FB

FB


Ads

Senin, 03 Agustus 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 113

Ke manakah perginya Sim Hong Bu? Seperti telah kita ketahui, Hong Bu lari dan mencari pamannya untuk mengajak pamannya itu melakukan peminangan atas diri Ci Sian. Dan dia sudah berhasil bertemu dengan pamannya itu.

Akan tetapi Kao Cin Liong juga berhasil mengejarnya dan menyusulnya sehingga tak dapat dihindarkan lagi terjadilah perkelahian di antara mereka. Perkelahian yang amat seru dan mati-matian dan tentu akhirnya akan menimbulkan akibat hebat, dan mungkin tewasnya seorang di antara mereka kalau saja tidak muncul Kao Kok Cu yang melerai.

Setelah ternyata bahwa kaisar yang baru telah menyatakan bahwa pedang Koai-liong-kiam itu adalah hak milik keluarga Cu, maka tentu saja antara Hong Bu dan keluarga Kao tidak ada permusuhan lagi. Mereka bahkan menjadi sahabat dan berpisah sebagai sahabat.

Setelah berpisah dari Kao Cin Liong dan ayahnya, Sim Hong Bu lalu mengajak pamannya pergi ke Cin-an untuk mengajukan lamaran atas diri Ci Sian kepada keluarga Bu. Dan Bu Seng Kin, seperti jawabannya terhadap lamaran keluarga Kao, juga menyuruh Hong Bu untuk langsung saja melamar kepada Ci Sian atau kepada suheng gadis itu karena dia sendiri tidak berkuasa atas diri puterinya itu.

Mendapatkan jawaban ini, Hong Bu lalu pergi mencari Ci Sian dan memang dia pergi ke Lok-yang karena pamannya hendak pergi mencari keluarga yang jauh di dekat Lok-yang. Setelah tiba di Lok-yang keduanya saling berpisah dan Hong Bu melanjutkan perjalanannya seorang diri mencari Ci Sian.

Ketika Cu Pek In tiba di Lok-yang, selain Cu Kang Bu dan Yu Hwi yang juga berada di kota itu, sesungguhnya Hong Bu juga berada di situ. Hanya pemuda ini tidak bermalam di kota, melainkan di luar kota, di dalam sebuah kuil tua karena pemuda ini telah dapat mengikuti jejak Ci Sian dan Kam Hong!

Pada pagi hari itu, Kam Hong dan Ci Sian sedang mengamati pemandangan yang amat indah di lembah Sungai Huang-ho di utara kota Lok-yang. Lembah itu sunyi karena memang mereka menghindari tempat ramai. Sambil memandang di atas air yang tenang karena baru saja arusnya terpatahkan di selokan, Ci Sian melamun dan akhirnya berkata.

“Suheng, sudahlah kita tidak perlu mengejar dan mencari orang she Sim itu. Kalau memang dia yang menghendaki untuk melanjutkan adu ilmu antara Koai-liong Kiam-sut dan Kim-siauw Kiam-sut, biar dia yang mencari kita. Melihat sungai yang amat lebar dan tenang ini, timbul niatku untuk melakukan perjalanan melalui air. Kalau kita naik perahu mengikuti aliran sungai ini, kita akan sampai ke manakah, Suheng?”

“Air sungai Huang-ho ini akan membawa kita kembali ke Cin-an lagi, kemudian masuk Laut Po-hai,” jawab Kam Hong.

“Dan dari sana ke kota raja apakah masih jauh?”

“Tentu lebih dekat daripada dari sini.”

“Kalau begitu, mari kita menyewa perahu, Suheng.”

“Ah, mana mungkin ada orang mau menyewakan perahu untuk dipakai melalui jarak sejauh itu? Pemilik perahu tentu mengalami kesukaran untuk kembali ke sini menentang arus. Dan sewanya akan mahal sekali, mungkin sewanya itu sudah cukup untuk membeli sebuah perahu kecil.”

“Wah, kalau begitu kita beli saja. Kita dayung sendiri, kan terbawa arus air, jadi tak perlu membuang banyak tenaga. Kita mancing setiap hari, makan daging ikan setiap hari. Wah, senangnya!”

Kam Hong tertawa dan memandang kepada sumoinya. Betapa sumoinya ini kadang-kadang masih seperti anak kecil saja. Dan dia pun menarik napas panjang. Memang, dibandingkan dengan dia, sumoinya masih seperti anak kecil. Dia sendiri sudah berusia hampir tiga puluh lima tahun sedangkan sumoinya ini hanya seorang dara remaja berusia paling banyak sembilan belas tahun! Dia merasa sudah tua dan tidak pantas berdekatan dengan sumoinya.

“Kenapa kau tertawa lalu menarik napas, Suheng? Heran, habis tertawa kok menarik napas, engkau ini bergembira atau berduka?”

“Suka dan duka hanya seperti siang dan malam, muncul silih berganti, Sumoi, demikian pula dengan senang dan susah. Membayangkan melakukan perjalanan melalui air, tentu saja yang terbayangkan hanya senangnya saja, akan tetapi kalau sudah dilaksanakan, barulah muncul susah-susahnya. Di dunia ini tidak ada kesenangan kekal atau kesusahan kekal, selalu silih berganti menguasai kehidupan manusia.”

“Wah, wah, sepagi ini sudah berfilsafat, Suheng! Apakah engkau mencari sesuatu yang kekal?”

“Tidak, Sumoi, karena aku tahu bahwa tidak ada yang kekal dalam hidup ini. Mencari-carinya sama saja dengan mimpi di siang hari! Aku siap menerima segala sesuatu dalam hidup ini, Sumoi, menghadapi apa adanya tanpa keluhan. Kalau memang diri sudah tua dan buruk, apa perlunya mengeluh?”

Ci Sian memandang wajah suhengnya dan tertawanya bebas karena gadis ini tidak pernah berpura-pura di depan suhengnya, tidak pernah menyembunyikan keburukannya, maka di depan suhengnya ia dapat tertawa bebas tanpa berusaha untuk bersikap seperti orang yang hendak bersopan-sopan.

“Wah, lihat kakek-kakek ini yang berfilsafat dan merasa sudah tua dan pikun! Wahai Suheng, siapa bilang engkau tua dan pikun dan jelek? Aku kadang-kadang merasa jauh lebih tua daripada Suheng!”

“Kadang-kadang? Kalau sedang bagaimana kau merasa lebih tua?”

“Kalau sedang begini ini. Kalau Suheng sedang menyesali nasib dan usia tua seperti itu. Sudah, mari kita mencari perahu untuk kita beli Suheng.”

Akan tetapi tiba-tiba Kam Hong menyentuh lengannya.
“Ssttt, ada orang datang....” bisiknya.






Mereka berdua menanti karena memang nampak ada bayangan orang berlari cepat sekali menuju ke tempat itu dan setelah orang itu tiba di depan mereka, dapat dibayangkan betapa kaget dan heran hati mereka melihat bahwa yang muncul di depan mereka itu adalah Sim Hong Bu!

Melihat pemuda ini, Kam Hong tersenyum.
“Ah, ternyata benar kata orang jaman dahulu bahwa dunia ini sesungguhnya tidak begitu luas seperti disangka orang. Kami mencari-carimu setengah mati tanpa hasil, dan sekarang engkau muncul di sini, Adik Sim Hong Bu!”

Hong Bu sudah dapat menenangkan hatinya yang berdebar kencang ketika melihat Ci Sian. Hatinya girang bukan main bahwa akhirnya dia dapat menemukan gadis ini, dan dalam pandangannya, Ci Sian semakin cantik menarik, lincah dan gagah saja.

“Engkau mencariku, Kam-taihiap? Sungguh, aku pun sudah lama mencari-carimu dan.... eh, Nona Ci Sian.”

“Hemm, mau apa engkau mencariku, Hong Bu?” tiba-tiba Ci Sian berkata. “Apakah hendak menantangku lagi?” Di dalam pertanyaannya terkandung tantangan.

“Ada dua hal yang mendorong untuk mencari kalian,” kata Hong Bu dan dia berusaha sekuat tenaga untuk menekan debar jantungnya.

Hampir saja dia tidak berani mengeluarkan kata-kata berikutnya, akan tetapi dia menjadi nekad. Kalau tidak sekarang dikeluarkan isi hatinya, mau tunggu kapan lagi? Maka dia pun menarik napas panjang, mengumpulkan kekuatan, lalu berkatalah dia dengan sikap gagah dan suara lantang.

“Kam-taihiap dan Nona Bu Ci Sian, dengarlah baik-baik. Aku bersama seorang pamanku telah pergi menemui dan menghadap Bu-locianpwe di Cin-an dan kami telah mengajukan pinangan kepadanya, untuk meminangmu, Nona. Akan tetapi Bu-locianpwe mengatakan bahwa aku harus mencarimu dan menyatakan ini kepadamu dan kepada Kam-taihiap. Nah, sekarang aku sudah menemukan kalian dan di sini aku menyatakan bahwa aku meminang Nona Bu Ci Sian untuk menjadi jodohku, Kam-taihiap.”

Ucapan ini sungguh di luar dugaan Ci Sian dan Kam Hong. Kam Hong menahan senyumnya dan memandang wajah pemuda itu dengan kagum dan dengan hati senang. Betapa gagahnya pemuda ini, begitu jujur dan terbuka. Sungguh merupakan pemuda yang memang tepat kalau menjadi jodoh sumoinya! Akan tetapi setelah sejenak melongo dengan muka agak pucat mendengar pinangan itu, Ci Sian lalu meledak karena marahnya!

“Tidak! Aku tidak mau! Engkau manusia lancang, enak saja melamar orang seperti hendak membeli bakpao saja! Aku tidak mau, aku tidak suka, aku.... aku benci padamu!”

“Ci Sian, jangan tergesa-gesa menjawab dan tidak boleh engkau menghadapi pinangan orang seperti itu,” Kam Hong menegur, terkejut melihat sikap itu.

“Tidak, tidak adil! Suheng, biarpun engkau suhengku, kalau engkau menerima pinangan orang terhadap diriku, nah, engkau boleh kawin dengan orang itu! Aku tidak sudi!”

Ci Sian berteriak-teriak marah dan matanya mulai basah dengan air mata. Baik Kam Hong, terutama sekali Sim Hong Bu, sama sekali tidak pernah menduga bahwa tanggapan Ci Sian akan seperti itu terhadap pinangan yang diajukan oleh Hong Bu. Wajah Hong Bu menjadi pucat sekali dan sinar matanya sayu, membayangkan perihnya hati mendengar jawaban Ci Sian yang sudah amat jelas itu. Ci Sian sama sekali tidak membalas cintanya, bahkan membencinya!

“Maaf.... maaf.... bukan maksudku untuk menyusahkan orang lain....” kata Hong Bu, mukanya pucat dan dia menundukkan mukanya. “Aku sudah mengatakan urusan pertama yang hendak kusampaikan, yaitu pinangan dan aku telah ditolak, bukan salah siapa-siapa melainkan salahku sendiri yang tidak tahu diri....”

“Sim Hong Bu, setiap pinangan tentu mempunyai dua macam jawaban, diterima atau ditolak, hal itu wajar saja kukira. Dan urusan jodoh adalah urusan hati dua orang yang bersangkutan, maka engkau agak terburu-buru kukira, sebelum melihat lebih dulu bagaimana keadaan hati orang lain dalam urusan ini. Betapapun, semua sudah terlanjur dan aku kagum akan kejujuranmu, juga aku ikut menyesal atas kegagalanmu. Lalu ada sebuah soal lagi yang hendak kau bicarakan, apakah itu, Saudara Sim?”

“Maafkan, Kam-taihiap. Engkau selalu amat bijaksana dan gagah, sejak dahulu aku kagum sekali, dan terima kasih atas hiburanmu tadi. Memang salahku sendiri maka urusan pertama aku tidak berhasil. Maka biarlah sekarang kusampaikan urusan ke dua kepadamu, Tai-hiap. Bukan lain aku mencarimu untuk memenuhi tugas yang diberikan oleh guru-guruku, yaitu untuk menentukan mana yang lebih unggul antara Ilmu Pedang Naga Siluman dan Ilmu Pedang Suling Emas. Kuharap sekali ini engkau tidak berlaku kepalang tanggung, Kam-taihiap. Aku mohon petunjukmu!”

Setelah berkata demikian, Sim Hong Bu yang wajahnya masih pucat dan sepasang matanya masih suram itu mencabut pedang Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar pedang biru menyilaukan mata.

“Kau menantang....?”

Ci Sian berseru, akan tetapi Kam Hong sudah memegang lengannya dan berkata dengan suara yang lembut akan tetapi mengandung wibawa.

“Sumoi, serahkan urusan ini kepadaku. Akulah yang dahulu mengalahkan keluarga Cu dan menimbulkan rasa penasaran ini.” Kemudian pendekar ini melangkah maju menghadapi Sim Hong Bu sambil berkata, “Baiklah, Sim Hong Bu. Kalau engkau berkeras hendak memenuhi pesan gurumu yang hanya terdorong oleh rasa penasaran di dalam hatinya, aku tidak akan mengecewakan hatinya. Akan tetapi, apakah engkau menyadari bahwa permusuhan yang ditanam oleh pihak keluarga Cu ini sungguh tidak bijaksana? Di antara kita sesungguhnya tidak ada permusuhan apapun juga.

Dahulu, nenek moyangku secara kebetulan memperoleh pusaka Suling Emas. Kemudian aku sebagai turunannya yang terakhir, secara kebetulan pula mewarisi Ilmu Suling Emas. Bukankah itu sudah jodoh namanya? Biarpun penciptanya adalah nenek moyang keluarga Cu, apa salahnya kalau terjatuh kepada orang lain? Bukankah kini Ilmu Pedang Naga Siluman yang berasal dari keluarga Cu juga diwarisi oleh seorang she Sim? Saudara Sim Hong Bu, hendaknya engkau menyadari hal itu.”

Tentu saja Hong Bu tahu akan hal itu dan memang tadinya dia sudah lemah semangat untuk menantang Kam Hong mengadu ilmu, apalagi semenjak dia bertemu dan mendengar nasihat dari Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir. Akan tetapi, setelah dia gagal dalam urusan cintanya terhadap Ci Sian, setelah dia patah hati, dia tidak peduli lagi dan biarlah kalau urusan kebaktian yang keliru terhadap gurunya ini gagal pula, dia rela mati di tangan seorang pendekar seperti Kam Hong.

“Kam-taihiap, aku memang sudah keliru segala-galanya, maka biarlah kekeliruan berbakti kepada guruku ini merupakan kekeliruan yang terakhir. Keluarkanlah senjatamu dan mari kita segera laksanakan pesan guruku. Hendak kulihat sampai di mana sesungguhnya kehebatan Ilmu Suling Emas itu dan kuharap engkau tidak berlaku kepalang tanggung sekali ini. Marilah!”

Biarpun agak ragu-ragu dan setengah hati, Kam Hong mengeluarkan juga suling emasnya. Pendekar ini dapat menduga, melihat sikap dan mendengar suara pemuda itu bahwa memang Sim Hong Bu agaknya sengaja, terdorong oleh kepedihan hati oleh penolakan Ci Sian yang kasar tadi. Dia menarik napas panjang dengan penuh penyesalan.

“Aku dapat membayangkan betapa para nenek moyang keluarga Cu yang menjadi pencipta Ilmu Pedang Suling Emas dan Naga Siluman akan mengeluh dan menyesal bahwa ciptaannya hanya akan saling berlawanan, padahal sudah sepatutnya kalau saling bekerja sama untuk menghadapi kejahatan di dunia ini. Silakan, Saudara Sim!”

Maklum bahwa lawannya juga sungkan, maka Sim Hong Bu yang merasa sebagai penantang lalu menggerakkan pedangnya melakukan serangan pembukaan. Kam Hong juga menggerakkan sulingnya dan mulailah mereka saling serang.

Mula-mula memang ada keraguan dan kesungkanan dalam hati mereka sehingga serangan-serangan mereka itu tidak dilakukan dengan tenaga sepenuhnya, akan tetapi sebagai ahli-ahli silat di mana ilmu silat itu telah mendarah daging kepada tubuh mereka, makin lama mereka menjadi semakin bersemangat karena menghadapi lawan yang amat tangguh. Maka gerakan senjata mereka menjadi semakin cepat dan berat dan tak lama kemudian, lenyaplah kedua orang itu terselimut gulungan sinar emas dan sinar biru yang menyilaukan mata.

Terdengar pula suara pedang seperti suara mengaum-aum dan suara suling yang melengking-lengking, dan angin yang amat keras menyambar, membuat daun-daun pohon di sekitar tempat itu bergoyang-goyang dan kadang-kadang seperti dilanda angin berpusing.

Ci Sian sendiri bengong, kagum sekali menyaksikan pertandingan yang amat hebat ini. Diam-diam harus diakuinya bahwa ilmu pedang yang dimainkan oleh Sim Hong Bu memang hebat bukan main, dan agaknya sama sekali tidak kalah dibandingkan dengan Kim-siauw Kiam-sut yang dimainkan dengan suling emas itu.

Sebagai seorang ahli, ia pun dapat mengikuti gerakan mereka, walaupun kadang-kadang gerakan kedua orang itu terlalu cepat untuk dapat diikuti dengan mata. Ia melihat betapa suhengnya bersilat dengan baik sekali, hampir dapat dikata sempurna malah, memainkan Ilmu Pedang Kim-siauw Kiam-sut, akan tetapi tetap saja ia masih melihat keraguan dalam gerakan suhengnya itu, seolah-olah dia tidak menghendaki perkelahian itu dan bertanding karena terpaksa sekali.

Setelah lewat seratus jurus, keduanya sudah benar-benar bebas dari keraguan dan keduanya kini sudah lupa diri. Yang ada hanyalah kegembiraan bertanding karena baru sekarang mereka benar-benar bertemu lawan yang setanding, dan baru sekali ini mereka bertanding tanpa ada sedikit pun perasaan benci atau marah.

Kini mereka bertanding demi ilmu itu sendiri, seperti orang berlatih saja, akan tetapi jauh lebih hebat dan sungguh karena keduanya tidak mau sampai kalah. Maka, kini hanya jurus-jurus yang paling ampuh sajalah yang mereka keluarkan dan di dalam hati mereka penuh kekaguman terhadap lawan.

Sukar dilihat siapa yang terdesak dan siapa yang mendesak antara keduanya, karena betapapun juga, setelah kini mereka melihat intinya, ada unsur-unsur yang sama dalam dasar ilmu pedang mereka. Hanya dalam hal tenaga dalam, Sim Hong Bu harus mengakui bahwa dia masih kalah setingkat! Akan tetapi, Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut demikian hebatnya sehingga kekalahan tenaga ini dapat ditutupnya dengan gerakan cepat dan aneh sehingga dia tidak harus mengadu tenaga secara langsung.

Serang menyerang terjadi, tikaman dan totokan ditukar, bacokan dan pukulan silih berganti, dan bukan hanya senjata mereka yang saling menyambar, melainkan juga tangan kiri mereka sering kali melakukan totokan dan pukulan maut yang amat hebat, yang kalau ditangkis menimbulkan getaran yang bahkan terasa pula oleh Ci Sian yang berdiri di pinggir.

Setelah lewat dua ratus jurus, Ci Sian memandang dengan alis berkerut. Sebagai seorang ahli, maklumlah dara ini bahwa perkelahian sehebat ini kalau dilanjutkan, tentu hanya berakibat robohnya seorang di antara mereka, mungkin roboh untuk tidak dapat bangkit kembali atau tewas. Setiap serangan yang dilakukan mereka itu adalah serangan maut yang amat hebat, yang kalau mengenai lawan sudah pasti akan merenggut nyawa lawan!

Memang benarlah apa yang dipikirkan oleh Ci Sian ini. Setelah lewat dua ratus jurus Kam Hong yang lebih matang dalam hal latihan, dan juga memang lebih sempurna menguasai ilmunya, dapat melihat kelemahan-kelemahan yang walaupun sedikit dalam gerakan Hong Bu, namun cukuplah untuk dimasukinya dengan serangan kilat yang akan membuat lawan roboh.

Akan tetapi pendekar ini tidak tega merobohkan Hong Bu dengan serangan maut. Dia sama sekali tidak ingin melukainya dengan berat. Timbul keraguan dalam hatinya. Apa gunanya kalau dia menang? Sebaliknya, andaikata dia mengalah sekalipun, hal itu pasti akan diketahui oleh Sim Hong Bu dan juga oleh Bu Ci Sian dan tidak akan ada manfaatnya lagi, bahkan mungkin Hong Bu akan merasa tersinggung kalau dia sengaja mengalah.

Maka, sebaiknya kalau dia memberi isyarat kepada pemuda itu bahwa dia tidak ingin bermusuhan dan bahwa dia bersedia menghentikan pertandingan itu dan bersedia pula mengalah. Oleh karena itu, ketika dia kembali melihat lowongan yang merupakan kekosongan atau kelemahan dari lawan, secepat kilat sulingnya meluncur ke arah kiri dada Hong Bu dan sebelum pemuda ini dapat menghindarkan diri karena memang posisinya sudah terdesak dan terkurung, tahu-tahu ujung suling sudah mengenai dada kirinya.

“Duk!”

Sim Hong Bu terkejut bukan main karena biarpun ujung suling itu dengan tepat sekali mengenai dada, namun tidak terasa apa-apa dan totokan tadi sama sekali tidak mengandung kekuatan sin-kang sehingga ketika mengenai kulit dadanya lalu membalik!

Dari heran, Hong Bu menjadi merah mukanya karena dia pun maklum bahwa lawannya sengaja tidak mengisi tenaga pada totokan tadi, dan hal ini hanya dapat diartikan bahwa lawan memang tidak menghendaki berkelahi dengannya. Padahal, dia pun mengerti benar bahwa kalau tadi Kam Hong mengisi totokannya dengan tenaga sin-kang, dia tentu sudah roboh, kalau tidak mati seketika, sedikitnya tentu terluka parah atau roboh tertotok dan kalah.

Jelaslah bahwa pendekar yang dikagumi dan dihormatinya itu memang sengaja tidak mau mengalahkannya, hal ini benar-benar membuat dia merasa berterima kasih akan tetapi juga membuka matanya bahwa dia kalah jauh dalam hal pengalaman dibandingkan dengan pendekar sakti ini. Maka, kalau dia melanjutkan pertandingan itu, sama saja dengan mengaku bahwa dia tidak tahu diri!

“Trang....!”

Pedang bertemu dengan suling dan pedang itu terlepas dari tangan Hong Bu. Pemuda ini melangkah mundur dan menjura.

“Kam-taihiap, saya Sim Hong Bu yang mewakili keluarga Cu mengaku bahwa di tanganku, Koai-liong Kiam-sut telah kalah melawan Kim-siauw Kiam-sut!” Lalu dia menjura lagi dan mengambil pedangnya dari atas tanah.

“Saudara Sim Hong Bu, engkau terlalu merendah. Koai-liong Kiam-sut hebat bukan main dan kalau toh aku dapat mengunggulimu sedikit, hal itu bukan karena ilmunya, melainkan karena engkau kalah matang dalam latihan dan pengalaman. Ilmu pedangmu hebat bukan main!”

“Apa ini? Saling mengalah dan saling merendah! Sim Hong Bu, kakak seperguruanku memang lemah. Biarlah aku yang mewakili Kim-siauw Kiam-sut, ingin kucoba sampai di mana hebatnya Koai-liong Kiam-sut, dan antara kita tidak perlu ada sungkan-sungkanan dan mengalah segala macam!”

Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang dengan suling emasnya, serangan maut yang hebat sekali sehingga terpaksa Hong Bu menangkis.

“Cringggg....!” Bunga api berpijar saking kerasnya pertemuan senjata itu.

“Sumoi, jangan....!” teriak Kam Hong.

“Ci Sian, aku sudah mengaku kalah,” kata Hong Bu, suaranya mengandung kegetiran hati.

Dia telah patah hati dan dia tadi menghendaki tewas di tangan pendekar sakti Kam Hong, siapa kira pendekar itu mengalah dan dia kalah tanpa terluka sedikit pun. Hal ini membuatnya merasa perih sekali karena dibiarkan hidup menderita patah hati!

“Tidak, tadi Suheng telah banyak mengalah dan engkau sengaja membiarkan pedangmu lepas. Kau kira siapa aku ini? Anak kecil yang mudah saja dibodohi? Hayo, lawan aku, kalau engkau tidak berani dan kalau engkau takut, selanjutnya engkau harus mengaku sebagai seorang pengecut!”

“Ci Sian....!” Hong Bu berseru, jantungnya seperti ditusuk rasanya.

“Sumoi, engkau terlalu....!”

“Engkau berpihak kepadanya, Suheng? Boleh, kau berdua keroyoklah aku!”

Berkata demikian, Ci Sian sudah menyerang lagi kepada Hong Bu yang terpaksa harus menggerakkan pedang dan melindungi dirinya kalau tidak mau mati konyol. Hatinya berduka bukan main. Tentu saja pantang baginya untuk hidup sebagai pengecut! Maka terpaksa dia pun menangkis dan balas menyerang sehingga sesaat kemudian mereka berdua telah bertanding dengan seru dan hebat.

Kam Hong berdiri bingung sekali, tidak mengerti mengapa sumoinya demikian marah dan membenci Hong Bu. Pada saat itu muncul tiga orang yang bukan lain adalah Cu Kang Bu, Yu Hwi, dan Cu Pek In! Mereka bertiga itu akhirnya dapat menemukan jejak Sim Hong Bu dan tiba di tempat itu pada saat Hong Bu sedang bertanding dengan hebatnya melawan Ci Sian.

Melihat ini Cu Pek In sudah hendak meloncat untuk membantu suhengnya, akan tetapi Cu Kang Bu memegang lengannya. Pendekar ini melihat betapa Kam Hong berdiri di situ sejak mereka datang dan sama sekali tidak membantu Ci Sian. Oleh karena itu, kalau sekarang dia serombongan datang-datang lalu membantu Sim Hong Bu, sungguh hal ini merupakan suatu kecurangan yang membikin malu.

Inilah sebabnya maka dia mencegah keponakannya untuk membantu Hong Bu. Dan pendekar tinggi besar ini pun sudah memandang penuh dengan kekaguman karena pertandingan antara mereka itu sungguh hebat luar biasa. Baru sekaranglah dia dapat mengagumi Ilmu Pedang Koai-liong Kiam-sut yang diwarisi oleh Hong Bu, akan tetapi dia juga berkesempatan menyaksikan kehebatan suling emas di tangan dara itu. Hebat sekali! Kedua ilmu itu sungguh merupakan ilmu yang jarang dapat ditemukan tandingannya di dunia ini.

Akan tetapi hanya Kam Hong seorang yang sudah dapat mengenal kedua ilmu itu dan dapat mengikuti pertandingah itu dengan amat jelas yang melihat kenyataan betapa Sim Hong Bu kini selalu mengalah terhadap Ci Sian! Kalau tadi dia sendiri mengalah terhadap Sim Hong Bu, mengalah sedikit saja, kini Hong Bu mengalah secara keterlaluan! Pemuda itu tidak pernah melakukan serangan yang sungguh-sungguh, sebaliknya, Ci Sian yang melakukan serangan dengan jurus-jurus terampuh dari Ilmu Kim-siauw Kiam-sut.

Sementara itu, ketika Hong Bu melihat datangnya susioknya dan dua orang wanita yang tidak dilihatnya jelas karena dia didesak hebat oleh lawan, hatinya terguncang dan kedukaannya memuncak, maka ketika itu gerakannya menangkis kurang tepat dan kurang kuat.
“Tokkk!”

Ujung suling itu mengenai lehernya, dan biarpun dia sudah miringkan kepalanya, masih saja ujung suling itu mengenai pangkal lehernya. Serangan ini hebat sekali dan Hong Bu terjungkal dan terbanting, tak mampu bergerak lagi!

“Suheng....!”

Cu Pek In menjerit dan menubruk tubuh itu sedangkan Kam Hong sudah menarik tangan Ci Sian yang juga terbelalak memandang ke arah Hong Bu, wajahnya agak pucat karena ia tidak bermaksud membunuh Hong Bu dan kini melihat pemuda itu terjungkal, hatinya merasa ngeri karena ia khawatir kalau-kalau ia telah kelepasan tangan membunuh orang yang sebenarnya amat disukainya itu!

Pek In sudah menangis sambil memeluk tubuh Hong Bu yang tak bergerak seperti mayat itu. Mata pemuda itu mendelik dan mukanya pucat, napasnya berhenti! Cu Kang Bu cepat memeriksa dan mengurut beberapa jalan darah di dada, punggung dan leher, maka nampaklah Hong Bu mengeluh lirih dan napasnya pun berjalan kembali.

“Dia akan sembuh....” kata Cu Kang Bu dan melihat ini, Kam Hong dan Ci Sian merasa lega bukan main.

“Maafkan kami!” kata Kam Hong sambil menjura ke arah Cu Kang Bu, kemudian ia memegang tangan sumoinya dan menariknya pergi meninggalkan tempat itu.