FB

FB


Ads

Minggu, 26 Juli 2015

Suling Emas & Naga Siluman Jilid 090

Apakah yang telah terjadi dengan diri Pangeran Kiang Liong? Seperti telah kita ketahui dari bagian depan cerita ini, Pangeran yang bijaksana ini telah bertentangan dengan Sam-thaihouw, dan dengan bantuan keluarga pendekar Kao Kok Cu, isterinya Wan Ceng dan puteranya, Jenderal Muda Kao Cin Liong, akhirnya Pangeran membuka rahasia Sam-thaihouw, membuat nenek tua ini terserang penyakit jantung dan tewas. Setelah Sam-thaihouw dan kini kaki tangannya dibasmi dari istana, hati Pangeran itu merasa lega dan gembira bukan main.

Akan tetapi, Pangeran yang semenjak muda sekali sudah suka sekali berkelana ini, tidak dapat tinggal diam terlalu lama di istana. Pada suatu hari, dia sudah lolos lagi dari istana dan mengembara ke barat, menyamar sebagai seorang pemuda biasa saja. Kesukaannya mengembara ini selain didorong oleh keinginannya untuk mengenal rakyat lebih dekat, juga karena dia ingin mempelajari dan mendengar suara rakyat agar kelak kalau dia menggantikan ayahnya memerintah, dia akan dapat mengambil sikap dan keputusan yang sesuai dengan selera rakyat terbanyak.

Di samping ini, pemuda bangsawan ini pun suka bergaul dengan para sastrawan dan para pendekar dan hanya dengan menyamar sebagai seorang biasa sajalah maka pergaulannya itu dapat berjalan dengan perasaan bebas, tidak seperti kalau mereka itu menghadapnya sebagai seorang pangeran di mana harus dilakukan banyak peraturan dan peradatan.

Seperti biasa, biarpun Pangeran ini tidak memperkenankan pasukan pengawal untuk mengawal perjalanannya, namun ada pengawal-pengawal istana rahasia yang diam-diam membayanginya, di samping beberapa orang pendekar yang mendengar akan perjalanan ini lalu membayanginya untuk melindunginya secara diam-diam.

Pangeran Kian Liong juga maklum akan hal ini. Sebenarnya dia pun tidak merasa senang dilindungi secara diam-diam seperti ini, akan tetapi karena yang melindunginya tidak menampakkan dirinya, tentu saja dia pun tidak dapat berbuat sesuatu untuk mencegah mereka.

Para hwesio yang menerima kedatangan Pangeran itu, menyambutnya sebagai seorang pemuda yang dermawan. Pemuda ini memberi sumbangan yang cukup besar dan ketika pemuda itu menyatakan bahwa dia ingin memperoleh kamar dan bermalam di kuil itu, para hwesio segera menyambutnya dan menyediakan sebuah kamar yang sederhana di sebelah belakang bangunan kuil.

Karena dia merasa amat tertarik oleh bangunan kuno kuil itu dan ingin menenangkan hatinya di dalam kuil maka Pangeran Kian Liong ingin bermalam di situ dan tidak bermalam di rumah penginapan seperti biasa.

Hal ini menyulitkan para pelindungnya. Kalau Pangeran itu bermalam di rumah penginapan, para pelindung itu dapat pula menyewa kamar di rumah penginapan itu untuk mengamat-amati Sang Pangeran. Akan tetapi sekali ini Sang Pangeran bermalam di kuil, tentu saja tidak mungkin bagi mereka untuk bermalam di kuil itu juga. Maka mereka berpencaran dan ada juga yang bermalam di tempat terbuka di belakang kuil, atau di rumah penduduk di sekitar kuil itu.

Pada hari kedatangan Sang Pangeran di Kuil Hok-te-kong itu, seperti biasa banyak pula orang datang bersembahyang.

Memang kuil itu amat terkenal “manjur”, yaitu banyak permintaan para pemujanya tercapai setelah bersembahyang di kuil itu! Dan setelah tercapai apa yang diminta mereka lalu membayar “kaul” yaitu semacam janji untuk membalas jasa atau untuk menyatakan terima kasih apabila permintaan mereka terkabul. Kaul ini berupa sembahyang besar-besarnya, membakar segala macam harta kekayaan berupa tiruan dari kertas yang dimaksudkan agar “di sananya” dapat menjadi barang berharga sungguh-sungguh untuk memberi sumbangan kepada yang telah mengabulkan permintaan mereka!

Bahkan sampai jaman sekarang pun masih ada kepercayaan semacam itu! Tentu saja dengan bermacam cara, sesuai dengan tradisi dan agama masing-masing. Dan semua ini jelas memperlihatkan betapa lemahnya kita manusia ini. Melihat betapa diri sendiri ini kosong dan lemah, tidak ada apa-apanya, melihat pula akan kehidupan yang menimbulkan rasa takut, didorong pula oleh keinginan-keinginan untuk mengejar kesenangan-kesenangan baik kesenangan jasmani maupun rohani, maka kita yang merasa tidak berdaya ini lalu mencari pegangan!

Kita lalu membayangkan bahwa ada sesuatu yang lebih tinggi itulah yang kita jadikan sasaran untuk membantu dan menolong kita, baik dalam mencapai kesenangan lahiriah maupun batiniah. Pikiran lalu mereka-reka menurut kepercayaan masing-masing, menurut tradisi ribuan tahun lamanya. Dibuatlah arca-arca, patung-patung, benda-benda keramat dan dipujanya sebagai tempat yang dihuni oleh sesuatu yang kita anggap lebih tinggi daripada kita itu. Timbul sebutan dewa-dewa, malaikat-malaikat, roh-roh suci, dan sebagainya lagi.

Kita bukan hanya memujanya karena rasa takut, karena ingin selamat, ingin terlindung dan sebagainya, akan tetapi juga kita memuja untuk meminta sesuatu, minta bantuan agar sukses dalam usaha perdagangan, agar dapat jodoh, agar dapat anak, agar menang perkara, agar manjur kutuk kita terhadap musuh, dan sebagainya lagi.

Dan kalau “kebetulan” apa yang kita minta itu terkabul, kepercayaan kita menjadi semakin tebal dan kita lalu membalas budi dengan cara masing-masing. Demikianlah keadaannya. Kalau kita mengamati itu semua, bukankah kita ini sungguh lemah dan bodoh sekali? Kalau kita melihat dengan sungguh-sungguh bahwa semua itu adalah palsu dan timbul dari rasa takut kita, dari keinginan kita memperoleh segala macam kesenangan, beranikah kita untuk menanggalkan itu semua? Kalau tidak berani, berarti kita belum melihat kenyataan akan kepalsuan itu.

Di antara para tamu yang datang bersembahyang, terdapat seorang laki-laki setengah tua. Usianya sudah mendekati lima puluh tahun, akan tetapi dia masih nampak gagah dan tampan. Pakaiannya sederhana namun bersih dan rapi, wajahnya yang tampan gagah itu selalu berseri dan mulutnya selalu membayangkan senyuman sehingga orang-orang suka melihatnya. Tamu ini tidak ikut sembahyang, hanya mengamati tempat itu dan orang-orang yang bersembahyang dengan sinar mata tajam. Seorang hwesio tua menyambut pria gagah ini dan pria itu menjura sambil bertanya,

“Apakah Ciong suhu ada di dalam?”

“Dia telah sejak tadi menantimu, Tai-hiap. Silakan masuk ke ruangan tamu di sebelah kanan.”

Pria itu mengangguk dan berjalan masuk. Ketika dia memasuki ruangan tamu sebelah kanan, seorang hwesio tua yang bertahi lalat di dahinya, yaitu Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu, cepat menyambutnya dan segera mereka bercakap-cakap dengan suara lirih.

“Baik sekali engkau cepat datang, Bu-taihiap,” kata Ciong-hwesio dengan wajah berseri.

“Pinceng sudah khawatir sekali karena menurut beberapa orang penyelidik, Ngo-ok sudah nampak berada di kota ini pula.”

Pria gagah itu memang bukan lain adalah Bu Seng Kin atau Bu-taihiap, pendekar terkenal itu. Kita sudah mengenal pendekar ini sebagai ayah kandung Ci Sian, dan juga sebagai seorang pendekar yang mempunyai banyak isteri. Seperti telah diceritakan dalam bagian depan, Bu Seng Kin dan keluarganya merasa terpukul batinnya dan merasa malu ketika pinangan mereka untuk menjodohkan puteri Bu Seng Kin dan Nandini, yaitu Bu Siok Lan, dengan Kao Cin Liong, ditolak mentah-mentah dan secara yang kasar oleh keluarga Kao. Penolakan ini tentu saja mendatangkan perasaan marah dan dendam di pihak keluarga Bu, akan tetapi pada saat terjadi penolakan, tentu saja Bu Seng Kin tidak berani untuk memperlihatkan kemarahannya.






Penolakan ini pula yang menambah perasaan anti di dalam hati keluarga Bu terhadap istana. Memang sejak dahulu mereka itu tidak suka kepada kerajaan penjajah, apalagi kini mereka merasa dihina oleh seorang jenderal muda dan keluarganya, maka sikap mereka yang tidak suka terhadap Kerajaan Mancu makin menebal. Apalagi di situ terdapat Nandini, Puteri Nepal yang pernah menjadi Panglima Nepal dan dikalahkan oleh pasukan-pasukan kerajaan. Puteri ini membujuk-bujuk kepada suaminya untuk tidak tinggal diam dan membangkitkan jiwa patriot Bu Seng Kin untuk menentang pemerintah penjajah.

Inilah sebabnya maka Bu Seng Kin atau Bu-taihiap diam-diam bergabung dengan para pendekar yang diam-diam menentang dan memusuhi Kerajaan Mancu. Dan dalam hal ini, Bu-taihiap memperoleh teman-teman yang baik, yaitu dari golongan Siauw-lim-pai yang kini secara terang-terangan dimusuhi oleh Kaisar Yung Ceng.

Para hwesio pengurus Kuil Hok-tekong adalah hwesio-hwesio yang condong berpihak kepada Siauw-lim-pai dan hal ini tidaklah aneh karena Ciong-hwesio yang menjadi ketua kuil itu adalah anak murid Siauw-lim-pai pula. Maka terjadilah pertemuan antara Bu-taihiap dan Ciong-hwesio itu, yang dilakukan dengan rahasia.

“Hemm, mereka sudah muncul? Tentu mereka tidak berani turun tangan di siang hari. Malam nanti aku akan siap menghadapi mereka, harap Ciong-suhu jangan khawatir. Bahkan peristiwa ini amat kebetulan sekali. Kalau di sini terjadi penyerangan dari luar, dan ketika kami menghadapi mereka, maka dengan mudah Ciong-suhu akan dapat melarikan Pangeran tanpa ada yang menduga kalau Ciong-suhu yang melakukannya.”

Mereka lalu bicara bisik-bisik mengatur siasat dan rencana selanjutnya. Mereka sama sekali tidak tahu bahwa di antara para tamu yang bersembahyang itu terdapat seorang nenek bongkok yang juga bersembahyang dan mulutnya berkemak-kemik minta berkah, dengan terbongkok-bongkok, nenek itu membakar kertas dan berjalan masuk ke ruangan dalam kuil sambil menengok ke kanan kiri, mencari-cari. Seorang hwesio cepat menghampiri dan menegur,

“Hei, Nenek, engkau hendak ke manakah? Tidak diperkenankan masuk ke dalam....“

“Ah, Siauw-suhu, aku ingin bertemu ketua kuil...., aku ingin menghaturkan terima kasih karena cucuku telah terkabul permintaannya dan memperoleh seorang anak laki-laki. Aku ingin Ciong-hwesio memilihkan nama untuk cucu buyutku itu....” Dan nenek itu memaksa masuk terus.

“Tapi.... Ciong-suhu sedang sibuk....”

“Ahh, apa sukarnya memberikan nama saja? Biarlah aku mengganggu sebentar, beliau tentu tidak akan marah. Di manakah beliau?”

“Tidak boleh, nanti pinceng mendapat marah....“

Hwesio muda itu hendak menghalang, akan tetapi dia merasa tidak enak juga untuk berkeras terhadap seorang nenek dan nenek itu kini sudah mendekati ruangan tamu di mana Ciong-hwesio masih bercakap-cakap dengan Bu Seng Kin. Mendengar ribut-ribut di luar kamar tamu itu, Ciong-hwesio memberi isyarat kepada Bu-taihiap, lalu membuka pintu dan berteriak.

“Ada apakah ribut-ribut di situ?”

Dan diam-diam dia merasa terkejut dan curiga melihat seorang nenek tua renta sedang berbantahan dengan seorang hwesio, agaknya Si Nenek hendak memaksa masuk.

“Maaf, Suhu, nenek ini nekat saja hendak menghadap Suhu, katanya hendak minta diberi nama untuk cucu buyutnya,”

Melihat Ciong-hwesio, nenek itu cepat menghampiri dan menjatuhkan dirinya berlutut,
“Mohon kemurahan hati Losuhu.... karena kami sekeluarga sudah berjanji, maka setelah cucu saya melahirkan, kami sekeluarga mengharap agar Losuhu memberikan sebuah nama untuk anak itu.”

“Omitohud.... kiranya demikian?” Hwesio tua itu berkata halus, menarik napas panjang, lalu melanjutkan, “Beri saja nama Tiong Gi.”

“Terima kasih, terima kasih, Losuhu....”

Kata nenek itu dengan gembira sambil memberi hormat dan matanya mengerling ke arah pintu kamar tamu dari mana ia dapat melihat Bu-taihiap yang duduk di bangku dan memandang keluar dengan sikap tidak sabar karena gangguan itu.

Setelah menghaturkan terima kasih berkali-kali, dan matanya yang tua itu kembali memandang ke kanan kiri seperti biasa sikap orang tua yang pikun dan ingin tahu segala, nenek itu lalu melangkah ke dalam! Hwesio muda itu cepat menghadang.

“Eh, engkau hendak ke mana, Nek?”

“Mau keluar, ke mana lagi....?” tanya nenek itu dengan sikap pikun dan ia terus saja berjalan tanpa mempedulikan orang lain sehingga ia sampai di pintu tembusan dan menjenguk ke dalam.

Akan tetapi sekali ini Ciong-hwesio sendiri yang melangkah maju dan memegang lengan nenek itu. Lengan yang lemah tanpa tenaga, pikirnya dan dia melepaskan kembali pegangannya.

“Nek, jalan keluar bukan ke sana!”

Hwesio muda itu lalu memberi petunjuk dan sekali ini nenek itu keluar dari dalam kuil, lalu terbongkok-bongkok berjalan ke jalan raya, mulutnya berkali-kali membisikkan nama

“Tiong Gi....!”

Akan tetapi ketika nenek itu telah tiba di tempat yang jauh dari kuil itu dan ia sudah merasa yakin bahwa tidak ada seorang pun yang memperhatikannya, ia lalu memasuki sebuah rumah kecil dan sikapnya menjadi berbeda sama sekali. Gerakannya sigap ketika dia masuk ke dalam rumah itu dan ketika ia disambut oleh seorang laki-laki yang bertubuh tinggi besar, ia lalu mengeluh,

“Ah, sampai lelah punggungku harus kutekuk terus! Jelas, orang she Bu itu berada di sana, sedang berunding dengan ketua kuil!”

“Dan engkau tidak melihat bayangan Pangeran?” tanya laki-laki tinggi besar itu.

“Tidak ada, akan tetapi aku yakin dia berada di dalam sebuah kamar. Tidak ada jalan lain, kita harus berusaha memasukinya malam ini.”

Laki-laki tinggi besar itu mengangguk.
“Memang kupikir juga begitu. Akan terjadi keributan malam ini di kuil.”

Tak lama kemudian, laki-laki tinggi besar dan seorang wanita yang cantik keluar dari rumah itu dan memanggil pemilik rumah yang mereka sewa selama dua hari. Nenek itu tidak nampak lagi dan setelah mereka berdua pergi, seorang hwesio datang ke situ dan bertanya-tanya tentang seorang nenek. Akan tetapi tidak ada seorang pun yang tahu dan pemilik rumah itu hanya memberi tahu bahwa yang menyewa rumahnya adalah seorang laki-laki tinggi besar dan isterinya yang cantik. Tentu saja hwesio itu segera memberi laporan kepada ketuanya, dan Ciong-hwesio mengerutkan alisnya. Dia memang sudah merasa curiga kepada nenek tadi, akan tetapi karena nenek itu sudah hilang dan tidak ada yang mengetahuinya, dia pun hanya memesan kepada anak buahnya agar malam itu mereka berjaga-jaga dengan penuh kewaspadaan.

Peristiwa bermalamnya Pangeran di kuil itu memang merupakan hal yang kebetulan dan sama sekali tidak diduga-duga orang. Semenjak orang-orang kang-ouw mendengar bahwa Pangeran Mahkota pergi seorang diri, banyak yang membayanginya, banyak pihak hendak mengganggunya, akan tetapi ada pula yang melindunginya sehingga pihak yang hendak mengganggunya masih ragu-ragu.

Akan tetapi, seperti seekor lalat memasuki sarang laba-laba, Pangeran itu dengan kehendak sendiri masuk ke dalam kuil bahkan minta bermalam di situ, tidak tahu bahwa kuil itu adalah sarang dari orang-orang yang tidak suka kepada kerajaan ayahnya! Bahkan orang-orang Siauw-lim-pai adalah orang-orang yang banyak menaruh dendam kepada ayahnya.

Juga para pelindungnya tidak ada yang mengira bahwa ketua kuil itu adalah bekas murid Siauw-lim-pai pula sehingga mereka enak-enak saja dan mengira bahwa Pangeran itu berada di tempat yang aman. Padahal, sesungguhnya Pangeran itu seperti seekor anak domba yang memasuki guha srigala!

Malam itu tidak terang bulan. Malam yang cerah dan indah sekali, seolah-olah tidak akan pernah terjadi hal-hal yang buruk. Lewat senja, tidak seperti biasanya, Kuil Hok-te-kong telah menutupkan pintunya. Baru saja pintu itu ditutup, terdengar ketukan pada pintu itu. Setelah ketukan-ketukan itu diulang, seorang hwesio berkata dari balik pintu,

“Malam ini kami tidak menerima tamu, karena kami sedang mengadakan upacara sembahyang yang penting. Harap suka kembali besok saja!”

Akan tetapi, dari luar pintu terdengar suara yang besar dan parau,
“Saudara, pinceng bukanlah tamu hendak bersembahyang, melainkan dua orang saudara yang ingin mohon bertemu dengan Ciong-losuhu.”

Mendengar ucapan ini, lubang di tengah-tengah pintu itu terbuka dan sebuah mata, mata hwesio penjaga, mengintai dari dalam. Ketika mata itu melihat bahwa yang berdiri di depan pintu itu adalah dua orang hwesio, yang seorang lagi agak kecil, dia merasa heran.

“Ji-wi siapakah dan dari mana? Ada keperluan apa hendak menghadap Ciong-suhu?”

Hwesio yang tinggi besar itu memandang ke kanan kiri dan belakang, kemudian menjawab dengan suara berbisik,

“Kami adalah hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar, mohon perlindungan!”

“Omitohud....!” Mata di balik lubang itu terbelalak, “Sebentar, pinceng harus melaporkan dulu kepada Suhu!”

Tak lama kemudian, pintu itu terbuka dan Ciong-hwesio sendiri yang menyambut mereka. Kedua orang hwesio itu memberi hormat kepada Ciong-hwesio yang dibalas oleh ketua kuil Hok-te-kong itu.

“Mari silakan, mari kita bicara di lian-bu-thia.”

Setelah tiba di ruangan berlatih silat, dua orang hwesio ini melihat betapa di situ telah berkumpul banyak hwesio dan mereka semua memandang dengan mata penuh selidik. Ciong-hwesio sendiri juga memandang penuh selidik. Dia memang jarang pergi ke Siauw-lim-pai dan tentu saja tidak banyak mengenal hwesio Siauw-lim-pai, akan tetapi kalau memang benar mereka ini hwesio-hwesio Siauw-lim-pai yang dikejar-kejar tentara pemerintah, tentu saja dia harus membantu mereka.

Hwesio tinggi besar itu bermuka hitam sekali dengan mata lebar, nampak gagah, sedangkan hwesio yang lebih kecil bermuka kuning dan kasar sehingga ketampanannya lenyap oleh kekasaran mukanya, juga matanya agak juling.

“Kalian berdua dari kuil mana? Dan mengapa malam-malam tiba di kota ini?” Ciong-hwesio bertanya dan penuh curiga.

“Kami adalah anak murid Siauw-lim-pai yang datang dari Kuil Siauw-lim-pai yang dibakar oleh Kaisar lalim. Kami dikejar-kejar dan berhasil melarikan diri sampai di sini, mendengar bahwa Ciong-suhu adalah bekas anak murid Siauw-lim-pai pula, maka kami mohon perlindungan dan mengharap agar dapat diterima di kuil sini,” kata hwesio yang bertubuh kecil dengan suara mohon dikasihani.

“Omitohud...., sudah tentu saja pinceng tidak akan menolak. Akan tetapi, di dalam keadaan genting seperti ini kita harus bersikap hati-hati!. Coba Ji-wi perlihatkan beberapa jurus Siauw-lim-pai agar pinceng tidak ragu-ragu lagi bahwa Ji-wi benar-benar murid Siauw-lim-pai.”

Hwesio bertubuh kecil itu memandang hwesio tinggi besar muka hitam,
“Silakan Suheng.”

“Baik, saya akan mainkan Pek-ho-kun dari Siauw-lim-pai!” katanya dan segera hwesio muka hitam ini bersilat.

Ternyata gerakannya cukup gesit dan mantap, dan karena tubuhnya memang tinggi besar, maka dia nampak gagah. Melihat gerakan ini, diam-diam Ketua Hok-te-kong itu girang sekali. Orang ini merupakan tenaga bantuan yang boleh diandalkan, pikirnya. Setelah selesai bersilat, hwesio muka hitam itu berhenti dan tidak nampak dia terengah-engah, tanda bahwa dia sudah menguasai pula ilmu pernapasan dengan baik.

“Sekarang saya hendak mainkan Lo-hon-kun!” kata hwesio bertubuh kecil dan dia pun cepat bergerak dan bersilat.

Kembali Ciong-hwesio gembira sekali. Si Kecil ini gerakannya luar biasa gesitnya, dan pukulan-pukulannya sudah matang, padahal Lo-han-kun bukan ilmu silat yang sembarangan saja. Ternyata dua orang ini benar-benar murid Siauw-lim-pai yang tergolong baik ilmu silatnya, agaknya tidak selisih banyak dengan kepandaiannya sendiri.

“Bagus! Ji-wi memang murid-murid Siauw-lim-pai. Nah, dengarlah. Adanya kami bercuriga dan bersikap hati-hati adalah karena kita semua menghadapi urusan yang besar sekali. Mari, mari kita bicara di dalam dan pinceng mengharapkan bantuan Ji-wi untuk melakukan penjagaan.”

Hwesio tua itu mengajak dua orang tamunya masuk di dalam dan memberitahukan segala urusannya dengan suara bisik-bisik. Kedua hwesio pendatang baru itu mengangguk-angguk dan nampak serius sekali. Mereka adalah musuh-musuh kerajaan, tentu saja mereka bersiap-siaga untuk membantu teman seperjuangan, apalagi mengenai urusan yang demikian pentingnya.

“Akan tetapi, Ciong-losuhu, kalau memang ada musuh-musuh Pangeran yang hendak membunuh Pangeran itu, mengapa pula pendekar yang membantu kita itu.... siapa namanya, Bu-taihiap? Kenapa dia harus menentang musuh-musuh Pangeran itu?” tanya hwesio kecil yang bernama Tan Tek Hosiang.

“Omitohud...., memang sebaiknya kalau pinceng beri tahu. Pertama, kalau sampai Pangeran terbunuh di sini, tentu kita semua akan celaka, apalagi kalau ketahuan bahwa pinceng adalah murid Siauw-lim-pai. Ke dua, Pangeran ini bukan orang jahat, melainkan seorang yang bijaksana sekali, walaupun dia adalah seorang Pangeran Mancu. Ke tiga, dengan adanya penyerbuan kaum sesat itu, terbuka kesempatan bagi kita untuk menculik Pangeran itu dan tuduhan tentu akan jatuh kepada kaum sesat yang melakukan penyerbuan untuk membunuh Pangeran”.

“Untuk apa kita menculik Pangeran penjajah itu?” tanya Lim Kun Hosiang, Si Tinggi Besar muka hitam.

“Untuk membalas kematian saudara-saudara kita yang dibunuh Kaisar, kenapa kita tidak membunuh saja dia?”

“Omitohud.... semoga Sang Buddha memberi penerangan pada batinmu yang gelap oleh dendam pribadi!” kata hwesio tua itu dengan alis berkerut. “Bukan urusan kita para hwesio soal bunuh-membunuh itu! Pula, kita ingin menahan Sang Pangeran sebagai sandera untuk memaksa Kaisar agar menghentikan permusuhannya kepada Siauw-lim-pai, dan agar membebaskan para pendekar yang ditahan.”

Dua orang hwesio itu mengangguk-angguk.
“Baiklah, kami berdua akan membantu dan malam ini kami akan menjaga dengan penuh kewaspadaan agar jangan sampai ada yang dapat mengganggu Sang Pangeran.”

Malam ini amatlah sunyi di Kuil Hok-te-kong. Nampaknya saja sunyi, akan tetapi sebetulnya, semua hwesio dikerahkan untuk melakukan penjagaan, terutama sekali di sekitar kamar di mana Pangeran tinggal. Dua orang hwesio tamu juga berjaga-jaga di sekitar kamar itu dan melihat silat kedua orang ini, Ciong-hwesio bahkan memberi tugas kepada mereka berdua untuk melakukan penculikan terhadap Sang Pangeran itu dengan dalih menyelamatkannya dan melarikannya ke luar kuil di mana sudah menanti kuda di belakang kuil, sedangkan hwesio-hwesio lain hanya membantu Bu-taihiap, kalau-kalau pendekar itu akan kewalahan menghadapi pihak lawan yang diperkirakan akan kuat sekali, apalagi melihat hadirnya Ngo-ok di kota itu.

Anehnya, yang tidak sunyi malah di dalam kamar Pangeran Kian Liong! Pangeran ini menemukan kitab syair kuno di dalam kamar tamu itu, syair tulisan Li Po yang termasyhur. Kini dengan suara merdu, dengan penuh perasaan Pangeran muda itu membaca syair kuno dengan tenangnya, suaranya memecahkan kesunyian malam itu!

Sungguh aneh, kuil yang biasanya kalau malam terdengar suara orang membaca liam-keng (nyanyi pujaan keagamaan) diiringi ketukan kayu yang nyaring kini tidak terdengar, dan sebaliknya terdengar suara orang membaca sajak. Semua orang berhati tegang, dan orang yang menjadi pusat perhatian dan ketegangan itu malah enak-enak dengan tenangnya membaca sajak!

Akan tetapi, kalau para hwesio itu sempat mengintai ke dalam kamar itu, tentu mereka akan terkejut dan terheran-heran. Mereka mendapat perintah untuk berjaga tanpa mengeluarkan suara, maka tak seorang pun di antara mereka yang berani meninggalkan pos penjagaan, apalagi untuk mengintai kamar Pangeran yang dijaga ketat itu.

Keadaan inilah yang dimanfaatkan oleh kedua orang hwesio pendatang baru itu dan sungguh perbuatan mereka amat luar biasa! Dengan gerakan amat hati-hati, seperti dua bayangan setan saja, mereka itu menyelinap dan memasuki kamar Pangeran itu melalui atas genteng di mana mereka memang bertugas jaga. Mereka sebagai orang penting dalam urusan penculikan Pangeran ini memang berjaga di atas sedangkan semua hwesio lainnya disuruhnya berjaga di bawah.

Melihat bayangan berkelebat dan tahu-tahu ada dua orang memasuki kamarnya, tentu saja Sang Pangeran terkejut bukan main dan sebelum dia sempat mengeluarkan suara, orang tinggi besar itu telah menekan pundaknya, membuat tubuhnya lemas dan dia tidak mampu bersuara, sedangkan orang yang tubuhnya kecil terus menyambar kitab syair kuno itu dan melanjutkan pembacaan sajak!

Pangeran Kian Liong memandang bengong. Hwesio bertubuh kecil itu dapat membaca sajak itu dengan suara yang walau tidak persis sekali, mirip sekali dengan suaranya sendiri, dan lebih lantang! Sementara itu, hwesio yang tinggi besar itu sudah mendekatkan mulutnya kepada telinganya dan berbisik, membuat Pangeran itu menjadi semakin terheran-heran.

“Tenanglah, Pangeran.... Paduka terancam bahaya maut.... kami berdua datang untuk menyelamatkan Paduka. Hwesio-hwesio itu hendak menculik Paduka, dan ada penjahat-penjahat hendak membunuh Paduka.... hamba tidak dapat bicara banyak, akan tetapi harap Paduka menurut saja. Mengertikan dan percayakah Paduka kepada kami?”

Biarpun terbelalak dan terheran-heran memandang kepada dua orang hwesio aneh ini, namun Pangeran Kian Liong yang sudah banyak mengalami hal aneh dan banyak bertemu dengan orang-orang kang-ouw yang wataknya luar biasa, mengangguk. Tentu saja dia percaya, karena kalau tidak percaya, mau apa lagi? Dua orang ini kalau hendak berniat buruk, tentu tidak akan banyak bicara lagi dan tentu akan langsung saja membunuhnya. Perlu apa mereka ini membohonginya?

“Bagus,” kata atau bisik hwesio tinggi besar muka hitam itu dengan lirih, sedemikian lirihnya sehingga tertutup sama sekali oleh suara rekannya yang membaca sajak dengan suara Sang Pangeran dengan lantangnya itu, “Harap Paduka dengar baik-baik. Teman hamba ini akan menyamar menjadi Paduka, dan Paduka akan dirias agar berobah menjadi dia, paduka dan dia bertukar tempat, jadi yang diculik nanti adalah dia, bukan Paduka. Mengertikah? Selanjutnya Paduka ikut dan menurut saja semua permintaan hamba.”

Kembali Sang Pangeran mengangguk dan tersenyum, karena dia mulai merasa tertarik dan gembira menghadapi pengalaman baru yang aneh ini. Dan kini giliran kedua orang hwesio itulah yang terheran-heran, juga kagum. Pangeran ini, dalam keadaan bahaya, setelah diberi tahu akan keadaannya, malah tersenyum dan nampak gembira!

Dan terjadilah kini hal yang lebih aneh lagi. Setelah menerima bisikan Si Tinggi Besar itu yang membebaskan totokannya, kini hwesio kecil itu menyerahkan kitab syair kepada Pangeran dan atas isyarat hwesio tinggi besar, Pangeran itu melanjutkan bacaan sajak hwesio bertubuh ramping itu dengan suara gembira dan lantang! Dan kini dia melihat hal yang aneh. Hwesio bertubuh kecil itu meraba-raba kepalanya dan.... gundulnya tanggal dan di bawah topeng gundul itu nampak rambut seorang wanita yang hitam halus!

Kiranya hwesio bertubuh ramping yang pandai meniru suaranya dan pandai membaca sajak itu adalah seorang wanita yang menyamar! Pangeran ini merasa semakin heran ketika wanita itu meraba-raba mukanya yang kembali ada topeng seperti kulit yang copot dari muka itu dan.... nampaklah wajah yang kulitnya putih kemerahan, wajah seorang wanita cantik! Dan mata itu kini tidak lagi juling! Wanita itu mendekatinya sambil berbisik,

“Maaf, Pangeran!” dan mulailah wanita itu mendadaninya.

Pangeran Kian Liong hanya mencium bau harum keluar dari rambut wanita itu ketika wanita itu memakaikan topeng kepala gundul dan wajah hwesio itu

“Sayang....,” kata wanita itu lirih, “Paduka tentu tidak dapat membuat mata Paduka juling....”

Tanpa menghentikan suara bacaan sajaknya, Pangeran Kian Liong mencoba menjulingkan matanya, dan wanita cantik itu tersenyum geli, nampak giginya yang putih seperti mutiara.

“Lumayan juga,” katanya, “Akan tetapi malam ini tidak perlu Paduka menjulingkan mata, hanya kalau perlu saja. Dan ada teman hamba ini yang akan melindungi Paduka.”

Tak lama kemudian, selesailah Pangeran itu didandani dan biarpun dalam keadaan tergesa-gesa itu dia tidak persis sekali, namun memang mirip dengan hwesio juling tadi!

“Sekarang maafkan hamba, terpaksa hamba harus mengganti pakaian Paduka”