Kini dia mendengar langkah-langkah kaki banyak orang menuju ke depan pintu gerbang yang menembus ke ruangan itu. Sambil menarik napas, Suma Han memondong dan memanggul tubuh isterinya dengan tangan kiri, kemudian tangan kanannya menekan lantai dan sekali mengerahkan tenaga, tubuhnya sudah melayang kembali ke tempat semula, di dekat peti jenazah Lulu, dan dengan hati-hati dia merebahkan jenazah Nirahai di samping peti jenazah Lulu. Kemudian diapun duduk menanti, menghadap ke arah pintu. Dupa harum masih mengepul tebal di samping kirinya.
Hek-i Mo-ong merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggauta mereka yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang dengan bengong.
Biarpun Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah dan juga jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun mereka semua merasakan sesuatu yang membuat mereka bengong.
Ada sesuatu dalam sikap kakek itu yang membuat mereka jerih. Seorang kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, kumis dan jenggotnya seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih tampan itu memandang lembut ke arah mereka, pada wajah itu sedikitpun tidak terbayang perasaan marah atau takut.
Mereka seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang, atau langit biru tanpa awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu yang menghanyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan kagum. Kemudian terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa didorong perasaan,
“Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang tewas dan terluka.”
Suara halus ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong menggerakkan tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya,
“Apakah engkau tidak hendak melawan kami? Bukankah engkau ini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?”
“Namaku Suma Han....”
Tiba-tiba Jai-hwa Siauw-ok berteriak,
“Kakek ini sudah tua renta dan lemah. Dan hanya dia seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari empat orang muda itu!”
Berkata demikian, Jai-hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu menyambar ke arah kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.
Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kirinya ke atas, bukan seperti orang menangkis melainkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas itu
“Desss....!”
Akibatnya, tubuh Jai-hwa Siauw-ok terpental ke belakang dan terbanting roboh. Mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah merah saking penasaran, marah dan malunya. Mengandalkan banyak kawan yang membesarkan hatinya, diapun kini bergerak maju, merendahkan dirinya seperti hampir merangkak dan tiba-tiba diapun melancarkan pukulan Katak Buduk setelah perutnya memperdengarkan suara berkaok.
Pukulan itu langsung datang dari depan mengarah dada Pendekar Super Sakti. Pendekar ini tenang-tenang saja, kembali menggunakan tangan kirinya untuk didorongkan ke depan menyambut pukulan maut itu.
“Wuuuuttt.... plakk....!”
Dua telapak tangan bertemu dan sekali ini tubuh Jai-hwa Siauw-ok seperti daun kering terbawa angin keras, terlempar lalu terbanting dan masih terguling-guling sampai tubuhnya menabrak dinding. Akan tetapi, ternyata dia tidak terluka dan hal ini membuktikan bahwa Pendekar Super Sakti tidak melawan keras sama keras, melainkan menggunakan kelembutan.
Jai-hwa Siauw-ok itu terlempar dan terbanting oleh tenaganya sendiri yang membalik. Tentu saja bantingan itu membuat kepalanya menjadi pening dan hatinyapun sudah menjadi gentar sekali. Dia bangkit duduk dan memandang ke arah sosok tubuh yang bersila itu dengan sinar mata ketakutan.
Hek-i Mo-ong merupakan orang pertama yang meloncat masuk melalui pintu gerbang yang sudah terbuka itu, kemudian disusul oleh Jai-hwa Siauw-ok dan dua belas orang anggauta mereka yang masih hidup dan belum terluka. Empat belas orang itu berdiri memandang dengan bengong.
Biarpun Pendekar Super Sakti nampak duduk bersila di dekat peti jenazah dan juga jenazah nenek Nirahai yang rebah terlentang di dekat peti itu nampak tenang dan sama sekali tidak membayangkan ancaman dan tidak menyeramkan, namun mereka semua merasakan sesuatu yang membuat mereka bengong.
Ada sesuatu dalam sikap kakek itu yang membuat mereka jerih. Seorang kakek tua renta, rambutnya yang putih itu riap-riapan, kumis dan jenggotnya seperti benang-benang perak halus, sepasang mata pada wajahnya yang masih tampan itu memandang lembut ke arah mereka, pada wajah itu sedikitpun tidak terbayang perasaan marah atau takut.
Mereka seperti menghadapi hamparan samudera luas yang tenang, atau langit biru tanpa awan bergerak. Di balik ketenangan dan keheningan ini terdapat sesuatu yang menghanyutkan, sesuatu yang luas dan dalam, yang menimbulkan rasa hormat dan kagum. Kemudian terdengar suara kakek tua renta itu, suaranya halus dan datar tanpa didorong perasaan,
“Kalian pergilah dan tinggalkan pulau ini, bawa teman-temanmu yang tewas dan terluka.”
Suara halus ini agaknya menyadarkan semua orang dari pesona, dan Hek-i Mo-ong menggerakkan tombaknya yang masih berlepotan darah nenek Nirahai itu sambil bertanya,
“Apakah engkau tidak hendak melawan kami? Bukankah engkau ini Pendekar Super Sakti atau Pendekar Siluman, tocu dari Pulau Es?”
“Namaku Suma Han....”
Tiba-tiba Jai-hwa Siauw-ok berteriak,
“Kakek ini sudah tua renta dan lemah. Dan hanya dia seorang di sini. Kita bunuh dia baru kita cari empat orang muda itu!”
Berkata demikian, Jai-hwa Siauw-ok meloncat ke depan dan menggunakan ilmunya yang hebat, yaitu ilmu pukulan Kiam-ci (Jari Pedang). Dengan jari tangan terbuka, tangan kirinya yang miring itu menyambar ke arah kepala Suma Han dengan mengeluarkan suara bercuitan mengerikan.
Pendekar Super Sakti mengangkat tangan kirinya ke atas, bukan seperti orang menangkis melainkan hanya seperti melindungi kepalanya. Tangan terbuka yang mengandung kekuatan Kiam-ci dari Jai-hwa Siauw-ok itu bertemu dengan lengan yang digerakkan perlahan ke atas itu
“Desss....!”
Akibatnya, tubuh Jai-hwa Siauw-ok terpental ke belakang dan terbanting roboh. Mukanya menjadi pucat dan kemudian berubah merah saking penasaran, marah dan malunya. Mengandalkan banyak kawan yang membesarkan hatinya, diapun kini bergerak maju, merendahkan dirinya seperti hampir merangkak dan tiba-tiba diapun melancarkan pukulan Katak Buduk setelah perutnya memperdengarkan suara berkaok.
Pukulan itu langsung datang dari depan mengarah dada Pendekar Super Sakti. Pendekar ini tenang-tenang saja, kembali menggunakan tangan kirinya untuk didorongkan ke depan menyambut pukulan maut itu.
“Wuuuuttt.... plakk....!”
Dua telapak tangan bertemu dan sekali ini tubuh Jai-hwa Siauw-ok seperti daun kering terbawa angin keras, terlempar lalu terbanting dan masih terguling-guling sampai tubuhnya menabrak dinding. Akan tetapi, ternyata dia tidak terluka dan hal ini membuktikan bahwa Pendekar Super Sakti tidak melawan keras sama keras, melainkan menggunakan kelembutan.
Jai-hwa Siauw-ok itu terlempar dan terbanting oleh tenaganya sendiri yang membalik. Tentu saja bantingan itu membuat kepalanya menjadi pening dan hatinyapun sudah menjadi gentar sekali. Dia bangkit duduk dan memandang ke arah sosok tubuh yang bersila itu dengan sinar mata ketakutan.
Melihat peristiwa ini, Hek-i Mo-ong mengerutkan alisnya. Dia cukup mengenal kelihaian rekannya itu dan melihat rekannya dikalahkan oleh Pendekar Super Sakti secara demikian mudahnya, dia menjadi penasaran bukan main.
“Pendekar Siluman, aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu!” bentaknya dan kakek raksasa ini lalu memutar-mutar tombak Long-ge-pang di atas kepalanya.
Makin lama, putaran itu menjadi semakin cepat sehingga akhirnya tombak itu lenyap bentuknya, yang nampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang mendatangkan hawa dan angin menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing. Kemudian, dengan memegang tombak menggunakan kedua tangannya, dia meloncat ke depan, mengayun tombak Long-ge-pang itu dan menghantamkannya ke arah kepala Suma Han.
“Hyaaaaaattt....!”
Tombak itu menyambar ke bawah dengan kekuatan yang amat hebatnya. Tenaga Hek-i Mo-ong adalah tenaga sakti yang amat kuat dan jangankan kepala orang, biar batu karangpun akan hancur lebur tertimpa hantaman Leng-ge-pang yang dipukulkan dengan tenaga sedahsyat itu.
Suma Han menarik napas panjang, mengenal pukulan maut yang amat hebat. Dengan tenang dia lalu menggunakan tangan mengambil tongkat di depan kakinya dan memalangkan tongkat bututnya itu di atas kepala.
“Desss....!”
Seluruh ruangan itu rasanya seperti tergetar dan semua orang yang hadir merasakan getaran yang ditimbulkan oleh pertemuan dua tenaga melalui tongkat dan tombak. Atau lebih tepat, pertemuan tenaga keras dari tombak itu yang membalik ketika bertemu dengan tenaga lunak pada tongkat butut. Dan akibatnya memang hebat sekali.
Tubuh Hek-i Mo-ong terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan tenaganya kembali. Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bukan dihantamkan, melainkan ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih duduk bersila dengan tenang.
Kembali Suma Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung tombak yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.
“Trakkkk....!”
Untuk kedua kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong bukan hanya terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti mengusir kepeningan.
Kemudian dia meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu dan dadanya terengah-engah. Dia merasa penasaran sekali. Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi serangannya dengan perlawanan tenaga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena sebagai seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya orang, tentu ada yang melebihinya.
Akan tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali tidak melawannya keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak seperti meluluhkan tenaganya, atau membuat tenaganya itu membalik dan menghantam dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia penasaran. Sedemikian jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini? Demikian rendahkah tingkatnya sehingga kakek tua renta itu mampu menghadapinya seperti itu? Dia tidak percaya!
Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya bahwa di antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti keturunan Suling Emas itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau kalahpun hanya sedikit saja selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkannya dengan mudah!
Akan tetapi, kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggunaan tenaga lemas saja. Siapa yang takkan merasa penasaran? Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong mengumpulkan seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, menggunakan tenaga dan ditambah kekuatan loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun kepala lawan.
“Siuuuutttt.... darrrr....!”
Tombak Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-ong terjengkang dan terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah segar! Pendekar Super Sakti nampak tubuhnya bergoyang-goyang. Dia menunduk dan terdengar suaranya lirih,
“Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah....”
Akan tetapi, agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang mati-matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus mengaku kalah dan pergi begitu saja? Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat, kalah dalam tenaga sin-kang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu ilmu sihir! Maka dia sudah mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan tangan kanan, diacungkan ke atas, mulutnya berkemak-kemik, kipasnya mengebut-ngebut.
Tiba-tiba ruangan itu menjadi remang-remang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan terdengar bermacam-macam suara aneh, seperti suara orang-orang menangis dan tertawa bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sendiri merasa serem akan tetapi karena mereka tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang sedang dikerahkan oleh pucuk pimpinan mereka, mereka merasa tenang.
“Suma Han, aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan membantuku untuk membasmi keluargamu. Lihat mereka muncul!” Dan kipasnya mengebut-ngebut makin keras lagi.
Kini suara yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah bayangan-bayangan hitam bermunculan, bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh yang mengerikan, tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.
“Kegelapan hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa yang melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai dirinya sendiri!” terdengar Suma Han menjawab halus dan semua orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini nampak semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi gelap.
Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama makin jelas, kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin besar, berdiri dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walaupun kakinya hanya sebelah, sepasang matanya mencorong seperti bintang.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong makin kuat mengebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya keluar suara-suara aneh seperti orang membaca mantram dalam bahasa asing. Dan bayangan-bayangan hitam itu menggereng-gereng dan menerjang ke depan, ke arah bayangan putih dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa itu.
Bayangan putih yang berbentuk Pendekar Super Sakti itu mengangkat tangan kiri ke atas, lalu membuat gerakan-gerakan dengan tongkatnya seperti orang mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau seperti orang bersilat tongkat secara aneh sekali.
Terjadilah pertentangan yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-ong dengan mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang berbentuk Suma Han itu “bersilat” atau menulis huruf-huruf di udara, bayangan-bayangan hitam itu lalu merengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan lengan-lengan berbulu, seperti anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan dan mereka itu mundur-mundur.
Hek-i Mo-ong memperkeras bacaan mantramnya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma Han yang tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu makin mengecil dan akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!
“Krekkk....!”
Kipas merah di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri terpelanting seperti ditabrak setan-setan itu. Dia merintih akan tetapi masih dapat bangkit lagi sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari mulutnya sehingga mukanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja Iblis.
“Hek-i Mo-ong, pergilah dan tinggalkan pulau ini bersama semua kawanmu, bawa semua kawanmu yang tewas maupun terluka,” terdengar Suma Han berkata lagi dengan suara halus.
Dengan dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan dasar orang yang berwatak angkuh, begitu dapat berdiri dia mengibaskan tangan Siauw-ok sehingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri. Sejenak Hek-i Mo-ong memandang kepada Suma Han, kemudian dia membalikkan tubuhnya dengan sikap angkuh dan menghardik,
“Mari kita pergi!”
Jai-hwa Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali, cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan susah payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-mayat para teman mereka dan akhirnya, mereka pergi meninggalkan Pulau Es dengan menderita kekalahan besar.
Setelah para penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang dan menggunakan sehelai saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat nemang tenaga Hek-i Mo-ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah! Dia memandang ke arah wajah Nirahai yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke arah peti jenazah Lulu, dan berbisik,
“Tak kusangka, makin cepat kita akan dapat saling bertemu....”
Dan diapun kembali bersila seperti semula di dekat jenazah Nirahai dan peti jenazah Lulu. Asap dupa masih mengepul terus ke atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki ruangan itu. Suasana amat hening.
“Pendekar Siluman, aku ingin melihat sampai di mana kehebatanmu!” bentaknya dan kakek raksasa ini lalu memutar-mutar tombak Long-ge-pang di atas kepalanya.
Makin lama, putaran itu menjadi semakin cepat sehingga akhirnya tombak itu lenyap bentuknya, yang nampak hanyalah sinar bergulung-gulung yang mendatangkan hawa dan angin menyambar-nyambar dengan suara berdesing-desing. Kemudian, dengan memegang tombak menggunakan kedua tangannya, dia meloncat ke depan, mengayun tombak Long-ge-pang itu dan menghantamkannya ke arah kepala Suma Han.
“Hyaaaaaattt....!”
Tombak itu menyambar ke bawah dengan kekuatan yang amat hebatnya. Tenaga Hek-i Mo-ong adalah tenaga sakti yang amat kuat dan jangankan kepala orang, biar batu karangpun akan hancur lebur tertimpa hantaman Leng-ge-pang yang dipukulkan dengan tenaga sedahsyat itu.
Suma Han menarik napas panjang, mengenal pukulan maut yang amat hebat. Dengan tenang dia lalu menggunakan tangan mengambil tongkat di depan kakinya dan memalangkan tongkat bututnya itu di atas kepala.
“Desss....!”
Seluruh ruangan itu rasanya seperti tergetar dan semua orang yang hadir merasakan getaran yang ditimbulkan oleh pertemuan dua tenaga melalui tongkat dan tombak. Atau lebih tepat, pertemuan tenaga keras dari tombak itu yang membalik ketika bertemu dengan tenaga lunak pada tongkat butut. Dan akibatnya memang hebat sekali.
Tubuh Hek-i Mo-ong terhuyung ke belakang, mukanya pucat sekali dan napasnya terengah-engah. Akan tetapi, dia mengeluarkan suara bentakan nyaring dan agaknya bentakan ini memulihkan tenaganya kembali. Dia lalu meloncat lagi ke depan, kini tombak Long-ge-pang itu bukan dihantamkan, melainkan ditusukkan ke arah dada Pendekar Super Sakti yang masih duduk bersila dengan tenang.
Kembali Suma Han menggerakkan tongkatnya, kini menangkis dari samping ke arah ujung tombak yang menusuk itu. Gerakannya masih lunak saja.
“Trakkkk....!”
Untuk kedua kalinya tongkat bertemu tombak dan kini tubuh Hek-i Mo-ong bukan hanya terhuyung melainkan terpelanting dan terbanting. Kakek raksasa itu bangkit duduk dan mengguncang-guncang kepalanya seperti mengusir kepeningan.
Kemudian dia meloncat berdiri dan kedua matanya menjadi merah, napasnya memburu dan dadanya terengah-engah. Dia merasa penasaran sekali. Kalau Pendekar Super Sakti menghadapi serangannya dengan perlawanan tenaga dan dia kalah kuat, hal itu dapat diterimanya karena sebagai seorang yang berilmu tinggi dia tentu saja maklum bahwa sepandai-pandainya orang, tentu ada yang melebihinya.
Akan tetapi, Majikan Pulau Es ini sama sekali tidak melawannya keras sama keras, melainkan menggunakan tenaga lunak seperti meluluhkan tenaganya, atau membuat tenaganya itu membalik dan menghantam dirinya sendiri. Inilah yang membuat dia penasaran. Sedemikian jauhkah dia kalah oleh kakek tua renta ini? Demikian rendahkah tingkatnya sehingga kakek tua renta itu mampu menghadapinya seperti itu? Dia tidak percaya!
Selama ini, banyak sudah dia bertemu lawan pandai, dan harus diakuinya bahwa di antara pendekar-pendekar muda terdapat orang-orang pandai seperti keturunan Suling Emas itu, namun setidaknya dia mampu menandingi mereka atau kalahpun hanya sedikit saja selisihnya. Tidak ada orang di dunia ini yang akan mampu mengalahkannya dengan mudah!
Akan tetapi, kakek tua renta ini hanya menghadapinya dengan penggunaan tenaga lemas saja. Siapa yang takkan merasa penasaran? Setelah bangkit berdiri, Hek-i Mo-ong mengumpulkan seluruh tenaganya dan meloncat ke depan, menggunakan tenaga dan ditambah kekuatan loncatan itu dia menghantamkan tombaknya ke arah ubun-ubun kepala lawan.
“Siuuuutttt.... darrrr....!”
Tombak Long-ge-pang itu patah menjadi dua dan tubuh Hek-i Mo-ong terjengkang dan terbanting. Ketika kakek ini bangun kembali, mukanya pucat sekali, matanya terbelalak dan dari mulutnya mengucur darah segar! Pendekar Super Sakti nampak tubuhnya bergoyang-goyang. Dia menunduk dan terdengar suaranya lirih,
“Cukup, Hek-i Mo-ong, pergilah....”
Akan tetapi, agaknya Hek-i Mo-ong masih penasaran. Dia telah melakukan usaha yang mati-matian, sudah kehilangan banyak sekali teman dan anak buah, masa dia harus mengaku kalah dan pergi begitu saja? Mungkin dia sudah kalah dalam ilmu silat, kalah dalam tenaga sin-kang, akan tetapi dia masih mempunyai andalannya, yaitu ilmu sihir! Maka dia sudah mengeluarkan kipas merahnya, memegangnya dengan tangan kanan, diacungkan ke atas, mulutnya berkemak-kemik, kipasnya mengebut-ngebut.
Tiba-tiba ruangan itu menjadi remang-remang seolah-olah ada awan gelap menyelimuti, dan terdengar bermacam-macam suara aneh, seperti suara orang-orang menangis dan tertawa bergelak. Semua anak buah Hek-i Mo-ong sendiri merasa serem akan tetapi karena mereka tahu bahwa ini adalah pengaruh ilmu hitam yang sedang dikerahkan oleh pucuk pimpinan mereka, mereka merasa tenang.
“Suma Han, aku adalah raja dari dunia hitam! Semua kekuatan hitam bangkit dari neraka dan membantuku untuk membasmi keluargamu. Lihat mereka muncul!” Dan kipasnya mengebut-ngebut makin keras lagi.
Kini suara yang aneh-aneh itu semakin keras lalu nampaklah bayangan-bayangan hitam bermunculan, bayangan hitam ini membentuk sosok-sosok tubuh yang mengerikan, tubuh setengah binatang setengah manusia, seperti iblis-iblis dari neraka bermunculan atas perintah rahasia dari Hek-i Mo-ong.
“Kegelapan hanya dapat mempengaruhi mereka yang sesat batinnya, Hek-i Mo-ong. Siapa yang melakukan kejahatan berarti hanya mencelakai dirinya sendiri!” terdengar Suma Han menjawab halus dan semua orang melihat betapa asap dupa yang sejak tadi mengepul itu, kini nampak semakin tebal, nampak semakin jelas ketika cuaca dalam ruangan itu menjadi gelap.
Dan asap putih ini bergerak-gerak membentuk bayangan yang makin lama makin jelas, kemudian nampaklah bayangan Pendekar Super Sakti, makin lama makin besar, berdiri dengan tongkat di tangan, gagah perkasa walaupun kakinya hanya sebelah, sepasang matanya mencorong seperti bintang.
Melihat ini, Hek-i Mo-ong makin kuat mengebutkan kipas merahnya dan dari mulutnya keluar suara-suara aneh seperti orang membaca mantram dalam bahasa asing. Dan bayangan-bayangan hitam itu menggereng-gereng dan menerjang ke depan, ke arah bayangan putih dari Pendekar Super Sakti raksasa yang dibentuk oleh asap dupa itu.
Bayangan putih yang berbentuk Pendekar Super Sakti itu mengangkat tangan kiri ke atas, lalu membuat gerakan-gerakan dengan tongkatnya seperti orang mencorat-coret menulis huruf-huruf di udara atau seperti orang bersilat tongkat secara aneh sekali.
Terjadilah pertentangan yang luar biasa di udara, ditonton oleh semua anak buah Hek-i Mo-ong dengan mata terbelalak dan jantung berdebar tegang. Setelah bayangan putih yang berbentuk Suma Han itu “bersilat” atau menulis huruf-huruf di udara, bayangan-bayangan hitam itu lalu merengkutkan tubuhnya, menutupi muka dengan lengan-lengan berbulu, seperti anak-anak kecil melihat sesuatu yang menakutkan dan mereka itu mundur-mundur.
Hek-i Mo-ong memperkeras bacaan mantramnya, kipasnya dikebut-kebutkan ke arah Suma Han yang tetap duduk bersila. Namun, bayangan-bayangan hitam itu makin mengecil dan akhirnya seperti melarikan diri, membalikkan tubuh dan berloncatan ke belakang!
“Krekkk....!”
Kipas merah di tangan Hek-i Mo-ong patah-patah dan kakek itu sendiri terpelanting seperti ditabrak setan-setan itu. Dia merintih akan tetapi masih dapat bangkit lagi sambil mengeluh perlahan, mukanya berlepotan darah yang tersembur keluar dari mulutnya sehingga mukanya nampak menyeramkan, pantas kalau dia menjadi Raja Iblis.
“Hek-i Mo-ong, pergilah dan tinggalkan pulau ini bersama semua kawanmu, bawa semua kawanmu yang tewas maupun terluka,” terdengar Suma Han berkata lagi dengan suara halus.
Dengan dibantu oleh Jai-hwa Siauw-ok yang memapahnya, Hek-i Mo-ong bangkit berdiri dan dasar orang yang berwatak angkuh, begitu dapat berdiri dia mengibaskan tangan Siauw-ok sehingga kawannya ini mundur dan membiarkan dia berdiri sendiri. Sejenak Hek-i Mo-ong memandang kepada Suma Han, kemudian dia membalikkan tubuhnya dengan sikap angkuh dan menghardik,
“Mari kita pergi!”
Jai-hwa Siauw-ok yang memandang semua itu dengan muka pucat dan hati gentar sekali, cepat-cepat mengikutinya bersama dua belas orang sisa anak buah mereka. Dengan susah payah, dua belas orang anak buah itu lalu mengangkuti mayat-mayat para teman mereka dan akhirnya, mereka pergi meninggalkan Pulau Es dengan menderita kekalahan besar.
Setelah para penyerbu itu pergi, Suma Han menghela napas panjang dan menggunakan sehelai saputangan putih yang diambilnya dari saku jubahnya untuk mengusap ke arah tepi mulutnya. Dan saputangan itu penuh dengan darah segar! Hebat nemang tenaga Hek-i Mo-ong tadi, dan dia sendiri sedang dalam keadaan lemah! Dia memandang ke arah wajah Nirahai yang nampak tersenyum, kemudian mengerling ke arah peti jenazah Lulu, dan berbisik,
“Tak kusangka, makin cepat kita akan dapat saling bertemu....”
Dan diapun kembali bersila seperti semula di dekat jenazah Nirahai dan peti jenazah Lulu. Asap dupa masih mengepul terus ke atas, tanda bahwa tidak ada angin memasuki ruangan itu. Suasana amat hening.
**** 008 ****
TEMPAT WISATA MANCA NEGARA
Istana Kekaisaran Tokyo | Jembatan Gerbang Emas | Air Terjun Niagara |
---|---|---|
Grand Canyon | Pasar Terbesar di Bangkok | Taman Nasional Yellowstone |
Budj Khalifa - Dubai | Taj Mahal | Taman Nasional Yellowstone |
===============================
Tidak ada komentar:
Posting Komentar