“Sekarang, harap engkau suka memberi petunjuk dan memperlihatkan kehebatan Swat-im Sin-ciang, Hui-cici.” Ciang Bun menyambung untuk menutupi rasa jengahnya oleh pujian Ceng Liong tadi.
Suma Hui menarik napas panjang.
“Berlatih Swat-im Sin-ciang di Pulau Es sungguh tidak mudah, membutuhkan pengerahan tenaga yang lipat dibandingkan dengan kalau berlatih Hwi-yang Sin-ciang. Baiklah, aku akan berlatih dan kalian lihatlah baik-baik, siapa tahu kelak kalian dapat melampaui aku dalam ilmu ini.”
Dara cantik jelita ini lalu mempererat ikat pinggangnya dan iapun mulai memperlihatkan kemahiran dan kelincahannya. Ia mainkan ilmu silat yang kelihatannya amat lembut dan halus indah, namun sesungguhnya ilmu silat ini adalah ilmu yang ganas bukan main, karena ini adalah Ilmu Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa) yang dipelajarinya dari neneknya, yaitu nenek Lulu. Ilmu inipun sesungguhnya berasal dari Bu Kek Siansu, akan tetapi asalnya tidaklah begitu ganas. Hanya setelah terjatuh ke tangan nenek sakti Maya, maka menjadi ganas dan setelah terjatuh ke tangan nenek Lulu semakin ganas!
Seperti juga perbuatan adiknya tadi, sambil bersilat itu Suma Hui mendekati pantai teluk dan tiba-tiba iapun mengeluarkan lengkingan-lengkingan tinggi nyaring dan kedua tangannya memukul-mukul ke air di tepi teluk. Air laut itu muncrat-mucrat ke darat dan ketika tiba di atas batu, terdengar suara berketikan karena air laut itu ternyata telah membeku dan menjadi butiran-butiran es!
Sungguh merupakan ilmu pukulan yang dahsyat dan mengerikan, dan menjadi kebalikan dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dapat mencairkan es tadi. Swat-im Sin-ciang ini mengandung hawa sedemikian dinginnya sehingga dapat membuat air menjadi beku! Lawan yang kurang kuat sin-kangnya, kalau terkena pukulan ini mana mampu menahannya? Darahnya mungkin bisa menjadi beku!
“Hebat....! Hebat....!”
Ceng Liong bertepuk tangan memuji dan diapun meleletkan lidah-nya saking kagum melihat betapa air yang muncrat-muncrat itu berobah menjadi es.
Tiga orang ini lalu berbincang-bincang di tepi teluk, membicarakan tentang ilmu-ilmu silat yang mereka pelajari dan beberapa kali mereka saling memperlihatkan ilmu yang sedang mereka latih di mana Suma Hui memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang adiknya. Mereka bertiga adalah ahli waris-ahli waris langsung dari keluarga Pulau Es dan tentu saja merekalah yang berhak untuk mewarisi semua ilmu dari Pendekar Super Sakti dan keluarganya.
Sementara itu, di dalam Istana Pulau Es itu sendiri, di dalam ruangan samadhi, Pendekar Super Sakti Suma Han sedang duduk bersila di atas lantai bertilam babut tebal, berhadapan dengan kedua orang isterinya, yaitu nenek Nirahai dan nenek Lulu.
Mengharukan juga melihat pendekar sakti yang kini sudah menjadi seorang kakek tua renta itu duduk berhadapan dengan kedua isterinya yang sudah menjadi nenek-nenek tua renta pula, dalam keadaan yang demikian penuh kedamaian dan ketenteraman, juga penuh dengan getaran kasih sayang di antara mereka. Bagi orang lain mungkin mereka bertiga itu hanya merupakan kakek dan nenek yang tua renta dan buruk digerogoti usia.
Namun bagi mereka masing-masing, mereka masih saling merasa kagum dan tiada bedanya dengan dahulu di waktu mereka masih muda belia. Tentu saja merekapun sadar bahwa mereka telah amat tua, seperti yang dapat diikuti dari percakapan mereka di dalam ruangan samadhi yang sunyi itu. Tidak ada seorangpun pelayan berani mendekati ruangan samadhi ini tanpa dipanggil. Mereka bertiga sejak tadi bercakap-cakap setelah pada pagi hari itu mereka menghentikan samadhi mereka.
“Kematian telah berada di depan mata....”
Terdengar suara halus Suma Han, suara yang keluar seperti tanpa disengaja, dan tidak ada tanda-tanda perasaan tertentu di balik pernyataan ini. Kedua orang nenek itu, yang tadinya duduk bersila dengan muka tunduk, kini mengangkat muka memandang wajah suami mereka. Pandang mata mereka itu masih penuh kagum, penuh rasa kasih, dan pengertian. Akan tetapi ucapan tadi memancing datangnya kerut di kening mereka.
“Suamiku, apa artinya ucapanmu tadi?” tanya nenek Nirahai.
“Mengapa tiba-tiba menyinggung tentang kematian di pagi hari secerah ini?” Nenek Lulu juga menyambung dengan nada suara penuh teguran dan pertanyaan.
Kakek Suma Han mengangkat mukanya dan wajahnya yang masih kemerahan itu kini penuh senyum ketika dia bertemu dengan pandang mata kedua orang isterinya.
“Apakah kalian terkejut dan merasa takut mendengar kata kematian itu?” tanyanya, suaranya halus penuh kasih sayang.
“Hemmm, siapa yang takut mati?” Nirahai mencela.
“Akupun tidak pernah takut kepada kematian!” nenek Lulu juga menyambung.
Kakek itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, masih menatap wajah kedua orang isterinya itu berganti-ganti.
“Kalian memang benar. Kematian hanya merupakan kelanjutan daripada kehidupan. Hidup takkan mungkin pernah terpisah dari pada mati. Ada hidup tentu ada mati seperti ada awal tentu ada akhir, walaupun kematian bukan merupakan akhir segala-galanya. Orang sesungguhnya tidak takut akan kematian itu sendiri, melainkan ngeri karena harus berpisah dari segala-galanya yang disayangnya, harus terlepas dari segala macam bentuk pengikatan manis dalam hidupnya. Kematian adalah suatu hal yang wajar. Jadi, kalian sama sekali tidak pernah merasa ngeri menghadapi kematian?”
“Nanti dulu, suamiku,” kata nenek Nirahai. “Kita sekarang ini masih segar-bugar, masih sehat walaupun usia kita telah mendekati satu abad, akan tetapi mengapa kita bicara tentang kematian? Kalau kematian itu merupakan suatu kewajaran, dan kalau kita tidak takut menghadapinya, perlu apa kita membicarakannya seperti orang yang ketakutan menghadapinya?”
Kini kakek Suma Han tertawa. Suara ketawanya masih seperti suara ketawa orang muda dan giginyapun masih baik sehingga ketika dia tertawa, wajahnya nampak jauh lebih muda walaupun rambut, kumis dan jenggotnya telah putih semua.
“Engkau masih dapat tertawa seperti itu akan tetapi bicara tentang kematian. Sungguh tidak lucu!” Nenek Lulu berkata.
Suma Hui menarik napas panjang.
“Berlatih Swat-im Sin-ciang di Pulau Es sungguh tidak mudah, membutuhkan pengerahan tenaga yang lipat dibandingkan dengan kalau berlatih Hwi-yang Sin-ciang. Baiklah, aku akan berlatih dan kalian lihatlah baik-baik, siapa tahu kelak kalian dapat melampaui aku dalam ilmu ini.”
Dara cantik jelita ini lalu mempererat ikat pinggangnya dan iapun mulai memperlihatkan kemahiran dan kelincahannya. Ia mainkan ilmu silat yang kelihatannya amat lembut dan halus indah, namun sesungguhnya ilmu silat ini adalah ilmu yang ganas bukan main, karena ini adalah Ilmu Toat-beng Bian-kun (Silat Lemas Pencabut Nyawa) yang dipelajarinya dari neneknya, yaitu nenek Lulu. Ilmu inipun sesungguhnya berasal dari Bu Kek Siansu, akan tetapi asalnya tidaklah begitu ganas. Hanya setelah terjatuh ke tangan nenek sakti Maya, maka menjadi ganas dan setelah terjatuh ke tangan nenek Lulu semakin ganas!
Seperti juga perbuatan adiknya tadi, sambil bersilat itu Suma Hui mendekati pantai teluk dan tiba-tiba iapun mengeluarkan lengkingan-lengkingan tinggi nyaring dan kedua tangannya memukul-mukul ke air di tepi teluk. Air laut itu muncrat-mucrat ke darat dan ketika tiba di atas batu, terdengar suara berketikan karena air laut itu ternyata telah membeku dan menjadi butiran-butiran es!
Sungguh merupakan ilmu pukulan yang dahsyat dan mengerikan, dan menjadi kebalikan dari ilmu pukulan Hwi-yang Sin-ciang yang dapat mencairkan es tadi. Swat-im Sin-ciang ini mengandung hawa sedemikian dinginnya sehingga dapat membuat air menjadi beku! Lawan yang kurang kuat sin-kangnya, kalau terkena pukulan ini mana mampu menahannya? Darahnya mungkin bisa menjadi beku!
“Hebat....! Hebat....!”
Ceng Liong bertepuk tangan memuji dan diapun meleletkan lidah-nya saking kagum melihat betapa air yang muncrat-muncrat itu berobah menjadi es.
Tiga orang ini lalu berbincang-bincang di tepi teluk, membicarakan tentang ilmu-ilmu silat yang mereka pelajari dan beberapa kali mereka saling memperlihatkan ilmu yang sedang mereka latih di mana Suma Hui memberi petunjuk-petunjuk kepada dua orang adiknya. Mereka bertiga adalah ahli waris-ahli waris langsung dari keluarga Pulau Es dan tentu saja merekalah yang berhak untuk mewarisi semua ilmu dari Pendekar Super Sakti dan keluarganya.
Sementara itu, di dalam Istana Pulau Es itu sendiri, di dalam ruangan samadhi, Pendekar Super Sakti Suma Han sedang duduk bersila di atas lantai bertilam babut tebal, berhadapan dengan kedua orang isterinya, yaitu nenek Nirahai dan nenek Lulu.
Mengharukan juga melihat pendekar sakti yang kini sudah menjadi seorang kakek tua renta itu duduk berhadapan dengan kedua isterinya yang sudah menjadi nenek-nenek tua renta pula, dalam keadaan yang demikian penuh kedamaian dan ketenteraman, juga penuh dengan getaran kasih sayang di antara mereka. Bagi orang lain mungkin mereka bertiga itu hanya merupakan kakek dan nenek yang tua renta dan buruk digerogoti usia.
Namun bagi mereka masing-masing, mereka masih saling merasa kagum dan tiada bedanya dengan dahulu di waktu mereka masih muda belia. Tentu saja merekapun sadar bahwa mereka telah amat tua, seperti yang dapat diikuti dari percakapan mereka di dalam ruangan samadhi yang sunyi itu. Tidak ada seorangpun pelayan berani mendekati ruangan samadhi ini tanpa dipanggil. Mereka bertiga sejak tadi bercakap-cakap setelah pada pagi hari itu mereka menghentikan samadhi mereka.
“Kematian telah berada di depan mata....”
Terdengar suara halus Suma Han, suara yang keluar seperti tanpa disengaja, dan tidak ada tanda-tanda perasaan tertentu di balik pernyataan ini. Kedua orang nenek itu, yang tadinya duduk bersila dengan muka tunduk, kini mengangkat muka memandang wajah suami mereka. Pandang mata mereka itu masih penuh kagum, penuh rasa kasih, dan pengertian. Akan tetapi ucapan tadi memancing datangnya kerut di kening mereka.
“Suamiku, apa artinya ucapanmu tadi?” tanya nenek Nirahai.
“Mengapa tiba-tiba menyinggung tentang kematian di pagi hari secerah ini?” Nenek Lulu juga menyambung dengan nada suara penuh teguran dan pertanyaan.
Kakek Suma Han mengangkat mukanya dan wajahnya yang masih kemerahan itu kini penuh senyum ketika dia bertemu dengan pandang mata kedua orang isterinya.
“Apakah kalian terkejut dan merasa takut mendengar kata kematian itu?” tanyanya, suaranya halus penuh kasih sayang.
“Hemmm, siapa yang takut mati?” Nirahai mencela.
“Akupun tidak pernah takut kepada kematian!” nenek Lulu juga menyambung.
Kakek itu mengangguk-angguk dan mengelus jenggotnya, masih menatap wajah kedua orang isterinya itu berganti-ganti.
“Kalian memang benar. Kematian hanya merupakan kelanjutan daripada kehidupan. Hidup takkan mungkin pernah terpisah dari pada mati. Ada hidup tentu ada mati seperti ada awal tentu ada akhir, walaupun kematian bukan merupakan akhir segala-galanya. Orang sesungguhnya tidak takut akan kematian itu sendiri, melainkan ngeri karena harus berpisah dari segala-galanya yang disayangnya, harus terlepas dari segala macam bentuk pengikatan manis dalam hidupnya. Kematian adalah suatu hal yang wajar. Jadi, kalian sama sekali tidak pernah merasa ngeri menghadapi kematian?”
“Nanti dulu, suamiku,” kata nenek Nirahai. “Kita sekarang ini masih segar-bugar, masih sehat walaupun usia kita telah mendekati satu abad, akan tetapi mengapa kita bicara tentang kematian? Kalau kematian itu merupakan suatu kewajaran, dan kalau kita tidak takut menghadapinya, perlu apa kita membicarakannya seperti orang yang ketakutan menghadapinya?”
Kini kakek Suma Han tertawa. Suara ketawanya masih seperti suara ketawa orang muda dan giginyapun masih baik sehingga ketika dia tertawa, wajahnya nampak jauh lebih muda walaupun rambut, kumis dan jenggotnya telah putih semua.
“Engkau masih dapat tertawa seperti itu akan tetapi bicara tentang kematian. Sungguh tidak lucu!” Nenek Lulu berkata.
Ucapan isterinya yang biasanya galak ini membuat Suma Han semakin gembira tertawa.
“Kita membicarakan kematian bukan karena takut, melainkan membicarakannya sebagai suatu hal yang tak terhindarkan dan suatu hal yang amat akrab di dalam hatiku. Sesungguhnya, bukankah kita bertiga ini sudah lama mati? Mati dalam hidup, yaitu mati daripada segala ikatan yang memberatkan batin. Kita bertiga sudah berusia begini lanjut. Kiranya jarang ada yang dapat mencapai usia selanjut kita dan hal ini terjadi karena cara hidup kita yang bersih dan selalu menjaga diri tidak menyalahi hukum-hukum kehidupan dan mempunyai tertib diri. Terutama sekali, karena kita bertiga hidup berbahagia. Kalau tadi aku bertanya, aku hanya ingin mendengar kepastian bahwa kalian berdua tidak takut akan kematian yang sudah berada di depan mata karena usia kita yang sudah sangat tua. Kita tidak mungkin hidup tanpa akhir, jasmani kita akan melapuk dan melemah dimakan usia....”
“Sudahlah, suamiku. Perlu apa kita bicara tentang kematian? Bukan berarti bahwa aku takut menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh kali kita semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekalipun kita merasa takut, bukan? Nah, kalau ada yang kutakuti, hanya satu, yaitu....”
“Heh-heh, engkau....? Engkau.... takut....? Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya kalau engkau mengatakan bahwa engkau takut? Aku yakin akan keberanian dan ketabahanmu, sehingga, andaikata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu akan kau sambut dia dengan senyum mengejek.”
Nirahai mencela dengan kelakar karena memang nenek ini sudah tahu benar akan keberanian madunya yang tidak pernah mengenal takut itu.
“Benar, enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati sebagai seekor harimau betina yang telah ompong dan kehilangan cakar kakinya.”
Suma Han menatap wajah isterinya ini lalu bertanya,
“Apa maksudmu?”
“Semenjak kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak cucu. Akan tetapi, memikirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan mati dalam keadaan lemah dan sakit-sakitan, sungguh.... ngeri juga hatiku. Aku ingin mati sebagai seekor harimau betina yang gagah perkasa, biarpun sudah tua, seekor harimau betina yang mati dalam amukannya dikeroyok segerombolan serigala misalnya! Tidak mati sakit dan lemah menyedihkan....”
Nenek Nirahai mengangguk-angguk.
“Tepat! Akupun seringkali merasa ngeri membayangkan mati dalam keadaan seperti ini. Berilah aku pasukan, aku akan maju perang membasmi gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Biarkan aku gugur dalam pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai seorang nenek yang lumpuh dan lemah sakit-sakitan.Hih, mengerikan!”
Mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.
“Aihh, kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari kalian. Belum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup, mengandalkan ilmu-ilmu kekerasan yang ada pada kita?”
“Akan tetapi, bukan kita yang mencari kekerasan. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi lawan yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim,” kedua orang isterinya menjawab hampir berbareng.
Pendekar tua itu mengangguk-angguk.
“Aku tidak akan membantah pendapat kalian, walaupun kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pandangan sebelah saja. Sekarang kita hidup tenang dan tenteram, mengapa merindukan kekerasan?”
“Suamiku, jangan salah duga,” kata nenek Lulu. “Aku tidak merindukan kekerasan, hanya aku ingin mati sebagai seorang gagah. Biarpun sudah tua begini, ngeri aku membayangkan mati sebagai seorang nenek yang lemah dan berpenyakitan.”
Suaminya mengangguk-angguk.
“Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan adalah kenyataan. Memang kematian telah berada di depan mata, dan aku merasa lega bahwa kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa takut.”
“Suamiku, sudahlah, tidak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup. Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?” tanya Nirahai.
Setelah menghentikan samadhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari tiga malam, mereka bertiga suka memulai makan dengan minum air buah. Suma Han mengangguk dan Nirahai lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan tidak lama kemudian muncullah seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Nirahai lalu menyuruh pelayan itu menghidangkan air buah dan makanan-makanan lembut dan ringan untuk mengisi perut mereka yang kosong. Setelah mereka bertiga mengisi perut yang kosong dengan sari buah dan makanan-makanan ringan, Suma Han bertanya,
“Di manakah cucu-cucu kita? Kenapa tidak ada suara mereka di dalam?”
“Mereka tentu berada di luar istana,” kata nenek Nirahai. “Aku mulai memikirkan apakah tidak sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke kota raja? Keadaan negara sedang aman tenteram, baik sekali kalau mereka itu meluaskan pemandangan dan pengetahuan pergi ke kota raja.”
“Menurut berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat bijaksana,” kata Suma Han. “Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang kaisar yang benar-benar bijaksana dan dapat membuat rakyat hidup adil makmur, negara kuat dan keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan keadaan seperti itu.”
“Semenjak masih muda sekali, ketika masih menjadi pangeran, memang Pangeran Kian Liong sudah nampak sebagai seorang yang bijaksana,” kata nenek Nirahai.
“Aku jadi ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang,” kata nenek Lulu.
“Sebaiknya panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka,” kata kakek itu.
“Biar aku yang mencari mereka!”
Nenek Lulu bangkit dari lantai dan dengan langkah masih gesit nenek ini lalu meninggalkan ruangan samadhi dan keluar dari istana mencari tiga orang cucunya.
“Jangan lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan gerak kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan perasaan saja, karena itulah maka gerakan perlu dilatih agar menjadi otomatis sehingga seluruh pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas daripada gerakan lawan.”
Demikian Suma Hui memberi nasihat kepada kedua orang adiknya. Kemudian dara yang cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Namanya saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat dan kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berobah menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.
Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang-orang tidak mengerti, atau yang ilmu silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya merupakan tarian pedang yang indah saja akan tetapi yang tidak berbahaya kalau dipakai dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat orangnya kecelik bukan main.
Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu.
Saking asyiknya Suma Hui bersilat pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautan di sekitar Pulau Es. Ternyata pada pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak belasan buah layar bermunculan di sekitar pulau, bahkan sebuah perahu besar di antara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk dan mendarat!
“Bagus! Bagus dan indah sekali!”
“Cantik jelita seperti bidadari!”
Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permainan pedangnya dan menyimpan sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak laki-laki itupun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang laki-laki yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih terdapat beberapa orang anak buah perahu.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau, maka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini merupakan tamu-tamu kakek mereka.
Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai puteri suami isteri pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak sopan.
Hatinya sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu memandang kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara pujian akan kecantikannya tadi mengandung kekurangajaran, walaupun tujuh orang itu bukan muda lagi, antara empat puluh sampai enam puluh tahun.
Namun, dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat. Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya nampak tergantung sebatang golok, sikapnya congkak bukan main.
“Ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau? Sungguh tak kusangka, di tempat kosong seperti ini akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian menari amat indah lagi. Aih, nona, daripada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut saja denganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!”
Berkata demikian, orang ini mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah dada Suma Hui.
“Jahanam....!”
Suma Hui memaki dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja, colekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu membanting-banting kaki kirinya beberapa kali dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang yang memakai julukan Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu tandanya berbahaya sekali karena ia sudah marah bukan main.
Akan tetapi, orang bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan, entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu memandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.
“Eh, eh, engkau memaki?”
Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.
“Setan!”
Makian ini keluar dari mulut kecil Suma Ceng Liong dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menerjang ke depan. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, akan tetapi dia adalah putera Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Sejak kecil, bahkan sejak dapat berjalan kaki, dia sudah digembleng oleh ayah dan ibunya sehingga ilmu silat sudah mendarah daging padanya! Tubuhnya juga digembleng menjadi kuat. Apalagi selama dua tahun ini, sejak berusia delapan tahun, dia digembleng oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai dan menerima petunjuk-petunjuk dari kakeknya. Tentu saja dia bukanlah anak laki-laki berusia sepuluh tahun sembarangan saja!
Terjangannya itu memakai perhitungan dan dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tubuh yang sudah dua tahun menahan dinginnya Pulau Es itu telah dapat menghimpun tenaga panas yang cukup kuat dan ketika dia menerjang, dia telah mempergunakan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Taufan) yang dipelajari dari ayahnya. Tubuhnya meluncur ke depan dan kedua kakinya melakukan tendangan terbang. Si muka tikus terkejut sekali, mencoba untuk menangkis, akan tetapi tangkisannya dapat dipatahkan oleh kaki kiri Ceng Liong sedangkan kaki kanan tetap meluncur menghantam perut.
“Dukkk....!”
Tubuh Dewa Golok itu terjengkang dan terbanting keras. Agaknya belakang kepalanya terbanting cukup keras karena ketika dia bangkit duduk, kepalanya bergoyang-goyang dan sepasang matanya menjadi agak juling. Akan tetapi dia sudah marah sekali dan sambil berteriak dia sudah mencabut golok dari punggungnya, lalu bangkit berdiri.
Akan tetapi, Ceng Liong sudah menyeruduk lagi ke depan, sekali ini dia membuat serangan dengan jurus dari Sin-coa-kun, tangan kirinya yang membentuk kepala ular itu “mematuk” ke arah dada lawan yang baru hendak bangkit berdiri dengan kepala masih pening.
“Tukkk!”
Dan tubuh itu kembali terjengkang, kini golok yang dipegangnya terlepas dan dia roboh pingsan karena pukulan itu merupakan totokan yang disertai hawa pukulan panas.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya enam orang lain yang tadi turun dari perahu. Mereka itu adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan dan merupakan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka pernah melihat orang-orang pandai, akan tetapi baru sekarang mereka melihat betapa seorang teman mereka yang mereka tahu cukup tangguh itu roboh pingsan melawan seorang anak kecil, hanya dalam dua gebrakan saja!
Seorang yang bertubuh gendut, perutnya besar sekali sampai seperti gajah bunting bengkak, dan biarpun tubuhnya tidak dapat dikatakan pendek namun besar perutnya membuat dia nampak pendek, segera melangkah maju. Orang ini memiliki tenaga besar, hal ini dapat dirasakan ketika kakinya dibanting ke atas tanah sampai tanah itu tergetar.
Dia termasuk seorang di antara mereka yang merasa penasaran melihat rekannya roboh sedemikian mudahnya oleh seorang anak kecil, maka begitu maju diapun segera menubruk ke arah Ceng Liong.
“Dukkk!”
Si gendut itu terkejut dan meloncat kembali ke belakang ketika ada tangan yang amat kuat menangkis lengannya. Kiranya pemuda remaja belasan tahun yang bermuka bulat itu yang menangkisnya, bukan sembarang tangkisan karena si gendut ini merasa tadi betapa ada kekuatan besar dalam tangan kecil itu yang mendorongnya. Dengan mata melotot dia memandang pemuda remaja itu. Seorang pemuda belasan tahun yang kelihatannya masih hijau. Dia menjadi penasaran sekali.
“Engkau berani melawanku?” bentaknya, dan tanpa menanti jawaban lagi si gendut ini langsung saja melakukan serangan dahsyat.
Agaknya dia ingin memamerkan kepandaiannya dan ingin membalas kekalahan temannya tadi, ingin merobohkan Ciang Bun dengan sekali pukul. Maka begitu menyerang dia telah menggerakkan kaki tangannya, pertama-tama kakinya menendang kuat ke arah perut pemuda itu lalu disusul pukulan beruntun dengan kedua tangannya mengarah leher dan kepala Ciang Bun. Tiga serangan berantai itu amat cepat dan kuatnya, dan si gendut sudah merasa yakin bahwa pemuda remaja itu pasti tidak akan mampu menghindarkan diri dan tentu satu di antara serangannya itu akan mengenai sasaran.
Akan tetapi, dia dan teman-temannya kecelik. Ciang Bun yang melihat sambaran kaki tangan itu sudah dapat mengukur dari sambaran anginnya bahwa si gendut ini biarpun jauh lebih lihai daripada si Dewa Golok tadi, tetap saja hanya besar mulut dan besar tenaga otot belaka. Maka diapun tidak mengelak, melainkan sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di kedua tangannya.
“Duk-tak-takk!”
Tiga kali tendangan dan pukulan itu ditangkis oleh lengan yang mengandung tenaga sin-kang panas itu dan akibatnya, tubuh gendut itu terlempar ke belakang.
“Bresss! Ngekkk!”
Bunyi pertama adalah bunyi daging pinggulnya menghantam tanah dan bunyi ke dua adalah bunyi perut gendutnya yang terbanting. Yang membuat dia tidak dapat bangkit dengan cepat dan hanya meringis kesakitan adalah berat badannya sendiri yang membuat bantingan itu menjadi berat dan hebat sekali.
Kini semua orang memandang terbelalak. Kiranya kemenangan anak laki-laki kecil tadi melawan si Dewa Golok bukan hanya merupakan hal yang kebetulan saja, melainkan karena memang anak-anak ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat!
Tosu berusia enam puluhan tahun yang agaknya menjadi pimpinan kelompok orang yang turun dari perahu itu kini melangkah maju. Tosu ini wajahnya merah, bahkan matanya juga agak kemerahan, mulutnya tersenyum sinis dan dia maju sambil mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang lebar. Jubahnya berwarna kuning dan di dadanya ada gambaran bulat lambang Im Yang.
“Siancai.... siancai....!” katanya dengan alim. “Kiranya di tempat sunyi ini terdapat orang-orang muda yang pandai. Sungguh mengagumkan sekali. Orang-orang muda, siapakah kalian dan apa hubunganmu dengan tocu (majikan pulau) dari Pulau Es?”
Karena masih menduga bahwa mungkin sekali mereka ini adalah kenalan-kenalan kakeknya walaupun hal ini sungguh amat meragukan, maka Suma Hui lalu menjawab,
“Tocu Pulau Es adalah kakek kami.”
Terdengar seruan-seruan kaget mendengar pengakuan ini dan tosu itu juga berseru,
“Siancai! Kiranya kalian adalah cucu-cucu dari Pendekar Siluman Suma Han?”
“Kakekku adalah Pendekar Super Sakti, bukan siluman!”
Tiba-tiba Ceng Liong membentak. Bagi keluarga ini, julukan Pendekar Siluman dari kakek mereka dianggap kurang sedap dan lebih membanggakan kalau kakek mereka dijuluki Pendekar Super Sakti. Akan tetapi anehnya, Ceng Liong sendiri tidak merasa keberatan dengan julukan ayah kandungnya, yaitu Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
“Bagus! Kebetulan sekali kalau begitu! Sebelum menebang batangnya, lebih baik menebangi cabang-cabang dan ranting-rantingnya lebih dulu!”
Kata-kata ini belum dapat dimengerti atau ditangkap artinya oleh Suma Hui ketika tiba-tiba saja tosu itu sudah menyerangnya dengan hebat. Gerakan tosu ini cepat dan kuat sekali, sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dua orang terdahulu yang dirobohkan oleh Ceng Liong dan Ciang Bun.
Jelaslah bahwa tosu ini lihai sekali dan memiliki ilmu silat tinggi. Dan memang sesungguhnyalah. Tosu ini adalah seorang tokoh dari partai Im-yang-pai dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga sin-kang yang kuat. Kalau tidak lihai, tentu dia tidak akan dipercaya untuk memimpin rombongan orang-orang gagah dalam perahu itu.
Suma Hui telah memiliki tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua adiknya. Dara ini selain lincah dan cepat, juga memiliki kecerdikan. Dalam menghadapi serangan tosu itu, ia bersikap tenang saja dan dengan waspada ia mengikuti gerakan lawan yang melakukan serangan.
Tosu itu menamparnya dengan tangan kiri, akan tetapi tamparan yang dilakukan dengan keras itu hanya merupakan pancingan atau gertakan belaka, sedangkan yang lebih berbahaya adalah tangan kanannya yang melakukan dorongan lembut saja ke arah dadanya. Dorongan inilah yang berbahaya karena Suma Hui dapat merasakan kekuatan besar yang panas tersembunyi dalam dorongan lembut itu! Dalam sekejap mata saja dara perkasa inipun maklum bahwa lawannya menggunakan sin-kang yang keras atau panas, maka iapun sudah siap untuk menyambutnya.
Ia sengaja membiarkan dirinya terpancing, mengangkat lengan kanannya untuk menangkis tamparan tangan kiri lawan seolah-olah ia tidak tahu bahwa dorongan tangan kanan lawan itulah yang berbahaya.
“Plakk!”
Lengan kanannya menangkis tamparan dan pada saat itu, dorongan tangan kanan lawan yang kuat dan panas itupun menyambar masuk. Suma Hui mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang ke dalam lengan kirinya dan iapun menangkis dorongan itu sambil mengerahkan sebagian dari tenaga dingin.
“Dukk....!”
Pertemuan kedua tangan dan lengan itu membuat si tosu terdorong ke belakang beberapa langkah dan biarpun dia tidak sampai terguling jatuh, akan tetapi tubuhnya menggigil dan mukanya seketika menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu, seolah-olah tidak percaya. Dia sendiri adalah ahli sin-kang dan telah menguasai tenaga Im dan Yang dari ilmu partainya, akan tetapi di tempat dingin seperti Pulau Es itu, di mana dia sudah harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin, dia tahu bahwa tidak mungkin dia mempergunakan Im-kang atau tenaga dingin di tempat ini.
“Kita membicarakan kematian bukan karena takut, melainkan membicarakannya sebagai suatu hal yang tak terhindarkan dan suatu hal yang amat akrab di dalam hatiku. Sesungguhnya, bukankah kita bertiga ini sudah lama mati? Mati dalam hidup, yaitu mati daripada segala ikatan yang memberatkan batin. Kita bertiga sudah berusia begini lanjut. Kiranya jarang ada yang dapat mencapai usia selanjut kita dan hal ini terjadi karena cara hidup kita yang bersih dan selalu menjaga diri tidak menyalahi hukum-hukum kehidupan dan mempunyai tertib diri. Terutama sekali, karena kita bertiga hidup berbahagia. Kalau tadi aku bertanya, aku hanya ingin mendengar kepastian bahwa kalian berdua tidak takut akan kematian yang sudah berada di depan mata karena usia kita yang sudah sangat tua. Kita tidak mungkin hidup tanpa akhir, jasmani kita akan melapuk dan melemah dimakan usia....”
“Sudahlah, suamiku. Perlu apa kita bicara tentang kematian? Bukan berarti bahwa aku takut menghadapi kematian. Tidak, sejak dahulu aku tidak takut. Sudah berapa puluh kali kita semua menghadapi ancaman maut, namun tidak sekalipun kita merasa takut, bukan? Nah, kalau ada yang kutakuti, hanya satu, yaitu....”
“Heh-heh, engkau....? Engkau.... takut....? Aih, adik Lulu, siapa bisa percaya kalau engkau mengatakan bahwa engkau takut? Aku yakin akan keberanian dan ketabahanmu, sehingga, andaikata Giam-lo-ong sendiri muncul di depanmu, tentu akan kau sambut dia dengan senyum mengejek.”
Nirahai mencela dengan kelakar karena memang nenek ini sudah tahu benar akan keberanian madunya yang tidak pernah mengenal takut itu.
“Benar, enci, aku memang takut akan suatu hal. Aku takut kalau-kalau aku akan mati sebagai seekor harimau betina yang telah ompong dan kehilangan cakar kakinya.”
Suma Han menatap wajah isterinya ini lalu bertanya,
“Apa maksudmu?”
“Semenjak kecil aku mempelajari ilmu silat. Memang tidak sia-sia karena ilmu itu telah banyak menolongku di waktu dahulu, dan kini dapat pula kuturunkan kepada anak cucu. Akan tetapi, memikirkan semua itu lalu membayangkan bahwa aku kelak akan mati dalam keadaan lemah dan sakit-sakitan, sungguh.... ngeri juga hatiku. Aku ingin mati sebagai seekor harimau betina yang gagah perkasa, biarpun sudah tua, seekor harimau betina yang mati dalam amukannya dikeroyok segerombolan serigala misalnya! Tidak mati sakit dan lemah menyedihkan....”
Nenek Nirahai mengangguk-angguk.
“Tepat! Akupun seringkali merasa ngeri membayangkan mati dalam keadaan seperti ini. Berilah aku pasukan, aku akan maju perang membasmi gerombolan jahat, pengacau-pengacau dan pemberontak. Biarkan aku gugur dalam pertempuran, mati dengan pedang di tangan, bukan mati sebagai seorang nenek yang lumpuh dan lemah sakit-sakitan.Hih, mengerikan!”
Mendengar ucapan kedua orang isterinya itu, Pendekar Super Sakti menarik napas panjang.
“Aihh, kiranya setua ini kalian masih saja menyimpan kekerasan di dalam sanubari kalian. Belum cukupkah kekeruhan yang kita lakukan selama kita hidup, mengandalkan ilmu-ilmu kekerasan yang ada pada kita?”
“Akan tetapi, bukan kita yang mencari kekerasan. Kita hanya menanggapi saja, menghadapi lawan yang merajalela bertindak sewenang-wenang dengan ilmu mereka. Kita hanya membela si lemah yang tertindas, menentang si kuat yang lalim,” kedua orang isterinya menjawab hampir berbareng.
Pendekar tua itu mengangguk-angguk.
“Aku tidak akan membantah pendapat kalian, walaupun kebenaran pendapat itu hanya menjadi hasil pandangan sebelah saja. Sekarang kita hidup tenang dan tenteram, mengapa merindukan kekerasan?”
“Suamiku, jangan salah duga,” kata nenek Lulu. “Aku tidak merindukan kekerasan, hanya aku ingin mati sebagai seorang gagah. Biarpun sudah tua begini, ngeri aku membayangkan mati sebagai seorang nenek yang lemah dan berpenyakitan.”
Suaminya mengangguk-angguk.
“Harapan sih boleh saja, akan tetapi yang menentukan adalah kenyataan. Memang kematian telah berada di depan mata, dan aku merasa lega bahwa kita bertiga akan berani menghadapinya dengan bebas rasa takut.”
“Suamiku, sudahlah, tidak enak rasanya bicara tentang kematian selagi kita masih hidup. Apakah engkau ingin minum air buah seperti biasa?” tanya Nirahai.
Setelah menghentikan samadhi mereka yang kadang-kadang sampai makan waktu tiga hari tiga malam, mereka bertiga suka memulai makan dengan minum air buah. Suma Han mengangguk dan Nirahai lalu menggunakan kedua tangannya untuk bertepuk dan tidak lama kemudian muncullah seorang pelayan wanita yang usianya kurang lebih empat puluh tahun. Nirahai lalu menyuruh pelayan itu menghidangkan air buah dan makanan-makanan lembut dan ringan untuk mengisi perut mereka yang kosong. Setelah mereka bertiga mengisi perut yang kosong dengan sari buah dan makanan-makanan ringan, Suma Han bertanya,
“Di manakah cucu-cucu kita? Kenapa tidak ada suara mereka di dalam?”
“Mereka tentu berada di luar istana,” kata nenek Nirahai. “Aku mulai memikirkan apakah tidak sebaiknya kalau mereka itu sekali waktu disuruh melakukan perjalanan ke kota raja? Keadaan negara sedang aman tenteram, baik sekali kalau mereka itu meluaskan pemandangan dan pengetahuan pergi ke kota raja.”
“Menurut berita yang dibawa oleh para pelayan, memang kaisar muda Kian Liong amat bijaksana,” kata Suma Han. “Syukurlah kalau akhirnya negara memiliki seorang kaisar yang benar-benar bijaksana dan dapat membuat rakyat hidup adil makmur, negara kuat dan keamanan hidup terjamin. Betapa sejak dahulu aku merindukan keadaan seperti itu.”
“Semenjak masih muda sekali, ketika masih menjadi pangeran, memang Pangeran Kian Liong sudah nampak sebagai seorang yang bijaksana,” kata nenek Nirahai.
“Aku jadi ingin sekali melihat kota raja dalam keadaan makmur seperti sekarang,” kata nenek Lulu.
“Sebaiknya panggil mereka itu masuk, aku ingin bicara dengan mereka,” kata kakek itu.
“Biar aku yang mencari mereka!”
Nenek Lulu bangkit dari lantai dan dengan langkah masih gesit nenek ini lalu meninggalkan ruangan samadhi dan keluar dari istana mencari tiga orang cucunya.
“Jangan lepaskan pandang matamu dari tubuh lawan, terutama sepasang pundaknya dan gerak kakinya. Gerakan sendiri tidak perlu kita ikuti dengan mata, melainkan dengan perasaan saja, karena itulah maka gerakan perlu dilatih agar menjadi otomatis sehingga seluruh pandang mata dan perhatian kita tak pernah terlepas daripada gerakan lawan.”
Demikian Suma Hui memberi nasihat kepada kedua orang adiknya. Kemudian dara yang cantik manis ini lalu mengeluarkan sepasang pedang dan mulai memainkan sepasang pedang ini dalam Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut (Ilmu Pedang Sepasang Iblis).
Namanya saja menyeramkan, akan tetapi sesungguhnya ilmu pedang ini amat hebat, dahsyat dan kalau dimainkan oleh seorang dara seperti Suma Hui nampak indah seolah-olah dara itu bukan sedang bersilat melainkan sedang menari-nari saja. Sepasang pedangnya lenyap bentuknya dan berobah menjadi dua gulung sinar yang saling belit dan saling sambung.
Ciang Bun dan Ceng Liong nonton dengan penuh kagum. Memang indah sekali tarian pedang yang dimainkan oleh Suma Hui itu. Bagi orang-orang tidak mengerti, atau yang ilmu silatnya masih rendah, tentu akan memandang ringan dan akan mengira bahwa itu hanya merupakan tarian pedang yang indah saja akan tetapi yang tidak berbahaya kalau dipakai dalam perkelahian yang sungguh-sungguh. Perkiraan seperti itu sungguh akan membuat orangnya kecelik bukan main.
Ilmu Pedang Siang-mo Kiam-sut itu bukan hanya indah dipandang, akan tetapi juga amatlah dahsyatnya, dan merupakan ilmu pedang yang sukar dicari bandingnya di dunia persilatan pada waktu itu.
Saking asyiknya Suma Hui bersilat pedang dan kedua orang adiknya nonton dengan hati kagum, mereka bertiga sampai tidak melihat adanya perubahan aneh yang terjadi di lautan di sekitar Pulau Es. Ternyata pada pagi hari itu, tidak seperti biasanya, nampak belasan buah layar bermunculan di sekitar pulau, bahkan sebuah perahu besar di antara sekian banyak perahu itu telah memasuki teluk dan mendarat!
“Bagus! Bagus dan indah sekali!”
“Cantik jelita seperti bidadari!”
Suara pujian-pujian dan tertawa gembira itu mengejutkan tiga orang cucu Pendekar Super Sakti. Tentu saja Suma Hui cepat menghentikan permainan pedangnya dan menyimpan sepasang pedang itu di sarung pedang yang tergantung di punggungnya. Dua orang anak laki-laki itupun cepat menengok dan mereka bertiga kini berhadapan dengan tujuh orang laki-laki yang berloncatan turun dari perahu, sedangkan di atas perahu besar itu masih terdapat beberapa orang anak buah perahu.
Tiga orang cucu Pendekar Super Sakti itu telah dua tahun berada di Pulau Es dan mereka belum pernah melihat ada perahu asing mengunjungi pulau, maka mereka memandang dengan penuh keheranan dan mengira bahwa tentu mereka ini merupakan tamu-tamu kakek mereka.
Akan tetapi, Suma Hui mengerutkan alisnya yang hitam karena dara yang sudah berusia delapan belas tahun ini, sebagai puteri suami isteri pandekar, dapat menduga bahwa dia berhadapan dengan orang-orang yang termasuk dalam kelompok kaum sesat. Hal ini mudah saja dikenalnya, dari cara mereka berpakaian, dari wajah yang penuh dengan watak keras itu, dan terutama sekali dari sikap mereka yang kelihatan sombong, mengagulkan diri, dan juga tidak sopan.
Hatinya sudah dipenuhi rasa tidak suka melihat betapa tujuh orang yang dihadapinya itu memandang kepadanya dengan cengar-cengir dan menyeringai memuakkan. Suara pujian akan kecantikannya tadi mengandung kekurangajaran, walaupun tujuh orang itu bukan muda lagi, antara empat puluh sampai enam puluh tahun.
Namun, dari gerakan mereka ketika berloncatan turun tadi, mudah diketahui bahwa mereka itu rata-rata pandai main silat. Seorang di antara mereka yang usianya kurang lebih empat puluh tahun melangkah maju sambil tertawa. Laki-laki ini kurus tinggi dan berkulit hitam, mukanya kecil seperti muka tikus, kumisnya melintang dan kedua ujungnya melengkung ke bawah, di punggungnya nampak tergantung sebatang golok, sikapnya congkak bukan main.
“Ha-ha, Nona manis. Siapakah engkau? Sungguh tak kusangka, di tempat kosong seperti ini akan bertemu dengan seorang gadis yang begini cantik manis dan memiliki kepandaian menari amat indah lagi. Aih, nona, daripada hidup di tempat terasing seperti ini, mari kau ikut saja denganku dan menjadi muridku yang terkasih. Ha-ha-ha! Jangan khawatir, menjadi murid Sian-to (Dewa Golok) hidupmu tentu akan senang!”
Berkata demikian, orang ini mengulur lengannya yang panjang dan jari-jari tangannya mencoba untuk mencolek ke arah dada Suma Hui.
“Jahanam....!”
Suma Hui memaki dan hanya dengan sedikit melangkah ke belakang saja, colekan itu mengenai tempat kosong. Dara itu membanting-banting kaki kirinya beberapa kali dan sinar matanya seperti mengeluarkan sinar berapi ketika ia memandang kepada orang yang memakai julukan Dewa Golok itu. Kalau dara ini sudah membanting-banting kaki kiri, itu tandanya berbahaya sekali karena ia sudah marah bukan main.
Akan tetapi, orang bermuka tikus itu memang tak tahu diri saking congkaknya. Memang, sebagai seorang jagoan, entah sudah berapa banyaknya orang yang dia robohkan karena tidak taat kepadanya dan hal ini membuat dia menjadi tekebur sekali dan tidak sudi menghargai orang lain, selalu memandang rendah dan merasa bahwa dialah jagoan paling hebat di dunia.
“Eh, eh, engkau memaki?”
Bentaknya dan kini kedua tangannya sudah mencengkeram ke depan, dan kembali cengkeraman itu ditujukan ke arah dada Suma Hui.
“Setan!”
Makian ini keluar dari mulut kecil Suma Ceng Liong dan tiba-tiba saja tubuhnya sudah menerjang ke depan. Biarpun usianya baru sepuluh tahun, akan tetapi dia adalah putera Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu! Sejak kecil, bahkan sejak dapat berjalan kaki, dia sudah digembleng oleh ayah dan ibunya sehingga ilmu silat sudah mendarah daging padanya! Tubuhnya juga digembleng menjadi kuat. Apalagi selama dua tahun ini, sejak berusia delapan tahun, dia digembleng oleh neneknya, yaitu nenek Nirahai dan menerima petunjuk-petunjuk dari kakeknya. Tentu saja dia bukanlah anak laki-laki berusia sepuluh tahun sembarangan saja!
Terjangannya itu memakai perhitungan dan dilakukan dengan pengerahan tenaga. Tubuh yang sudah dua tahun menahan dinginnya Pulau Es itu telah dapat menghimpun tenaga panas yang cukup kuat dan ketika dia menerjang, dia telah mempergunakan tendangan Soan-hong-twi (Tendangan Angin Taufan) yang dipelajari dari ayahnya. Tubuhnya meluncur ke depan dan kedua kakinya melakukan tendangan terbang. Si muka tikus terkejut sekali, mencoba untuk menangkis, akan tetapi tangkisannya dapat dipatahkan oleh kaki kiri Ceng Liong sedangkan kaki kanan tetap meluncur menghantam perut.
“Dukkk....!”
Tubuh Dewa Golok itu terjengkang dan terbanting keras. Agaknya belakang kepalanya terbanting cukup keras karena ketika dia bangkit duduk, kepalanya bergoyang-goyang dan sepasang matanya menjadi agak juling. Akan tetapi dia sudah marah sekali dan sambil berteriak dia sudah mencabut golok dari punggungnya, lalu bangkit berdiri.
Akan tetapi, Ceng Liong sudah menyeruduk lagi ke depan, sekali ini dia membuat serangan dengan jurus dari Sin-coa-kun, tangan kirinya yang membentuk kepala ular itu “mematuk” ke arah dada lawan yang baru hendak bangkit berdiri dengan kepala masih pening.
“Tukkk!”
Dan tubuh itu kembali terjengkang, kini golok yang dipegangnya terlepas dan dia roboh pingsan karena pukulan itu merupakan totokan yang disertai hawa pukulan panas.
Dapat dibayangkan betapa kaget dan herannya enam orang lain yang tadi turun dari perahu. Mereka itu adalah orang-orang yang biasa mempergunakan kekerasan dan merupakan orang-orang terkenal di dunia kang-ouw. Tentu saja mereka pernah melihat orang-orang pandai, akan tetapi baru sekarang mereka melihat betapa seorang teman mereka yang mereka tahu cukup tangguh itu roboh pingsan melawan seorang anak kecil, hanya dalam dua gebrakan saja!
Seorang yang bertubuh gendut, perutnya besar sekali sampai seperti gajah bunting bengkak, dan biarpun tubuhnya tidak dapat dikatakan pendek namun besar perutnya membuat dia nampak pendek, segera melangkah maju. Orang ini memiliki tenaga besar, hal ini dapat dirasakan ketika kakinya dibanting ke atas tanah sampai tanah itu tergetar.
Dia termasuk seorang di antara mereka yang merasa penasaran melihat rekannya roboh sedemikian mudahnya oleh seorang anak kecil, maka begitu maju diapun segera menubruk ke arah Ceng Liong.
“Dukkk!”
Si gendut itu terkejut dan meloncat kembali ke belakang ketika ada tangan yang amat kuat menangkis lengannya. Kiranya pemuda remaja belasan tahun yang bermuka bulat itu yang menangkisnya, bukan sembarang tangkisan karena si gendut ini merasa tadi betapa ada kekuatan besar dalam tangan kecil itu yang mendorongnya. Dengan mata melotot dia memandang pemuda remaja itu. Seorang pemuda belasan tahun yang kelihatannya masih hijau. Dia menjadi penasaran sekali.
“Engkau berani melawanku?” bentaknya, dan tanpa menanti jawaban lagi si gendut ini langsung saja melakukan serangan dahsyat.
Agaknya dia ingin memamerkan kepandaiannya dan ingin membalas kekalahan temannya tadi, ingin merobohkan Ciang Bun dengan sekali pukul. Maka begitu menyerang dia telah menggerakkan kaki tangannya, pertama-tama kakinya menendang kuat ke arah perut pemuda itu lalu disusul pukulan beruntun dengan kedua tangannya mengarah leher dan kepala Ciang Bun. Tiga serangan berantai itu amat cepat dan kuatnya, dan si gendut sudah merasa yakin bahwa pemuda remaja itu pasti tidak akan mampu menghindarkan diri dan tentu satu di antara serangannya itu akan mengenai sasaran.
Akan tetapi, dia dan teman-temannya kecelik. Ciang Bun yang melihat sambaran kaki tangan itu sudah dapat mengukur dari sambaran anginnya bahwa si gendut ini biarpun jauh lebih lihai daripada si Dewa Golok tadi, tetap saja hanya besar mulut dan besar tenaga otot belaka. Maka diapun tidak mengelak, melainkan sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga Hwi-yang Sin-ciang di kedua tangannya.
“Duk-tak-takk!”
Tiga kali tendangan dan pukulan itu ditangkis oleh lengan yang mengandung tenaga sin-kang panas itu dan akibatnya, tubuh gendut itu terlempar ke belakang.
“Bresss! Ngekkk!”
Bunyi pertama adalah bunyi daging pinggulnya menghantam tanah dan bunyi ke dua adalah bunyi perut gendutnya yang terbanting. Yang membuat dia tidak dapat bangkit dengan cepat dan hanya meringis kesakitan adalah berat badannya sendiri yang membuat bantingan itu menjadi berat dan hebat sekali.
Kini semua orang memandang terbelalak. Kiranya kemenangan anak laki-laki kecil tadi melawan si Dewa Golok bukan hanya merupakan hal yang kebetulan saja, melainkan karena memang anak-anak ini memiliki ilmu kepandaian yang hebat!
Tosu berusia enam puluhan tahun yang agaknya menjadi pimpinan kelompok orang yang turun dari perahu itu kini melangkah maju. Tosu ini wajahnya merah, bahkan matanya juga agak kemerahan, mulutnya tersenyum sinis dan dia maju sambil mengebut-ngebutkan lengan bajunya yang lebar. Jubahnya berwarna kuning dan di dadanya ada gambaran bulat lambang Im Yang.
“Siancai.... siancai....!” katanya dengan alim. “Kiranya di tempat sunyi ini terdapat orang-orang muda yang pandai. Sungguh mengagumkan sekali. Orang-orang muda, siapakah kalian dan apa hubunganmu dengan tocu (majikan pulau) dari Pulau Es?”
Karena masih menduga bahwa mungkin sekali mereka ini adalah kenalan-kenalan kakeknya walaupun hal ini sungguh amat meragukan, maka Suma Hui lalu menjawab,
“Tocu Pulau Es adalah kakek kami.”
Terdengar seruan-seruan kaget mendengar pengakuan ini dan tosu itu juga berseru,
“Siancai! Kiranya kalian adalah cucu-cucu dari Pendekar Siluman Suma Han?”
“Kakekku adalah Pendekar Super Sakti, bukan siluman!”
Tiba-tiba Ceng Liong membentak. Bagi keluarga ini, julukan Pendekar Siluman dari kakek mereka dianggap kurang sedap dan lebih membanggakan kalau kakek mereka dijuluki Pendekar Super Sakti. Akan tetapi anehnya, Ceng Liong sendiri tidak merasa keberatan dengan julukan ayah kandungnya, yaitu Pendekar Siluman Kecil Suma Kian Bu.
“Bagus! Kebetulan sekali kalau begitu! Sebelum menebang batangnya, lebih baik menebangi cabang-cabang dan ranting-rantingnya lebih dulu!”
Kata-kata ini belum dapat dimengerti atau ditangkap artinya oleh Suma Hui ketika tiba-tiba saja tosu itu sudah menyerangnya dengan hebat. Gerakan tosu ini cepat dan kuat sekali, sungguh sama sekali tidak boleh disamakan dengan dua orang terdahulu yang dirobohkan oleh Ceng Liong dan Ciang Bun.
Jelaslah bahwa tosu ini lihai sekali dan memiliki ilmu silat tinggi. Dan memang sesungguhnyalah. Tosu ini adalah seorang tokoh dari partai Im-yang-pai dan memiliki ilmu silat yang tinggi dan tenaga sin-kang yang kuat. Kalau tidak lihai, tentu dia tidak akan dipercaya untuk memimpin rombongan orang-orang gagah dalam perahu itu.
Suma Hui telah memiliki tingkat ilmu silat yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan kedua adiknya. Dara ini selain lincah dan cepat, juga memiliki kecerdikan. Dalam menghadapi serangan tosu itu, ia bersikap tenang saja dan dengan waspada ia mengikuti gerakan lawan yang melakukan serangan.
Tosu itu menamparnya dengan tangan kiri, akan tetapi tamparan yang dilakukan dengan keras itu hanya merupakan pancingan atau gertakan belaka, sedangkan yang lebih berbahaya adalah tangan kanannya yang melakukan dorongan lembut saja ke arah dadanya. Dorongan inilah yang berbahaya karena Suma Hui dapat merasakan kekuatan besar yang panas tersembunyi dalam dorongan lembut itu! Dalam sekejap mata saja dara perkasa inipun maklum bahwa lawannya menggunakan sin-kang yang keras atau panas, maka iapun sudah siap untuk menyambutnya.
Ia sengaja membiarkan dirinya terpancing, mengangkat lengan kanannya untuk menangkis tamparan tangan kiri lawan seolah-olah ia tidak tahu bahwa dorongan tangan kanan lawan itulah yang berbahaya.
“Plakk!”
Lengan kanannya menangkis tamparan dan pada saat itu, dorongan tangan kanan lawan yang kuat dan panas itupun menyambar masuk. Suma Hui mengerahkan tenaga Swat-im Sin-ciang ke dalam lengan kirinya dan iapun menangkis dorongan itu sambil mengerahkan sebagian dari tenaga dingin.
“Dukk....!”
Pertemuan kedua tangan dan lengan itu membuat si tosu terdorong ke belakang beberapa langkah dan biarpun dia tidak sampai terguling jatuh, akan tetapi tubuhnya menggigil dan mukanya seketika menjadi pucat. Matanya terbelalak memandang kepada wajah dara itu, seolah-olah tidak percaya. Dia sendiri adalah ahli sin-kang dan telah menguasai tenaga Im dan Yang dari ilmu partainya, akan tetapi di tempat dingin seperti Pulau Es itu, di mana dia sudah harus mengerahkan sin-kang untuk melawan hawa dingin, dia tahu bahwa tidak mungkin dia mempergunakan Im-kang atau tenaga dingin di tempat ini.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar