FB

FB


Ads

Jumat, 14 November 2014

Pendekar Super Sakti Jilid 006

“Ha-ha, mau apa lagi? Membereskan urusan antara kita dengan senjata!” kata It-gan Hek-houw sambil terkekeh dan menggerak-gerakkan tongkatnya yang juga berwarna hitam seperti pakaiannya.

Lauw-pangcu memberi isyarat dengan tangan dan melompatlah lima belas orang anggauta Pek-lian Kai-pang tingkat tinggi. Mereka inilah yang oleh Sin Lian dan Han Han disebut susiok (paman guru) dan mereka ini yang mewakili Lauw-pangcu melatih ilmu silat kepada para murid.

Hanya Sin Lian dan Han Han berdua saja yang menerima pendidikan langsung dari ketua Pek-lian Kai-pang ini. Lima belas orang itu bergerak secara teratur, berputaran dan terbentuklah sebuah barisan lingkaran tiga lapis. Yang luar terdiri dari delapan orang, sebelah dalamnya lima orang dan yang paling dalam dua orang. Bentuknya seperti teratai.

“Song-pangcu, bicara tentang mengadu senjata berarti mengadu kepandaian. Seorang pangcu yang mempunyai banyak anak buah, tidak patut kalau turun tangan sendiri sebelum mengajukan anak buahnya. Cobalah kau pecahkan barisan kami yang bernama Pek-lian-tin (Barisan Teratai Putih) ini!” kata Lauw-pangcu.

Barisan itu hanya bentuknya saja seperti teratai, akan tetapi sebenarnya merupakan gabungan daripada pat-kwa-tin (barisan segi delapan) yang diwakili oleh lingkaran pertama di luar, ngo-heng-tin (barisan lima unsur) yang diwakili oleh lingkaran ke dua dan im-yang-tin (barisan im-yang) diwakili oleh dua orang, yaitu sesungguhnya bukan barisan hanya kerja sama antara dua orang yang menggunakan dua jenis tenaga yang berlawanan dalam gerakan mereka. Dapat diduga betapa hebat dan kuatnya barisan Pek-lian-tin yang terdiri dari gabungan tiga barisan kuat.

Akan tetapi It-gan Hek-houw yang sudah mendengar akan Pek-lian-tin ini memandang rendah dan tertawa mengejek. Ia sudah siap dengan anak buahnya yang dipilih atas tokoh-tokoh terpandai dari Hek-i Kai-pang. Ia pun memberi tanda dengan tongkatnya diangkat ke atas maka majulah lima belas orang pengikutnya yang rata-rata bertubuh kuat, tidak seperti ketua mereka yang bongkok. Seperti Pek-lian-tin itu, mereka pun masing-masing memegang sebatang tongkat hitam, yang hanya warnanya saja berbeda dengan tongkat lawan yang putih.

Lima belas orang pengemis pakaian hitam ini lalu bergerak pula membentuk lingkaran besar, mengelilingi Pek-lian-tin. Mereka ini harus terus berlari-larian mengelilingi barisan pengemis Pek-lian Kai-pang yang tetap pada kedudukan mereka, tidak bergerak, hanya pandang mata mereka saja tetap memperhatikan lawan yang berada di depan mereka masing-masing.

Dengan lingkaran terdiri dari lima belas orang itu, maka barisan luar pat-kwa-tin yang terdiri dari delapan orang itu menghadapi jumlah lawan yang hampir dua kali lebih banyak. Namun mereka tetap tenang, siap dengan tongkat di tangan, demikian pula ngo-heng-tin yang berada di dalam, dan dua orang yang membentuk im-yang-tin.

Han Han menonton dengan jantung berdebar. Baru sekali ini ia akan menyaksikan pertempuran hebat antara orang-orang yang pandai ilmu silat dan mulailah rasa tidak senang menggerogoti hatinya. Jadi mereka itu mati-matian berlatih ilmu silat hanya untuk ini? Untuk berkelahi, saling serang dan mungkin saling bunuh? Apakah kelak kalau dia sudah pandai ilmu silat juga seperti mereka ini? Ia pun memikirkan tuduhan kakek mata satu itu yang dilontarkan terhadap Pek-lian Kai-pang.

Benarkah Pek-lian Kai-pang itu sebuah perkumpulan pemberontak? Benarkah Pek-lian Kai-pang adalah cabang dari Pek-lian-kauw? Dia sudah pernah membaca tentang Pek-lian-kauw ini, yang merupakan perkumpulan Agama Teratai Putih, akan tetapi sesungguhnya adalah perkumpulan kaum pemberontak yang gigih terhadap Kerajaan Beng-tiauw yang telah jatuh di tangan bangsa Mancu.

Menurut patut, pemberontak terhadap Kerajaan Beng tentunya bekerja sama dengan bangsa Mancu! Akan tetapi mengapa sekarang masih disebut pemberontak dan malah tadi dituduh mengadakan kontak dengan pemberontak di barat? Han Han tidak mengerti dan menjadi bingung, akan tetapi hal itu ia lupakan karena perhatiannya lebih tertarik kepada pertempuran hebat yang akan berlangsung.

“Anjing-anjing hitam itu tidak mungkin dapat menangkan Pek-lian-tin!” kata Sin Lian dengan suara berbisik.

“Akan tetapi jumlah mereka lebih banyak. Mana bisa lingkaran luar yang terdiri dari delapan orang dapat bertahan?” bantah Han Han yang mau tidak mau tentu saja berfihak kepada Pek-lian Kai-pang.

“Kau lihat saja, nanti tahu kelihaian Pek-lian-tin, sute.”

Han Han tidak keburu bertanya lagi karena kini pertandingan sudah dimulai, perhatiannya tertarik dan ia menonton dengan hati tegang. Baru pertama kali ini selama hidupnya Han Han menonton pertempuran seperti ini dan karena ia tahu bahwa dalam pertempuran ini akan banyak orang terluka dan tewas, maka hatinya tegang sekali.

Pertempuran itu dimulai dengan bentakan-bentakan dan sorakan-sorakan nyaring dari kedua fihak. Mula-mula lima belas orang pengemis baju hitam itu setelah tadi berlari-larian memutari Pek-lian-tin, bersorak dan menyerbu secara tiba-tiba.

Lima belas orang itu bergerak dengan cepat dan dalam detik yang sama, karena memang mereka itu bergerak menurut aturan barisan yang telah mereka susun dan latih sebelumnya. Tongkat mereka maju menerjang dan setiap dua orang pengemis baju hitam telah memilih seorang pengemis Teratai Putih sebagai lawan sehingga penyerangan mereka tidak kacau, mempunyai sasaran yang tertentu.

Kalau diukur tingkat kepandaian perorangan antara anggauta kedua “tin” ini, agaknya berimbang dan tidak banyak selisihnya. Maka jika seorang diantara mereka dikeroyok dua orang lawan, tentu akan kalah. Kalau lingkaran luar Pek-lian-tin itu menerima serangan lawan begitu saja, tentu mereka akan hancur mengingat bahwa jumlah mereka hanya delapan orang menghadapi serangan lima belas orang.

Akan tetapi, setelah bertanding, barisan ini memperlihatkan kehebatannya. Tiba-tiba mereka itulah yang sekarang bergerak memutar sambil menangkis sebuah serangan. Dan karena mereka bergerak memutar ini maka setiap orang pengemis Pek-lian Kai-pang hanya cukup menangkis serangan seorang lawan saja lalu bergerak ke kiri menerima pula serangan tongkat hitam yang lain.






Adapun orang ke dua fihak lawan yang menyerangnya otomatis telah “diterima” oleh teman yang datang menggeser dari kanan. Memang gerakan ini membuat mereka menerima serangan secara bertubi-tubi, namun tetap saja mereka itu masing-masing hanya menghadapi seorang lawan saja.

Kemudian secara tiba-tiba sekali, barisan sebelah dalam yang terdiri dari lima orang, cepat dan tidak terduga-duga oleh barisan lawan yang sedang gembira mendesak lingkaran luar yang berputaran itu, menerjang dari celah-celah antara dua orang kawan yang membentuk Pak-kwa-tin. Mereka ini menerjang dengan tongkat mereka menuju ke sebuah sasaran saja, yaitu ke arah seorang lawan yang mereka lihat dari dalam tadi berada dalam posisi lemah.

Terdengar teriakan-teriakan kesakitan dan robohlah tiga orang pengemis baju hitam. Lima orang anggauta Ngo-heng-tin itu telah berhasil merobohkan tiga orang lawan dan karena serangan mereka tadi amat tiba-tiba, maka fihak lawan hanya ada dua orang saja yang mampu menangkis, sedangkan yang tiga orang kena dihantam kepalanya dan roboh berkelojotan dengan kepala retak!

“Nah, kau lihat kelihaian Pek-lian-tin!”

Seru Sin Lian dengan suara nyaring, sebetulnya ucapan ini ditujukan kepada Han Han akan tetapi terdengar oleh semua orang karena keadaan di situ sunyi dan tegang, kecuali suara beradunya tongkat dan terengahnya napas mereka yang sedang bertempur.

Han Han merasa kagum, akan tetapi juga ketidak senangannya terhadap ilmu silat bertambah. Ia terbelalak memandang ke arah tiga orang pengemis baju hitam yang berkelojotan kaki tangannya, mulutnya mengeluarkan rintihan perlahan, darah mengalir dari mata, telinga, hidung dan mulut. Kemudian mereka berhenti berkelojotan dan tidak bergerak lagi. Han Han bergidik. Untuk inikah ilmu silat dilatih? Untuk inikah perkumpulan kai-pang dibentuk? Ia menyapu wajah mereka yang sedang bertempur seru.

Wajah penuh keringat, berkilat-kilat, akan tetapi masih kalah oleh kilatan mata mereka yang penuh nafsu membunuh, mulut yang menyeringai, seolah-olah mereka amat gembira menghadapi perjuangan antara mati dan hidup ini! Seolah-olah mereka itu sekumpulan kanak-kanak tengah bermain-main, tidak ada ketakutan terbayang di wajah mereka, yang ada hanya nafsu untuk menang, untuk menghancurkan lawan, untuk membunuh!

Setelah kehilangan tiga orang kawan, barisan pengemis baju hitam menjadi hati-hati sekali. Mereka maklum bahwa kalau dilanjutkan, selain penyerangan mereka akan gagal, juga mereka akan sukar melindungi diri dari serangan tiba-tiba yang dilakukan oleh lima orang di sebelah dalam barisan lawan itu.

Terdengar It-gan Hek-houw ketua mereka bersuit nyaring dan kini barisan pengemis baju hitam mengubah gerakan. Mereka pun berjalan mengitari barisan lawan, mengimbangi gerakan Pat-kwa-tin, kemudian mereka menyerang lagi, bukan menyerang sambil berhenti di tempat seperti tadi, dan kini mereka menyerang tidak berbareng, melainkan berganti-ganti sehingga yang tidak menyerang dapat menjaga kawan yang menyerang dari bahaya.

Keadan makin seru dan kacau karena fihak pengemis Pek-lian-tin dibikin bingung oleh penyerangan seperti itu. Mereka melawan sekuat tenaga, kadang-kadang dibantu oleh Ngo-heng-tin dari dalam yang kini bertugas membela kawan-kawan yang di luar. Perang campuh terjadi dan berjatuhanlah korban kedua fihak. Akan tetapi sekali ini, fihak Pek-lian-tin roboh empat orang sedangkan di fihak Hek-i Kai-pang roboh tiga orang lagi.

Pat-kwa-tin yang kehilangan empat orang itu menjadi ompong dan kehilangan daya keampuhannya. Hal ini tidak disia-siakan oleh fihak pengemis baju hitam yang langsung menyerang dan menghimpit. Akan tetapi kini bergeraklah barisan Ngo-heng-tin, menutup bagian-bagian yang lowong dan balas menyerang. Terjadi perang tanding yang amat seru dan mati-matian antara sembilan orang pengemis Pek-lian-tin melawan delapan orang pengemis Hek-i Kai-pang.

Akan tetapi terdengar bentakan-bentakan nyaring dan roboh pula empat orang pengemis baju hitam. Kiranya sekarang im-yang-tin yang terdiri dari dua orang itu telah bergerak. Gerakan mereka sungguh mengagetkan. Kiranya mereka ini merupakan “inti” dari Pek-lian-tin, dan tingkat kepandaian mereka lebih tinggi daripada tiga belas orang teman yang lain.

Selain tingkat kepandaian mereka lebih tinggi, juga gerakan mereka sukar diduga lawan karena mereka itu menyusup di antara dua barisan depan yang sengaja menyembunyikan mereka dan hanya bergerak memberi jalan setelah mendapat isyarat dari dalam. Maka sekali menerjang keluar dalam keadaan tak terduga-duga, tongkat mereka berkelebat dan masing-masing dapat merobohkan dua orang lawan!

Bersoraklah fihak Pek-lian Kai-pang melihat hasil ini. Kini fihak pengemis baju hitam sudah tewas atau luka berat sepuluh orang, sisanya hanya lima orang lagi saja! Sedangkan fihak Pek-lian Kai-pang hanya roboh empat orang, jadi masih sebelas orang.

Kini keadaan terbalik, lima orang pengemis baju hitam melawan sebelas orang pengemis Pek-lian! Namun, harus dipuji semangat bertempur pengemis-pengemis baju hitam itu. Agaknya mereka ini merasa sakit hati sekali menyaksikan robohnya teman-teman mereka dan kini mereka bertanding seperti orang-orang kemasukan setan, dengan nekat dan tidak peduli akan diri sendiri. Karena amukan yang hebat ini, keadaan makin kacau. Fihak Pek-lian Kai-pang baru dapat merobohkan sisa lima orang lawan ini setelah merobohkan fihak sendiri dengan empat orang lagi!

Lima belas orang pengemis baju hitam dan delapan orang anggauta Pek-lian Kai-pang menggeletak mandi darah, sebagian besar mati dan sebagian lagi luka-luka berat! Tujuh orang anggauta Pek-lian Kai-pang masih berdiri dalam bentuk barisan biarpun lawannya sudah roboh semua, wajah mereka membayangkan kebanggaan karena dalam pertempuran ini merekalah yang berada di fihak menang!

Tapi pada saat itu, terdengar bentakan nyaring dan tubuh It-gan Hek-houw yang bongkok itu telah bergerak maju, tongkat hitamnya diputar-putar cepat sekali. Ia maju menerjang tujuh orang sisa barisan Pek-lian-tin itu yang tentu saja sudah cepat bergerak menyambut terjangan ketua Hek-i Kai-pang.

Namun gerakan Si Bongkok bermata satu itu memang hebat. Tongkatnya yang hitam itu biarpun kecil, mengandung tenaga luar biasa sehingga terdengarlah suara pletak-pletok ketika tongkat-tongkat ketujuh orang lawannya itu patah-patah setelah bertemu dengan tongkatnya dan dalam waktu singkat saja, tongkatnya telah merobohkan tujuh orang Pek-lian-tin itu!

Lauw-pangcu memekik marah melihat ini, dan tiba-tiba tubuh kakek ini mencelat ke depan, tongkatnya menyambar ganas.

“Desssss....!”

Dua tongkat itu bertemu dengan hebat dan akibatnya, keduanya terhuyung mundur. Akan tetapi, kalau Lauw-pangcu hanya terhuyung dua langkah ke belakang, adalah Si Bongkok itu terhuyung enam tujuh langkah dan hampir terjengkang roboh.

“It-gan Hek-houw! Engkau tua bangka tak tahu malu! Jangan hanya memperlihatkan kegarangan terhadap anak buahku, hayo lawanlah aku. Kita tua sama tua, mari kita lihat siapakah diantara kita yang lebih unggul!” bentak Lauw-pangcu yang menjadi marah sekali menyaksikan musuh ini merobohkan anak buahnya.

“Orang she Lauw, manusia sombong, pemberontak rendah!”

It-gan Hek-houw balas memaki sambil lari maju dan melakukan serangan dengan dahsyat. Lauw-pangcu yang memang sudah siap sedia, menyambutnya dan bertandinglah kedua orang ketua kai-pang ini dengan seru.

Ilmu tongkat Lauw-pangcu yang diciptakannya sendiri dari gabungan banyak ilmu silat tongkat yang dikenalnya, diambil intinya dan bagian-bagian yang paling lihai, yaitu Ilmu Tongkat Pek-lian-kun-hoat, memang lihai luar biasa.

Memang sesungguhnyalah bahwa Lauw-pangcu ini, yang tadinya bernama Lauw Tai Kim, adalah seorang tokoh dari Pek-lian-kauw yang telah dihancurkan oleh Kerajaan Beng-tiauw. Pek-lian-kauw sudah hancur dan tokoh-tokohnya banyak yang tewas, akan tetapi Lauw Tai Kim berhasil menyelamatkan diri. Diam-diam ia lalu mengumpulkan kawan-kawan, dan menerima kawan-kawan baru lalu membentuk perkumpulan pengemis Pek-lian Kai-pang.

Memang benar bahwa Pek-lian-pai atau Pek-lian-kauw dahulu terkenal sebagai perkumpulan pemberontak yang merasa tidak puas dengan Kerajaan Beng. Akan tetapi hal ini bukan berarti bahwa jiwa Lauw-pangcu adalah jiwa pemberontak yang suka bersekutu dengan penjajah asing. Sama sekali tidak. Bahkan ketika Kerajaan Beng musnah lalu muncul Kerajaan Ceng yang didirikan oleh bangsa Mancu yang menjajah Tiong-goan, Lauw-pangcu ini diam-diam menentang penjajah ini dan mengadakan hubungan dengan Bu Sam Kwi yang membangun kerajaan kecil di barat dan menentang pemerintah Mancu.

Bahkan perkumpulan Pek-lian Kai-pang ini sekarang dijadikan mata-mata untuk Bu Sam Kwi, dan diam-diam selain mengawasi gerak-gerik pemerintah Mancu, juga melakukan pengacauan-pengacauan, sabotase-sabotase terhadap pemerintah penjajah. Inilah sebabnya mengapa Lauw-pangcu sering kali bentrok dengan serdadu-serdadu Mancu.

Akan tetapi fihak pemerintah Mancu juga tidak bodoh dan buta. Pemerintah ini, dengan menggunakan kekuasaan, pengaruh dan sogokan harta benda, berhasil pula memikat hati golongan-golongan di Tiong-goan sehingga suka bekerja sama dan membantu pemerintah mereka.

Juga perkumpulan Hek-i Kai-pang telah menjadi kaki tangan pemerintah baru. Tentu saja lama-kelamaan gerak-gerik Pek-lian Kai-pang ketahuan dan karena ini pula maka Hek-i Kai-pang memusuhinya dan sampai hari ini terjadi bentrok hebat antara ketua sama ketua!

It-gan Hek-houw juga bukan seorang lemah. Ilmu tongkatnya adalah gubahan dari ilmu toya Siauw-lim-pai, maka memiliki gaya yang kokoh kuat dan sukar ditundukkan. Namun. dalam hal ilmu kepandaian, ia masih kalah banyak oleh Lauw-pangcu sehingga setelah lewat lima puluh jurus, Lauw-pangcu berhasil memukul pundak kirinya.

“Krakkk....!”

It-gan Hek-houw mencelat ke belakang, lalu terjatuh berlutut, akan tetapi cepat berdiri lagi. Lengan kirinya tergantung lumpuh, tulang pundak kirinya remuk. Mukanya pucat dan matanya yang tinggal sebelah itu mengeluarkan sinar penuh kemarahan dan kebencian. Tidak sedikit pun terdengar keluhan atau rintihan dari mulutnya dan hal ini saja membuktikan bahwa ketua Hek-i Kai-pang memang gagah.

“Orang she Lauw, hari ini aku mengaku kalah. Akan tetapi kau tunggulah pembalasanku!”

Setelah berkata demikian, It-gan Hek-houw lalu membalikkan tubuh dan pergi dari situ, diikuti sisa orang-orangnya yang memondong teman-teman yang terluka.

Beberapa orang tokoh Pek-lian Kai-pang bergerak maju dan hendak mengejar, akan tetapi Lauw-pangcu membentak dan melarang mereka.

“Pangcu, anjing macam dia kalau tidak dibunuh sekarang, besok tentu akan menimbulkan keributan saja,” bantah seorang diantara mereka.

“Jangan gosok-gosok luka yang sudah parah. Kita harus bersiap-siap dan segera pergi dari sini. Tak lama lagi tentu barisan Mancu datang menyerbu. Kalian sudah mendengar sendiri tadi ucapan-ucapan It-gan Hek-houw. Rahasia kita telah diketahui dan lebih baik kita kembali ke barat, bergabung dan menyampaikan laporan kepada Ong-ya (Raja). Sehari ini kita harus dapat membereskan segalanya dan berkemas, paling lambat besok pagi kita harus sudah berangkat meninggalkan tempat ini.”

Wajah para pengemis itu berubah, sebagian besar merasa tidak suka untuk pergi dari daerah Tiong-goan yang sudah menjadi tempat mereka mencari rejeki. Akan tetapi tidak seorang pun berani membantah perintah ketua mereka dan diam-diam mereka itu hanya saling pandang, kemudian mulai mengurus mayat teman-teman mereka yang roboh dalam pertandingan tadi, serta merawat yang luka.

“Han Han, engkau di mana....?”

Teriakan nyaring dari Sin Lian ini menyadarkan Lauw-pangcu yang sedang melamun sambil menonton anak buahnya menolong para korban. Ia cepat membalikkan tubuhnya, dan menghampiri puterinya.

“Ada apakah, Lian-ji? Kemana Han Han?”

Sin Lian mengerutkan alisnya yang kecil hitam.
“Entahlah, Ayah. Tadi dia berada di sini bersamaku menonton pertandingan. Akan tetapi tiba-tiba ia lenyap entah kemana. Kupanggil-panggil tidak menyahut.”

Lauw-pangcu membantu puterinya memanggil-manggil dan mencari Han Han, akan tetapi tidak tampak bayangan anak itu. Bahkan ia lalu memerintahkan beberapa orang anak buah Pek-lian Kai-pang untuk bantu mencari. Namun sia-sia, Han Han telah lenyap tak meninggalkan bekas.

Ke manakah perginya anak itu? Tadinya Han Han menonton pertandingan, dan ia menjadi kagum sekali menyaksikan ilmu tongkat gurunya yang amat hebat dan aneh. Akan tetapi, di sudut hatinya ia makin tidak senang. Ia benci melihat bunuh-membunuh itu, melihat sesama pengemis saling bunuh seperti itu. Andaikata mereka itu merupakan jembel-jembel biasa yang tidak tahu ilmu silat, tidak mungkin mereka itu akan bertengkar dan bercekcok lalu berkelahi saling bunuh seperti itu.

Apalagi setelah ia mendengar ucapan gurunya, mengertilah ia bahwa memang betul perkumpulan pengemis yang dipimpin gurunya itu adalah perkumpulan pemberontak yang bergabung dengan kekuasaan yang dipimpin “ong-ya” di barat. Ia menjadi makin tidak senang.

Bukan ia tidak senang melihat perlawanan terhadap pemerintah Mancu, hanya ia tidak ingin melibatkan diri ke dalam pertentangan politik yang ia tidak mengerti. Semua ini membuat hatinya makin terasa hambar terhadap pelajaran ilmu silat, maka ketika melihat bahwa Sin Lian sedang tertarik dan tidak memperhatikannya, diam-diam anak ini lalu pergi dari situ dan terus berlari cepat keluar dari dalam hutan. Ia takut kalau-kalau gurunya akan mengejar, maka ia berlari terus tak kunjung henti sehingga ketika Lauw-pangcu dan anak buahnya mencari-cari di sekitar hutan, ia telah berada amat jauh di luar hutan.

Han Han kembali ke kota Tiong-kwan. Sudah hampir setengah tahun ia belajar di bawah asuhan Lauw-pangcu. Ketika ia memasuki pintu gerbang kota Tiong-kwan ia merasa betapa cepatnya sang waktu berlalu. Seolah-olah baru kemarin saja ia tiba di Tiong-kwan dan bertemu Lauw-pangcu di bekas rumah terbakar.

Masih terbayang jelas betapa ia bertemu dengan jembel cilik dan membagi-bagi roti. Oh ya, siapa pula nama jembel cilik yang bercita-cita menjadi seorang perwira itu? Wan Sin Kiat! Berseri wajah Han Han ketika teringat akan bocah yang telah menjadi sahabatnya itu. Ia harus pergi mencarinya. Akan senang juga berkawan dan mengobrol dengan Sin Kiat. Pula, ia harus mencari pekerjaan, mencari hasil untuk mengisi perutnya. Maka pergilah Han Han ke tempat yang dahulu, di dekat pasar, bekas gedung yang terbakar.

Dari jauh sudah terdengar suara ribut-ribut seperti suara anak-anak berkelahi. Han Han lari menghampiri dan ketika ia tiba di tempat itu, ia melihat seorang anak laki-laki berpakaian mewah memukul dan menendang roboh dua orang jembel cilik. Gerakan anak berpakaian mewah itu gesit sekali, dan pukulan serta tendangannya juga antep buktinya dua orang anak jembel itu roboh dan mengaduh-aduh.

Ketika Han Han meneliti, kiranya seorang diantara dua anak jembel itu bukan lain adalah Wan Sin Kiat. Dan ketika ia memperhatikan anak berpakaian mewah itu, kemudian melihat pula seekor kuda tinggi besar berdiri di belakang anak itu, ia segera teringat dan merahlah mukanya.

Bocah berpakaian mewah itu bukan lain adalah pemuda sombong yang pernah menyiksanya dan menyeretnya dengan kuda lima bulan yang lalu itu! Pemuda yang disebut Ouwyang-kongcu (Tuan Muda Ouwyang) dan yang ditakuti penduduk kampung! Melihat betapa kini Ouwyang-kongcu itu memukuli dua orang anak jembel itu, Han Han segera melompat maju dan berdiri menghadapinya sambil membentak marah.

“Kau bocah sombong dan jahat! Dimana-mana kau suka memukul orang!”

Melihat datangnya seorang bocah jembel lain, Sin Kiat yang sudah lupa lagi kepada Han Han, mengeluh dan memegangi pantatnya.

“Aduhhh.... kau main curang, awas kau kalau aku sudah dapat berdiri lagi....!”

Adapun bocah pengemis ke dua, yang usianya sudah jauh lebih tua, sedikitnya ada empat belas tahun, agaknya tidak memiliki nyali sebesar Sin Kiat. Buktinya dia yang sudah dapat bangkit kembali itu hanya berdiri mengaduh-aduh sambil memegangi pundak yang terpukul.

Bocah berpakaian mewah membawa kuda itu memang Ouwyang Seng adanya. Berbeda dengan Sin Kiat yang sudah pangling dan tidak mengenal Han Han, Ouwyang Seng ternyata memiliki ingatan yang lebih kuat. Apalagi karena dia pernah digigit pundaknya oleh Han Han yang sampai sekarang pun masih ada bekas lukanya. Ia berdiri bertolak pinggang, memandang dengan sikap mengejek, kemudian berkata.

“Hemmmmm, kau ini bocah edan yang dulu pernah kuhajar setengah mampus! Dahulu pun setengah tahun yang lalu, kau bukan lawanku. Apalagi sekarang setelah aku memperoleh kemajuan pesat dengan ilmu silatku. Kau petentang-petenteng, apa kau berani melawan kong-cumu? Ingat, sekali ini kalau aku turun tangan, kau akan roboh dan tidak akan dapat bangun kembali.”

“Sombong! Mentang-mentang kau ini anak bangsawan dan kaya, pandai silat, apa kau kira aku takut padamu? Apa artinya kebangsawananmu kalau itu tidak ditrapkan dalam tata susila dan kesopanan? Apa artinya kaya kalau kau tidak suka membantu orang-orang miskin? Apa artinya pandai silat kalau kau tidak mau membela yang lemah? Semua itu malah akan menyeretmu ke dalam jurang kehinaan, bocah setan!”

Ucapan Han Han ini sungguh tidak patut keluar dari mulut seorang bocah berusia sepuluh tahun seperti dia, akan tetapi Han Han pun hanya menyebut semua itu dari dalam kitab yang pernah dibacanya!

“Wah-wah, yang sombong ini sebenarnya siapa? Engkau ini seorang bocah jembel tidak mengerti ilmu silat, bisanya hanya ngawur dan asal nekat saja. Aku adalah seorang gagah, mana mungkin turun tangan menghajar orang kalau tidak ada sebabnya?”

“Huh, macam engkau bicara tentang kegagahan. Kalau kau memukuli dua orang miskin dan tak berdosa ini, apakah itu juga gagah?”

“Kau tidak tahu! Aku dengan baik-baik menanyakan mereka dimana tinggalnya jembel tua yang suka berada di sini. Aku menanyakan dimana tinggalnya Lauw-pangcu. Akan tetapi mereka pura-pura tidak kenal. Aku sudah bersedia untuk memberi hadiah kalau mereka mau menunjukkan tempat Lauw-pangcu, akan tetapi mereka ini selain menyangkal malah memaki. Apakah itu tidak patut dihajar?”

Han Han tertarik, jantungnva berdebar.
“Mau apa kau tanya-tanya tentang tempat tinggal Lauw-pangcu?”

“Eh, engkau tahu tempatnya?”

“Tentu saja! Aku muridnya!”

Ouwyang Seng terbelalak memandang.
“Kau....? Muridnya....? Ha-ha-ha! Kebetulan sekali. Kau tunjukkan padaku dimana dia!”

“Mau apa sih?”

Han Han menjadi geli hatinya. Bocah ini amat sombong dan kurang ajar. Memang sebaiknya diberi hajaran. Akan tetapi dia belum belajar ilmu silat. Apakah segala macam kuda-kuda yang pernah ditatihnya itu akan ada gunanya untuk bertanding? Tak mungkin. Kalau ia hanya memasang kuda-kuda, betapa kuat pun kakinya, kalau terus dipukuli dan ditendangi lawan, tentu akan celaka.

Akan tetapi, kalau bertemu dengan Sin Lian dan Lauw-pangcu, tentu bocah sombong ini akan dihajar sampai kapok. Juga gurunya tentu bukan orang baik, biarlah dihajar sekalian oleh Lauw-pangcu yang sudah ia saksikan kelihaiannya.

“Siapa gurumu? Mana dia? Hayo suruh keluar, biar kutunjukkan kalian ke tempat guruku kalau memang kalian sudah gatal-gatal tubuh kalian minta diberi hajaran!”

“Ha-ha-ha-ha! Aku sudah berada di sini, apakah kau buta tak dapat melihat? Ha-ha-ha!”

Han Han memandang dengan hati terkejut dan terheran-heran. Tadi ia melihat bahwa kuda besar di belakang Ouwyang Seng itu kosong. Kenapa kini tiba-tiba saja ada orang duduk nongkrong di atas punggung kuda? Dari mana datangnya? Ia memandang penuh perhatian dan ternyata yang bicara dan tertawa tadi, yang tahu-tahu telah duduk di punggung kuda, adalah seorang kakek yang lucu sekali mukanya.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar