FB

FB


Ads

Senin, 03 Agustus 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 117

Melawan empat orang tadi sungguh terasa amat berat dan dia tadi telah mengerahkan seluruh sin-kangnya sehingga setelah berlari secepat itu, dia merasa tenaganya hampir habis dan napasnya hampir putus.

Setelah bersamadhi kurang lebih sejam lamanya, barulah pernapasannya menjadi tenang kembali dan perlahan-lahan dia berhasil menghimpun tenaga murni di lereng gunung yang sejuk bersih itu, tenaganya pun berangsur-angsur pulih kembali dan dia sudah mempergunakan kekuatan dalam untuk menghentikan darahnya yang mengucur keluar.

Dalam keadaan hening itu, Hong Bu melupakan segala-galanya, melupakan keadaan tiga orang yang tertawan, karena kalau pikirannya terganggu, tentu dia tidak mungkin dapat mengosongkan dan mengheningkan batinnya.

“Hong Bu....!”

Pemuda itu terkejut. Dalam keadaannya seperti tadi, kalau tiba-tiba yang datang itu musuh dan menyerangnya, dia pasti celaka. Dia cepat membuka mata dan ketika dia melihat siapa orangnya yang datang, hatinya merasa girang sekali dan dia pun segera bangkit.

“Cin Liong....! Ah, hanya Tuhan yang membimbingmu datang kepadaku pada saat seperti ini, Cin Liong!”

Dia pun memegang tangan bekas lawan yang telah menjadi sahabat baik yang dikaguminya itu. Semenjak dia berlawan tangan dengan jenderal muda ini dan merasakan betapa lihainya jenderal muda ini, dia merasa kagum sekali. Apa pula setelah dia mendapatkan kenyataan bahwa pertentangan di antara mereka sebagai buronan dan pengejaran telah habis dengan adanya pengumuman kaisar baru bahwa pedang pusaka Koai-liong Po-kiam dinyatakan sebagai miliknya yang syah.

Seperti kita ketahui, Cin Liong lari meninggalkan Ci Sian setelah dia mendapat kenyataan bahwa dara yang dicintanya dan dipinangnya itu ternyata telah jatuh cinta kepada pria lain, bahkan kepada suhengnya sendiri, kepada Kam Hong, pendekar yang dikaguminya itu. Hal ini dapat dilihatnya dengan jelas ketika gadis itu marah-marah karena lamarannya, marah kepada suhengnya. Dia segera dapat menduga apa yang terjadi antara kedua orang suheng dan sumoi itu.

Dia tahu bahwa Ci Sian mencinta Kam Hong, dan dia dapat menduga pula dengan hati kagum bahwa Kam Hong juga mencinta sumoinya, akan tetapi dengan cinta yang demikian suci murninya, sehingga Kam Hong rela menyampaikan pinangan pria lain kepada sumoinya itu. Sikap Kam Hong ini membuat Cin Liong merasa terpukul dan malu kepada diri sendiri, rnaka dia pun lalu minta maaf dan melarikan diri.

Ketika dia melihat seorang pemuda duduk bersila, dia merasa terheran-heran, lalu didekatinya pemuda itu. Giranglah hatinya ketika dia mengenal pemuda itu yang bukan lain adalah Sim Hong Bu, sahabat baru bekas lawan yang dikaguminya karena kelihaiannya dan juga kejujurannya itu.

“Apakah yang terjadi, Hong Bu? Wajahmu agak pucat dan engkau gelisah.... dan pundakmu luka! Apa yang telah terjadi?” tanya Cin Liong sambil membalas pegangan tangan sahabat barunya itu.

Hong Bu lalu menceritakan tentang Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Pek In yang tertawan oleh empat orang datuk sesat itu.

“Aku mohon bantuanmu, Cin Liong. Tanpa bantuanmu, aku tidak tahu bagaimana aku dapat menyelamatkan mereka.” Hong Bu mengakhiri ceritanya.

Cin Liong terkejut bukan main. Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok muncul lagi! Dan malah ditambah seorang datuk yang telah lama dikenalnya sebagai seorang penjahat yang sakti, yaitu Hek-i Mo-ong yang pernah menguasai daerah Sin-kang di barat dengan gerombolannya, yaitu gerombolan Hek-i-mo yang amat terkenal itu.

“Jangan khawatir, Hong Bu. Aku tentu membantumu. Akan tetapi di manakah mereka berada? Dan.... keluarga Cu itu, apakah tidak berbahaya sekali tertawan oleh mereka? Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu adalah manusia-manusia busuk yang amat kejam.”

“Aku tidak terlalu mengkhawatirkan keadaan mereka,” kata Hong Bu. “Aku tahu bahwa mereka sengaja menawan keluarga Cu karena mereka menghendaki pusaka-pusaka Lembah Naga Siluman. Tentu mereka tidak akan mengganggu keluarga Cu untuk sementara waktu ini. Dan menurut penuturan Sumoi Cu Pek In, agaknya kita akan bisa menemukan tempat persembunyian mereka melalui seorang guru silat bernama Koa Cin Gu yang tinggal di Lo-couw. Mari kita menyelidiki ke sana.”

“Baik, mari kita cepat pergi. Aku khawatir sekali akan keadaan keluarga Cu,” jawab Cin Liong dan dua orang pemuda perkasa itu, lalu berangkat menuju ke kota Lo-couw yang tidak jauh dari situ letaknya.

Dalam perjalanan itu Cin Liong menghibur hati Hong Bu dan mengatakan bahwa dia pasti akan dapat menghancurkan persekutuan penjahat itu dan dia akan minta bantuan pasukan keamanan di kota Lo-couw untuk membantunya mengepung sarang penjahat.

“Tiga orang Im-kan Ngo-ok itu memiliki ilmu kepandaian tinggi dan aku dapat menduga bahwa Hek-i Mo-ong tentu juga lihai sekali.”

“Kakek itu lebih lihai daripada mereka bertiga,” kata Hong Bu.

“Hemm, mungkin bagi kita berdua tidak akan mudah mengalahkan mereka berempat, akan tetapi dengan bantuan pengepungan pasukan, tentu setidaknya keluarga Cu akan dapat diselamatkan dan dibebaskan.”

“Kalau saja kita dapat lebih dulu membebaskan Cu Kang Bu Susiok, kita bertiga dengan dia tentu akan mampu menandingi mereka berempat.”

“Sebaiknya kita menggunakan siasat memancing harimau-harimau keluar dari sarangnya, Hong Bu. Biar kukerahkan pasukan untuk menyerbu dan pada saat mereka sibuk menghadapi pasukan, kita menyelinap masuk untuk lebih dahulu membebaskan keluarga Cu,” kata Cin Liong.

“Terserah kepadamu, dalam keadaan seperti ini aku hanya dapat mengharapkan bantuanmu.”

Ketika mereka tiba di Lo-couw, Cin Liong langsung mencari markas pasukan keamanan dan menemui komandannya. Ketika komandan mengenal Cin Liong sebagai Jenderal Muda Kao yang terkenal, tentu saja dia terkejut dan menyambut dengan sikap amat hormat. Cin Liong lalu mencari keterangan tentang guru silat Koa Cin Gu dan dengan mudah mendapat keterangan di mana guru silat itu tinggal. Kiranya kehadiran para datuk itu merupakan rahasia dan tidak diketahui orang di Lo-couw.

Cin Liong memerintahkan kepada komandan itu untuk menyiapkan sepasukan perajurit dan mengepung rumah guru silat itu dari jarak agak jauh, menanti tanda darinya, sedangkan dia sendiri berdua dengan Hong Bu lalu melakukan penyelidikan ke rumah guru silat yang cukup besar dan dikelilingi pagar tembok yang tinggi itu.






Senja telah mendatang dan cuaca mulai menjadi gelap ketika mereka tiba di luar pagar tembok, di mana pintu gerbangnya telah tertutup dan tidak nampak seorang pun di luar pintu. Hanya dapat terdengar suara orang-orang di dalam pintu, mungkin suara para anak buah guru silat yang melakukan penjagaan.

Dua orang muda perkasa itu tidak mau lancang turun tangan, karena mereka harus yakin dulu bahwa empat orang datuk itu benar-benar berada di situ, dan terutama sekali bahwa keluarga Cu Juga tertawan di tempat itu. Kalau tidak demikian, mereka akan menangkap guru silat Koa dan memaksanya mengaku di mana tawanan disembunyikan dan di mana pula adanya para datuk kaum sesat itu! Dan untuk ini tentu saja tidak perlu dikerahkan pasukan yang telah dipersiapkan itu.

Mereka menanti sampai cuaca menjadi gelap betul dan ketika mereka sedang menyelinap di luar tembok, tiba-tiba mereka melihat berkelebatnya bayangan dua orang di depan.

Tentu saja keduanya terkejut melihat betapa cepat dan ringannya gerakan dua orang di depan itu. Karena menduga bahwa tentu dua orang itu adalah dua di antara para datuk yang sedang mereka cari, mereka cepat menyelinap ke depan untuk mengejar. Akan tetapi bayangan dua orang di depan itu telah lenyap, padahal jelas bahwa dua orang itu tadi belum meloncat ke sebelah dalam pagar tembok.

“Aneh,” bisik Hong Bu. “Kalau mereka itu orang dalam, mengapa mereka bergerak di luar pagar tembok, dan bukan langsung masuk melalui pintu gerbang?”

“Siapa pun adanya mereka, kita harus mengetahui dengan jelas sebelum turun tangan,” bisik Cin Liong.

Karena dua orang itu lenyap, Hong Bu dan Cin Liong melanjutkan perjalanan mereka untuk memeriksa keadaan sekeliling pagar tembok itu, untuk mencari jalan masuk yang baik dan tepat sambil menanti cuaca sampai gelap benar.

Akan tetapi, ketika mereka melalui semak-semak tiba-tiba ada dua sosok tubuh orang menerjang mereka dari balik semak-semak itu. Gerakan dua orang itu sedemikian cepatnya sehingga Hong Bu dan Cin Liong terpaksa bergerak cepat pula dan sambil mengerahkan tenaga mereka menangkis lengan mereka yang bergerak untuk menotok.

“Dukkk!”

“Desss....!”

Empat orang itu terdorong mundur dan semua merasa kaget bukan main ketika mendapat kenyataan betapa kuatnya tenaga pihak lawan. Akan tetapi, mereka menjadi semakin kaget, heran dan juga gembira setelah saling mengenal. Kiranya dua orang itu bukan lain adalah Kam Hong dan Ci Sian! Melihat mereka seketika wajah Cin Liong menjadi kemerahan karena merasa malu, akan tetapi sebaliknya Hong Bu menjadi girang bukan main.

Di lain pihak, Kam Hong dan Ci Sian juga terkejut melihat dua orang pemuda itu yang baru mereka kenal setelah mereka bertanding tangan tadi karena cuaca sudah mulai gelap.

“Saudara Sim Hong Bu dan Kao Cin Liong!” seru Kam Hong dengan mata terbelalak lebar. “Kiranya kalian ini! Kami sangka peronda!”

Sementara itu, Ci Sian hanya memandang kepada dua orang pemuda itu dengan wajah kemerahan. Dua orang pemuda yang baru saja mengajukan pinangan kepadanya!

“Mari kita bicara agak jauh dari sini” bisik Hong Bu sambil meloncat pergi dan yang lain mengikutinya.

Setelah tiba di tempat agak jauh dari pagar tembok, Hong Bu lalu menjura kepada Kam Hong dan Ci Sian, lalu berkata,

“Sungguh beruntung sekali aku dapat bertemu dengan Ji-wi di sini, seolah-olah Ji-wi dituntun oleh Tuhan untuk membantuku, setelah Jenderal Kao Cin Liong juga datang membantuku.”

Lalu dengan singkat namun jelas Hong Bu menceritakan tentang rombongannya yang berjumpa dengan tiga orang datuk Imkan Ngo-ok dan Hek-i Mo-ong dan betapa keluarga Cu telah ditawan oleh empat orang datuk sesat itu.

“Aku seorang diri tidak mampu melawan mereka dan terpaksa melarikan diri,” Hong Bu mengakhiri ceritanya, “Dan kebetulan sekali aku berjumpa dengan Cin Liong. Malam ini kami melakukan penyelidikan untuk melihat apakah benar empat orang datuk itu berada di sini dan apakah keluarga Cu ditawan di tempat ini. Ketika kami melihat bayangan Ji-wi, kami mengira Ji-wi adalah dua orang di antara mereka.”

“Dan bagaimanakah Kam-taihiap dan Nona Bu dapat berada di sini?” Cin Liong bertanya.

Melihat sikap dua orang pemuda itu biasa saja, seolah-olah tidak ada kandungan penyesalan hati sedikit pun tentang peristiwa penolakan pinangan mereka terhadap Ci Sian, hati Kam Hong merasa girang dan juga kagum sekali. Mereka sungguh patut menjadi pendekar-pendekar muda yang gemblengan, tidak mudah menaruh dendam pribadi. Juga Ci Sian merasa lega melihat sikap mereka.

“Kebetulan sekali ketika kami lewat di sini, kami melihat berkelebatnya bayangan Hek-i Mo-ong memasuki rumah ini. Kami merasa curiga dan terheran-heran bagaimana datuk itu tiba-tiba muncul di tempat ini, maka kami lalu mengambil keputusan untuk melakukan penyelidikan, kalau perlu membasmi kakek iblis itu. Dan baru saja kami melakukan penyelidikan, kami melihat kalian berdua dan mengira bahwa kalian adalah peronda atau anak buah Koa-kauwsu,” Kam Hong menjelaskan.

“Jangan khawatir, Hong Bu, aku akan membantumu menghadapi iblis-iblis itu dan membebaskan keluarga Cu!”

Kata Ci Sian dan suaranya kini biasa kembali terhadap Hong Bu, mengingatkan pemuda ini ketika mereka berdua dahulu pernah bekerja sama menghadapi Hek-i Mo-ong yang lihai. Maka gembiralah hatinya.

“Terima kasih, terima kasih!” katanya gembira dan kini dia tidak merasa ragu lagi bahwa dia akan dapat menyelamatkan keluarga Cu, terutama Pek In yang dicintanya. Tanpa ragu-ragu lagi dia pun berkata melanjutkan, “Kini aku yakin bahwa tunanganku akan dapat diselamatkan!”

Kam Hong dan Ci Sian memandang dengan mata terbelalak, dan Cin Liong sendiri pun bertanya,
“Tunanganmu....? Ah, kiranya engkau telah bertunangan dengan Nona Cu Pek In? Bagus! Selamat, Hong Bu!”

Kam Hong dan Ci Sian juga memberi selamat yang diterima dengan gembira oleh Hong Bu.
“Sekarang belum waktunya kita bergembira,” tiba-tiba Cin Liong mengingatkan, “Yang penting sekarang adalah rencana penyerbuan untuk menyelamatkan keluarga Cu. Setelah Kam-taihiap dan Nona Bu hadir, hatiku tidak khawatir lagi. Kami berempat kiranya akan sanggup menghadapi mereka berempat. Betapapun juga, yang paling perlu adalah membebaskan keluarga Cu yang tertawan. Maka, menurut pendapatku, harus dipergunakan siasat untuk memberi kesempatan kepada Hong Bu untuk menyelinap ke dalam dan membebaskan mereka.”

Jenderal muda ini lalu menjelaskan siasatnya dan tiga orang pendekar yang mendengarkan dengan penuh perhatian hanya mengangguk menyetujui karena mereka tahu bahwa Kao Cin Liong, selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga merupakan seorang ahli siasat perang sehingga tentu saja lebih ahli dalam hal melakukan penyerbuan seperti itu.

Tak lama kemudian, sesuai dengan rencana yang diatur oleh Kao Cin Liong, sepasukan perajurit penjaga keamanan kota Lo-couw telah mengepung rumah perguruan silat itu, dipimpin oleh Jenderal Kao Cin Liong sendiri yang ditemani oleh Kam Hong dan Ci Sian. Pintu gerbang digedor dari luar dan dengan suara lantang seorang perajurit pelapor meneriakkan kepada guru silat Kao Cin Gu untuk membuka pintu gerbang karena komandan pasukan keamanan kota Lo-couw hendak bicara.

Tentu saja para penghuni perguruan itu menjadi panik ketika mereka mengintai dari balik pintu gerbang dan melihat bahwa tempat mereka telah dikepung pasukan pemerintah yang bersenjata lengkap! Dengan wajah pucat terpaksa Koa Cin Gu keluar setelah pintu gerbang dibuka. Dia mengenal komandan Thio yang mengepalai pasukan keamanan kota itu, maka segera dia menghadap Thio-ciangkun yang berdiri di sebelah kiri Cin Liong yang tidak dikenalnya karena pemuda ini mengenakan pakaian biasa.

“Thio-ciangkun, ada terjadi apakah maka malam-malam Ciangkun datang bersama pasukan?,” Koa Cin Gu bertanya, sedapat mungkin mengambil sikap tenang.

“Koa Cin Gu, tidak perlu engkau menutup-nutupi dosamu!” berkata Thio-ciangkun dengan suara galak. “Kami memperoleh keterangan bahwa engkau menyembunyikan tokoh-tokoh penjahat besar yang terkenal dengan nama Hek-i Mo-ong, Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Suruh mereka keluar, kalau tidak engkau akan kami anggap sebagai pemberontak dan sekalian penghuni rumah ini akan kami tangkap sebagai anggauta-anggauta pemberontak!”

Bukan main kagetnya hati Koa-kauwsu mendengar ucapan ini. Akan tetapi sebelumnya tadi dia memang sudah berunding dengan empat orang tamunya itu, maka kini sesuai dengan rencana mereka tadi, Koa-kauwsu berkata,

“Ah, Thio-ciangkun.... bagaimana Ciangkun dapat mempercayai fitnah seperti itu? Ciangkun sudah mengenal baik siapa saya. Saya tanggung bahwa tidak ada penjahat di sini. Harap Ciangkun suka menarik kembali pasukan dan besok saya akan menghadap Ciangkun untuk bicara soal ini.”

Di balik kata-katanya itu seperti biasa tersembunyi maksud, yaitu bahwa dia hendak membereskan persoalan ini dengan hadiah atau sogokan! Akan tetapi biarpun komandan itu bukan seorang pejabat yang tidak biasa menerima sogokan macam itu, kini di depan seorang jenderal yang terkenal dari kota raja, tentu saja dia menjadi marah sekali.

“Koa Cin Gu, jangan engkau main-main! Hayo cepat suruh empat orang itu keluar, kalau tidak, terpaksa kami akan mengerahkan pasukan untuk menangkap semua orang dan menggeledah ke dalam!”

Melihat bujukannya tidak berhasil, orang she Koa itu lalu berkata,
“Ciangkun, memang benar saya mempunyai empat orang tamu, akan tetapi mereka adalah para Locianpwe yang datang memberi petunjuk-petunjuk ilmu silat, sama sekali bukan penjahat. Semua itu adalah fitnah belaka.”

“Tidak peduli mereka itu pendekar atau penjahat, suruh mereka keluar agar dapat menemui dan bicara dengan kami!” kata pula Thio-ciangkun.

Karena tidak melihat jalan lain, sesuai dengan rencana mereka, Koa Cin Gu terpaksa lalu menghadap ke dalam rumah dan berseru,

“Harap Cu-wi Locianpwe suka keluar menemui Thio-ciangkun!”

“Ciangkun, kami adalah orang baik-baik, mengapa?”

Akan tetapi ucapan Sam-ok yang menjadi juru bicara mereka itu tertahan dan matanya terbelalak ketika dia mengenal Kam Hong, Ci Sian, dan Jenderal Muda Kao Cin Liong. Juga Hek-i Mo-ong mengenal Kam Hong dan Ci Sian, maka kakek ini pun tahu bahwa dia telah berhadapan dengan musuh yang pandai, maka tangannya bergerak dan senjata Long-ge-pang telah berada di tangannya.

“Ah, kiranya kalian bocah-bocah setan yang datang mengacau!” katanya dan langsung saja Hek-i Mo-ong menerjang maju.

Kam Hong menyambutnya, dengan suling emas yang sudah dicabutnya, maklum betapa dahsyatnya serangan kakek raksasa berambut putih dan berpakaian serba hitam itu.

Tiga orang dari Im-kan Ngo-ok yang juga mengenal tiga orang muda perkasa itu maklum bahwa tidak ada gunanya lagi berpura-pura dan bahwa untuk menyelamatkan diri mereka harus mempergunakan kekerasan, maka mereka bertiga pun segera menerjang ke depan, disambut oleh Kao Cin Liong dan Ci Sian.

Melihat ini, guru silat Koa Cin Gu juga mengerti bahwa rahasianya telah terbongkar, maka dia pun menjadi nekat. Dengan teriakan nyaring dia pun memimpin anak buahnya untuk mencegah pasukan memasuki rumahnya. Terjadilah pertempuran hebat di pekarangan depan rumah itu.

Sementara itu, Cu Kang Bu, Yu Hwi, Cu Pek In ditahan dalam kamar-kamar terpisah-pisah. Mereka dalam keadaan tertotok dan dibelenggu tangan mereka, rebah di atas dipan dalam kamar tahanan masing-masing, dan setiap orang dijaga oleh dua orang anak buah Koa-kauwsu.

Para anak buah Koa-kauwsu bukanlah orang-orang baik. Koa-kauwsu sendiri biarpun seorang guru silat, akan tetapi dia adalah orang yang berkecimpung dalam dunia hitam sehingga para muridnya tentu saja terdiri dari tukang-tukang pukul dan penjahat-penjahat yang ingin memperkuat dirinya.

Ketika semua orang menyerbu keluar untuk menyambut musuh, enam orang yang bertugas jaga itu ditinggal berdua saja dengan masing-masing tawanan mereka. Kesempatan ini menimbulkan niat yang keji dalam benak mereka yang menjaga Yu Hwi dan Pek In.

Dua orang wanita ini adalah wanita-wanita yang tergolong cantik, maka melihat di situ tidak ada orang-orang lain, para penjaga dua orang tawanan wanita ini timbul niat yang kotor untuk mengganggu dua orang tawanan mereka. Mereka mulai mendekati tawanan masing-masing yang rebah terbelenggu dan tertotok di atas dipan, memandang dengan mulut menyeringai dan berliur.

Dua orang yang menjaga Cu Pek In sudah mendekati gadis itu. Cu Pek In merasa bulu romanya meremang ketika melihat sikap mereka berdua itu. Akan tetapi ia tidak mampu bergerak karena telah tertotok jalan darahnya. Andaikata tidak tertotok, biarpun kaki tangannya terbelenggu, tentu ia dapat bergerak dan berdaya untuk melawan. Akan tetapi kini ia hanya dapat memandang dengan mata terbelalak ketika dua orang itu mendekatinya dan terkekeh-kekeh.

“Heh-heh, kita tidak bisa maju berbareng, harus antri. Siapa yang lebih dulu?” kata yang bertubuh tinggi besar dan bermuka hitam.

“Kita undi saja!”, kata kawannya yang bermata juling.

“Kita main bertanding jari saja, siapa menang boleh maju lebih dulu dan yang lain menjaga di luar kamar menanti giliran!” kata Si Tinggi Besar.

Dua orang itu tertawa-tawa dan bermain jari. Ternyata Si Tinggi Besar yang menang dan dengan muka kecewa Si Mata Juling lalu keluar dari kamar itu, meninggalkan kawannya dan berjalan di luar. Daun pintu ditutupkan, akan tetapi Si Mata Juling itu mengintai dari celah-celah daun pintu.

Pek In memandang dengan mata terbelalak, melihat betapa sambil terkekeh dan menyeringai menyeramkan, Si Muka Hitam yang tinggi besar itu menanggalkan pakaiannya sendiri. Wajah Pek In menjadi pucat dan mulutnya berbisik,

“Jangan.... ah, jangan....!”

“Ha-ha-ha diamlah, manis,” kata Si Tinggi Besar yang kini melangkah mendekati dipan, membuat Pek In merasa ngeri dan takut sehingga hampir ia roboh pingsan.

Akan tetapi pada saat jari tangan Si Tinggi Besar menyentuh pakaian Pek In, tiba-tiba terdengar suara gaduh di luar pintu. Daun pintu terbuka. Si Tinggi Besar menoleh dan seketika mukanya menjadi pucat ketika dia melihat temannya, Si Mata Juling itu sudah roboh mandi darah di depan pintu. Dan sebelum dia sempat menguasai hatinya, sesosok bayangan berkelebat dan Hong Bu telah menghantamnya dengan telapak tangan kanan.

Si Tinggi Besar tak sempat lagi berteriak karena terdengar suara keras ketika kepalanya kena ditampar. Tubuhnya terpelanting dan kepalanya retak, mengeluarkan darah dan otak. Dia tewas seketika tanpa sekarat lagi. Hong Bu cepat membebaskan totokan Pek In dan mematahkan belenggu kaki tangannya.

“Engkau tidak apa-apa, In-moi....” tanyanya.

“Ahh.... Bu-ko....!” Pek In merangkul dan menangis di dalam pelukan pemuda itu. Pek In melirik ke arah tubuh telanjang yang kepalanya retak itu dan menggigil. “Untung engkau segera datang, Buko....” katanya dan hatinya lega sekali karena rasa penasaran dan duka karena ditinggal lari oleh Hong Bu itu kini terobati dengan munculnya kekasihnya yang telah menyelamatkannya.

Sebelum menolong Pek In, Hong Bu tadi telah memasuki kamar tahanan Cu Kang Bu, merobohkan dua orang penjaganya dan membebaskan Cu Kang Bu. Begitu bebas, Kang Bu segera minta kepada Hong Bu untuk menolong Pek In di kamar sebelah kanan sedangkan dia sendiri cepat lari ke kamar sebelah kiri di mana dia tahu isterinya ditawan.

Dia memandang daun pintu itu dan dapat dibayangkan betapa marahnya ketika dia melihat dua orang penjaga sedang menggerayangi tubuh isterinya dalam usaha mereka untuk melepaskan pakaian isterinya yang tertotok dan terbelenggu tak mampu melawan itu.

“Keparat!” bentak Cu Kang Bu dan sekali loncat dia sudah tiba di belakang dua orang penjaga yang kurang ajar itu.

Mereka membalikkan tubuh, akan tetapi tahu-tahu rambut kepala mereka telah dijambak oleh Cu Kang Bu dan sekali menggerakkan kedua tangannya, pendekar tinggi besar dari Lembah Naga Siluman itu sudah membenturkan dua buah kepala itu. Terdengar suara “Prokk!” dan dua buah kepala itu pecah berhamburan!

Ketika Kang Bu membebaskan isterinya dan mereka berdua keluar dari dalam kamar itu, mereka bertemu dengan Hong Bu yang juga sudah berhasil membebaskan Pek In.

“Di luar sana aku dibutuhkan, harap Susiok bertiga suka membantu pasukan dari dalam. Aku sendiri harus membantu mereka menghadapi empat iblis itu!”

Setelah berkata demikian, Hong Bu meloncat keluar dengan cepat sekali. Kang Bu tadi sudah diberi tahu oleh Hong Bu bahwa yang dimaksudkan, dengan mereka itu adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong, Pendekar Suling Emas Kam Hong dan sumoinya, Bu Ci Sian. Dengan singkat dia pun memberi tahu kepada isterinya dan keponakannya, kemudian mereka bertiga juga menyerbu keluar dan mengamuk, menyerang para anak buah guru silat Koa dari sebelah dalam. Tentu saja para anak buah Koa-kouwsu menjadi terkejut dan semakin panik karena mereka pun sudah terdesak oleh pasukan keamanan yang menyerbu dari luar.

Perkelahian antara Kam Hong melawan Hek-i Mo-ong masih berlangsung dengan amat serunya, akan tetapi Cin Liong dan Ci Sian yang bekerja sama menghadapi pengeroyokan tiga orang Im-kan Ngo-ok terdesak hebat dan mereka berdua itu hanya mampu memutar senjata untuk melindungi diri belaka tanpa mempunyai banyak kesempatan untuk membalas. Akan tetapi tiba-tiba terdengar bentakan nyaring dan Hong Bu sudah menerjang dan membantu mereka berdua.

Melihat betapa Koa-kauwsu dan anak buahnya sudah roboh semua karena amukan Cu Kang Bu bertiga, dan melihat betapa mereka berempat sudah terkurung oleh pasukan dan di situ terdapat orang-orang muda yang amat lihai itu, Hek-i Mo-ong maklum bahwa kalau terjadi pertempuran keroyokan tentu pihaknya akan mengalami kerugian karena kalah banyak, maka tiba-tiba dia meloncat ke belakang dan berseru dengan lantang,

“Tahan senjata! Kami hendak bicara!”

Empat orang pendekar muda itu menahan senjata mereka dan Kam Hong mewakili teman-temannya, sambil melintangkan suling emas di depan dada dia pun menegur,

“Hek-i Mo-ong, engkau hendak bicara dan menggunakan kecurangan apa lagi?”

Wajah kakek itu berubah merah. Teringat dia bahwa dia pernah melukai pemuda luar biasa ini, akan tetapi hal itu dilakukannya karena dia main curang, yaitu pada saat Kam Hong melawan delapan orang muridnya, ialah Hek-i Pat-mo dan ketika pendekar ini terdesak delapan orang itu, dia turun tangan membantu murid-muridnya sehingga Kam Hong menderita luka dalam yang cukup parah.

“Bocah she Kam! Kalau memang kalian adalah orang-orang muda yang gagah perkasa dan mengaku sebagai pendekar-pendekar sakti, mari kita melakukan pertandingan satu lawan satu tanpa pengeroyokan dan tanpa mengandalkan bantuan. Kita masing-masing mengadakan pertandingan satu lawan satu sampai mati dan tidak boleh ada orang lain yang membantu. Nah, bagaimana? Apakah kalian berempat berani menyambut tantangan kami berempat?”

Kam Hong mengerutkan alisnya dan memandang kepada tiga orang kawannya. Dia melihat betapa Ci Sian, Hong Bu, dan Cin Liong mengangguk kepadanya, dan dia sendiri pun percaya sepenuhnya bahwa tiga orang muda itu cukup tangguh dan kuat untuk melawan tiga orang datuk dari Im-kan Ngo-ok maka ia pun menjawab dengan lantang,

“Baik, Hek-i Mo-ong. Kami berempat menerima tantangan kalian!”

Thio-ciangkun lalu membuat lingkaran dengan pasukannya, lingkaran yang cukup luas di pekarangan rumah itu, dan memasang obor yang cukup banyak sehingga tempat itu menjadi terang dan merupakan gelanggang pertandingan yang di pagari pasukan. Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang sudah selesai membasmi Koa-kauwsu dan anak buahnya itu pun kini berdiri menonton dengan penuh kepercayaan terhadap empat orang muda yang sakti itu, hanya Cu Pek In yang mengerutkan alisnya dan merasa khawatir.

“Bagus! Kami akan mengajukan jago pertama kali. Sam-ok, majulah!” kata Hek-i Mo-ong.

Sam-ok Ban Hwa Sengjin, bekas Koksu Nepal yang nama aslinya Lakshapadma itu segera melangkah maju ke tengah lapangan. Dia pun maklum bahwa jalan keluar tidak ada, maka tindakan Hek-i Mo-ong itu dianggapnya tepat. Hanya melalui pertandingan perorangan maka mereka memperoleh kesempatan untuk lolos, asal dapat memenangkan lawan. Dan bagaimana pun lihainya, empat orang lawan itu hanyalah orang-orang muda yang tentu masih jauh kurang pengalamannya dibandingkan dengan mereka berempat.