FB

FB


Ads

Jumat, 31 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 108

Diam-diam Kao Cin Liong amat kagum terhadap Sim Hong Bu yang dalam pertemuannya dengan para pendekar patriot itu telah muncul dengan gagah perkasa, menantang dia dan bahkan menantang suheng dari Ci Sian yang bernama Kam Hong itu.

Akan tetapi dia mengerutkan alisnya kalau teringat betapa pemuda itu menjadi demikian bingungnya ketika dihadapi dan diserang oleh Ci Sian, bahkan dia pun melihat dengan jelas betapa Hong Bu terus mengalah, bahkan kemudian melarikan diri, bukan karena takut kepadanya atau kepada Ci Sian, melainkan karena jelas bahwa pemuda itu sama sekali tidak mau menghadapi Ci Sian sebagai musuh.

“Dia mencinta Ci Sian!” demikianlah berkali-kali hatinya berkata dengan perasaan tidak nyaman.

Dia sendiri juga jatuh cinta kepada Ci Sian dan agaknya kini dia menemui seorang saingan berat dalam diri Sim Hong Bu, pemuda gagah perkasa ahli waris keluarga Cu yang telah mewarisi pula pedang pusaka Koai-liong Po-kiam itu.

Cin Liong menjadi semakin kagum ketika dia melakukan pengejaran dan sampai berpekan-pekan, bahkan lebih dari sebulan, belum juga dia mampu menyusul Hong Bu. Memang dia telah menemukan jejak pemuda itu dengan penyelidikan dan bertanya-tanya, akan tetapi Hong Bu selalu lenyap dengan cepatnya, bahkan setelah dia mengejar ke barat, tiba-tiba saja jejak pemuda itu menuju ke utara, ke kota raja!

Di dalam perjalanan mencari dan mengikuti jejak Hong Bu ini, Cin Liong mendengar tentang Kaisar yang jatuh sakit berat dan betapa kini Pangeran Kian Liong yang menjadi pejabat dan pelaksana yang tertinggi. Dia merasa amat girang dan percaya sepenuhnya bahwa Pangeran itu tentu akan mengadakan perubahan-perubahan bijaksana seperti yang seringkali dikatakan dan dijanjikan oleh Pangeran itu membuatnya menjadi lega dan dengan hati tenang dia melanjutkan pengejarannya dan ketika dia tiba di kota Pao-ting di sebelah selatan kota raja, dia mendengar bahwa pemuda yang dikejarnya itu menuju ke hutan di sebelah barat kota itu, di Pegunungan Thian-hong-san.

Keterangan ini didapatnya dari para penjaga kota yang mengenal jenderal muda ini, karena Pao-ting tidak jauh dari kota raja dan nama Kao Cin Liong amat dikenal karena kegagahannya. Dia cepat melakukan pengejaran ke daerah hutan di kaki pegunungan itu dan pada keesokan harinya pagi-pagi dengan hati berdebar dan juga girang dia melihat orang yang diburunya itu berada di bawah pohon bersama seorang laki-laki berusia kurang lebih empat puluh tahun yang berpakaian seperti seorang pemburu.

Siapakah pria berpakaian pemburu itu? Dan mengapa Hong Bu pergi ke tempat itu, di dalam hutan sunyi? Seperti kita ketahui, Hong Bu bingung bukan main ketika melihat Ci Sian menyerangnya kalang-kabut dan bahkan semakin nekat. Dia tidak takut kepada dara ini, akan tetapi melihat betapa dara itu menyerangnya dengan demikian mati-matian seperti seorang musuh besar dan berniat membunuhnya, hatinya terasa seperti ditusuk dan kedukaan membuat dia melupakan semua urusannya. Maka dia pun tidak kuat bertahan dan melarikan diri secepatnya karena dia khawatir kalau-kalau Ci Sian mengejarnya.

Setelah melihat dara yang amat dicintanya itu menganggapnya sebagai musuh, Hong Bu menjadi lemas dan lenyap semua semangatnya untuk menghadapi orang-orang yang memusuhinya. Dia lalu melakukan perjalanan cepat, tidak mau kalau sampai tersusul orang. Dia bahkan tidak bernafsu untuk berkelahi dengan siapa pun, yang teringat hanya Ci Sian, dan hatinya menjadi semakin kacau membayangkan betapa dara itu menyerangnya mati-matian! Hal seperti ini tidak mungkin dibiarkan saja, pikirnya.

Dia jatuh cinta kepada Ci Sian dan satu-satunya jalan hanya meminangnya untuk menjadi isterinya! Dan dia mempunyai harapan baik karena agaknya Bu Seng Kin, pemimpin para patriot itu, suka kepadanya dan agaknya tidak akan menolak kalau dia meminang Ci Sian yang ternyata adalah puterinya! Apapun hasilnya nanti, berhasil maupun gagal hal ini akan membuat hatinya lega dan tidak bimbang seperti sekarang ini. Biarlah dia ditolak kalau dara itu memang tidak dapat membalas cintanya.

Akan tetapi harus ada ketentuan, ada kepastian, tidak seperti sekarang ini. Dia tahu bahwa sebenarnya dara itu tidak membencinya, bahkan melihat sinar mata dara itu kepadanya, dahulu sebelum terjadi pertikaian tentang permusuhan dan persaingan antara Ilmu Kim-siauw Kiam-sut dan Koai-liong Kiam-sut dia pernah melihat sinar mata dara itu bersinar-sinar mesra kepadanya. Mungkin dara itu juga ada hati kepadanya, hanya karena urusan permusuhan itu, maka kini menjadi marah dan membencinya.

Demikianlah, Hong Bu lalu mencari pamannya, satu-satunya keluarga yang masih dimilikinya, yaitu Sim Hok An, juga bekerja sebagai pemburu. Akan tetapi Sim Hok An ini bukanlah paman asli, bukan adik mendiang ayahnya seperti halnya pamannya Sim Tek yang tewas di tangan Su-ok dahulu itu, melainkan adik sepupu yang masih bernama keluarga sama, yaitu she (nama keluarga) Sim. Sim Hok An inilah satu-satunya keluarganya yang dapat menjadi walinya untuk mengajukan pinangan kepada Bu Seng Kin, meminang Ci Sian! Untuk keperluan itulah maka Hong Bu mencari-cari pamannya itu.

Tentu saja tadinya dia mencari ke tempat tinggalnya yang lama, akan tetapi dia mendengar bahwa pamannya telah pindah ke Pao-ting bersama keluarganya, yaitu seorang isteri dan dua orang anak dan cepat dia menyusul ke Pao-ting. Di tempat ini dia mendengar bahwa pamannya sedang bekerja, yaitu seperti biasa, pekerjaan memburu ke dalam hutan. Pekerjaan ini kadang-kadang sampai makan waktu seminggu. Setelah memperoleh banyak hasil buruan barulah pulang untuk menjual hasil buruan ke kota.

Maka dia pun segera menyusul ke hutan itu. Dia sama sekali tidak tahu bahwa ada orang yang selalu membayanginya atau mengejarnya, ke mana pun dia pergi. Demikianlah, akhirnya Cin Liong berhadapan dengan Hong Bu dalan hutan yang sunyi, ketika Hong Bu sedang bercakap-cakap dengan Sim Hok An, pada pagi hari itu.

“Sim Hong Bu, akhirnya aku dapat menemukan engkau!”

Cin Liong berseru dengan lantang, hatinya girang sekali karena akhirnya pengejarannya berhasil. Hong Bu yang tidak menyangka sama sekali akan dapat disusul oleh utusan Kaisar yang hendak merampas pedangnya ini, terkejut, akan tetapi mukanya segera menjadi merah karena marah. Dia meloncat bangun, berdiri dengan tegak, dan menoleh kepada pamannya.

“Maaf, Paman. Aku mempunyai urusan pribadi dengan orang ini, biarlah kuselesaikan dulu urusanku dengan dia, baru kita sambung percakapan kita tadi.”






Sikapnya tenang sekali, akan tetapi melihat sikap dua orang muda yang sama gagahnya itu, Sim Hok An yang juga sudah bangkit berdiri segera menegur.

“Hong Bu, apakah yang terjadi? Siapakah dia itu dan ada urusan apakah?”

Tentu saja pamannya dapat melihat sikap yang serius dari keduanya, maka Hong Bu lalu berkata dengan terus terang,

“Paman, aku mempunyai sebatang pedang dan orang ini hendak merampasnya, maka hal ini harus kami putuskan dengan perkelahian. Harap Paman jangan mencampuri dan berdiri agak menjauh karena orang ini adalah Jenderal Kao Cin Liong, seorang yang memiliki ilmu kepandaian tinggi sekali!”

Terkejutlah orang setengah tua itu dan dia pun segera melangkah mundur dan duduk di bawah sebatang pohon agak jauh dari situ. Dia belum tahu bahwa keponakannya yang sejak kecil telah menghilang dan kabarnya bersama dengan Sim Tek melakukan perburuan di utara dan baru sekarang pulang itu telah menjadi seorang yang amat lihai.

Setelah pamannya itu mundur, barulah Hong Bu menghadapi Cin Liong.
“Nah, Kao Cin Liong, kita telah berdiri berhadapan sekarang. Di sini tidak ada orang lain, dan Pamanku itu tentu tidak akan mencampuri. Kita adalah sama-sama laki-laki, katakanlah, apa yang kau hendaki maka engkau menyusulku ke tempat ini?”

“Sim Hong Bu, engkau tahu apa yang kukehendaki. Sayang bahwa ketika kita bertemu di rumah para pendekar itu, engkau melarikan diri....”

“Aku sama sekali tidak lari darimu, atau dari Kam-taihiap, atau dari siapa pun!”

“Kalau begitu, kenapa engkau melarikan diri?”

“Bukan urusanmu!”

Bentak Hong Bu dan mukanya berubah merah sekali, hatinya sedih karena harus bicara tentang urusan yang mendatangkan duka di hatinya itu, mengingatkan dia bahwa dia telah dimusuhi oleh Ci Sian dengan mati-matian.

“Engkau tetap menghendaki pedang Koai-liong Po-kiam yang menjadi hak milikku sebagai ahli waris keluarga Cu di Lembah Naga Siluman?”

“Hemm, maksudmu Lembah Suling Emas?”

“Bukan, sekarang namanya telah menjadi Lembah Naga Siluman! Nah, jawablah.”

“Tidak salah, memang aku mencari untuk minta dikembalikannya pedang pusaka itu. Betapapun juga, pedang itu tadinya adalah pusaka istana dan dicuri orang, maka harus dikembalikan ke sana.”

“Bagus! Jawabanku tetap seperti dahulu, yaitu engkau baru dapat merampas dan membawa pergi pedang itu melalui mayatku!”

“Baiklah, akan kucoba untuk merampasnya darimu, Hong Bu. Sesungguhnya, terus terang saja aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, dan bahkan aku tidak benci sama sekali kepadamu. Akan tetapi, engkau tahu bahwa aku adalah seorang petugas yang menerima perintah untuk merampas kembali pedang pusaka istana, dan karena engkau kebetulan orangnya yang membawa pedang itu, dan kalau engkau tidak mau menyerahkannya kepadaku dengan damai, terpaksa aku harus menggunakan kekerasan.”

“Bagus, kata-kata jantan! Aku pun ingin sekali mencoba sampai di mana lihainya putera Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir yang telah mengalahkan keluarga Cu!”

Mendengar disebutnya Naga Sakti Gurun Pasir, Sim Hok An menggigil dan mukanya pucat. Biarpun dia hanya seorang pemburu, akan tetapi keluarga Sim adalah pemburu yang berpengalaman dan banyak sekali kenalan di antara orang-orang kang-ouw, maka nama besar itu tentu saja pernah didengarnya. Juga dia mendengar tentang pedang Koai-liong Po-kiam yang lenyap dari istana itu. Siapa kira, ternyata pedang itu berada di tangan keponakannya, dan kini keponakannya itu akan bertanding melawan putera Naga Sakti Gurun Pasir. Hampir dia tidak percaya akan semua itu dan merasa seperti dalam mimpi.

Melihat betapa jenderal muda itu tidak mengeluarkan senjata, Hong Bu yang keistimewaannya hanyalah ilmu pedangnya yang memang luar biasa itu, perlahan-lahan mencabut Koai-liong Po-kiam dan nampaklah sinar kebiruan yang menyilaukan mata.

Sim Hok An terkejut dan tidak terasa lagi dia menggeser duduknya di belakang pohon dan mengintai dari balik batang pohon itu!

“Ah, memang pedang pusaka yang hebat. Pantas saja dijadikan rebutan!” kata Cin Liong.

Tadinya dia hendak mengadu kepandaian tanpa senjata karena memang di antara mereka tidak ada permusuhan atau kebencian pribadi, akan tetapi melihat betapa pemuda lawannya itu telah mengeluarkan pedang yang hendak dijadikan rebutan, dia tidak berani menghadapi pedang yang mengeluarkan sinar kebiruan seperti itu, maka Cin Liong juga mencabut pedangnya, pedang tanda pangkatnya, sebatang pedang yang terbuat dari bahan yang baik pula, yang tidak takut menghadapi keampuhan senjata pusaka. Pedangnya itu mengkilap dan kalau digerakkan mengeluarkan sinar putih seperti pedang biasa yang tajam.

Sejenak mereka berdiri berhadapan, pedang di tangan dan hati ragu-ragu. Seperti juga lawannya, Hong Bu merasa betapa janggalnya keadaan mereka berdua. Tidak saling mengenal, bahkan tidak pernah ada urusan apapun diantara mereka, tahu-tahu kini berdiri berhadapan sebagai musuh yang mungkin akan saling bunuh! Teringat pula dia kepada Ci Sian yang juga secara tiba-tiba saja berdiri menghadapinya sebagai musuh. Dan dia pun menarik napas panjang.

Sebelum menjadi murid keluarga Cu, dia sama sekali tidak pernah punya musuh! Kalau dia membenci Im-kan Ngo-ok misalnya adalah karena mereka itu jahat dan pula pamannya, Sim Tek, tewas di tangan Su-ok. Akan tetapi apa salahnya orang-orang seperti Ci Sian, Kam Hong, Kao Cin Liong dan ayahnya, Kao Kok Cu? Terutama sekali Ci Sian dan Kam Hong, sama sekali dia tidak ingin memusuhi mereka. Juga Cin Liong ini demikian gagah perkasa. Tapi kini berhadapan dengannya sebagai musuh!

“Kao Cin Liong, seperti juga kata-katamu tadi, aku tidak mempunyai permusuhan pribadi denganmu, juga tidak membencimu. Akan tetapi kita berdua, oleh tugas masing-masing, terpaksa kini berhadapan sebagai lawan. Kalau aku sampai kesalahan tangan dan engkau terluka atau tewas di tanganku, harap kau suka maafkan!”

Cin Liong tersenyum dan merasa semakin tertarik. Dia akan lebih suka menjadikan pemuda ini teman daripada lawan.

“Demikian pula aku, Sim Hong Bu. Nah, mari kita mulai saja!”

Entah siapa di antara mereka yang menyerang terlebih dahulu. Serangan yang dilakukan setengah hati dan yang mudah ditangkis lawan, kemudian menanti sampai sang lawan melakukan serangan balasan. Akan tetapi begitu mereka mengadu tenaga dan teringat bahwa lawan yang dihadapi adalah seorang yang amat lihai, mereka menambah kecepatan dan tenaga dan balasan jurus kemudian keduanya sudah saling mengerahkan kecepatan dan tenaga sin-kang mereka sehingga tubuh mereka tidak nampak lagi oleh Sim Hok An yang makin lama semakin bengong dan takjub.

Apalagi ketika terdengar suara mengaung-ngaung mengerikan dari pedang di tangan Hong Bu, orang setengah tua itu semakin menjauhi tempat itu dan memandang dengan hati penuh ketakjuban, ketegangan dan juga kengerian. Dia melihat daun-daun pohon rontok seperti tersambar pisau tajam, dan dua gulungan sinar biru dan putih itu sungguh indah dipandang, akan tetapi kalau teringat bahwa sinar-sinar itu merupakan cengkeraman-cengkeraman maut, dia menjadi ngeri.

Sementara itu, dua orang pemuda itu sendiri makin kagum terhadap lawan masing-masing. Rasa kagum yang bercampur rasa penasaran. Serangan-serangan lawan sungguh amat berbahaya, akan tetapi juga pertahanan lawan demikian kokoh kuatnya sehingga sukar ditembus oleh pedang mereka. Hanya ada perbedaan sedikit antara mereka! Koai-liong Kiam-sut sungguh merupakan ilmu pedang yang amat tangguh dan ampuh. Pedang yang diputar sampai mengeluarkan suara menggeram dan menggereng, mengaum seperti seekor binatang buas itu saja sudah menunjukkan betapa anehnya gerakan-gerakan itu.

Dan dalam hal ilmu pedang ini, harus diakui bahwa Cin Liong masih kalah kuat setingkat. Ilmu Pedang Sin-liong Kiam-sut (Ilmu Pedang Naga Sakti) adalah perombakan dari Ilmu Sin-liong-ciang-hoat, bukan ilmu pedang asli, dalam arti kata diciptakan sengaja dengan pedang. Biarpun hebat, namun gerakannya tidaklah sehebat dan seaneh Koai-liong Kiam-sut yang memang diciptakan untuk pedang yang khusus pula.

Akan tetapi, ternyata dalam hal sin-kang dan gin-kang, ternyata Hong Bu masih kalah setingkat pula. Hal ini adalah karena dasar latihan Hong Bu kalah oleh Cin Liong yang semenjak kecil sudah digembleng oleh ayahnya sendiri, yaitu Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir.

Dan karena masing-masing mempunyai kelebihan ini, maka keadaan mereka menjadi seimbang! Dengan ilmu pedangnya yang ampuh, Hong Bu berusaha mendesak lawannya, akan tetapi Cin Liong dapat menghalau semua itu dengan kelebihan tenaga sin-kang dan juga kelebihan kecepatan gerakannya, dan yang dapat membalas dengan serangan-serangan yang tidak kalah dahsyatnya.

Rasa kagum telah tidak terasa lagi kini, yang terasa hanyalah rasa penasaran dalam hati masing-masing! Memang, pementingan diri selalu paling menonjol dalam batin manusia, dan sinar kasih yang menyinar keluar itu tak tampak lagi karena tertutup oleh debu-debu, antara lain yang paling gelap adalah debu pementingan diri ini. Seperti sebuah lampu yang kacanya penuh debu sehingga sinarnya dari dalam tidak dapat menyorot keluar.

Karena penasaran itulah, maka biarpun dalam hati masing-masing tidak ada kebencian, dua orang pemuda itu mengerahkan seluruh daya keampuhan mereka untuk saling mengalahkan, merobohkan, melukai, bahkan membunuh. Dan perkelahian adu pedang itu sudah berlangsung lebih seratus jurus.

Mereka sama kuat, sama ulet, dan biarpun sudah sekian lamanya, mereka terus bergerak dengan kekuatan dikerahkan seluruhnya, namun mereka tidak nampak lelah. Saling serang, saling desak, hebat bukan kepalang sehingga Sim Hok An yang menonton sambil bersembunyi di balik batang pohon menjadi pucat sekali wajahnya dan tubuhnya agak gemetar.

Kembali lima puluh jurus telah lewat. Tiba-tiba Hong Bu yang sudah merasa penasaran bukan main, mengeluarkan teriakan melengking nyaring dan pedangnya berkelebat seperti halilintar. Sungguh serangan yang luar biasa dahsyatnya, jauh lebih dahsyat daripada yang sudah-sudah.

Cin Liong terkejut tidak mengira bahwa lawan masih dapat mengeluarkan jurus yang demikian dahsyatnya, yang agaknya merupakan jurus simpanan. Dia pun cepat mengerahkan tenaga dan menangkis, berusaha untuk membikin pedang lawan terpental dengan mempergunakan kelebihan tenaganya.

“Cringgg....!”

Dua pedang bertemu, akan tetapi agaknya hal ini sudah diperhitungkan oleh Hong Bu karena pedangnya terpental, bukan ke belakang, melainkan menyeleweng dan meluncur ke arah leher Cin Liong dari samping dengan kecepatan kilat!

Cin Liong tidak dapat menangkis lagi karena datangnya serangan itu amat mendadak dan tidak disangkanya semula, maka cepat dia menjatuhkan diri ke depan miring ke kanan dan tangannya memukul ke depan karena dia menjatuhkan diri bukan hanya untuk mengelak, melainkan juga untuk balas menyerang.

“Hiaaattt....!”

Bentakan keras dari Cin Liong ini berbareng dengan guratan ujung pedang yang mengenai pundak kanannya, akan tetapi pukulannya tadi yang juga dielakkan oleh Hong Bu masih menyerempet paha kaki lawan.

Keduanya meloncat ke belakang, menahan rasa nyeri. Pundak kanan Cin Liong berdarah, kulitnya terobek berikut bajunya, sedangkan Hong Bu merasa betapa kaki kanannya, di atas lutut, nyeri bukan main, membuatnya agak terpincang! Ternyata dalam gebrakan hebat tadi, keduanya telah sama-sama menderita luka, biarpun tidak berat akan tetapi cukup mengejutkan dan membuat keduanya waspada.

“Engkau hebat, Hong Bu!” Cin Liong memuji.

“Dan engkau pun telah berhasil melukaiku, bukan main!” Hong Bu menjawab.

Tanpa berkata apa-apa kecuali itu, keduanya sudah maju lagi, kini bergerak dengan hati-hati, dan keduanya kembali saling serang dengan ganas. Akan tetapi, sebelum pedang mereka berobah menjadi sinar bergulung-gulung seperti tadi, tiba-tiba terdengar suara halus namun penuh wibawa,

“Tahan senjata!”

Cin Liong segera mengenal suara ayahnya maka dia meloncat ke belakang meninggalkan lawan sambil melintangkan pedangnya. Sedangkan Sim Hong Bu yang juga segera mengenal pendekar sakti lengan buntung itu, menarik napas panjang.

“Ah, melawan puteramu saja aku tidak mampu menang, apalagi melawan ayahnya, Pendekar Naga Sakti Gurun Pasir! Betapapun juga, jangan dikira aku takut. Majulah, Tai-hiap, dan aku tidak akan penasaran kalau tewas di tanganmu untuk membela nama keluarga Cu yang telah melepas budi kepadaku!”

Dia pun melintangkan pedangnya dan memasang kuda-kuda menghadapi Pendekar Sakti Gurun Pasir. Pendekar berlengan satu ini tersenyum dan juga melangkah maju mendekat

“Orang muda, ketika kami datang ke lembah itu, adalah dalam rangka utusan Kaisar untuk mencari kembali pedang yang hilang. Maka terjadilah bentrokan antara kami dan keluarga Cu hanyalah karena urusan tugas, bukan urusan pribadi. Sampai saat ini kami tidak mempunyai permusuhan pribadi dengan keluarga Cu. Maka, kalau urusan tugas lalu dijadikan urusan pribadi, kalau mereka itu mengalah terhadap kami lalu mendendam dan menyuruh murid mereka membalas kekalahan itu, apakah engkau anggap hal itu benar?”

Dengan jujur Sim Hong Bu menjawab,
“Terus terang saja, Tai-hiap, hal itu memang tidak benar. Akan tetapi kalau seorang murid tidak memenuhi pesan dan permintaan gurunya, apakah hal itu juga benar?” Dia membalas bertanya.

Kao Kok Cu tersenyum dan memuji kecerdikan pemuda ini yang menangkis pertanyaannya dengan sebuah pertanyaan yang tepat pula.

“Memang, tentu saja tidak memenuhi permintaan guru pun merupakan hal yang tidak benar, akan tetapi harus ditinjau dulu apa macam permintaan itu! Ada dua macam permintaan, baik yang diajukan dari guru sendiri sekalipun, yaitu permintaan yang pantas dan tidak pantas. Kalau suhumu minta agar engkau melakukan hal yang tidak benar dan tidak pantas dan engkau memenuhinya, bukankah hal itu berarti satu hal yang sama sekali tidak berbakti, malah durhaka sifatnya?”

“Ehh....?”

Sim Hong Bu memandang dengan mata terbelalak. Baru sekarang dia mendengar ada orang berfilsafat bahwa memenuhi permintaan seorang guru malah merupakan hal yang durhaka dan tidak berbakti!

“Apa maksudmu, Lo-taihiap?”

“Sim Hong Bu, kalau seorang murid melihat tindakan gurunya tidak benar, bukankah murid yang bijaksana akan mengingatkannya dan mencegah agar gurunya jangan sampai melakukan tindakan itu, kalau si murid malah membantu melakukan hal yang tidak benar itu, apakah dia dapat dinamakan murid yang baik, berbakti dan benar? Nah, tindakan gurumu mendendam kepada kami adalah tidak benar, hal ini telah kau katakan sendiri tadi. Akan tetapi mengapa engkau bersikeras untuk melaksanakan perintah gurumu yang tidak benar itu?”

Sim Hong Bu menjadi bingung. Memang, urusan hauw atau “berbakti” merupakah hal yang banyak membingungkan orang. Sejak jaman dahulu, berbakti terhadap guru atau orang tua dianggap sebagai ketaatan si anak terhadap guru atau orang tua. Dan melihat bahwa di sini terdapat suatu hal yang amat menguntungkan maka kata “berbakti” itu dipergunakan oleh guru atau orang tua untuk membuat murid atau anak menjadi tidak berdaya!

Setiap kali seorang anak tidak menurut kata-kata orang tua, maka anak itu akan dicap sebagai anak “put-hauw” (tidak berbakti) sehingga si anak terbiasa untuk mentaati segala perintah orang tua agar menjadi anak berbakti. Dan biarpun pada lahirnya si anak mentaati karena ingin disebut berbakti, di dalam hatinya si anak mengeluh dan memberi cap kepada orang tuanya sebagai “tidak mencintanya”.

Maka timbullah celah yang besar antara orang tua dan anak. Si orang tua ingin anaknya mentaatinya, dengan dalih bahwa semua perintahnya itu demi kebahagiaan dan kebaikan si anak, sikap seperti ini sesungguhnya bukan lain hanyalah sikap mementingkan diri sendiri, mencari enaknya sendiri, karena kalau anaknya taat, dialah yang akan merasakan senang dan berbahagia.

Si orang tua sudah memastikan bahwa apa yang dianggapnya baik itu MESTI baik pula bagi si anak dan apa yang dianggapnya membahagiakan itu mesti pula membahagiakan si anak! Sikap seperti ini yang sampai sekarang masih dipraktekkan oleh orang-orang tua yang sesungguhnya timbul karena kekurangpengertian, menciptakan apa yang dinamakan “gap” atau celah antara orang tua dan anak. Adanya celah yang merenggangkan orang tua dan anaknya adalah karena tidak adanya kasih sayang, tidak adanya cinta kasih dalam batin masing-masing.

Kalau ada cinta kasih, maka tidak ada lagi istilah berbakti atau durhaka, yang ada hanyalah kerja sama, saling membantu dalam hidup secara wajar, tanpa ingin disebut baik karena bantuan-bantuan masing-masing itu, yang ada hanyalah kasih sayang dan tidak ada sedikit pun keinginan untuk senang sendiri, menang sendiri, atau benar sendiri!

Betapa bahagianya sebuah rumah tangga jika terdapat kasih sayang ini di antara suami, isteri, dan anak-anak mereka! Peraturan-peraturan yang kaku dan dipaksakan hanya menimbulkan kemanisan lahir saja namun di dalam batin masing-masing merasa sakit hati dan menaruh dendam, kebencian terselubung senyum dan sikap ramah tamah palsu. Dan suasana seperti itu hanya dapat tercipta apabila dimulai dari diri sendiri! Bukan ingin mengatur orang lain.

Cinta kasih harus timbul dari batin sendiri dan cinta kasih sama sekali tidak mengharapkan balas dari orang lain. Namun cinta kasih mengandung daya mujijat yang dapat membersihkan dan menerangkan orang lain pula!

Dalam kebingungan mendengarkan kata-kata yang baru sekali ini didengarnya namun yang dapat menusuk perasaannya karena dia merasa betapa semua ucapan itu tak dapat dibantah karena memang benar dan memang keadaannya pun demikian, maka Hong Bu mencari akal bagaimana untuk menjawab.

Mendengar ucapan itu, matanya seperti terbuka betapa selama ini, semenjak dia melepaskan pakaian sebagai pemburu dan menjadi murid orang sakti dan memperoleh ilmu-ilmu yang membuat dia menjadi pendekar, dia merasa kehilangan sesuatu, dia merasa hidupnya tidak bahagia lagi, tidak seperti ketika dia masih menjadi seorang pemburu muda yang kasar dan bodoh.

Kini terbukalah matanya. Kiranya dia telah kehilangan kebebasan dan kewajaran! Dia telah terikat, dan dia terpaksa oleh ikatan itu untuk melakukan hal-hal yang tidak sejalan dengan suara hatinya, sehingga semua tindakannya ialah palsu dan menimbulkan konflik dalam batinnya sendiri! Dia harus melakukan hal-hal yang berlawanan dengan kehendak hatinya!

“Akan tetapi, Tai-hiap.... bukankah semua hal ini dimulai dari pihakmu? Kalau keluarga Kao tidak datang menyerbu ke lembah untuk merampas pedang, tidak mungkin akan terjadi pertandingan itu yang mengakibatkan guru-guruku kalah dan mendendam!” Bantahannya ini lemah, namun setidaknya merupakan bantahan pula yang bukan tidak benar.