FB

FB


Ads

Senin, 03 Agustus 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 115

“Ci Sian, sungguh aku menyesal sekali mengapa engkau sampai melukai Hong Bu seperti itu, nyaris dia tewas di tanganmu,” kata Kam Hong ketika mereka berjalan meninggalkan lembah itu.

Ci Sian merasa ngeri mendengar ini dan ia pun bersungut-sungut,
“Habis hatiku mengkal sekali sih!”

“Kenapa? Bukankah dia hanya memenuhi tugas yang diperintahkan gurunya untuk mengadu ilmu denganku? Dan bukankah dia sudah mengaku kalah? Kenapa engkau mendesaknya sehingga melukainya, Ci Sian? Padahal, engkau sendiri tentu sudah tahu benar betapa selama dalam perkelahian melawanmu itu dia terus mengalah. Ah, kenapa engkau begitu kejam kepadanya, Ci Sian? Engkau tahu, dia amat mencintamu....”

“Suheng!” Ci Sian berkata dengan suara membentak sehingga mengejutkan hati Kam Hong. “Justeru itulah yang membikin hatiku jengkel!”

Kam Hong memandang dengan heran.
“Apa katamu? Kau jengkel karena dia mencintamu?”

“Bukan!”

“Habis apa? Apakah engkau jengkel karena dia mentaati perintah gurunya dan menantangku?”

“Juga tidak!”

“Habis, apa yang membuatmu jengkel?”

“Karena dia berani melamarku!”

“Ah, lebih aneh lagi itu. Dia melamarmu adalah sudah wajar, karena dia mencintamu, dan kulihat dia memang seorang pemuda pilihan yang hebat. Aku pun masih merasa heran dan penasaran mengapa engkau tidak menerima pinangannya malah marah-marah, padahal pinangan itu wajar saja.”

Tiba-tiba Ci Sian memandang kepada suhengnya dengan sinar mata muram.
“Suheng, mengapa engkau begitu membenciku?”

“Eh?” Kam Hong memandang bengong dan terheran.

“Engkau demikian membenciku sehingga engkau ingin agar aku meninggalkanmu. Begitukah? Engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan Hong Bu. Itulah yang membuatku jengkel!”

Kam Hong memandang dengan jantung berdebar. Tak salah lagi, Ci Sian mencintanya! Dia berusaha untuk menyangkal kenyataan ini, untuk membantah hatinya sendiri, untuk mendorong sumoinya agar berjodoh dengan pemuda yang lebih patut menjadi sisihan Ci Sian, yang sama mudanya. Akan tetapi ternyata itu malah mendatangkan kemarahan di dalam hati Ci Sian!

“Kalau begitu maafkanlah aku, Sumoi. Maksudku baik....”

“Sudahlah, Suheng, harap jangan bicarakan itu lagi. Aku pun menyesal sekali telah merobohkan Hong Bu. Sebenarnya aku suka kepadanya. Masih untung bahwa dia tidak tewas olehku tadi. Aku menyesal.”

Kam Hong percaya. Dari suaranya saja jelas terbukti bahwa sumoinya benar-benar menyesal dan sebetulnya sumoinya sama sekali tidak membenci Hong Bu. Hanya karena Hong Bu meminangnya, dan karena dia sendiri seperti menyetujui dan mendorong, maka hal itu mendatangkan kemarahan di hati sumoinya.

“Baiklah, Sumoi. Apakah kita jadi membeli perahu?”

“Tidak, sudah hilang seleraku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kita berpesiar saja di Pegunungan Fu-niu-san ini, aku mendengar bahwa pemandangan di situ amat indahnya.”

“Benar, Sumoi. Dan bambu-bambu dari Fu-niu-san amat terkenal. Banyak terdapat bambu-bambu yang indah dan aneh-aneh bentuknya di pegunungan ini.”

Mereka pun lalu melakukan perjalanan seenaknya di pegunungan itu, kalau malam mereka bermalam di hutan-hutan. Mereka tidak kekurangan makanan karena terdapat dusun-dusun berpencaran di pegunungan itu di mana mereka dapat membeli buah-buah dan juga daging yang mereka masak di rumah para penduduk dusun.

Pada suatu pagi, ketika mereka keluar dari sebuah dusun di lereng timur setelah malam tadi mereka bermalam di dusun itu, tiba-tiba Ci Sian menuding ke depan.

“Suheng, bukankah itu ada orang datang?”

Kam Hong juga sudah melihatnya. Pagi itu kabut tebal memenuhi lereng sehingga yang nampak hanya bayangan berlari dari depan, kadang-kadang nampak kadang-kadang tidak, tergantung tebal tipisnya kabut yang lewat dengan cepat seolah-olah kabut-kabut itu ketakutan oleh munculnya sinar matahari di balik puncak.






Akhirnya bayangan itu tiba di depan mereka dan terkejut ketika saling mengenal. Yang datang itu bukan lain adalah Jenderal Muda Kao Cin Liong! Kalau Kam Hong dan sumoinya terkejut, sebaliknya Cin Liong tersenyum gembira sekali melihat mereka. Cepat jenderal yang berpakaian preman itu menjura dengan hormat sambil berseru,

“Ah, akhirnya saya dapat juga bertemu dengan Ji-wi setelah dengan susah payah mencari jejak Ji-wi! Akan tetapi, tidak saya sangka akan bertemu dalam kabut ini sehingga agak mengejutkan juga.”

“Kiranya Kao-goanswe yang datang!” kata Kam Hong dan tersenyum kagum.

Pemuda ini adalah putera tunggal Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Hati siapa takkan kagum memandangnya? Seorang pemuda yang tampan dan gagah perkasa, memiliki ilmu kepandaian yang jarang ditemukan tandingannya, dan semuda itu telah menjadi seorang panglima, seorang jenderal!

“Ah, selamat datang, Kao-goanswe, dan ada kepentingan besar apakah maka engkau bersusah payah mencari kami?”

“Harap Kam-taihiap jangan menyebut saya goanswe, biarpun saya seorang jenderal akan tetapi pada saat ini saya tidak bertugas dan lihat saja pakaianku adalah orang biasa, bukan? Dan keperluanku adalah keperluan pribadi, bukan sebagai seorang berpangkat.”

Kam Hong tersenyum.
“Baiklah, Saudara Kao Cin Liong. Nah, keperluan apakah yang kau bawa?”

Cin Liong memandang kepada Ci Sian dan tersenyum. Gadis itu juga tersenyum karena sudah lama ia mengenal Cin Liong.

“Bagaimana kabarnya, Nona Bu? Kuharap engkau sehat-sehat saja.”

“Terima kasih, aku baik-baik saja, Saudara Cin Liong. Ada keperluan apakah engkau datang mencari kami?”

Mereka saling berpandangan dan teringatlah mereka akan pengalaman mereka berdua ketika bersama-sama beraksi di dalam benteng pasukan Nepal yang dipimpin oleh Nandini, ibu Siok Lan. Kalau mengenangkan masa lalu, di dalam hati keduanya ada suatu kehangatan karena ketika itu mereka berjuang sehidup semati menghadapi lawan-lawan tangguh.

Betapapun juga, kini, menghadapi pengakuan cintanya, dan peminangannya, Cin Liong si jenderal yang tidak gentar menghadapi ribuan orang pasukan musuh itu tiba-tiba merasa badannya panas dingin dan jantung berdebar tegang! Sampai lama dia tidak mampu menjawab, hanya memandang kepada Ci Sian dengan bingung. Kam Hong yang berpandangan tajam itu agaknya dapat menduga bahwa jenderal muda itu ingin menyampaikan sesuatu kepada Ci Sian, maka dia pun lalu berkata dengan suara halus,

“Kalau engkau hendak bicara berdua dengan Sumoi, silahkan, Saudara Cin Liong, aku akan menyingkir lebih dulu....”

“Ah, tidak.... saya.... saya hendak bicara denganmu, Kam-taihiap!” kata Cin Liong dengan gugup.

“Kalau begitu, biarlah aku saja yang menyingkir!”

Kata Ci Sian dan sebelum ada yang menjawab, ia sudah pergi dari tempat itu, agak menjauh dan melihat-lihat pemandangan alam yang indah.

“Nah, bicaralah Saudara Kao Cin Liong,” kata Kam Hong sambil tersenyum memberanikan hati pemuda itu.

“Kam-taihiap, terus terang saja.... kedatangan saya mencari Tai-hiap berdua adalah untuk melamar Nona Bu Ci Sian!”

Hampir saja Kam Hong tertawa mendengar ini. Memang tadi, melihat sikap Cin Liong, dia sudah setengah menduga bahwa jangan-jangan pemuda ini hendak menyatakan cintanya kepada Ci Sian, maka tadi dia mengusulkan untuk menyingkir kalau pemuda itu hendak bicara berdua dengan sumoinya. Akan tetapi dia tidak percaya akan dugaannya sendiri. Dan ternyata memang benar! Bahkan jenderal muda ini mengajukan lamaran.

Hampir sukar untuk dapat dipercaya bagaimana bisa begini kebetulan! Dalam waktu beberapa hari saja, Ci Sian sudah dilamar oleh dua orang pemuda! Sumoinya itu sungguh “laris”, dihujani lamaran dan yang melamarnya adalah pemuda-pemuda pilihan. Cin Liong ini dalam segala-galanya bahkan tidak kalah dibandingkan dengan Hong Bu, maka timbullah harapan di dalam hatinya. Siapa tahu kalau sumoinya akan suka menjadi jodoh pemuda ini. Dia sendiri akan ikut merasa bangga!

Menjadi mantu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Dan pemuda ini pun jujur, seperti Hong Bu. Hanya bedanya, karena pemuda ini terdidik di kota raja, dan hidup sebagai seorang berkedudukan tinggi, tentu saja pemuda ini masih terikat oleh kesusilaan sehingga merasa malu dan sungkan menyatakan isi hatinya. Berbeda dengan Hong Bu yang sejak kecil hidup setengah liar, maka kejujurannya lebih terbuka tanpa halangan sesuatu lagi.

“Ahh, Saudara Kao! Bagaimana ini? Aku hanyalah suheng dari Sumoi Bu Ci Sian, bagaimana engkau melamarnya kepadaku? Bukankah seharusnya kepada ayahnya....?”

“Tentu saja saya tidak berani melampaui Bu-locianpwe, Tai-hiap. Sebelum saya mencari Tai-hiap berdua, saya bersama orang tua saya pernah datang mengajukan lamaran kepada Bu-locianpwe dan beliau sendiri yang menganjurkan agar saya mencari Ji-wi dan langsung saja meminang kepada Nona Bu atau kepada Kam-taihiap sebagai walinya.”

“Hemm...., Bu-locianpwe sungguh menaruh kepercayaan besar kepadaku. Saudara Kao Cin Liong, kalau tidak salah, menurut penuturan Sumoi, kalian berdua telah lama sekali saling berkenalan, bahkan telah menjadi sahabat baik dan pernah berjuang bahu-membahu, bukan? Aku yakin bahwa yang mendorongmu mengajukan pinangan ini tentu berdasarkan hatimu yang mencinta, bukan?”

Wajah Cin Liong menjadi agak merah, akan tetapi dengan tenang dia menatap wajah pendekar itu dan menjawab,

“Benar demikian, Tai-hiap.”

“Dan engkau tentu tahu bahwa aku atau siapapun juga tidak akan dapat memaksa Sumoi, dan hal itu tergantung sepenuhnya kepadanya. Akan tetapi, aku tidak tahu bagaimana dengan isi hatinya. Apakah ia mencintamu, Saudara Kao? Maafkan pertanyaanku ini.”

Cin Liong menggeleng kepala.
“Aku tidak tahu dengan pasti....” katanya lirih seperti kepada dirinya sendiri, kemudian dia memandang kembali kepada pendekar itu. “Terus terang saja, kami tidak pernah bicara tentang cinta, Tai-hiap, akan tetapi kalau saya melihat sinar matanya, saya kira.... yah, mudah-mudahan ia pun mencinta saya seperti saya mencintanya selama ini.”

“Hemm.... kalau begitu, kiranya sebaiknya kalau engkau mengatakannya kepadanya sendiri, karena keputusannya terserah kepadanya.”

Kembali Cin Liong nampak gugup.
“Ah, sukar sekali saya dapat bicara kalau di depannya, Tai-hiap. Ia seorang berwatak keras, saya sudah mengenalnya baik-baik, dan sikap keras itu justru merupakan satu di antara sifatnya yang menarikku. Saya.... saya mohon bantuan, Tai-hiap, sukalah menjadi perantara membuka percakapan tentang itu. Kalau sudah dimulai, agaknya saya akan berani mengemukakan kepadanya.”

Kam Hong mengerutkan alisnya. Sungguh tugas yang berat. Dia sendiri, walaupun dilawannya sendiri dengan melihat kenyataan bahwa dia tidak pantas menjadi jodoh sumoinya, dia telah jatuh cinta kepada dara itu. Dan kini dia diminta tolong untuk menjadi perantara perjodohan dara itu dengan orang lain!

Akan tetapi, bukanlah ini yang dia kehendaki? Bukankah dia akan merasa girang kalau Ci Sian menjadi jodoh Cin Liong, bahkan lebih baik malah daripada menjadi jodoh Hong Bu? Ci Sian mungkin akan marah kepadanya. Akan tetapi biarlah. Dia harus dapat mengambil keputusan yang tepat dan melihat kenyataannya bagaimana. Dia masih tidak dapat menerima kenyataan bahwa sumoinya hanya mencinta dia seorang. Agaknya tidak mungkin kalau di samping dia terdapat pemuda-pemuda seperti Hong Bu dan Cin Liong yang mencintanya bahkan mengajukan pinangan kepadanya!

“Sumoi....!” dia memanggil, suaranya terdengar agak gemetar.

Gadis itu menoleh. Melihat suhengnya menggapai, ia lalu menghampiri setengah berlari. Nampak masih kekanak-kanakan ketika ia berlari-lari itu, akan tetapi juga manis sekali. Ci Sian tersenyum memandang kepada Cin Liong.

“Nah, sudah selesaikah urusan besar yang teramat penting itu?”

“Belum, Sumoi, bahkan baru dimulai.”

“Eh, kalau begitu mengapa memanggil aku?”

“Karena urusan ini memang mengenai dirimu. Duduklah, Sumoi dan dengarlah baik-baik,”

Kata Kam Hong, Ci Sian mengerutkan alisnya, sejenak memandang kepada Cin Liong dengan sinar mata tajam penuh selidik, akan tetapi ia duduk juga di atas batu besar yang banyak terdapat di situ.

“Ada apa sih, begini penuh rahasia?”

“Begini, Sumoi. Saudara Kao Cin Liong ini pernah bersama ayah bundanya pergi berkunjung kepada Ayahmu di Cin-an, kemudian sekarang ia mencari kita. Adapun keperluannya adalah untuk meminangmu, Sumoi, engkau dilamar untuk menjadi isteri Saudara Kao Cin Liong....”

“Suheng! Lagi....? Engkau.... engkau....” dan Ci Sian lalu menangis!

Tentu saja Cin Liong terkejut bukan main sedangkan Kam Hong hanya termenung saja, maklum bahwa kembali dia telah menyakiti hati sumoinya.

“Nona Bu Ci Sian, maafkanlah aku....” kata Cin Liong. “Sungguh mati, aku meminangmu dengan hormat, sama sekali tidak bermaksud menyinggung perasaanmu....”

“Kau tahu apa tentang menyinggung hati? Kalian laki-laki sungguh memandang rendah kaum wanita! Kenapa laki-laki tidak mau tahu tentang perasaan hati wanita? Kenapa tanpa meneliti perasaan wanita, mudah saja datang melamar seolah-olah wanita itu barang dagangan yang boleh saja ditawar orang seenak perutnya? Kam-suheng, kalau memang engkau begitu benci kepadaku, bilang saja terus terang dan aku pasti akan pergi dari sampingmu, entah apa jadinya denganku! Tidak perlu engkau mendorongku untuk menjadi isteri orang lain! Tak kusangka kau.... sekejam ini....”

“Sumoi, sama sekali tidak begitu....”

“Nona Bu, sekali lagi maafkanlah aku....”

Akan tetapi Ci Sian sudah mencabut sulingnya dan menghadapi Cin Liong sambil menantang.
“Jenderal Kao Cin Liong! Engkau telah meminangku melalui ayah kandungku, juga engkau telah meminangku kepada Kam-suheng yang agaknya tidak peduli kepadaku dan ingin melihat aku menjadi isteri siapapun juga dan mau memberikan aku kepada pria pertama yang mau datang meminangku. Sekarang engkau dengarlah syaratku. Aku mau menjadi isterimu asal engkau dapat mengalahkan aku dan dapat menewaskan aku di sini. Majulah!”

Wajah Cin Liong menjadi pucat seketika dan dia merasa jantungnya seperti ditusuk. Dia telah salah sangka! Dara ini tidak mencintanya, melainkan mencinta Kam Hong! Akan tetapi agaknya Kam Hong tidak tahu akan hal ini, maka pendekar itu seperti mendorong sumoinya untuk menerima pinangan orang lain. Tapi dia sendiri dapat melihat dengan jelas dan tahulah dia mengapa Ci Sian marah-marah, yaitu karena sikap Kam Hong itulah. Dia menarik napas panjang dan menundukkan mukanya.

“Sumoi, harap engkau jangan bersikap begini!”

Kam Hong yang jadi terkejut sekali mendengar tantangan Ci Sian terhadap Cin Liong, menegur. Akan tetapi tegurannya ini bagaikan minyak yang menyiram api, membuat kedukaan dan kemarahan dalam hati Ci Sian menjadi semakin berkobar. Dengan kedua mata yang agak kemerahan karena menangis tadi, ia menoleh dan memandang wajah suhengnya.

“Suheng, daripada engkau mendorong-dorongku untuk menjadi isterinya, lebih baik engkau membelanya sekali dan biarlah aku mati di tangan kalian. Majulah dan keroyoklah aku!”

“Sumoi....!”

Cin Liong sudah maju mendekati Ci Sian dan menjura, mukanya masih pucat akan tetapi dengan gagahnya pemuda ini menekan perasaan nyeri dan mencoba untuk tersenyum.

“Nona Bu Ci Sian, ternyata aku telah buta. Telah begitu lama aku mengenalmu, akan tetapi ternyata aku salah menafsirkan sikapmu kepadaku. Engkau baik kepadaku bukan karena cinta, dan cintaku bertepuk tangan sebelah. Aku tahu bahwa engkau telah mencinta orang lain, Nona, dan memang orang itu patut menerima cinta kasihmu karena dia adalah seorang yang hebat, cintanya kepadamu tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanmu. Kam-taihiap, Nona Bu, selamat tinggal, maafkanlah aku sebanyaknya dan semoga kalian berdua berbahagia.”

Tanpa menanti jawaban, Cin Liong lalu meloncat pergi dari situ meninggalkan mereka berdua. Keadaan menjadi sunyi sekali setelah Cin Liong pergi dan Ci Sian sudah menyimpan sulingnya dan membalikkan tubuhnya. Kini ia berhadapan dengan Kam Hong, saling berpandangan sampai beberapa lama dan akhirnya Kam Hong menarik napas panjang dan berkata,

“Sumoi, sungguh kasihan sekali pemuda itu. Dia tidak boleh sekali-kali dipersalahkan karena dia jatuh cinta kepadamu dan meminangmu, ah, dapat kubayangkan betapa hancur rasa hatinya....”

Akan tetapi ucapan ini sama sekali tidak dipedulikan oleh Cin Sian, bahkan seperti tidak didengarnya, matanya masih menatap wajah suhengnya dan akhirnya ia pun berkata,

“Suheng, benarkah apa yang dikatakan oleh Cin Liong tadi....?”

“Apa? Kata-kata yang mana maksudmu?”

“Tentang orang yang mencintaku tanpa pamrih untuk dirinya sendiri dan dia hanya mendambakan kebahagiaanku. Benarkah itu, Suheng?”

Di dalam suara ini terkandung nada permohonan dan pengharapan yang menggetar melalui suaranya. Sejenak Kam Hong memandang tajam, mereka saling pandang dan akhirnya Kam Hong hanya menarik napas panjang lalu mengangguk.

“Kam-suheng....!”

Ci Sian berseru dan menangis sambil menubruk suhengnya yang lalu memeluknya. Dara itu menangis di dada Kam Hong yang menggunakan tangannya untuk mengelus rambut yang hitam halus itu. Air mata membasahi bajunya dan menembus membasahi kulit dadanya, bahkan terasa seolah-olah menembus kulit dan menyiram perasaan, menimbulkan kesejukan seperti bunga kekeringan menerima curahan air hujan.

“Suheng....!” akhirnya Ci Sian dapat meredakan tangisnya dan bertanya, suaranya lirih tanpa mengangkat mukanya dari dada pendekar itu, “Kalau benar engkau mencintaku seperti cintaku kepadamu.... ya, tak perlu aku mengaku, aku memujamu sejak dahulu, Suheng.... kalau benar engkau cinta padaku, kenapa sikapmu begitu? Kenapa engkau seperti mendorongku untuk menerima pinangan orang lain?”

Kam Hong mencium rambut kepala yang bersandar di dadanya itu, Dekapannya menjadi kuat untuk beberapa lama, kemudian mengendur lagi dan dia pun berkata,

“Sumoi, semenjak aku merasakan bahwa hubungan antara kita berubah.... semenjak aku melihat gejala bahwa engkau jatuh cinta kepadaku seperti cinta seorang wanita terhadap pria, dan aku melihat kenyataan bahwa perasaan hatiku pun condong seperti itu, mencintamu bukan sebagai seorang suheng terhadap sumoinya melainkan sebagai seorang pria terhadap seorang wanita, maka aku menjadi khawatir sekali. Karena itulah maka aku dahulu sengaja meninggalkanmu bersama Sim Hong Bu....”

Pendekar itu berhenti bicara dan Ci Sian yang tadi mendengarkan penuh perhatian, lalu bertanya,
“Akan tetapi, mengapa, Suheng? Mengapa? Apa salahnya kalau kita saling mencinta sebagai wanita dan pria, bukan hanya sebagai suheng dan sumoi? Apa salahnya?”

“Ingatkah engkau akan ucapan Cin Liong tadi? Dia bermata tajam dan berotak cerdas, sekilas pandang saja dia telah dapat menyelami sampai mendalam. Aku mencinta padamu, Sumoi, dan cintaku bukan hanya untuk menyenangkan diriku sendiri. Aku ingin melihat engkau berbahagia. Aku melihat kenyataan bahwa aku adalah seorang yang sudah berusia jauh lebih tua daripadamu. Selisih antara kita belasan tahun! Aku khawatir bahwa kelak engkau akan menyesal dan tidak berbahagia di sampingku. Aku melihat betapa engkau jauh lebih tepat menjadi sisihan pendekar-pendekar muda seperti Hong Bu atau Cin Liong. Karena itulah maka aku seperti mendorongmu, aku hanya ingin melihat engkau berbahagia, Sumoi. Nah, sudah kukeluarkan semua isi hatiku....” Pendekar itu menarik napas panjang, hatinya terasa lapang setelah dia mengeluarkan semua itu.

Ci Sian melepaskan diri dari pelukan dan melangkah mundur selangkah, lalu memandang suhengnya dengan sinar mata penasaran.

“Suheng, kalau aku, mencinta hanya karena melihat usia muda, wajah tampan, kedudukan, harta benda, kepandaian dan semacamnya lagi, berarti aku hanya mencinta semua keadaan dan sifat itu, bukan mencinta orangnya. Akan tetapi aku mencintamu karena dirimu, karena engkau adalah engkau, Suheng.... mengapa bicara tentang perbedaan usia segala? Kenapa engkau yang katanya mencintaku dan ingin melihat aku berbahagia, malah tega meninggalkan aku sendirian, membiarkan aku merana dan sengsara dan menderita rindu, kemudian malah tega hendak mendorongku menjadi isteri orang lain? Suheng ingin melihat aku berbahagia, atau ingin melihat aku sengsara? Kebahagiaan hanyalah apabila aku berada di sampingmu, Suheng!”

“Sumoi, kau maafkan aku....”

Dengan penuh keharuan hati Kam Hong lalu merangkul dara itu. Ci Sian mengangkat mukanya, berdekatan dengan muka suhengnya dan seperti ada daya tarik sembrani yang kuat, entah siapa yang bergerak lebih dulu, tahu-tahu mereka telah berciuman dengan mesra.

Cinta asmara bukan sekedar terdorong oleh daya tarik masing-masing antara pria dan wanita, walaupun tentu saja dimulai oleh suatu daya tarik. Daya tarik, itu bisa saja berupa wajah rupawan, kedudukan tinggi, harta benda, kepandaian, atau keturunan keluarga orang besar. Akan tetapi juga dapat berupa sikap yang menyenangkan hati yang tertarik, tentu saja sikap ini pun bermacam-macam sesuai dengan selera masing-masing yang tertarik.

Akan tetapi, hubungan kasih sayang ini barulah mendalam dan juga membahagiakan orang yang dicintanya. Sebaliknya, cinta asmara yang didorong oleh keinginan menyenangkan diri sendiri, sudah tentu akan bertumbuk kepada banyak hal yang mendatangkan derita. Derita ini timbul karena sekali waktu tentu orang yang dicintanya itu akan melakukan sesuatu yang dianggapnya tidak menyenangkan hatinya lagi! Tiada sesuatu yang kekal di dalam kehidupan ini kecuali cinta kasih!

**** 115 ****