FB

FB


Ads

Senin, 03 Agustus 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 119

Adu pukulan jarak jauh itu berlangsung sampai seratus jurus, dan keduanya mulai lelah karena perkelahian macam ini membutuhkan pengerahan sin-kang yang terus menerus dan siapa lengah tentu akan celaka. Dan hal ini pun menguntungkan Ci Sian. Dara ini masih muda sekali, tentu saja memiliki daya tahan yang jauh lebih kuat dibandingkan lawannya yang mulai terengah-engah dan uap yang mengepul dari kepala itu kini semakin tebal saja, dan nampak keringat menetes-netes dari balik kedok tengkorak, juga di leher nenek itu nampak keringat membasahi kulit dan baju.

Memang tak dapat disangkal pula bahwa Ci Sian juga merasa lelah, dadanya bergelombang, pernapasannya mulai terdengar, dan dahi serta lehernya nampak basah. Namun, dibandingkan dengan lawannya, ia masih lebih segar.

Tentu saja Ji-ok menjadi semakin penasaran dan marah, sungguhpun kemarahannya itu mulai bercampur dengan kekhawatiran. Sungguh tidak disangkanya, lawannya yang masih amat muda ini ternyata benar-benar lihai bukan main, bukan saja memiliki ilmu silat yang amat tinggi dengan suling emasnya, juga ternyata memiliki tenaga sin-kang yang hebat sekali di samping tenaga khi-kang yang membuat sulingnya dapat melengking tinggi menggetarkan jantung.

Maka nenek ini pun mengambil keputusan bulat untuk mengeluarkan ilmunya yang paling ampuh, yang merupakan senjata rahasianya yang selama ini bahkan belum pernah dikeluarkannya menghadapi lawan-lawan tangguh.

Ketika itu, Ci Sian yang melihat betapa lawannya sudah nampak lelah sekali, memutar sulingnya dan melakukan desakan hebat sehingga Ji-ok terpaksa hanya main mundur dan mengelak ke sana sini.

Tiba-tiba ia membalikkan tubuhnya seperti orang hendak lari. Tentu saja Ci Sian tidak membiarkan lawannya melarikan diri dan ia pun cepat meloncat mengejar. Dan pada saat itu, tiba-tiba Ji-ok membalikkan tubuh lagi dan kedua tangannya menyerang dengan jurus Kiam-ci yang mengeluarkan suara bercuitan. Dan bukan hanya tusukan-tusukan jari yang dahsyat ini saja yang menyambar ke arah Ci Sian, akan tetapi juga didahului oleh dua sinar hitam yang menyambar dan tahu-tahu dua sinar itu telah mengenai leher dan juga pinggang Ci Sian.

Semua orang terkejut sekali melihat dua sinar ini adalah dua ekor ular yang amat berbahaya. Semacam ular cobra yang jahat dan beracun sekali! Ular-ular cobra itu sudah melingkari leher dan pinggang Ci Sian dan semua orang tahu bahwa sekali saja terkena gigitan ular seperti ini, maka tidak ada obat di dunia ini yang akan dapat menyelamatkan nyawa orang yang digigitnya.

Hanya Kam Hong yang masih nampak tenang-tenang saja, padahal Cin Liong dan Hong Bu sudah menahan seruan dan wajah kedua orang muda ini sudah menjadi pucat sekali. Juga Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In memandang dengan mata terbelalak, walaupun Yu Hwi juga segera tersenyum karena ia teringat bahwa Ci Sian akan mampu menghadapi ular-ular itu.

Dugaannya memang benar dan hal ini pun diketahui oleh Kam Hong maka pendekar ini nampak tenang saja. Ci Sian adalah murid terkasih dari See-thian Coa-ong, raja ular yang memiliki ilmu pawang ular yang lihai sekali. Gadis ini selain telah menguasai Sin-coa Thian-te-ciang, ilmu silat ular yang lihai, juga telah menguasai ilmu pawang ular.

Maka begitu ia tadi melihat bahwa senjata rahasia lawannya adalah dua ekor ular cobra, diam-diam ia tertawa dan segera mengerahkan ilmu menundukkan ular itu. Dan hebatnya, begitu ular-ular itu mengenai leher dan pinggangnya, dua ekor ular yang segera mengenal ilmu itu dan tahu bahwa manusia ini adalah “ratu” mereka, sama sekali tidak menggigit malah lalu melingkar dengan manja!

Yu Hwi maklum bahwa Ci Sian pernah menjadi murid See-thian Coa-ong, dan Kam Hong juga tahu akan hal ini, maka mereka berdua tidak merasa khawatir. Akan tetapi, tiba-tiba Ci Sian mengeluarkan teriakan nyaring dan roboh terjengkang! Kam Hong sendiri sampai terkejut setengah mati melihat hal yang tidak diduga-duganya ini. Ji-ok terkekeh girang, lalu menubruk untuk memberi pukulan maut terakhir.

Akan tetapi, mendadak kedua tangan Ci Sian bergerak dan dua ekor ular itu kini meluncur ke arah tubuh Ji-ok yang sedang menubruk, dengan mulut mendesis penuh kemarahan! Ji-ok terkejut, namun tidak mampu mengelak lagi dan dua ekor ular itu telah mengenai pundak kanan dan paha kirinya, terus saja dua ekor ular cobra itu mematuk dan menggigit!

Ji-ok menjerit ngeri, lalu terpelanting, Ci Sian juga sudah melompat bangun, sulingnya menotok ke arah tenggorokan wanita itu. Ji-ok mengelak dan suling itu mengenai topengnya. Terdengar suara keras dan topeng itu terlepas dari muka Ji-ok. Dan semua orang pun menahan seruan kaget dan ngeri ketika melihat muka nenek itu.

Muka yang cantik sesungguhnya, biarpun sudah tua akan tetapi kulit muka itu masih halus, dan putih, bentuk mulutnya, hidungnya, matanya, semua jelas menunjukkan bahwa muka itu dahulu adalah wajah seorang wanita yang amat cantik. Akan tetapi, sungguh mengerikan sekali, wajah yang demikian eloknya itu ternoda oleh goresan bersilang dari atas kiri ke bawah kanan dan dari atas kanan ke bawah kiri sehingga membuat muka itu nampak mengerikan sekali! Sekarang semua orang baru tahu bahwa di balik topeng tengkorak itu tersembunyi wajah cantik yang sudah cacad.

Tentu saja Ji-ok yang mempunyai senjata rahasia ular cobra yang amat berbahaya telah menggunakan obat sehingga tubuhnya kebal terhadap gigitan ular-ular itu, dan biarpun tadi dua ekor ular yang telah dikuasai oleh ilmu Ci Sian itu membalik dan menggigit majikan sendiri, namun Ji-ok tidak terancam bahaya maut oleh gigitan itu.

Yang membuatnya terkejut bukan main adalah terlepasnya kedok. Ia marah sekali dan menubruk ke arah Ci Sian tanpa mempedulikan lagi keselamatan dirinya, sama sekali tidak lagi memperhatikan daya tahan untuk melindungi dirinya. Ia seperti orang nekad yang hendak mengadu nyawa dengan lawannya.

Dan memang sesungguhnya demikianlah. Wanita ini ketika mula-mula memakai kedok tengkorak, telah bersumpah bahwa tidak ada orang lain yang boleh melihat wajahnya dan kalau sampai wajahnya nampak oleh orang lain berarti ia akan mati! Maka, begitu kedoknya terlepas oleh pukulan suling lawan, ia pun menjadi marah dan melakukan serangan nekad, menubruk dengan jari-jari tangan terbuka seperti cakar garuda, dengan kuku panjang yang mengandung tenaga dahsyat dari Kiam-ci itu.

Tentu saja Ci Sian dapat melihat kenekatan lawan, maka ia pun cepat meloncat ke samping dan melihat betapa tubuh orang terbuka tanpa perlindungan, sulingnya sudah menyambar, merupakan sinar kuning emas yang meluncur cepat.

“Takk....! Aihhhh....!”

Ji-ok mengeluarkan jeritan satu kali lalu tubuhnya terguling dan jatuh menelungkup di atas tanah, tewas seketika karena dua kali tubuhnya tertotok ujung suling, pertama kali pada lambungnya lalu disusul totokan pada leher bawah telinganya.






Bukan main sedihnya hati Toa-ok melihat tewasnya Ji-ok dan Sam-ok di depan matanya tanpa ia mampu melindungi mereka itu. Kini tinggal dia seorang diri di dunia. Im-kan Ngo-ok yang terdiri dari lima orang itu kini tinggal dia seorang saja. Su-ok dan Ngo-ok telah tewas lebih dulu dan kini menyusul Sam-ok dan Ji-ok.

Biarpun Toa-ok merupakan seorang datuk kaum sesat yang biasa berhati kejam sekali, akan tetapi sekali ini dia merasa betapa hatinya perih dan nyeri. Dengan muka berubah merah dia sudah melompat ke depan dan ketika dia menggerakkan tangannya, lengan bajunya berkibar dan dari situ menyambar angin dahsyat ke depan, membuat debu mengebul dan daun-daun kering beterbangan.

Akan tetapi Ci Sian yang merasa lelah dan juga girang karena telah berhasil keluar sebagai pemenang, kini telah meloncat ke belakang dan tidak mau melayani Toa-ok yang memandang kepadanya dengan mata terbelalak dan bersinar-sinar penuh kemarahan dan dendam.

Tanpa membuang waktu lagi, Sim Hong Bu melangkah maju sambil berkata kepada Kam Hong,
“Biar aku yang melayaninya.”

Kam Hong mengangguk.
“Hati-hatilah, Saudara Hong Bu, lawanmu itu cukup tangguh.”

Melihat majunya pemuda tegap sederhana yang sikapnya gagah ini, Toa-ok menghadapinya dan sepasang matanya yang masih terbelalak penuh kemarahan itu seperti hendak menelan Hong Bu bulat-bulat. Dia mengenal pemuda ini, bahkan dia tahu pula bahwa pemuda inilah yang dahulu bersahabat dengan Yeti. Mengingat bahwa pemuda ini baru beberapa tahun saja mempelajari ilmu silat, tentu saja Toa-ok yakin bahwa dia akan mampu mengalahkan pemuda ini, walaupun dia sama sekali tidak mau bersikap sembrono dan memandang rendah.

Tadi sudah disaksikannya betapa orang-orang muda seperti Kao Cin Liong dan Bu Ci Sian telah mampu merobohkan dan menewaskan Sam-ok dan Ji-ok. Dia sekarang harus dapat membalas kematian dua orang adik-adiknya itu.

Akan tetapi ketika Hong Bu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampak sinar biru berkelebat, Toa-ok merasa gentar juga. Bagaimanapun juga, pemuda ini sudah pernah membuktikan kelihaiannya ketika dikeroyok dan dapat juga melarikan diri. Pedang di tangan pemuda itu adalah sebatang pedang yang amat ampuh, dan juga ilmu pedang yang dimiliki pemuda ini luar biasa aneh dan lihainya, maka Toa-ok bersikap hati-hati.

Di antara lima orang Im-kan Ngo-ok, hanya Toa-ok sajalah yang tidak pernah mau mempergunakan senjata. Tentu saja, sebagai seorang ahli ilmu silat tinggi, dia pandai memainkan segala macam senjata yang dipergunakan orang di dunia persilatan. Akan tetapi, tokoh ini memiliki tingkat yang tinggi dan tenaga sin-kang yang kuat sekali sehingga dia tidak lagi membutuhkan bantuan senjata. Kedua lengannya yang panjang dan besar itu telah dilindungi oleh kekuatan sin-kang dan dapat menahan senjata tajam yang bagaimanapun kuatnya. Setiap serangan tangan atau kakinya juga lebih berbahaya daripada senjata tajam.

Setelah melihat pemuda pewaris Koai-liong Po-kiam itu mencabut pedangnya, Toa-ok juga tidak mau banyak cakap lagi. Sambil mengeluarkan suara menggereng seperti seekor monyet raksasa, kakek ini pun lalu mulai membuka serangannya.

Gerakannya biasa saja, seperti bukan gerakan silat, juga nampak kaku dan dia hanya mengembangkan kedua lengannya ke depan dan kedua tangannya itu menyambar dari atas, kanan dan kiri, akan tetapi, biarpun nampak kaku dan lamban, namun dari kedua tangannya itu menyambar angin pukulan yang dahsyat sekali, yang mengeluarkan suara angin keras dan baru saja kakek itu mulai dengan serangannya, Hong Bu sudah merasakan sambaran hawa pukulan yang amat panas. Maka pemuda ini pun lalu memutar pedangnya dan selain mengelak serta melindungi diri dengan gulungan sinar pedang kebiruan, juga dia membalas secara kontan dengan tusukan pedangnya ke arah perut lawan yang agak gendut itu.

“Trakkk!”

Toa-ok menangkis dengan lengannya, sengaja menangkis sambil mengerahkan tenaga, mencoba membuat pedang lawan terpental, bahkan tangkisan itu disambung dengan cengkeraman untuk merampas pedang. Ketika lengan bertemu pedang, Hong Bu merasa betapa pedangnya tergetar hebat, akan tetapi dia pun cepat menarik pedangnya itu dan gulungan sinar pedang kembali berkelebat dan sudah membabat ke arah leher lawan.

Ketika Toa-ok mengelak, pedang itu sudah menyambar lagi dengan dahsyatnya, seolah-olah mempunyai nyawa dan setiap serangan yang tidak mengenai sasaran disambung dengan serangan berikutnya.

Terjadilah perkelahian yang sama serunya dengan dua pertandingan yang terdahulu. Bahkan lebih menegangkan lagi karena para pendekar itu maklum bahwa kepandaian Toa-ok ini masih lebih lihai dibandingkan dengan Ji-ok atau Sam-ok. Sekali ini, yang paling khawatir adalah Cu Pek In.

Dara ini biarpun merupakan puteri dari pendekar sakti keluarga Cu, namun tingkat kepandaiannya belumlah setinggi Hong Bu, maka ia hanya dapat menonton dengan hati gelisah. Ia pun tahu betapa lihainya kakek yang seperti gorila itu dan biarpun gerakan kakek itu kaku dan aneh seperti gerakan seekor monyet raksasa, namun ia mengerti bahwa kalau tidak lihai bukan main, tidak nanti kakek yang mukanya menyerupai monyet ini menjadi orang pertama dari Im-kan Ngo-ok!

Sim Hong Bu maklum akan hal ini, maka dia pun tidak berani memandang rendah dan kini pemuda itu mulai memainkan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang amat hebat itu.

Perlahan-lahan nampak sinar pedang berwarna biru begulung-gulung, makin lama makin cepat dan makin lebar. Mula-mula hanya terdengar bunyi berdesing, lalu bunyi itu makin meninggi menjadi lengking yang aneh, seperti auman singa, makin lama makin nyaring sampai menggetarkan anak telinga. Pedang itu lenyap membentuk gulungan sinar biru yang agaknya memenuhi tempat itu, membungkus tubuh Sim Hong Bu sehingga yang nampak pada diri pendekar muda perkasa ini hanya kedua kakinya yang kadang-kadang turun ke atas tanah, akan tetapi sebentar saja sudah lenyap lagi.

“Hyaaaattt....!”

Tiba-tiba terdengar teriakan Hong Bu di antara lengkingan suara pedangnya, dan dengan gerakan kilat sinar biru menyambar ke arah leher Toa-ok. Jurus ini amat hebatnya, tusukan pedang itu bergetar, membuat ujung sinar pedang itu menjadi banyak, membingungkan lawan karena sukar untuk menduga ke mana pedang itu akan menyerang.

Akan tetapi, Toa-ok yang juga berkelahi dengan amat hati-hati itu tahu bahwa lehernya yang menjadi sasaran utama, maka dia pun sudah miringkan tubuh menarik kepalanya ke belakang dan kedua lengannya membuat gerakan menggunting dalam usahanya menangkap pedang lawan. Akan tetapi Hong Bu menarik sedikit pedangnya dan menggunakan ujung pedang untuk menusuk ke arah sambungan siku kanan Toa-ok.

“Hemmm!”

Toa-ok mendengus, menarik sikunya turun dan tangan kirinya menangkis pedang sedangkan tangan kanan sudah mencengkeram ke arah ubun-ubun kepala Sim Hong Bu. Pemuda ini tentu saja tahu akan datangnya bahaya maut, maka sambil menarik pedangnya dia melompat ke belakang.

Akan tetapi, alangkah terkejut hati pemuda itu ketika melihat betapa tangan yang besar berbulu seperti tangan monyet itu masih terus saja mengejar kepalanya dan mengancam dengan cengkeraman yang mengerikan. Kiranya orang pertama dari Im-kan Ngo-ok ini memiliki ilmu memanjangkan lengan tangan sehingga biarpun Hong Bu sudah mundur tangan itu seperti saling melekat, tidak dapat ditarik kembali karena siapa yang menarik lebih dulu, akan menghadapi bahaya maut karena lawan tentu langsung menyerangnya.

Maka kini keduanya berkutetan, sebelah tangan saling menarik pedang untuk merampasnya, sebelah tangan yang lain saling dorong mengadu kekuatan sin-kang! Keadaan amat menegangkan, bahkan Cin Liong sudah mengepal-ngepal tinju, ragu-ragu apakah pemuda itu akan mampu menandingi Toa-ok dalam adu tenaga ini.

Memang Hong Bu mulai terdesak dalam adu tenaga ini. Bagaimanapun juga inti ilmu yang diwarisinya adalah ilmu pedang dan kini setelah pedangnya tertangkap dan dia tidak lagi mampu mempergunakan ilmu pedangnya, maka tentu saja kelihaian Hong Bu seperti mati langkah, dan dalam hal tenaga sin-kang, dia masih kalah oleh orang pertama dari Im-kan Ngo-ok itu!

Kalau dilanjutkan adu tenaga itu, tentu Hong Bu akan kalah dan Kam Hong sudah bersiap-siap untuk menyelamatkan sahabatnya itu, bukan untuk mengeroyok melainkan untuk menyelamatkan sahabatnya dan tentu saja mengaku kalah. Kekalahan di pihaknya berarti harus membiarkan yang menang untuk pergi dengan aman! Dan orang seperti Toa-ok itu amatlah berbahaya kalau dibiarkan berkeliaran di dunia ini.

Akan tetapi, tiba-tiba saja Toa-ok yang seperti juga Hong Bu tidak mampu lagi mempergunakan kedua tangan itu, menggerakkan kepalanya dan mulut yang agak lonjong ke depan seperti monyong monyet itu, dengan giginya yang besar-besar dan bersihung, dibuka dan hendak menggigit ke arah tenggorokan Hong Bu!

Semua orang terkejut sekali melihat ini, bahkan Hong Bu sendiri juga kaget. Tak disangkanya bahwa seorang tokoh persilatan yang begitu tinggi kedudukannya, seorang datuk seperti Toa-ok, mau mempergunakan cara yang hanya dilakukan binatang buas dalam perkelahian, yaitu menggigit!

Betapapun aneh dan lucunya hal ini, namun harus diakui bahwa serangan menggunakan mulut untuk menggigit tenggorokan ini amat berbahaya. Tentu saja Hong Bu tidak lagi dapat mengelak. Tangan kanannya masih mempertahankan pedang pusaka yang hendak dirampas, dan tangan kirinya masih menahan telapak tangan Toa-ok. Kedua tangannya tak dapat dipakai untuk menangkis, dan untuk mengelak ke belakang pun tidak mungkin.

Akan tetapi, pemuda ini teringat bahwa dahulu, sebelum dia menjadi murid pendekar sakti keluarga Cu, dia pernah mempelajari ilmu silat tingkat rendahan dari ayahnya dan para pamannya. Dan di dalam latihan-latihan ketangkasan dan latihan tenaga ini ada semacam latihan yang pernah dilatihnya, bahkan telah dikuasainya dengan baik, yaitu melatih kepalanya, terutama bagian dahi untuk menyerang!

Dengan latihan yang tekun, di waktu dia masih kecil saja dia sudah mempunyai batok kepala yang kuat dan dengan dahi kepalanya dia sudah mampu menghancurkan batu bata yang keras. Kini, kepandaian ini timbul dalam benaknya ketika dia menghadapi bahaya. Kekuatan kepalanya yang hanya berkat latihan dan dilandasi kekuatan otot dan kekerasan tulang kepala yang dilatih itu tentu saja tidak akan berguna, bahkan berbahaya kalau dilawan oleh tenaga sin-kang lawan, maka dia pun tidak pernah mau menggunakan kepalanya dalam pertempuran.

Akan tetapi sekali ini dia menghadapi gigi! Dan tidak terdapat jalan lain untuk menyelamatkan tenggorokannya dari ancaman gigi yang besar-besar dan runcing itu. Maka, dengan cepat Hong Bu juga menggerakkan kepalanya, menyambut mulut lawan yang dimoncongkan untuk menggigitnya itu, dengan benturan yang dilakukan dengan sekuat tenaga.

“Bresss....!”

Bukan main hebatnya pertemuan antara mulut dengan dahi itu dan terdengar Toa-ok berteriak keras sambil meloncat ke belakang. Mulutnya berdarah dan ternyata giginya rontok dan bibirnya pecah-pecah berdarah. Gigi orang yang sudah tua ini, yang hanya tinggal beberapa potong dan itu pun sudah kurang kuat, tidak dapat bertahan ketika bertemu dengan dahi yang terlatih dan kuat itu!

Toa-ok menjadi marah sekali. Bukan hanya dia telah dibikin rugi, kehilangan semua sisa giginya dan bibirnya berdarah, akan tetapi juga dia telah mendapat malu karena keadaannya itu sama saja artinya dengan dia menderita kekalahan. Sambil menggereng, dia pun lalu menerjang maju dan angin yang keras mendahului terjangannya ini. Kedua lengannya dipentang lebar-lebar ke atas, seperti seekor orang hutan raksasa sedang marah dan menyerang, dari tenggorokannya keluar gerengan yang menggetarkan jantung.

Akan tetapi, Hong Bu sudah siap menanti kemarahan lawan ini, pedangnya berkelebat ke depan dan pada saat kedua tangan dari atas itu menerkam, Hong Bu menyelinap di bawah ketiak kanan lawan sambil membalik dan pedangnya menusuk lambung.

“Crott!”

Biarpun pedang itu tidak dapat memasuki lambung yang penuh dengan hawa sin-kang yang kuat itu, namun tetap saja baju kakek itu di bagian lambung terobek, berikut kulit lambung dan sedikit dagingnya, cukup untuk membuat darahnya mengucur dari tempat itu. Sedangkan Hong Bu sudah meloncat menjauh.

Kembali kakek yang semakin marah itu menerjang, dan sekali lagi Hong Bu mengelak sambil menyerang, sekali ini pedangnya berhasil menggores pipi dan leher lawan yang menjadi robek kulitnya dan berdarah. Dan ketika kakek itu membalik, lawannya yang lincah itu sudah menjauh pula. Hong Bu kini memperoleh akal, mempergunakan siasat seperti seekor lebah menyengat lalu terbang menjauh, menyengat lagi dan menjauh lagi. dan dia pun tahu di mana letak kelemahan lawannya atau di mana dia dapat mengungguli lawan, yaitu pada kecepatan gerakan.

Mengandalkan kecepatannya ini, dan mengandalkan pedang Koai-liong Po-kiam yang amat tajam, maka mulailah Hong Bu dapat mengacau lawan, bahkan kini sengatan pedangnya semakin cepat dan semakin sering sehingga lewat tiga puluh jurus saja, baju yang menutupi tubuh Toa-ok sudah robek-robek di sana-sini dan pada setiap tempat yang terobek itu tentu ternoda darah.

Toa-ok merasa penasaran sekali, dia pun sudah mengerahkan tenaga dan kecepatannya, namun pemuda itu terlalu lincah baginya, dan ilmu pedang pemuda itu masih belum juga dapat dia pecahkan rahasia dasarnya sehingga dia selalu dibuat bingung, tidak dapat mengikuti ke mana arah perkembangan sinar pedang yang cepat itu.

Toa-ok benar-benar merasa kewalahan sekarang. Kalau tadinya, dengan sinkangnya dia masih dapat melindungi seluruh tubuh sehingga sengatan-sengatan ujung pedang itu hanya mendatangkan luka kulit daging yang kecil dan dangkal saja, makin lama sengatan-sengatan itu makin dalam karena tenaga pemuda itu semakin bertambah sedangkan tenaganya sendiri sudah menjadi makin lemah. Tubuh yang mulai tua dan kurangnya latihan membuat dia terpaksa mengakui keunggulan lawan yang masih muda itu.

Betapapun juga setelah lewat seratus jurus lebih, ketika untuk kesekian kalinya ujung pedang pemuda itu menyengat dan mengenai paha kirinya, tiba-tiba dia membarengi dengan hantaman kedua tangannya, dengan pengerahan tenaga yang masih bersisa, tanpa mempedulikan sengatan pedang pada pahanya.

“Crott! Desss....!”

Tubuh Hong Bu terlempar dan terguling-guling sampai lima meter jauhnya akan tetapi celana di paha Toa-ok terobek dan darah muncrat dari lukanya yang cukup dalam karena pedang itu menusuk sampai mengenai tulangnya! Rasa nyeri membuat Toa-ok menggereng dan melihat pemuda itu bergulingan, dia pun menubruk ke depan tanpa memberi kesempatan pemuda itu untuk bangun kembali.

Serangan ini hebat bukan main dan Pek In sudah menjerit, akan tetapi Cu Kang Bu, juga Kam Hong dan Ci Sian dapat melihat gerakan pemuda itu ketika menerima hantaman dengan bahunya dan mereka bertiga menduga dengan penuh harapan bahwa Hong Bu setengah sengaja membiarkan dirinya dihantam tadi.

“Wuuuuttt....!” Toa-ok menubruk seperti seekor singa kelaparan menubruk seekor domba saja.

“Crottt....!”

Pedang Koai-liong Po-kiam menembus lambung dan Hong Bu cepat meloncat menyingkir dan terpaksa meninggalkan pedang yang terbenam di lambung lawan itu karena kalau tidak, tentu dia akan terpaksa menerima cengkeraman yang dahsyat sekali itu.

“Bress....!”

Biarpun Toa-ok sudah terluka hebat, pedang itu menembus lambung sampai ke belakang tubuh, namun batu besar yang kena ditubruknya dan dicengkeramnya itu pecah berhamburan, debu mengepul tinggi dan bumi rasanya terguncang! Dia masih bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang pedang pusaka itu dan mencabutnya.

Begitu dicabut, darah muncrat-muncrat dan Toa-ok memutar-mutar pedang Koai-liong Po-kiam yang berlepotan darah itu, menyerbu ke arah Hong Bu! Pemuda ini terpaksa mengelak ke sana-sini dengan hati penuh kagum dan juga gentar melihat lawan yang lambungnya sudah ditembusi pedang itu masih dapat mengamuk seperti itu. Akan tetapi tiba-tiba serangan Toa-ok terhenti. Kakek itu berdiri kejang, matanya terbelalak, lalu terpelanting dan roboh miring.

Dia masih bangkit, menggereng-gereng dan dengan kedua tangannya, dia memegang gagang pedang pusaka itu dan mencabutnya dengan pedang masih di tangan! Dia tewas dalam keadaan penasaran dan pedang lawan masih digenggamnya, mukanya masih memperlihatkan kebengisan.

Dengan hati-hati Hong Bu menghampiri, khawatir kalau-kalau orang jahat itu menjebaknya dan pura-pura pingsan atau mati. Akan tetapi ternyata ketika dia merampas pedangnya, pedang itu dengan mudah berpindah tangan dan dengan kakek itu terkulai lemas dan ketika diperiksa, ternyata lawannya itu telah tewas.

Melihat ini, para pasukan, seperti juga ketika tadi ketika menyambut kemenangan Cin Liong dan kemudian Ci Sian, bersorak dan memuji. Sebaliknya Hek-i Mo-ong memandang kepada mayat Toa-ok dengan mata pucat dan mata terbelalak. Tiga orang pembantunya atau sekutunya telah tewas semua dan kini hanya tinggal dia seorang diri!

Kam Hong sudah melangkah maju dan memandangnya sambil tersenyum akan tetapi sinar matanya penuh tantangan.

“Hek-i Mo-ong, kini tiba giliran kita untuk menentukan siapa di antara kita berdua yang berhak untuk hidup!”

Akan tetapi tiba-tiba kakek raksasa yang rambutnya sudah putih dan pakaiannya serba hitam itu mengeluarkan suara menggeram parau yang aneh, akan tetapi suara ini mengandung pengaruh yang amat berwibawa dan semua orang yang ada di situ tergetar hatinya dan memandang dengan kaget dan gentar. Nampak sinar merah ketika kakek itu sudah mengeluarkan sebatang kipas merah yang sudah dikembangkan, matanya berapi-api memandang kepada Kam Hong, lalu terdengar suaranya yang parau menggetar.

“Orang she Kam! Kau kira akan dapat melawanku? Ha-ha-ha-ha, lihat baik-baik, kalian semua, ha-ha-ha-ha!”

Kam Hong maklum bahwa kakek ini mempunyai kekuatan sihir, maka dia pun sudah siap dan mengerahkan kekuatan batin untuk melawannya. Akan tetapi, tetap saja dia terbelalak, seperti semua orang lain yang berada di situ, melihat betapa kakek raksasa berjubah hitam itu tiba-tiba saja, perlahan-lahan, berubah menjadi besar dan tinggi, sampai tiga meter tingginya dan suara ketawanya makin lama makin nyaring bergema!

Jenderal Muda Kao Cin Liong juga terkejut dan pemuda perkasa ini maklum bahwa kakek yang pandai ilmu silat itu berbahaya sekali, maka dia pun cepat memberi aba-aba kepada pasukan.

“Kepung tempat ini, jangan biarkan iblis itu melarikan diri!”

Dengan panik karena mereka merasa ketakutan, para penjaga keamanan itu segera melakukan pengepungan. Sementara itu, Kam Hong sudah mencabut sulingnya dan terdengar suara melengking lembut sekali ketika pemuda perkasa ini menyerang raksasa itu dengan suling emasnya.

“Blarrrr....!”

Raksasa yang dihantamnya dengan suling itu seperti meledak dan lenyap dalam asap hitam tebal.
“Ha-ha-ha-ha!” Suara ketawa Hek-i Mo-ong kini terdengar di sebelah belakang Kam Hong.

Ci Sian juga sudah mencabut sulingnya dan kembali terdengar suling melengking ketika gadis ini pun menerjang maju, menyerang kakek itu yang berada di belakang Kam Hong.

Baru mereka tahu bahwa raksasa tinggi besar tadi hanyalah jadi-jadian saja, hasil ilmu hitam kakek itu. Akan tetapi, terpaksa Ci Sian mundur lagi ketika dari tempat dia berdiri, kakek itu sudah menggerakkan tangan ke arahnya dan tiba-tiba saja terdengar ledakan di depan Ci Sian dan asap hitam menggelapkan segalanya.

“Sian-moi, hati-hati....!”

Kam Hong berseru ketika melihat dara itu terhuyung ke belakang. Dia cepat meloncat mendekati dan menyambar tangan dara itu. Akan tetapi Ci Sian tidak terluka hanya terkejut saja dan terhuyung karena terkejut oleh ledakan dan asap. Suara ketawa itu masih terdengar terus, disusul dengan ledakan-ledakan yang mengeluarkan asap hitam.

“Cegah dia lari!”

Kam Hong berseru. Juga Hong Bu bersama Ci Sian yang pernah melawan kakek ini dan melihat betapa kakek ini dapat melarikan diri dengan bantuan asap-asap hitam, sudah cepat meloncat ke sana-sini untuk mencari kakek itu dan mencegahnya melarikan diri.

Akan tetapi, ledakan-ledakan masih berbunyi dan asap semakin tebal. Di antara gumpalan asap hitam itu, terdengar suara ketawa Hek-i Mo-ong, disusul suaranya yang parau,

“Biarlah sekali ini aku mengaku kalah. Akan tetapi tunggu saja kalau Hek-i Mo-ong sudah mengumpulkan kembali kekuatannya. Ha-ha-ha!”

Suara ketawa itu semakin jauh dan biarpun para pendekar, termasuk Cu Kang Bu dan Yu Hwi, mencari dan mengejar, usaha mereka tidak berhasil dan setelah asap hitam bergumpal-gumpal itu membuyar, kakek itu pun tidak nampak lagi dan tidak meninggalkan jejak. Untuk kedua kalinya, dalam keadaan terdesak, kakek yang memiliki ilmu iblis itu telah dapat meloloskan diri.

Kam Hong menarik napas panjang.
“Ah, sukar memang menghadapi ilmu hitamnya. Dan selama Hek-i Mo-ong masih berkeliaran dengan bebas dipermukaan bumi ini, tentu dia hanya akan menyebar kejahatan belaka.”

“Betapapun juga, Kam-taihiap telah berhasil membasmi sisa dari Im-kan Ngo-ok dan ini merupakan hasil gemilang,” kata Cin Liong.