FB

FB


Ads

Senin, 03 Agustus 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 116

Seperti kita ketahui, Sim Hong Bu meninggalkan daerah Lok-yang dan pergi menuju ke Sin-yang bersama Cu Pek In, Cu Kang Bu dan Yu Hwi. Mereka tidak tahu bahwa gerak-gerik mereka itu telah diawasi sejak lama dari jauh oleh banyak pasang mata yang bersembunyi-sembunyi. Baru setelah mereka tiba di sebuah hutan kecil di lereng gunung, mereka berempat merasa heran melihat munculnya belasan orang yang sudah mengepung mereka.

Empat orang itu bersikap tenang, bahkan Hong Bu tersenyum mengejek dengan hati terasa geli. Orang-orang ini mencari penyakit, pikirnya. Akan tetapi sedikit pun hatinya tidak menjadi marah. Kemarahan jauh dari hati Hong Bu pada saat itu. Dia telah menemukan kesejukan hati yang baru, setelah dia “mengenal” Pek In sebagai seorang gadis yang wajar, sebagai kekasihnya, bahkan lebih dari itu, sebagai tunangannya, calon isterinya!

Dan di dalam perjalanan itu, Cu Kang Bu dan isterinya yang bijaksana memang sengaja memberi banyak kesempatan kepada mereka untuk berduaan. Hong Bu selalu merasa gembira dan bahagia. Terlupakanlah sudah kegetiran yang terasa oleh penolakan Ci Sian!

Memang, segala macam perasaan hanya timbul oleh permainan pikiran yang mengingat-ingat belaka. Seperti juga kepuasan yang hanya sebentar, kekecewaan pun lewat bagai angin lalu saja. Suka dan duka silih berganti seperti awan-awan bergerak di angkasa.

Ketika Hong Bu merasa kecewa dan berduka karena penolakan Ci Sian, hal itu timbul karena pikirannya mengenang semua itu dan menimbulkan rasa iba diri dan kecewa.

Akan tetapi sekarang, begitu pikirannya penuh dengan kegembiraan karena hasil baru yang amat menyenangkan dan baik dalam hubungannya dengan Pek In, maka semua kedukaan yang lalu pun lenyap tanpa bekas.

Kita ini, biarpun sudah dewasa, namun masih tiada bedanya dengan anak-anak, hanya badan kita saja yang bertumbuh menjadi besar, kita masih mudah tertawa dan menangis, seperti kanak-kanak yang mudah tertawa memperoleh permainan baru dan mudah menangis karena kehilangan sesuatu yang disenanginya. Akan tetapi setiap muncul pengganti yang baru, yang lama, baik yang menyenangkan maupun yang menyusahkan, akan terlupa dan hilang tak berbekas. Yang berbeda hanyalah macam permainan itu saja.

Biasanya, kita manusia, di ujung dunia yang manapun juga, selalu mengejar-ngejar pengulangan kesenangan atau mencari keadaan yang lebih menyenangkan atau dianggap lebih menyenangkan lagi, selalu mencoba untuk menjauhi atau menghindari apa saja yang dianggap menyusahkan. Kita ingin hidup ini penuh dengan yang manis-manis saja.

Kita lupa bahwa selama kita mendambakan yang manis, maka akan bermunculanlah yang pahit, yang getir, yang masam dan sebagainya karena semua itu muncul apabila yang manis dan kita dambakan itu tidak tercapai. Itulah romantika hidup. Ya manis, ya pahit, ya getir. Semua itu merupakan kesatuan yang tak terpisahkan, yang menjadi isi daripada kehidupan kita sekarang ini. Mengapa kita tidak menerima semua itu secara wajar saja?

Mengapa mesti bersenang kalau mendapatkan yang manis akan tetapi mengeluh kalau memperoleh yang pahit? Kalau kita menghadapinya dengan pengamatan mendalam, tanpa penilaian si pikiran yang mencari manis selalu, mungkin kita akan melihat sesuatu yang ajaib. Benar pahitkah yang kita anggap pahit itu dan benar maniskah yang kita anggap manis? Apakah akan terasa nikmatnya manis kalau kita tidak merasakan tidak enaknya pahit? Apakah kita dapat mengenal terang kalau kita tidak mengenal gelap?

Melihat munculnya belasan orang yang memegang senjata golok dan pedang lalu mengepung tempat itu, Yu Hwi juga tersenyum lebar seperti melihat sesuatu yang lucu sekali. Akan tetapi tidak demikian dengan Cu Pek In. Gadis ini mengenal seorang di antara mereka, yaitu orang yang bertubuh tinggi besar berkulit hitam, usianya sekitar empat puluh tahun, berkumis tebal melintang dan lengan kiri orang itu masih dibalut.

Orang itu bukan lain adalah Koa Cin Gu, guru silat dari Lo-couw yang lebih suka pria tampan daripada wanita cantik itu! Maka, melihat orang ini, marahlah Pek In.

“Orang she Koa yang tidak tahu malu! Sudah kupatahkan lengan kirimu engkau masih berani datang berlagak, apakah harus kupatahkan tulang lehermu?” Sambil berkata demikian, Cu Pek In melangkah maju ke arah laki-laki tinggi besar itu.

Si Tinggi Besar itu terbelalak. Tentu saja dia tidak mengenal Pek In sebelum dara ini membuka suara dan sekarang dia memandang, dengan mata terbelalak,

“Ah, kiranya seorang perempuan....?” katanya perlahan.

Sebelum Pek In dapat turun tangan atau bicara lagi, tiba-tiba Si Tinggi Besar itu dan beberapa orang kawannya membuat gerakan minggir dan terdengar suara yang tenang dan halus,

“Ah, kiranya keluarga Lembah Suling Emas yang berada di sini!”

Pek In tidak jadi menyerang Si Tinggi Besar dan cepat mundur kembali mendekati paman dan bibinya dan Hong Bu ketika mengenal siapa yang mengeluarkan suara itu.

Nampak empat orang berjalan perlahan memasuki kepungan itu dan ternyata mereka itu adalah Toa-ok Su Lo Ti, Ji-ok Kui-bin Nio-nio, Sam-ok Ban Hwa Sengjin, dan orang ke empat adalah seorang kakek raksasa yang rambutnya sudah putih semua dan pakaiannya serba hitam, membawa sebuah kipas merah dan mengipasi lehernya tanpa bicara, akan tetapi jelas memiliki sikap yang amat berwibawa.

Cu Kang Bu, isterinya, dan Pek In tidak mengenal kakek ini, akan tetapi Sim Hong Bu terkejut bukan main ketika mengenal bahwa kakek berpakaian hitam itu bukan lain adalah Hek-i Mo-ong, manusia iblis yang pernah menjadi ketua perkumpulan iblis Hek-i-mo itu!”

Sementara itu, ketika Hek-i Mo-ong melihat Hong Bu, wajahnya berubah. Tadinya, kakek ini sama sekali tidak tertarik dan amat memandang rendah kepada orang-orang yang hendak dihukum oleh Toa-ok, Ji-ok dan Sam-ok. Akan tetapi begitu dia melihat Hong Bu, tentu saja dia mengenal musuh besar yang pernah menghancurkan perkumpulannya bersama seorang gadis bersuling emas dengan suhengnya yang lihai bukan main itu. Dia merasa girang bukan main, merasa bahwa secara kebetulan dia dapat membalas dendam atas kekalahannya dikeroyok tempo hari.

“Ha-ha-ha, kiranya engkau bocah setan datang mengantar nyawa!”

Katanya sambil menudingkan kipasnya, ke arah muka Sim Hong Bu. Melihat lagak ini, Pek In yang tidak mengenal lagak Hek-i Mo-ong, menjadi marah. Tunangan atau kekasihnya dimaki orang bocah setan, tentu saja ia marah.

“Iblis tua bermulut busuk!” katanya dan ia pun sudah mencabut sulingnya dan menyerang.






“Sumoi, jangan....!” teriak Hong Bu dan cepat dia melompat ke depan.

Akan tetapi, suling itu telah mengeluarkan suara melengking ketika menyambar ke arah kakek itu, berubah menjadi sinar kuning emas. Melihat gadis ini menggunakan senjata suling emas, kakek itu terkejut dan mengira bahwa tentu gadis ini mempunyai hubungan dengan gadis yang pernah mengalahkannya bersama pemuda berpedang biru itu. Maka ia pun menggunakan lengan menangkis sambil mengerahkan tenaga karena kalau gadis ini selihai gadis yang dulu pernah mengeroyoknya, serangan itu cukup berbahaya.

“Dukkk....!”

Dan akibatnya, tubuh Pek In terlempar dan tentu ia akan terbanting keras kalau saja pamannya, Cu Kang Bu, tidak cepat mengulurkan tangan dan menangkap tangan keponakannya itu, terus dilontarkan ke atas sehingga Pek In dapat turun dengan enak, tidak sampai terbanting, Pek In terkejut bukan main, dan kakek itu tertawa. Kiranya gadis itu masih amat lemah, sebaliknya laki-laki tinggi besar yang amat gagah perkasa itu cukup lihai. Hal ini dapat dilihatnya dengan mudah ketika laki-laki itu menahan jatuhnya gadis yang terlempar.

Bagaimanakah tiga orang sisa dari Im-kan Ngo-ok itu tahu-tahu telah bisa bersekutu dengan Hek-i Mo-ong dan agaknya membantu guru silat She Koa itu? Persekutuan antara mereka tidaklah aneh karena Hek-i Mo-ong sebetulnya masih terhitung susiok (paman guru) dari Toa-ok Su Lo Ti orang pertama Im-kan Ngo-ok. Dan karena keduanya telah mengalami musibah, yaitu Im-kan Ngo-ok selain kehilangan pekerjaan atau kedudukan sebagai pendukung Sam-thaihouw juga telah kehilangan dua orang anggauta termuda yaitu Su-ok dan Ngo-ok, sedangkan Hek-i Mo-ong juga menderita kekalahan dari sepasang orang muda yang mewakili pewaris Suling Emas dan Naga Siluman sedangkan perkumpulannya diobrak-abrik, maka mereka saling membutuhkan dan saling membantu.

Setelah mengadakan pertemuan, maka mereka bersepakat untuk bekerja sama agar nama mereka dapat diangkat kembali ke dunia kang-ouw. Persekutuan mereka itu tentu saja membuat mereka merasa lebih kuat daripada sebelumnya. Tiga orang anggauta Im-kan Ngo-ok itu bagi Hek-i Mo-ong merupakan pembantu yang amat kuat dan boleh diandalkan, lebih kuat daripada semua anak buahnya yang telah diobrak-abrik oleh Sim Hong Bu, Ci Sian dan Kam Hong.

Sebaliknya, tentu saja bagi sisa Im-kan Ngo-ok lebih terasa lagi karena keadaan mereka berempat jauh lebih kuat daripada ketika mereka masih berlima! Akan tetapi, urutan tingkat kepandaian mereka sekarang tentu saja mengalami perubahan, yaitu Hek-i Mo-ong berada paling atas dan Toa-ok menjadi orang ke dua!

Biarpun merasa diri mereka kuat, akan tetapi melihat betapa Pangeran Kian Liong yang bijaksana dan didukung oleh semua pendekar perkasa itu telah menjadi kaisar dan mengambil sikap tangan besi terhadap orang-orang golongan sesat, maka untuk sementara empat orang datuk ini tidak berani menonjolkan diri mereka.

Dan mereka menemukan tempat persembunyian sementara yang amat baik, yaitu di tempat perguruan Koa Cin Gu, yang baru beberapa tahun bekerja membuka perguruan sebagai seorang guru silat. Koa Cin Gu yang tinggal di Lok-yang ini adalah seorang kenalan baik dari Sam-ok Ban Hwa Sengjin dan merupakan orang yang sudah amat dipercaya.

Demikianlah keadaan para datuk itu mengapa mereka dapat bersekutu dan mengapa mereka membantu Koa-kauwsu. Guru silat ini dan anak buahnya atau murid-muridnya merupakan pembantu-pembantu untuk menyelidiki keadaan di kota raja dan kota-kota besar bagi para datuk ini. Oleh karena itu, ketika pada suatu hari Koa Cin Gu pulang dengan lengan kiri patah, mereka terkejut sekali.

Koa-kauwsu menyuruh para kaki tangannya membayangi dan menyelidiki keadaan “pemuda” itu. Sam-ok sendiri melakukan penyelidikan dan ketika melihat bahwa yang disebut pemuda oleh Koa Cin Gu itu adalah Cu Pek In puteri majikan Lembah Suling Emas, bersama Cu Kang Bu yang dikenalnya sebagai pendekar dan penghuni Lembah Suling Emas, dan juga isteri pendekar itu, Sam-ok terkejut bukan main dan itulah sebabnya mengapa Koa Cin Gu muncul bersama empat orang datuk itu!

“Lembah Suling Emas merupakan tempat rahasia di Pegunungan Himalaya,” kata Sam-Ok, terutama kepada Hek-i Mo-ong, “Dan di sana terkumpul banyak pusaka-pusaka yang tak ternilai harganya. Bahkan pedang pusaka Koai-liong Po-kiam yang dihebohkan itu pun dicuri oleh penghuni lembah itu. Mereka memiliki ilmu kepandaian tinggi, dan kalau kita dapat menahan tiga orang ini sebagai sandera tentu kita akan dapat memaksa mereka untuk menyerahkan pusaka-pusaka itu, terutama Koai-liong Po-kiam kepada kita.”

Ji-ok dan Toa-ok tentu saja merasa setuju sekali. Mereka berbesar hati dan timbul keberanian mereka untuk memusuhi para penghuni Lembah Suling Emas setelah kini Hek-i Mo-ong menjadi sekutu mereka.

Hek-i Mo-ong hanya mengangguk-angguk. Orang yang setua dia sebetulnya sudah tidak ingin lagi untuk memperoleh pusaka-pusaka, dan dia sudah terlalu mengagulkan diri sendiri sehingga dia menganggap bahwa tanpa merampas pusaka orang lain sekalipun dia tidak mempunyai tandingan lagi di dunia ini. Akan tetapi untuk menyenangkan hati tiga orang pembantu barunya itu, yang dianggapnya juga sebagai keponakan-keponakan muridnya, dia menyetujui untuk bersama mereka menghadang perjalanan tiga orang itu.

Dan dapat dibayangkan betapa kaget dan juga girangnya ketika dia melihat bahwa musuh besarnya pemuda yang pernah mengeroyoknya bersama dara bersenjata suling emas, ternyata berada pula dalam rombongan keluarga Lembah Suling Emas itu!

Demikianlah, empat orang datuk itu kini berhadapan dengan empat orang pendekar dari Lembah Suling Emas yang telah berubah sebutannya menjadi Lembah Naga Siluman itu.

“Hek-i Mo-ong, bagus bahwa engkau masih hidup! Kini aku dapat menyempurnakan usahaku untuk membunuhmu!” kata Sim Hong Bu, ucapan yang sengaja dikeluarkan untuk memberi tahu kepada Cu Kang Bu dan Yu Hwi bahwa kakek itu adalah Ketua Hek-i-mo yang terkenal itu.

Dan memang suami isteri ini terkejut bukan main mendengar bahwa kakek yang berpakaian serba hitam ini adalah kakek iblis yang namanya pernah menjulang tinggi dan menggetarkan dunia Kang-ouw itu.

“Ha-ha, sekali ini engkaulah yang akan mampus di tanganku, bocah setan!”

Kata kakek itu yang segera menerjang maju sambil mencabut keluar senjatanya yang amat menyeramkan, yaitu tombak Long-ge-pang (Gigi Srigala). Dia memegang tombak itu di tangan kanan dan dibantu kipas merah di tangan kirinya, menyerang sambil tertawa nyaring, suara ketawa yang mengandung khi-kang amat kuatnya.

“Trang-trang-trang....!”

“Wuuuuttt.... cringggg....!”

Dalam segebrakan saja, mereka telah saling serang dengan hebatnya dan sinar kebiruan dari Koai-liong Po-kiam menyilaukan mata. Melihat bahwa pemuda itu mempergunakan pedang pusaka yang membuat mereka dahulu ikut pula memperebutkannya, tiga orang dari Im-kan Ngo-ok menjadi girang sekali dan mereka pun sudah bergerak maju. Tentu saja Cu Kang Bu dan Yu Hwi cepat menyambut mereka, juga Cu Pek In sudah mempergunakan sulingnya untuk membantu paman dan bibinya.

Toa-ok disambut oleh Cu Kang Bu, sehingga Yu Hwi terpaksa melawan Ji-ok dan Sam-ok dilawan oleh Pek In. Tentu saja Hong Bu dan Kang Bu merasa khawatir sekali, karena mereka tahu bahwa kepandaian kedua orang wanita itu masih kalah jauh kalau dibandingkan dengan lawan mereka yang merupakan datuk-datuk yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali.

Akan tetapi, mereka tidak berdaya untuk melindungi Yu Hwi dan Pek In. Sim Hong Bu yang ingin melindungi Pek In, tidak mungkin dapat keluar dari kurungan sinar senjata lawannya yang amat hebat itu, dan tanpa melindungi gadis itu pun dia harus mengeluarkan seluruh ilmu kepandaiannya dan mengerahkan seluruh tenaganya untuk mengimbangi Hek-i Mo-ong. Diputarnya pedangnya sehingga nampak gulungan sinar biru yang bukan hanya melindungi tubuhnya melainkan juga membalas serangan lawan dengan dahsyat.

Hek-i Mo-ong mengenal kelihaian pemuda ini, maka dia pun tidak berani memandang ringan dan sudah menggerakkan senjata tombak Long-ge-pang itu dengan gerakan aneh, cepat dan kuat sekali, dibantu oleh gerakan kipas merahnya yang menotok jalan darah lawan bagaikan patuk burung garuda.

Ban-kin-sian Cu Kang Bu merupakan lawan yang setanding dari Toa-ok Su Lo Ti. Pendekar tinggi besar yang gagah perkasa ini telah mencabut senjata cambuknya, sehelai cambuk baja yang tadinya menjadi ikat pinggangnya., Biarpun Toa-ok merupakan orang pertama dari Im-kan Ngo-ok dan merupakan datuk yang amat lihai, namun menghadapi Cu Kang Bu dia tidak dapat main-main dan terpaksa harus mengeluarkan seluruh kepandaiannya kalau dia tidak ingin menjadi korban sambaran cambuk baja yang berkelebatan membentuk sinar bergulung-gulung seperti seekor naga mengamuk itu.

Julukan Cu Kang Bu adalah Ban-kin-sian (Dewa Bertenaga Selaksa Kati) maka tentu saja tenaganya hebat luar biasa sehingga sabuk yang diputarnya itu lenyap bentuknya dan menimbulkan angin yang dahsyat sekali. Namun lawannya adalah Toa-ok, Si Jahat Nomor Satu yang selain memiliki ilmu silat yang tinggi, juga mempunyai pengalaman yang amat luas. Kedua lengannya yang tidak bersenjata itu penuh dengan tenaga sinkang sehingga menjadi kebal, namun dia cukup cerdik untuk tidak mengadu lengannya secara langsung dengan cambuk baja yang digerakkan amat kuatnya.

Dia lebih banyak mengelak dan kalau menangkis, selalu menangkis dari arah samping, juga membalas dengan dorongan-dorongan telapak tangannya yang mendatangkan hawa pukulan kuat sekali. Seperti pertandingan antara Hong Bu dan Hek-i Mo-ong, maka perkelahian antara Cu Kang Bu melawan Toa-ok ini pun berjalan dengan seru sekali.

Akan tetapi tidak demikianlah pertempuran, antara kedua orang wanita itu melawan Ji-ok dan Sam-ok. Sejak dari permulaan Yu Hwi sudah terdesak hebat oleh Ji-ok, juga terutama sekali Cu Pek In terdesak hebat oleh Sam-ok. Tingkat kepandaian mereka kalah jauh dibandingkan dengan Jahat Nomor Dua dan Jahat Nomor Tiga itu. Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu yang melihat ini merasa gelisah sekali namun mereka berdua tidak berdaya membantu kedua orang wanita itu.

Betapapun juga, dua orang wanita itu dengan semangat bernyala-nyala terus melakukan perlawanan dengan gigih. Namun, belum lewat lima puluh jurus, suling di tangan Pek In telah dirampas oleh Sam-ok dan sebelum dara itu dapat menghindarkan diri, ia sudah roboh tertotok oleh Sam-ok.

“Sumoi....!”

Hong Bu berseru dan hendak menolongnya, akan tetapi tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong berkelebat. Hong Bu terkejut bukan main. Gerakannya untuk menolong Pek In tadi membuatnya lengah dan posisinya lemah, maka biarpun dia sudah menangkis dengan pedang Koai-liong-kiam, tetap saja ujung tombak Gigi Srigala itu menyerempet pundaknya, merobek pundak sehingga darah mengucur membasahi bajunya yang robek. Terpaksa Hong Bu membalas dengan serangan-serangan dahsyat dan dia tidak mempunyai kesempatan lagi untuk memperhatikan Pek In karena lawannya benar-benar amat lihai sekali.

Sementara itu, Ji-ok juga sudah mendesak Yu Hwi. Biarpun Yu Hwi telah memutar pedangnya dan mempergunakan Ilmu Kiam-to Sin-ciang yang membuat tangan kirinya dapat memukul seperti tajamnya pedang dan golok, namun karena tingkatnya kalah jauh oleh Ji-ok, nenek yang bertopeng tengkorak itu, maka ia pun didesak terus. Apalagi Ilmu Kiam-ci (Jari Pedang) nenek itu mirip dengan ilmu yang pernah dipelajarinya dari gurunya yang pertama, yaitu Hek-sin Touw-ong Si Raja Maling.

Akan tetapi, ilmu dari gurunya itu, ialah Kiamto Sin-ciang (Tangan Sakti Pedang dan Golok), tidaklah seganas dan sedahsyat Kiam-ci (Jari Pedang) dari Jahat Nomor Dua ini. Jari tangan nenek itu menyambar dan seolah-olah mengeluarkan sinar maut yang amat hebat.

Dan setelah Pek In itu roboh tertotok, hati Yu Hwi menjadi gentar dan kesempatan ini dipergunakan oleh Ji-ok untuk menendang lututnya, Yu Hwi terpelanting roboh dan Ji-ok mengeluarkan suara ketawa terkekeh, lalu menubruk maju. Sam-ok mengenal temannya ini. Kalau Ji-ok sudah mengeluarkan suara ketawa terkekeh lalu menubruk, berarti nenek itu hendak menurunkan tangan maut membunuh orang. Maka dia pun cepat menubruk dan menangkis tangan Ji-ok yang sudah menyerang ke arah Yu Hwi yang masih rebah miring itu.

“Dukkk....!” Keduanya terpental ke belakang.

“Ji-ci, jangan bunuh, kita tawan saja!”

Akan tetapi, Ji-ok sudah menjadi marah bukan main. Baginya, menghalangi kehendaknya berarti memusuhinya. Apalagi yang menghalanginya itu adalah Sam-ok yang terhitung “adik” dalam urutan tingkat mereka, maka kemarahannya meluap.

“Sam-te, berani engkau menghalangiku?”

Dan nenek itu pun cepat menerjang dan menyerang Sam-ok dengan tusukan-tusukan jari mautnya!

“Eh, apakah engkau sudah gila?”

Sam-ok membentak dan mengelak sambil membalas. Keduanya sudah berkelahi dengan hebatnya!

Melihat ini, Toa-ok dan Hek-i Mo-ong menjadi marah.
“Sam-te, jangan berkelahi dengan teman sendiri!” kata Toa-ok.

“Ji-ok, tidak boleh membunuh lawan!”

Hek-i Mo-ong juga membentak Ji-ok. Mendengar bentakan mereka itu, Ji-ok dan Sam-ok masing-masing meloncat ke belakang. Kemudian Sam-ok melihat betapa Yu Hwi telah meloncar bangun dan biarpun terpincang-pincang, nyonya ini sudah siap lagi dengan pedang di tangan. Dia menubruk ke depan, ketika Yu Hwi menggerakkan pedang menusuk, Sam-ok memukulnya dari samping.

“Plakk!”

Pedang terpental dan terlepas dari tangan Yu Hwi dan di lain saat, Sam-ok juga sudah berhasil merobohkan Yu Hwi.

“Ji-ci, kau tawan dan jaga yang ini, aku yang itu!” kata Sam-ok.

Sementara itu, Cu Kang Bu dan Sim Hong Bu tentu saja sudah melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah ditawan musuh, maka mereka berdua mengamuk dan memutar senjata dengan sekuat tenaga.

Tiba-tiba kedua pendekar itu mendengar suara Sam-ok yang nyaring,
“Ban-kin-sian dan pemuda yang memegang Koai-liong-kiam! Tahan senjata dan menyerahlah, kalau tidak, aku akan membunuh lebih dulu dua orang wanita ini!”

Sim Hong Bu dan Cu Kang Bu meloncat ke belakang dan menoleh. Mereka melihat betapa Yu Hwi dan Pek In telah dibelenggu oleh anak buah Koa-kauwsu, dan kini Sam-ok dan Ji-ok mengancam kedua orang wanita itu dengan tangan di atas kepala. Mereka berdua maklum bahwa sekali saja menggerakkan tangan, maka nyawa dua orang wanita itu takkan dapat tertolong lagi. Melihat isterinya dan keponakannya diancam, lemaslah rasa tubuh Cu Kang Bu dan dia pun melepaskan senjata sabuk baja.

“Aku menyerah....” katanya dengan suara lemah.

“Susiok, jangan menyerah!” kata Sim Hong Bu, akan tetapi Kang Bu hanya menggeleng kepala dan mudah saja ketika dia didekati oleh Sam-ok yang kemudian menotoknya dan pendekar ini pun dibelenggu seperti Yu Hwi dan Pek In.

“Keparat engkau Hek-i Mo-ong dan iblis-iblis Im-kan Ngo-ok! Sampai mati aku tidak akan menyerah!” kata Hong Bu dan dia pun sudah menubruk maju dan menyerang Sam-ok yang menotok roboh Kang Bu tadi.

“Orang muda! Kalau engkau tidak menyerah, mereka bertiga ini akan kami bunuh!” teriak Sam-ok sambil meloncat mundur.

“Bunuhlah! Akan tetapi kalian pun akan mampus semua di tanganku!” bentak Sim Hong Bu.

Pemuda ini mengerti bahwa terhadap orang-orang macam mereka itu, tak mungkin mengharapkan pengampunan. Kalau dia dan Kang Bu menyerah, akhirnya toh mereka itu, juga dia, akan dibunuh. Maka, daripada mati dalam keadaan tidak berdaya, mati konyol, lebih baik mati dalam perlawanan!

Melihat betapa Sim Hong Bu nekad melakukan perlawanan, Cu Pek In dan Yu Hwi memandang dengan alis berkerut. Mereka merasa penasaran mengapa pemuda itu nekad melawan. Terutama sekali Pek In memandang dengan mata basah air mata. Salahkah dugaannya selama ini bahwa Hong Bu juga mencintanya? Setelah kini ia terancam maut, mengapa pemuda itu tidak mempedulikan ancaman musuh yang hendak membunuhnya dan nekad melawan? Hanya Cu Kang Bu yang memandang dengan sikap tenang. Dia sendiri menyerah karena dia tahu bahwa kalau dia dan Hong Bu tetap melawan, bukan ancaman kosong belaka kalau pihak musuh hendak membunuh dua orang wanita itu.

Akan tetapi setelah dia sendiri menyerah, dia dapat mengerti mengapa Hong Bu tetap melawan dan dia pun dapat membenarkan tindakan pemuda itu. Memang, kalau Hong Bu juga menyerah, apakah dapat dijamin bahwa orang-orang jahat ini mau membebaskan mereka berempat? Setidaknya, setelah dia sendiri menyerah, tentu isterinya dan keponakannya takkan diganggu, dan Hong Bu masih dapat berdaya melawan musuh kalau tidak ikut menyerah. Jadi, masih ada harapan. Maka dia pun hanya mengikuti jalannya pertandingan itu dengan hati tegang walaupun dia nampak tenang saja.

Hong Bu memang nekad. Dia akan melawan sampai mati. Kini, tiga orang Im-kan Ngo-ok sudah mengepungnya. Toa-ok, Ji-ok, dan Sam-ok mengeroyoknya dari tiga penjuru. Akan tetapi Hong Bu sekali ini benar-benar memperlihatkan kemampuannya. Tubuhnya lenyap diselimuti sinar biru yang bergulung-gulung dan dari gulungan sinar ini kadang-kadang nampak kilatan biru menyambar ke arah musuh-musuhnya.

Biarpun dikeroyok oleh tiga orang datuk yang sakti itu, Hong Bu tidak menjadi gentar dan permainan Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang dimainkan dengan pengerahan seluruh tenaga itu memang dahsyat luar biasa, mengeluarkan suara mengaum-aum seperti seekor naga mengamuk dan juga membawa angin berpusing yang amat kuatnya. Betapapun lihainya tiga orang dari Im-kan Ngo-ok itu, menghadapi ilmu pedang yang demikian hebatnya, mereka tidak dapat mendekati pemuda itu.

Melihat ini, Hek-i Mo-ong merasa penasaran sekali. Dia sendiri pernah dikalahkan oleh pemuda ini yang bekerja sama dengan seorang gadis bersenjata suling. Kini, melihat betapa tiga orang murid keponakannya yang telah memiliki tingkat ilmu yang tidak begitu jauh selisihnya dengan ilmunya sendiri tidak dapat mengalahkan pemuda itu, dia pun lalu mengeluarkan suara menggereng keras dan tombak Long-ge-pang di tangannya sudah digerakkan dan kakek ini pun menerjang maju ikut mengeroyok Hong Bu!

Sungguh merupakan kejadian yang luar biasa sekali kalau sampai tiga orang pertama dari Im-kan Ngo-ok mengeroyok seorang pemuda, dan lebih lagi tidak mungkin dapat dipercaya orang kang-ouw kalau mendengar bahwa mereka itu bahkan dibantu pula oleh Hek-i Mo-ong mengeroyok seorang pemuda. Akan tetapi kenyataannya demikian dan mereka pun agaknya sudah tidak lagi mempedulikan rasa malu dan harga diri. Mereka hanya ingin menundukkan pemuda yang amat lihai ini.

Cu Kang Bu menonton dengan mata bersinar-sinar dan wajah berseri, penuh dengan kebanggaan akan tetapi juga kekhawatiran. Dia melihat kehebatan Koai-liong Kiam-sut dan merasa bangga bahwa ilmu itu adalah ilmu keturunan nenek moyangnya, dan bahwa pemuda itu adalah murid keponakannya, pewaris dari pusaka neneknya.

Dia kagum bukan main, akan tetapi juga khawatir karena maklum betapa lihainya empat orang yang mengeroyok Hong Bu itu. Kekhawatirannya terbukti ketika dia melihat ujung tombak Long-ge-pang di tangan Hek-i Mo-ong menyambar dan menyerempet bahu kiri Hong Bu sehingga bahu itu berdarah dan terluka. Namun Hong Bu masih mengamuk seperti seekor naga.

“Hong Bu larilah engkau!” teriaknya kepada murid keponakan itu.

Hong Bu memang sudah mengerti bahwa kalau dilanjutkan, betapapun juga dia tidak mungkin dapat menandingi pengeroyokan empat orang itu. Kalau dia melawan terus, dia akan roboh mati dan kematiannya tidak akan ada gunanya bagi tiga orang yang tertawan itu. Kalau dia meloloskan diri dan masih hidup, setidaknya dia masih dapat berdaya-upaya untuk menolong tiga orang itu.

Maka, dia lalu mengeluarkan bentakan nyaring dan pedangnya bergerak dengan amat hebatnya, mengeluarkan jurus Naga Siluman Menyemburkan Api, pedangnya menimbulkan sinar berkeredepan ke arah empat orang lawannya sehingga mereka itu terkejut dan meloncat ke belakang.

Kesempatan ini dipergunakan oleh Hong Bu untuk meloncat jauh sekali dari tempat itu. Empat orang itu berloncatan mengejar, akan tetapi Hong Bu telah berlari cepat sekali dan mereka tidak berani untuk mengejar satu-satu, kalau tidak berbarengan karena pemuda itu memang berbahaya sekali. Melihat kekasihnya lari meninggalkan ia dalam tangan musuh, Pek In merasa sedemikian kecewa dan menyesalnya sehingga gadis ini roboh pingsan!

Akan tetapi Kang Bu diam-diam bersyukur bahwa murid keponakannya itu tidak sampai tewas di tangan orang-orang yang lihai itu. Bagaimanapun juga, dia akan merasa menyesal kalau sampai murid keponakan itu, pewaris nenek moyangnya, sampai mati konyol.

Empat orang datuk itu tidak mengejar terus. Betapapun juga, tiga orang anggauta keluarga Lembah Suling Emas telah berada di tangan mereka dan melalui tiga orang tawanan ini, mereka dapat menguasai pusaka-pusaka dari lembah itu. Maka, tanpa banyak cakap Hek-i Mo-ong lalu memberi perintah kepada kawan-kawan guru silat Koa untuk mengangkat tiga orang yang sudah tertotok itu dan membawa mereka ke tempat persembunyian mereka, di rumah guru silat Koa Cin Gu.

Hong Bu berlari terus secepatnya, mengerahkan seluruh ilmu gin-kangnya. Dia sudah terluka dan banyak darah mengalir dari pundaknya, akan tetapi dia harus dapat melarikan diri. Kalau dia sampai tertawan pula, maka habislah harapannya untuk dapat menolong tiga orang itu. Maka, dia memaksa tenaganya yang mulai lemah dan barulah setelah dia melihat bahwa dirinya tidak dikejar musuh, dan dia tiba di lereng sebuah bukit, tubuhnya terguling di bawah sebuah bukit, tubuhnya terguling di bawah pohon besar di mana dia duduk terengah-engah lalu dia bersila dan mengatur pernapasan untuk mengembalikan tenaganya yang hampir habis.