati panglima gendut ini sehingga Bun Beng melihat betapa perutnya yang gendut, bergerak-gerak seirama dengan dengusan napasnya. Tiba-tiba Bun Beng menggerakkan kakinya menggajul tulang kering panglima itu.

“Tukkk!”

Biarpun yang menendang hanya seorang bocah, akan tetapi karena tendangan itu keras sekali dan tepat mengenai tulang kering kaki, sedangkan panglima itu sedang tertarik oleh pertandingan yang menegangkan, maka ia berteriak kesakitan dan menjadi kaget sekali.

Akan tetapi ia hanya mengaduh-aduh mengangkat kakinya tanpa melepaskan cengkeramannya, bahkan lucunya, matanya masih tidak rela melepaskan pemandangan di depannya, yaitu pertandingan yang makin menegangkan.

Pada saat itu memang pertandingan antara Bhe Ti Kong dan Si Muka Biru dari Pulau Neraka amat menegangkan hati dan mengerikan. Baju Si Muka Biru sudah basah oleh darah, mukanya makin pucat, akan tetapi gerakannya makin hebat.

Ketika tombak Bhe Ti Kong menyambar, ia menangkis dengan pedangnya, disusul hantaman tangan kiri amat kerasnya yang tepat mengenai pergelangan tangan Bhe Ti Kong yang memegang tombak.

Bhe Ti Kong berteriak kaget, tombaknya terlepas dan saat itu, pedang Si Muka Biru menyambar lehernya! Bhe Ti Kong berseru keras, membuang tubuhnya ke belakang, akan tetapi tetap saja ujung pedang menyerempet pundaknya sehingga baju di pundaknya berikut kulit dan daging terobek.

Panglima ini terus menggelundung, namun pedang itu sudah berkelebat lagi, karena Si Muka Biru sudah meloncat dan mengejar lalu menerjang tubuh lawan yang masih bergulingan.

“Aihhhh....!”

Si Muka Biru tiba-tiba menjerit dan robohlah dia dengan pedang masih di tangan, matanya mendelik dan ia melepaskan napas terakhir dalam keadaan tubuh menegang kaku dan mata melotot.

Kiranya ususnya telah putus oleh berkelebatnya pedangnya sendiri! Ketika tadi ia mengejar, ia begitu bernafsu untuk membunuh lawan sehingga ketika memutar pedang, ia lupa akan usus yang ia kalungkan di lehernya. Pedangnya menyerempet ususnya sendiri sehingga ia tewas dan Bhe Ti Kong tertolong nyawanya. Si Panglima Gendut sedemikian girang dan tegangnya sehingga biarpun rasa tulang keringnya masih amat nyeri, ia lupa dan bersorak girang.

“Addd.... duhhhh....!”

Kini ia menjerit karena perutnya terasa perih. Kiranya Bun Beng menjadi gemas dan marah, karena tidak dapat memukul, telah menggunakan giginya untuk menggigit kulit perut yang gendut itu sekuat tenaga. Si Panglima Gendut kaget sekali, lupa sesaat melepaskan cengkeramannya, menggunakan tangan kiri menekan perut dan tangan kanan menampar Bun Beng.

“Plakkk....!”

Tamparan yang keras membuat tubuh Bun Beng terpelanting namun biar kepalanya terasa pening dan nyeri, Bun Beng yang merasa bahwa dia bebas, cepat meloncat dan lari sekuatnya dengan loncatan-loncatan jauh ke arah wanita Thian-liong-pang.

“Heee! Lari ke mana kau, bocah setan?” Panglima gendut mengejar dengan langkah panjang.

Dengan pandang mata masih berkunang Bun Beng menjatuhkan diri berlutut di depan wanita Thian-liong-pang sambil berkata,

“Enci yang baik, Enci yang cantik jelita dan gagah perkasa, mohon lindungi aku dari Si Gendut jahat!”

Wanita itu memandang Bun Beng dengan sinar mata dingin akan tetapi bibirnya tersenyum sedikit. Agaknya, betapapun aneh watak seseorang, dia tidak akan terhindar dari sifat dan watak aslinya.

Wanita ini pun, biar sudah menjadi tokoh Thian-liong-pang yang luar biasa, tetap saja seorang wanita yang paling senang mendengar pujian. Biarpun yang menyebutnya sebagai enci yang cantik jelita, enci yang baik dan yang gagah perkasa hanya seorang bocah, namun bocah itu adalah seorang laki-laki dan di situ terdapat banyak orang yang mendengar pujian itu. Hati siapa takkan merasa senang?

Wanita ini merupakan seorang kepercayaan Ketua Thian-liong-pang biarpun kedudukannya hanya sebagai kepala pelayan wanita. Dia memang cantik jelita, dengan mata yang bening dan tajam sinarnya, hidung mancung dan mulut kecil mungil dengan bibir yang manis. Rambutnya yang hitam panjang digelung ke atas, sisanya masih panjang dibiarkan berjuntai ke bawah.

Pakaiannya dari sutera halus berwarna merah muda dengan baju luar biru, bentuknya ringkas dan ketat membayangkan tonjolan-tonjolan tubuh yang padat menggairahkan, tubuh seorang wanita yang sudah masak. Sepatunya dari kulit dan ujungnya dihias dengan logam putih.

Namun wanita itu pun agaknya tidak mau bermusuhan dengan seorang panglima kerajaan hanya karena seorang anak laki-laki yang tidak dikenalnya sama sekali, maka ia menggerakkan alisnya, gerakan yang dimaksudkan untuk menambah kemanisan wajahnya dan memang maksud ini berhasil, sambil berkata dingin.

“Bocah, mengapa aku harus mencampuri urusanmu? Pergilah!”

Sambil berkata demikian, wanita itu menggerakkan tangan kirinya mengusir. Pada saat itu, panglima gendut datang menubruk dan agaknya Bun Beng tentu akan tertangkap kembali.

Akan tetapi, gerakan tangan wanita itu mendatangkan angin dahsyat yang membuat tubuh Bun Beng terlempar seperti daun kering tertiup angin sehingga tubrukan panglima gendut itu luput dan ia menubruk tanah. Karena dia tadi sudah memastikan bahwa anak itu pasti dapat ditangkapnya, maka ketika tiba-tiba tubuh Bun Beng lenyap, ia terbanting ke atas tanah dengan perut gendutnya lebih dulu.

“Ngekk!”

Panglima itu meringis dan napasnya menjadi sesak, akan tetapi kemarahannya meluap. Dia tidak tahu bahwa wanita Thian-liong-pang itu yang menolong Bun Beng, mengira bahwa bocah itu telah mengelak maka ia meloncat bangun sambil memaki.

“Anak Setan! Kuberi tamparan sampai telingamu berdarah kalau sampai tertangkap nanti!”

Ia mengejar lagi dan kini Bun Beng sudah lari ke arah rombongan orang-orang Pulau Neraka untuk minta bantuan.

“Mohon bantuan para Taihiap dari Pulau Neraka agar aku tidak diganggu Si Gendut itu!”

Akan tetapi rombongan Pulau Neraka yang hanya tinggal sembilan orang dan yang merasa marah sekali karena kehilangan dua orang kawan, tidak mempedulikan Bun Beng sehingga bocah ini terpaksa lari lagi dikejar-kejar Si Panglima Gendut.

Panglima ini bukan orang sembarangan, memiliki kepandaian tinggi. Akan tetapi karena perutnya terlalu besar dan ia jarang latihan berlari, kini mengejar-ngejar seorang anak yang lincah seperti Bun Beng, benar-benar membuat kewalahan. Mulailah ia melakukan serangan pukulan jarak jauh yang membuat Bun Beng beberapa kali roboh terguling, akan tetapi masih sempat mengelak dan meloncat terus lari lagi setiap kali ditubruk.

Kini Bun Beng yang menjadi sibuk sekali dan hampir ia tertangkap kalau saja anak ini tidak mempunyai kenekatan luar biasa sehingga biarpun kulit tubuhnya sudah babak belur, tetap saja ia dapat menghindarkan diri dari tangkapan panglima gendut.

Tiba-tiba sebuah akal menyelinap di otaknya. Sebetulnya dia tidak ingin mempergunakan akal ini, tidak ingin memperkenalkan diri. Akan tetapi baginya, lebih baik terjatuh ke tangan Thian-liong-pang atau Pulau Neraka daripada menjadi korban kekejian koksu yang dibencinya itu. Meloncatlah Bun Beng ke dekat wanita Thian-liong-pang, menjatuhkan diri berlutut di depan wanita itu sambil berseru.

“Harap bantu aku! Aku adalah anak yang dahulu kalian perebutkan di kuil tua di lembah Sungai Fen-ho lima tahun yang lalu!”

Mendengar ini, semua anggauta Thian-liong-pang dan anak buah Pulau Neraka memandang penuh perhatian, bahkan wanita itu melangkah maju sambil mengeluarkan suara terheran.

“Kau.... kau she apa?”

“Aku she Gak, aku Gak Bun Beng, Ayahku Gak Liat dan ibuku Bhok Kim....”

Pada saat itu, panglima gendut meloncat datang dan menubruk, akan tetapi wanita itu mengibaskan tangannya membentak,

“Pergilah!”

Tubuh panglima gendut yang masih melayang datang ketika menubruk itu tiba-tiba tartahan dan terbanting ke bawah. Brukkk! Ia terengah-engah dan setengah kelengar (pingsan) karena napasnya sesak. Sambil mengeluh ia merangkak bangun, membusungkan dada dan membentak,

“Nyonya.... eh, Nona.....” Ia tergagap, tidak tahan menentang pandang mata yang tajam dan sikap yang dingin itu, bingung tidak tahu apakah wanita cantik ini sudah bersuami ataukah masih gadis. “Kau tidak boleh membelanya, dia adalah tawanan Koksu!”

“Tidak peduli! Engkau tidak boleh menyentuhnya!” Wanita itu berkata, suaranya dingin menantang.

“Apa? Kau berani menentang Koksu?”

Panglima gendut yang merasa malu karena terbanting tadi membentak, mengandalkan nama koksu.

“Aku tidak menentang siapa-siapa. Akan tetapi seorang yang telah berlindung kepada Thian-liong-pang, tidak boleh diganggu siapapun juga.”

Wanita itu berkata dan jelas bahwa dia masih merasa segan untuk bermusuh dengan kok-su maka mempergunakan alasan yang sudah menjadi peraturan Thian-liong-pang, atau secara halus ia berlindung di balik nama perkumpulannya.

Pada saat itu terdengar pekik mengerikan sehingga semua orang menoleh dan sempat melihat dua orang pengawal roboh terguling dengan tubuh hangus begitu tangan mereka menyentuh mayat tokoh Pulau Neraka bermuka biru. Pengawal lain melompat dekat dan terdengar bentakan koksu,

“Jangan sentuh!”

Kiranya dua orang pengawal tadi hendak menyingkirkan mayat itu atas perintah komandannya karena adanya mayat di tengah-tengah itu selain memberi pemandangan yang tidak sedap juga akan menghalangi gerakan mereka kalau tiba saatnya turun tangan.

Akan tetapi begitu kedua orang pengawal itu menyentuh tubuh mayat Si Muka Biru dari Pulau Neraka, seketika mereka roboh dan tewas dan tubuh mereka menjadi hangus! Bukan main tokoh Pulau Neraka ini, sudah menjadi mayat masih mampu membunuh dua orang lawan! Hal ini adalah karena racun yang terkandung di tubuhnya dan membuktikan betapa hebat kepandaian orang-orang Pulau Neraka.

Muka Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun menjadi merah karena marah. Dia melangkah lebar, menuangkan benda cair berwarna putih perak dari guci ke atas tiga buah mayat itu.

“Jangan ganggu jenazah Suheng kami!”

Teriak dua orang bermuka biru tua dari rombongan Pulau Neraka sambil bergerak maju, akan tetapi sekali mengibaskan ujung lengan bajunya, Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun membuat dua orang Pulau Neraka itu jatuh terlentang seperti disambar petir dan pemimpin mereka yang bermuka hijau pupus membentak mereka mundur.

Sambil menyeringai dan mengatur napas kedua orang itu mundur. Sementara itu, tiga buah mayat kini telah mulai mencair dimakan benda cair yang luar biasa itu, yaitu racun penghancur mayat.

“Taijin, bocah itu dilindungi oleh orang-orang Thian-liong-pang!”

Panglima gendut memberi hormat kepada koksu sambil menuding ke arah wanita yang tadi menghalangi dia menangkap Bun Beng.

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun mengerutkan alisnya dan perlahan memutar tubuh, dari kerongkongannya terdengar dengus marah,

“Huhhh....?”

Semua anak buah pasukan koksu kini ikut memandang ke arah rombongan Thian-liong-pang dan mereka semua melihat sebuah pemandangan yang aneh. Kiranya kini sembilan orang anak buah Pulau Neraka juga sudah mengurung lima orang Thian-liong-pang itu dengan sikap mengancam.

Akan tetapi, wanita cantik yang memimpin empat orang temannya, sama sekali tidak peduli dan mereka berlima sedang mengurung Bun Beng sambil membujuk dan mendesak anak itu.

“Gak Bun Beng, engkau telah menjadi calon anggauta termuda Thian-liong-pang. Memang Pangcu (Ketua) menghendaki demikian, maka sekarang bersumpahlah engkau menurut peraturan Thian-liong-pang agar engkau syah menjadi anggauta kami! Engkau berikan lengan kananmu untuk kucacah dengan lukisan naga Thian-liong dan engkau harus mengucapkan sumpah mengikuti aku!”

Wanita cantik itu sudah mengeluarkan sebatang jarum sambil memegang lengan kanan Bun Beng. Seorang anggauta lain menyingsingkan lengan baju Bun Beng.

“Tidak....! Aku tidak mau menjadi anggauta Thian-liong-pang!”

Bun Beng berteriak dan meronta, hendak menarik kembali lengannya, akan tetapi mana ia mampu bergerak dari pegangan wanita sakti itu? Teriakannya mengejutkan lima orang Thian-liong-pang dan wanita itu menghardik.

“Kalau begitu mengapa engkau minta perlindungan kami?”

“Aku.... aku hanya minta bantuan agar tidak diganggu panglima gendut, sama sekali tidak ingin menjadi anggauta....”

“Engkau harus menjadi anggauta kami, mau atau tidak!” Wanita itu membentak.

“Tidak.... tidak.... mana ada aturan memaksa seperti ini? Aku tidak mau!”

“Ha-ha-ha-ha. Thian-liong-pang kiranya hanyalah perkumpulan tukang menakuti anak kecil.”

Tiba-tiba pemimpin rombongan Pulau Neraka yang hijau pupus warna kulitnya tertawa mengejek. Dia seorang laki-laki berusia lima putuh tahun, menjadi pemimpin rombongannya dan melihat warna kulitnya yang paling muda di antara kawan-kawannya, dapat diduga bahwa dia mempunyai kepandaian yang paling lihai. Sikapnya halus, suaranya halus dan pakaiannya seperti sasterawan!

Akan tetapi tiba-tiba terdengar suara ketawa yang menggetarkan semua orang. Yang tertawa adalah Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun, koksu dari Kerajaan Mancu yang sudah menghampiri tempat itu.

Diam-diam rombongan Pulau Neraka dan Thian-liong-pang terkejut karena mereka maklum bahwa kakek itu benar-benar memiliki tenaga sakti yang hebat sekali sehingga untuk melindungi jantung mereka tarpaksa harus mengerahkan tenaga sakti melawan pengaruh getaran yang ditimbulkan oleh suara ketawa itu.

“Ha-ha-ha-ha! Sungguh kebetulan sekali! Anak ini sudah menjadi tawananku sejak tadi, akan tetapi agaknya kini kalian Thian-liong-pang dan Pulau Neraka hendak memperebutkannya pula. Baiklah bukankah kita berkumpul sebagai orang-orang gagah? Kalau mengadu ilmu tanpa taruhan, sungguh kurang seru dan tidak menarik. Biarlah bocah ini dijadikan taruhan di antara kita tiga rombongan! Setiap rombongan mengajukan dua orang jago dan siapa di antara kita yang jago-jagonya keluar sebagai pemenang berhak memiliki bocah ini. Siapa yang tidak setuju?”

Ucapan kalimat terakhir ini mengandung ancaman dan seluruh urat syaraf di tubuh koksu ini sudah menegang karena sebuah kata-kata manentahg saja sudah cukup baginya untuk turun tangan membunuh orangnya!

Dalam keadaan seperti itu, rombongan Thian-liong-pang dan Pulau Neraka maklum bahwa menentang tidak menguntungkan pihaknya. Mereka sedang berebut dan menghadapi pihak lawan ini saja sudah berat, apalagi kalau sampai rombongan kerajaan itu membantu lawan! Daripada menderita kekalahan yang sudah pasti, lebih baik menerima usul itu karena mereka percaya bahwa ucapan yang keluar dari mulut koksu kerajaan ini, yang didengar banyak telinga, tentu dapat dipercaya sepenuhnya.

“Baik, kami setuju!” Wanita cantik Thian-liong-pang berkata.

“Kami setuju!” Kata pula Si Muka Hijau dari Pulau Neraka. “Kami mengajukan dua orang jago, aku sendiri dan Suteku ini!”

Seorang tinggi besar seperti raksasa yang mukanya juga hijau, akan tetapi sedikit lebih tua warnanya daripada pemimpin rombongan, meloncat keluar.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar