FB

FB


Ads

Rabu, 31 Desember 2014

Sepasang Pedang Iblis Jilid 006

“Suhu....! Suhu sudah memberi ijin kepada teecu, kenapa menyusul? Apakah Suhu hendak mengajak pulang ke Siauw-lim-si?”

Bun Beng terkejut dan khawatir ketika senja hari itu dia beristirahat dalam hutan, ia melihat gurunya muncul di depannya. Sudah tiga hari tiga malam dia mengadakan perjalanan naik turun gunung dan masuk keluar hutan.

Kakek Siauw Lam tersenyum dan ikut duduk di depan api unggun yang dibuat Bun Beng. Selama ini diam-diam ia mengikuti perjalanan muridnya dan menjadi kagum menyaksikan muridnya itu benar-benar melanjutkan perjalanan seorang diri tanpa mengenal takut.

“Muridku, apa kau kira aku tega membiarkan engkau menempuh perjalanan penuh bahaya ini? Aku tadinya hanya ingin mengujimu dan melihat sampai di mana kebulatan tekadmu. Ternyata engkau benar-benar ingin sekali pergi menyaksikan keramaian antara tokoh-tokoh kang-ouw, biarlah kubawa engkau ke sana.”

Wajah Bun Beng yang tadinya membayangkan kekhawatiran, tiba-tiba berseri gembira dan ia menjatuhkan diri berlutut di depan kakek itu,

“Terima kasih, Suhu. Terima kasih!”

Kakek Siauw Lam tertawa dan membuka bungkusan kain kuning yang dibawanya.
“Sudahlah. Nih ada roti kering, engkau tentu belum makan.”

Guru dan murid itu lalu makan roti kering dan minum air yang didapatkan Bun Beng dari sumber air di hutan itu, kemudian ia rebah mengaso di dekat api unggun,

“Bun Beng, semula aku memang tidak rela mengajakmu mengunjungi tempat yang akan dijadikan pertemuan orang-orang sakti itu. Amat berbahaya, muridku. Bahkan berbahaya sekali. Mereka adalah orang-orang kang-ouw yang selain memiliki ilmu kesaktian yang hebat juga merupakan orang-orang yang amat aneh wataknya, tidak seperti manusia biasa, bahkan ada yang mendekati kegilaan. Akan tetapi setelah kupikir-pikir, memang amat penting bagimu, terutama demi kemajuanmu. Engkau berbakat baik dan engkau sejak dahulu mempelajari dasar-dasar ilmu silat tinggi dari Siauw-lim-pai. Aku percaya bahwa dengan kepandaianmu yang kau pelajari dariku, belum tentu engkau akan kalah oleh orang yang sebaya denganmu. Akan tetapi, dibandingkan dengan tokoh-tokoh kang-ouw yang sakti itu, hemmm.... mungkin kepandaian yang kumiliki sekalipun sama sekali tidak ada artinya.”

Bun Beng terbelalak, tidak percaya. Suhunya adalah orang yang terpandai di Siauw-lim-pai, memiliki ilmu seperti dewa. Bagaimana mungkin ada tokoh kang-ouw yang lebih pandai dari gurunya ini? Namun, selamanya gurunya tidak pernah bicara bohong, maka apa yang diterangkan ini tentu ada benarnya pula. Hal ini membuat Bun Beng tertarik dan makin besar dorongan keinginan hatinya untuk bertemu dengan tokoh-tokoh sakti yang aneh itu

Sejenak mereka tak berkata-kata. Bun Beng termenung, teringat akan ibunya. Ibunya juga seorang murid Siauw-lim-pai, dan amat lihai. Ia teringat akan keadaan dirinya lima tahun yang lalu, ditinggalkan dalam kuil tua oleh ibunya. Teringat ia akan pesan ibunya ketika hendak pergi.

“Bun Beng, anakku sayang. Ibumu akan pergi mencari musuh besar kita. Mungkin aku tidak akan pergi lama. Akan tetapi kalau aku tidak kembali, tentu ada orang lain datang menjemputmu dan engkau harus turut dengan dia, anakku.”

Ternyata kemudian bahwa yang datang ke kuil demikian banyak orang yang saling memperebutkan dia! Selama lima tahun ini, kalau dia mengajukan pertanyaan pada gurunya tentang ibunya yang tidak kembali ke kuil, gurunya tidak mau menerangkan hanya berkata,

“Belajarlah yang rajin, dan kelak engkau akan tahu sendiri apa yang terjadi dengan Ibumu.”

Sekarang timbul lagi keinginan tahunya. Dia telah besar, telah sepuluh tahun lebih usianya. Gurunya telah membolehkan untuk pergi merantau biarpun kini suhunya itu menemaninya.

“Suhu, harap Suhu suka ceritakan tentang Ibu. Apakah Ibu masih hidup? Ataukah sudah mati? Harap Suhu jangan khawatir. Teecu kira tentu Ibu sudah tidak ada, karena kalau masih hidup, tentu Suhu tidak menyembunyikannya dari pengetahuan teecu. Maka, teecu harap sudilah Suhu berterus terang. Kalau masih hidup, di manakah Ibu? Kalau sudah mati, mengapa? Siapa membunuhnya dan di mana kuburannya?”

Melihat suhunya ragu-ragu untuk menjawab, anak itu melanjutkan,
“Suhu, harap Suhu jangan khawatir mengatakan andaikata Ibuku telah mati. Telah terlalu lama teecu menganggap Ibu telah tidak ada, dan keraguan ini lebih menyiksa daripada mendengar kenyataannya.”

Bukan main anak ini, pikir kakek itu. Sekecil ini memiliki wawasan sedalam itu, maka ia pun lalu menjawab,

“Ibumu Bhok Khim murid Siauw-lim-pai itu memang telah tewas, Bun Beng.”

Bun Beng menunduk sejenak dan dia tidak menangis! Hanya suaranya menjadi agak gemetar ketika ia bertanya,

“Apakah Ibu gagal membalas dendam dan tewas di tangan musuh besarnya?”

“Tidak muridku. Ibumu tidak gagal, bahkan berhasil membunuh musuhnya, akan tetapi musuhnya itu pun dapat membunuhnya. Dalam pertadingan itu, mereka keduanya tewas. Nah, sekarang engkau telah mengerti dan sebaiknya kalau engkau tidak lagi memikirkan Ibumu?”

“Baik, Suhu. Akan tetapi Ayahku? Di manakah Ayah teecu? Ibuku tidak pernah mau menjawab kalau teecu menanyakan Ayah.”

Berat rasa hati Kakek Siauw Lam. Bagaimana dia harus menjawab? Dia tidak mau membohong, akan tetapi juga tidak sampai hati untuk menceritakan bahwa ayah anak ini adalah musuh besar ibunya itu! Maka setelah berpikir sejenak, ia menjawab tenang,

“Ayahmu juga telah meninggal dunia Bun Beng.”

“Oohhh....!” Anak itu kecewa sekali, akan tetapi tidak menangis, tidak berduka karena memang selamanya belum pernah ia melihat ayahnya. “Tahukah Suhu, siapa nama Ayah teecu?”

“Namanya.... Gak Liat.”

Bun Beng mengangguk dan menggigit bibirnya. Nama itu terukir di lubuk hatinya dengan dua huruf besar-besar.






“Jadi teecu she Gak? Pantas dulu Ibu mengatakan bahwa teecu boleh memakai she Bhok atau She Gak....”

“Dan engkau akan memakai she yang mana Bun Beng?” Kakek itu memandang tajam wajah muridnya yang disinari api unggun.

“Tentu saja she Gak. Gak Bun Beng, seorang anak yatim piatu....” Suara ini agak tersendat oleh keharuan.

Kakek itu memegang pundak Bun Beng.
“Kematian orang bukanlah hal yang patut disusahkan, muridku. Kita semua manusia yang dilahirkan, suatu saat pasti akan mati, dan mati berarti terbebas daripada duka nestapa dan derita perasaan di waktu hidup. Jangan mengira engkau setelah ditinggal ayah-bundamu lalu menjadi seorang manusia yatim piatu yang tidak mempunyai apa-apa. Tengok di kanan kirimu, semua yang tampak, tetumbuhan dan binatang, adalah teman-teman hidup senasib. Dan semua manusia di dunia ini adalah saudara-saudara sendi¬ri. Langit adalah Ayahmu yang sejati, sedangkan Bumi, adalah Ibumu yang sejati. Takut apa?”

Anak itu memandang wajah gurunya. Hatinya besar sekali dan ia tersenyum!
“Terima kasih, Suhu. Apalagi kalau teecu dapat bertemu dan berkenalan dengan tokoh-tokoh sakti di dunia ini, tentu teecu takkan merasa kesepian. Di dunia ini banyak manusia-manusia yang mulia hatinya, seperti Suhu. Dan sakti, seperti.... Pendekar Siluman! Eh, Suhu juga sakti sekali, tidak tahu siapa lebih sakti antara Suhu dan Pendekar Siluman yang berkaki buntung itu?”

Gurunya tertawa.
“Tidak salah kata-katamu. Dunia ini penuh orang sakti. Dan Pendekar Super Sakti itu adalah seorang di antara mereka, dibandingkan dengan dia, ahhh.... Suhumu ini bukan apa-apa.”

“Suhu terlalu merendahkan diri. Tee¬cu tidak percaya!”

“Memang, sebaiknya engkau pun selama hidupmu bersikaplah seperti aku, Bun Beng. Rendah hati bukan rendah diri! Orang yang rendah hati akan berhasil memperoleh kemajuan pesat, sebaliknya orang yang tinggi hati akan tergelincir oleh kesombongannya sendiri. Namun, bicara tentang Pendekar Super Sakti yang kini kabarnya menjadi majikan Pulau Es, dia memang merupakan seorang muda yang mempunyai ilmu kepandaian luar biasa sekali, bukan hanya ilmu silat tinggi-tinggi sebagai murid yang mewarisi ilmu-ilmu dari Pulau Es, juga dia memiliki ilmu sihir yang luar biasa sekali. Sungguh sukar membayangkan mencari orang yang dapat menandinginya dalam ilmu kesaktian. Sudahlah, kita mengaso, besok kita melanjutkan perjalanan. Kelak engkau tentu akan dapat bertemu dengan mereka dan membuktikan sendiri bagaimana lihai mereka itu.”

Membayangkan para pendekar ini, Bun Beng melupakan kedukaannya tentang ayah bundanya dan malam itu ia tertidur di dekat api unggun, bermimpi tentang pendekar-pendekar sakti yang menunggang naga dan pandai menangkap geledek!

Pada keesokan harinya mereka melanjutkan perjalanan. Melakukan perjalanan bersama gurunya amatlah menggembirakan hati Bun Beng karena gurunya itu tahu akan segala hal, bahkan tahu akan nama setiap gunung yang mereka lalui, atau nama setiap kota, dusun, bahkan sungai!

Ketika mereka tiba di tepi Sungai Huang-ho di sebelah barat kota Cin-an, Bun Beng mendapat kenyataan pertama bahwa gurunya memang bukan orang sembarangan. Ketika suhunya mengajaknya berjalan-jalan di tepi sungai yang ramai penuh dengan nelayan dan perahu-perahu layarnya, tiba-tiba muncul tiga orang berpakaian pengemis yang serta-merta menjatuhkan diri berlutut di depan suhunya!

“Eh, eh, harap kalian bangun kembali. Agaknya Sam-wi (Kalian Bertiga) sudah salah mengenal orang!” Kakek Siauw Lam menggerakkan tongkat bututnya minta mereka bangkit.

Akan tetapi tiga orang kakek jembel itu tidak mau bangkit, bahkan seorang di antara mereka yang bertubuh bongkok segera berkata,

“Kami dari Pek-lian-kai-pang selamanya tidak berani bersikap kurang ajar terhadap Siauw-lim-pai, apalagi terhadap Locianpwe Siauw Lam Losuhu. Mohon tanya, ada keperluan apakah Locianpwe datang ke tempat ini? Barangkali saja kami dapat membantu.”

Mendengar bahwa mereka adalah anak buah Pek-lian-kai-pang, atau lebih tepat hanya sisa-sisa dari anak buah Perkumpulan Pengemis Teratai Putih yang terkenal itu, setelah Pek-lian-kai-pang terbasmi oleh Pemerintah Mancu (baca Pendekar Super Sakti), kakek Siauw Lam tidak membantah lagi dan berkata,

“Kami berdua ingin menonton keramaian di muara Sungai Huang-ho, dan sedang mencari perahu untuk disewa.”

Wajah tiga orang pengemis itu berubah, kaget dan pucat.
“Ke.... ke sana....! Aih, Locianpwe, di antara kami dan para nelayan, siapakah yang berani pergi kesana dalam waktu ini? Mencari mati saja! Akan tetapi tentu saja Locianpwe lain lagi, dan kalau saja kami berkepandaian tinggi seperti Locianpwe, agaknya takkan dapat menahan keinginan hati menonton keramaian itu. Locianpwe membutuhkan perahu? Kami mempunyai sebuah, boleh Locianpwe pakai. Kalau mencari sewa, kami kira tidak ada nelayan yang mau menyewakan perahunya pergi kemuara. Marilah, Locianpwe.”

Ketiga orang jembel tua itu bangkit berdiri dan melangkah pergi, sikapnya seperti tidak acuh lagi padahal tadi begitu menghormat. Memang, aneh-anehlah sikap orang kang-ouw dan hal ini mulai dimengerti oleh Bun Beng. Gurunya mengikuti tiga orang kakek jembel itu dan Bun Beng juga cepat mengikuti gurunya. Di pantai sungai agak menyendiri dan jauh dari tempat ramai tiga orang kakek jembel itu berhenti dan menunjuk ke sebuah perahu kecil yang berlabuh di pinggir sungai.

“Itulah perahu kami, sekarang kami serahkan kepada Locianpwe, menjadi perahu Locianpwe. Silahkan dan maaf kami mempunyai urusan lain, Locianpwe.”

Tiga orang kakek itu lalu pergi begitu saja, tidak menanti terima kasih! Dan anehnya gurunya juga tidak menyatakan terima kasih sehingga diam-diam Bun Beng menjadi tidak puas atas sikap gurunya yang dianggapnya kurang terima! Agaknya Kakek Siauw Lam dapat melihat isi hati muridnya maka ia berkata.

“Di dalam dunia kang-ouw terdapat paham bahwa di antara golongan sendiri, sebuah benda adalah milik bersama, terutama kalau dipergunakan untuk kebutuhan mendesak. Dan, pemberian benda yang sudah merupakan kewajaran, tidak perlu dibalas dengan terima kasih, hal itu hanya akan menimbulkan ketidak puasan si pemberi yang menganggap orang itu bersikap sungkan seperti orang asing bukan segolongan! Kalau tadi aku mengucapkan terima kasih, tentu mereka akan menganggap bahwa aku sombong dan tidak mau menganggap mereka sebagai segolongan!”

Bun Beng melongo dan mengangguk-angguk. Betapa anehnya orang-orang kang-ouw itu, pikirnya. Akan tetapi ia mulai memperhatikan perahu itu. Sebuah perahu yang buruk akan tetapi kokoh kuat, dengan tihang layar dari bambu dan layar-layarnya banyak yang sudah ditambali, seperti pakaian tiga orang kakek jembel tadi. Bukan seperti perahu yang baik, akan tetapi lumayan dan cukup kuat!

Kakek Siauw Lam mengajak Bun Beng naik ke perahu, melepas ikatan dan menggunakan dayung menggerakkan perahu ke tengah sungai yang amat lebar itu. Makin lama makin ke tengah dan Bun Beng belajar caranya mendayung.

Mula-mula memang sukar sekali, apalagi kalau harus menerjang arus air, akan tetapi lama-lama ia menjadi biasa dan dapat menguasai cara mendayung. Perahu meluncur mengikuti arus air ke timur dan Kakek Siauw Lam mengembangkan sebuah layar kecil untuk membantu lajunya perahu.

Bun Beng benar-benar merasa gembira. Selamanya belum pernah ia berlayar dan sekali berlayar dia belajar mendayung dan mengemudikan perahu! Ternyata jauh lebih enak melakukan perjalanan dengan perahu, tidak melelahkan seperti kalau melakukan perjalanan darat dengan jalan kaki. Juga pemandangan alamnya tidak kalah menariknya karena di kanan kiri sungai itu tampak lembah yang subur dan diseling pegunungan dan hutan-hutan liar menghijau.

Pada suatu hari, pagi-pagi sekali mereka tiba di sebuah tikungan yang menurun. Arus airnya kuat dan berobah ganas, berombak dan mengandung banyak putaran air sehingga Kakek Siauw Lam turun tangan sendiri memegang kemudi dengan dayung. Setelah menikung dan air tidak begitu ganas lagi, tiba-tiba Bun Beng meloncat berdiri dan menuding ke depan sambil berkata.

“Suhu, lihat! Banyak perahu di depan, dan banyak orang di sana. Ada benderanya segala, siapakah mereka itu?”

“Kau tenanglah Bun Beng dan jangan mengeluarkan ucapan. Lihat saja dan jangan mencampuri kalau terjadi sesuatu. Mereka adalah rombongan partai-partai persilatan dan agaknya keramaian belum dimulai, semua orang masih bersikap menunggu-nunggu.”

Kakek itu bangkit dan berkata lirih, hatinya tegang karena dia dapat merasakan betapa suasana amat panas dan sewaktu-waktu dapat meledak perpecahan di antara orang-orang kang-ouw yang memperebutkan pusaka.

Setelah perahu mereka mendekat, kakek itu menyuruh Bun Beng untuk duduk diam saja, mengemudikan perahu dan menyuruh muridnya mengambil jalan tengah. Banyak perahu malang-melintang, agaknya memang sengaja mereka yang berada di perahu itu memancing-mancing keributan. Sekali saja ada perahu bertumbukan, tentu akan terjadi keributan itu.

Ketika kakek Siauw Lam dapat membaca tulisan pada bendera, terkejutlah dia karena ternyata bahwa yang berkumpul di situ dan seolah-olah menghadang itu adalah rombongan bajak sungai Hek-liong-pang (Perkumpulan Naga Hitam) yang terkenal pada masa itu dan yang tidak saja menjadi bajak di muara Sungai Huang-ho, bahkan kadang-kadang turun ke laut dan mengganggu kapal-kapal di laut Po-hai! Akan tetapi kakek ini bersikap tenang saja, membisikkan kepada muridnya agar memperlambat lajunya perahu mereka.

Tiba-tiba tampak seorang di antara para bajak itu berdiri di kepala perahu yang menghadang di depan, kemudian terdengar suaranya lantang seperti bernyanyi :

“Dari delapan penjuru muncul harimau dan naga datang ke muara memperebutkan mustika. yang merasa dirinya bukan harimau atau naga pergilah jangan mencari jalan ke neraka!”

Kakek Siauw Lam masih tetap tenang, bahkan kini ia menggunakan tongkatnya dipukul-pukulkan dan digoyang-goyangkan ke dalam air seperti bermain-main. Tongkatnya menerbitkan suara berirama lalu terdengarlah kakek ini bernyanyi :

“Harimau dan naga memperebutkan mustika biarlah! Sang Kucing tidak menghendaki apa-apa hanya menonton menggunakan mata sendiri siapa yang ambil peduli?”

Bun Beng yang mengemudikan perahu tidak begitu mengerti apa yang dimaksudkan dengan nyanyian-nyanyian itu, akan tetapi ia terbelalak kaget melihat betapa tongkat suhunya yang dipermainkan di air itu selain menerbitkan suara berirama, juga menimbulkan gelombang yang membuat perahu-perahu penghalang itu terombang-ambing, bahkan terdorong minggir!

Juga para pimpinan bajak mengerti bahwa kakek itu ternyata memiliki kepandaian dahsyat, maka perahu-perahu mereka minggir memberi jalan dan mereka semua berdiri di kanan kiri sambil memberi hormat mengangkat kedua tangan ke depan dada ketika perahu kecil itu lewat. Bajak yang tadi bernyanyi, kini bernyanyi pula, suaranya lantang :

“Burung terbang dapat dipanah
ikan berenang dapat dijala
binatang lari dapat dijebak!
Kami yang bodoh tidak dapat mengenal naga sakti yang menunggang angin dan mega.
Maaf, maaf, maaf!”

Akan tetapi kakek Siauw Lam tidak menjawab, hanya dengan tenang membantu muridnya mengemudikan perahu yang kini meluncur lewat rombongan bajak yang menghadang itu. Setelah beberapa kali melewati tikungan dan tidak tampak lagi bajak, Bun Beng tak dapat menahan keinginan hatinya yang sejak tadi berdebar tegang.

“Eh, Suhu! Apakah artinya semua nyanyian tadi? Sikap mereka begitu menakutkan akan tetapi Suhu hanya bernyanyi untuk mengalahkan mereka! Apa artinya?”

Kakek itu menghela napas panjang lalu menggeleng kepala.
“Gerombolan bajak dapat mempergunakan kata-kata indah, bahkan dapat menggunakan ujar-ujar, hal ini saja menunjukkan bahwa golongan bajak pun telah amat maju. Tentu Ketua Hek-liong-pang yang sekarang ini bukan orang sembarangan!”

“Bajak? Apakah mereka itu bajak, Suhu?”

Gurunya mengangguk.
“Mereka adalah anak buah bajak sungai Hek-liong-pang yang mengganas di muara Sungai Huang-ho. Nyanyian mereka tadi menyindirkan bahwa di muara sungai kini sedang didatangi tokoh-tokoh kang-ouw sakti yang diumpamakan naga dan harimau memperebutkan mustika yang agaknya dimaksudkan pusaka-pusaka itu. Dan mereka itu menjaga agar tokoh yang tidak berkepandaian tinggi, tidak perlu mendekat karena hanya akan merupakan gangguan saja. Ketua merekapun merupakan seorang di antara mereka yang dianggap naga harimau!”

Bun Beng mengangguk-angguk.
“Ah, kalau begitu, Suhu tadi menyindirkan bahwa sebagai kucing Suhu hanya ingin menonton. Akan tetapi biarpun kucing, bukan sembarang kucing! Tongkat Suhu menimbulkan gelombang membuat mereka sadar bahwa Suhu bukan sembarang kucing melainkan seekor naga yang menunggang angin dan mega! Bukankah begitu, Suhu?”

Gurunya mengangguk.
“Nyanyian mereka terakhir tadi dipergunakan untuk memuji dan minta maaf. Padahal kata-kata itu berasal dari kata-kata pujian Nabi Khong Hu Cu yang ditujukan kepada Nabi Lo Cu setelah kedua nabi itu saling berjumpa dan bercengkerama.”

Perahu melucur terus dan menjelang senja perahu mereka melalui sungai yang menyempit, diapit dinding batu karang menggunung. Kembali Bun Beng yang tadinya melewatkan waktu dengan berlatih pedang yang dibawanya, pedang biasa yang selalu ia pergunakan untuk berlatih ilmu silat pedang, menghentikan latihannya dan berseru,

“Suhu....! Di atas tebing itu.... banyak tentara! Dan bendera itu ada huruf besarnya berbunyi Kok Su (Guru Negara)! Wah, banyak sekali tentaranya, agaknya berjaga-jaga di daerah ini!”

“Ssst, kita sudah hampir sampai. Simpan pedang itu. Selewatnya dua tebing itu kita tiba di muara dan di pulau-pulau tengah sungai. Di tempat itulah keramaian terjadi karena dikabarkan bahwa tempat rahasia penyimpanan pusaka berada di situ. Agaknya tentara negeri menjaga dan melarang orang mendekatinya dari darat. Cepat, kita minggirkan perahu, berlindung di bawah tebing, di bawah batu karang yang menonjol itu!”

Kakek Siauw Lam membantu muridnya mendayung perahu sehingga perahu mereka meluncur cepat ke bawah batu karang. Kakek itu melontarkan tali dan dikaitkan pada batu karang sehingga perahu mereka menempel batu karang dan tidak hanyut.

Malam tiba dan mereka makan roti kering sambil minum arak merah yang dibawa kakek itu sebagai bekal. Angkasa penuh bintang berkelap-kelip dan sambil menanti lewatnya malam, Kakek Siauw Lam bercakap-cakap dengan muridnya.

“Suhu, kenapa kita tidak melanjutkan perahu sampai ke pulau-pulau itu?”

“Berbahaya! Hari sudah malam dan gelap, lebih baik kita menanti di sini dan besok pagi baru kita berangkat ke sana. Dalam keadaan gelap, sungguh tidak baik kalau kita melibatkan diri dengan urusan mereka. Kalau hari terang, tentu aku dapat melihat keadaan dan menyesuaikan diri.”

“Suhu, selain Pendekar Siluman yang menjadi Majikan Pulau Es, siapa lagi mereka yang dahulu memperebutkan diri teecu? Sampai sekarang Suhu belum menceritakan keadaan mereka kepada teecu.”

“Yang mukanya berwarna merah adalah anak buah dari Pulau Neraka.”

“Pulau Neraka? Sungguh menyeramkan namanya. Di mana itu, Suhu?”

“Sampai sekarang belum ada tokoh kang-ouw yang mengetahuinya, bahkan mendengarnya pun baru akhir-akhir ini. Pulau Neraka sama aneh dan penuh rahasia seperti Pulau Es. Akan tetapi Pulau Es ini sudah puluhan tahun dikenal namanya, sungguhpun tidak pernah ada pula yang pernah melihatnya, kecuali Pendekar Siluman dan anak buahnya, tentu saja.

Datuk-datuk golongan hitam dan putih dahulu memperebutkan dan mencari, karena kabarnya pusaka peninggalan Bu Kek Siansu berada di sana. Namun tidak pernah ada yang berhasil. Adapun Pulau Neraka ini sebenarnya hanya dikenal sebagai dongeng yang turun-temurun di antara tokoh kang-ouw lama. Kabarnya sebuah pulau yang amat berbahaya, tidak dapat didatangi manusia, penuh dengan racun. Tidak hanya binatang-binatang beracun, bahkan buah-buahan, tetumbuhan dan batu-batuan di sana beracun semua! Maka, amatlah mengagetkan ketika muncul tokoh-tokohnya dari sana yang kesemuanya berwarna-warni kulit tubuhnya! Mengerikan!”

“Wah, hebat! Apakah muka mereka itu diberi warna untuk membedakan tingkat mereka?”

Kakek itu menggeleng kepala.
“Ketika aku bertemu dengan mereka lima tahun yang lalu di kuil tua, aku terkejut dan memperhatikan. Warna-warna pada muka mereka bukan warna buatan, melainkan warna dari dalam kulit! Agaknya, melihat keadaan mereka dahulu itu, makin terang dan muda warna mukanya, makin tinggi tingkatnya. Dan kabarnya Pulau Neraka itu dipimpin oleh seorang yang memiliki kepandaian seperti iblis! Akan tetapi entahlah tak pernah ada orang yang bertemu dengannya. Bahkan anak buah mereka pun baru sekali itu kulihat. Aku pun masih heran memikirkan bagaimana mereka itu tahu tentang dirimu dan hendak merampasmu, sungguh merupakan hal yang membingungkan dan sukar dimengerti!”

Bun Beng makin tertarik dan makin terheran-heran.
“Kalau tokoh-tokoh yang lain itu siapakah, Suhu?”

“Mereka juga bukan orang-orang sembarangan. Ternyata mereka yang hanya merupakan anak buah tingkat rendah saja sudah mampu menandingi dua orang tokoh Pulau Neraka. Mereka itu adalah anak buah dari perkumpulan Thian-liong-pang yang baru sekarang muncul akan tetapi begitu muncul menggegerkan dunia kang-ouw karena tokoh-tokohnya berilmu tinggi. Kabarnya ketua mereka yang baru juga seorang aneh sekali yang ilmu kepandaiannya tidak lumrah manusia!”

“Kalau begitu, jika nanti tokoh-tokoh Pulau Es, Pulau Neraka dan Thian-liong-pang muncul, tentu mereka yang akan menjagoi dan mampu memperebutkan pusaka-pusaka itu! Siapa yang akan mampu menandingi mereka?”

Kakek itu menggeleng kepala dan menghela napas panjang.
“Aaahh, kau tidak tahu tingginya langit tebalnya bumi, Bun Beng! Ilmu kepandaian tidak ada batasnya dan tidak mungkin dapat diukur sampai di mana puncaknya. Di dunia ini banyak sekali terdapat orang-orang pandai. Yang tidak pernah memperlihatkan diri malah memiliki kepandaian menggila! Kini, setelah ada umpan berupa berita pusaka-pusaka itu, hem, aku hendak melihat apakah orang-orang sakti itu tidak tertarik! Kalau mereka muncul, tentu akan ramai sekali.

Dan jangan kira pihak lain tidak mempunyai jago-jagonya. Pemerintah mempunyai banyak orang-orang pandai, dan kalau sekarang koksu kerajaan muncul, tentu kepandaiannya hebat. Apalagi ada kudengar bahwa kok¬su mempunyai dua orang pembantu yang ilmu kepandaiannya sukar dikatakan sampai di mana tingginya. Mereka itu jarang dikenal orang kepandaiannya, akan tetapi mengingat bahwa mereka adalah dua orang pendeta Lama dari Tibet, aku dapat menduga bahwa tentu ilmu kepandaiannya luar biasa sekali.”

Dengan hati penuh keheranan dan kekaguman, Bun Beng mendengarkan penuturan suhunya dan akhirnya ia dapat pulas juga di atas perahu setelah menanti dengan hati tidak sabar agar malam lekas terganti pagi. Kakek itu memandang wajah muridnya di bawah bintang-bintang yang suram, menarik napas panjang dan berbisik seorang diri.

“Bocah ini bukan anak sembarangan. Entah nasib apa yang menantinya? Agaknya dia ditakdirkan akan terlibat dalam keributan tokoh-tokoh sakti yang muncul di tempat ini. Hemm.... semoga dia kelak akan dapat berdiri di atas kebenaran, keadilan dan menjadi hamba kebajikan, mencuci noda ayah bundanya.” Kakek ini pun lalu duduk bersila, bersamadhi untuk memberi istirahat kepada tubuhnya yang tua.

Sementara itu, di dalam tenda besar yang didirikan di atas tebing sungai, seorang kakek berkepala botak memimpin perundingan, menghadapi meja yang dikelilingi oleh tiga orang panglima dan dua orang pendeta gundul. Kakek botak ini bukan orang sembarangan karena dialah Koksu Kerajaan Ceng yang belum ada setahun diangkat oleh Kaisar sebagai pengganti Puteri Nirahai yang lenyap.

Kakek botak ini tadinya adalah seorang pertapa di Pegunungan Go-bi-san, seorang keturunan India akan tetapi memakai nama Tiong-hoa. Namanya Bhong Ji Kun dan julukannya Im-kan Seng-jin (Nabi Akhirat)! Ilmu kepandaiannya memang tinggi sekali dan setelah mendemonstrasikan ilmu-ilmunya dan mengalahkan semua jago kerajaan, dia diangkat menjadi koksu dan mengepalai semua jagoan kerajaan.

Im-kan Seng-jin ini pulalah yang berhasil menemukan peta rahasia yang menunjukkan tempat penyimpanan pusaka-pusaka yang diperebutkan itu dan kini Kaisar mengutus dia sendiri memimpin pasukan pengawal, membawa pembantu-pembantunya untuk menuju ke pulau di muara Sungai Huang-ho karena kaum kang-ouw yang bertelinga tajam itu rupanya telah dapat mendengar akan hal ini sehingga pihak kerajaan merasa khawatir kalau-kalau mereka didahului oleh kaum kang-ouw.

Im-kan Seng-jin Bhong Ji Kun memblokir kedua tebing di kanan kiri muara dari mana mereka dapat menjaga dan memandang ke arah pulau-pulau itu, dan malam itu Im-kan Seng-jin mengadakan perundingan dengan lima orang pembantunya.

Dua orang pendeta itu bukan lain adalah Thian Tok Lama dan Thai Li Lama, dua orang pendeta Lama dari Tibet yang kini diperbantukan oleh Kaisar di istananya. Di dalam cerita Pendekar Super Sakti, dua orang pendeta Lama ini sudah muncul sebagai orang-orang yang sakti dan sukar dicari tandingannya. Adapun tiga orang panglima yang berpakaian perang dan kelihatan gagah perkasa itu pun bukan sembarangan orang, melainkan jagoan-jagoan tingkat tinggi yang mengepalai pasukan pengawal istana!

“Maaf Koksu. Sungguh saya tidak mengerti mengapa Koksu begitu sabar dan mendiamkan saja berkumpulnya orang-orang kang-ouw itu? Mengapa memberi kesempatan kepada mereka sehingga membahayakan pasukan yang akan kita ambil? Bukankah lebih baik kita turun tangan mengusir mereka, kalau mereka membangkang, apa sukarnya menangkap dan membasmi mereka sebagai pemberontak?”

Tanya Bhe Ti Kong, panglima yang tampan, tinggi besar dan gagah perkasa, bermuka merah dan bermata lebar, pantas menjadi seorang panglima besar atau jenderal yang kosen.

Dua orang panglima lainnya mengangguk-angguk menyatakan setuju dengan pertanyaan ini karena mereka pun merasa penasaran. Hanya kedua orang pendeta Lama itu yang duduk dengan tenang, tidak bicara apa-apa hanya menanti apa yang akan menjadi jawaban Im-kan Seng-jin.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar